Mulut seorang gadis yang berwarna merah muda itu sejak beberapa menit yang lalu tidak berhenti komat kamit bukan karena membaca mantra melainkan disebabkan menggerutu tanpa henti. "Waalaikumussalam, kunci rumah ada di nona?"Gelengan kepala gadis itu tampilkan setelah salamnya dijawab, dan dilempari pertanyaan. Ia sudah menghentikan kegiatan ngedumel unfaedah yang dirinya lakukan. "Ya ampun, nona, untung saya sudah datang, kalau saya belum datang, nona perlu hubungin den Ya'qub dulu supaya bisa masuk rumah," cerocos pembantu rumah tangga di rumahnya abi Yasser Ahnaf Al Lathif dan umi Yasmin Al Aziz ini, bibi Siti panggilannya kebiasaan. Memang benar apa yang diucapkan bibi Siti, biasanya beliau datang lebih siang daripada ini, hari ini sedang ada kemudahan saja di rumahnya beliau, makanya bisa datang sedikit lebih pagi. Jam segini memang sudah lewat jam sarapan, memang bukan bibi Siti yang menyiapkan sarapan, biasanya umi Yasmin memasak sendiri dan bibi Siti hanya bertugas beberes.
Setelah memegang pigura foto seorang gadis yang begitu cantik itu, tangan Nayyara rasanya tidak bisa untuk tidak menyalurkan kelembutan dalam memegangi pigura tersebut, rasanya begitu wajib baginya menjaga pigura agar tidak lecet sedikit pun. Dengan hati-hati Nayyara mendudukkan diri di pinggiran kasur besar kepunyaan Ya'qub, tidak lama setelah itu dirinya juga menjatuhkan punggungnya ke kasur dengan posisi kaki yang menjuntai ke bawah. Perlahan-lahan foto di pigura itu kembali ia tatap, setelahnya rasa kantuk menerjang kedua mata Nayyara, merasa tak mampu melawannya Nayyara memilih untuk mencoba tidur saja, toh dia juga sedang bingung harus melakukan apa, yang dirinya perlukan adalah bertemu dengan Ya'qub dan berbicara dengan pria itu, sayangnya sampai kini mereka belum bertemu, jadilah segala pembicaraan terpaksa Nayyara tahan. Nayyara tidak tahu apakah yang dia rasakan begitu melihat foto gadis ini adalah perasaan cemburu? Mengapa dia harus cemburu? Ya'qub bukan siapa-siapanya, j
Perasaan bersalah langsung menghujam hatinya pria bermata hitam kelam tersebut, pendengarannya yang sangat tajam membuatnya tetap mendengar kalimat dari gadis yang duduk memeluk lutut di pinggiran bawah kasur, selain itu pernah dia batinkan bukan? Bahwa telinganya seolah-olah tidak akan pernah tuli atas kata yang diucapkan Nayyara sepelan apa pun itu. Atas dua kata Nayyara takut itulah Ya'qub dirundung rasa bersalah yang teramat sangat sekarang ini. "G-gue gak maksud..."Kini keadaan seolah berbalik, sekarang Ya'qub yang sedikit terbata dalam ucapannya. "Nayyara tidak berani, hiks..."Air mata terjun bebas dari kedua matanya Nayyara, isakan nya terdengar begitu menyayat hati siapapun yang mendengarnya, termasuk satu sisi di hati kecilnya Ya'qub pun juga. Selain bersalah Ya'qub pun juga merasa bingung sekarang ini, memang tidak pertama kalinya Ya'qub melihat Nayyara menangis di depannya karena ketakutan, tapi ini sudah yang kedua kalinya mungkin. Namun, bedanya situasi tangis pertam
"Bukan dia yang beruntung.""Lalu?" tanya gadis berambut coklat itu keheranan."Justru dia yang dirugikan telah hadir di tengah-tengah Al Lathif, tersakiti, terlukai, dituntut, pesakitan apa lagi yang diinginkan agar dia bisa dinilai jadi mutiara keluarga yang sempurna?""Kami yang beruntung dia terlahir ke dunia, hadirnya dia di dalam kehidupan adalah kebahagiaan terbesar keluarga Al Lathif, meski dia bukan bagian Al Lathif," ucapan Ya'qub memelan pada kalimat terakhir. "Terutama gue, dengan adanya dia semuanya terasa lancar dan mudah, hingga dia pergi, semuanya runyam, berantakan, dan tidak pernah sebaik ketika ia masih nyata di dunia."Nayyara menganggukkan kepalanya sekali, dalam hati gadis itu membenarkan, kemudian berujar untuk memantapkan, "Benar, saking runyam nya setelah dia tiada, lo dipertemukan dengan gue yang hanya membuat lo tidak bahagia.""Bukan begitu." Tak tau kenapa Ya'qub merasa ingin meralat kalimatnya Nayyara. "Lantas?""Bertemu dengan lo bukan runyam pertama y
"Aku pamit keluar.""Apa maksudmu, Medina?" tanya seorang pria berkulit kecoklatan yang reflek berdiri dari duduknya begitu mendengar tiga kata tadi diucapkan seorang gadis. "Ya aku mau keluar, tidak sepatutnya aku berlebihan mendengarkan pembicaraan antara ayah dan anak, yang pembahasannya sendiri sudah kelewatan," jelas Medina lugas. "Sudah kubilang, bukan? Kamu harus mendengarkan selengkapnya dari awal hingga akhir! Karena kamu sudah terlanjur masuk pada duniaku hingga tau dengan berbagai lukaku!" tegas Ansel bersikeras. "Ku tegaskan menjawab tidak mau jika kamu menyuruhku mendengarkan aib masa lalu papamu. Semua manusia punya masa lalu, sama-sama punya aib pastinya di masa lampau, tetapi tidak seharusnya selalu diungkit, bukan pula harus begitu diingat, tidak berarti mesti dilupakan, masa lalu perlunya diingat untuk menjadi batu loncatan di masa depan, jika menyakitkan pertama diingat agar tidak terjerumus ke lubang yang sama, kedua agar bisa menjadi lebih baik lagi. Apabila me
AC mobil sudah disetel dalam kadar yang paling tinggi, tapi tetap saja bagi pria yang mengenakan hoodie berwarna abu-abu itu rasanya hawa sekarang ini sangat panas, akhirnya dia memilih menurunkan kaca mobil saja dengan cara menekan satu tombol agar udara dari luar menerpa dirinya. Masih tak ada perubahan, kepanasan masih mendominasi yang saat ini ia rasakan. Gue kepanasan atau merasa gelisah sih sebenarnya? tanya Ya'qub dalam hati. Satu sisi hatinya membenarkan dugaan bahwa dia sebenarnya gelisah, cenderung juga kepada sedikit menyesal, sesal telah tak sengaja bercerita tentang gadis penting di hidupnya kepada seorang gadis, masalahnya adalah janji Ya'qub dulu yang apakah menjadi dilanggar oleh dirinya sendiri? "ARGH! KENAPA CERITA TENTANG KAK YUMNA KELUAR BEGITU SAJA?!" teriaknya keras. Begitu hampir sampai tempat tujuan, Ya'qub kembali menutup kaca mobilnya, injakan nya pada pedal gas pun juga memelan seiring matanya melihat sebuah tulisan besar di gapura. MAHESWARA FAMILY BURI
"Minta tolong apa?" tanya balik Raskal, si pria berambut pirang gondrong di depannya Ya'qub. "Tapi pasti akan merepotkan. Benar boleh?" tanya Ya'qub lagi. Ini seperti bukan dirinya, bukan karakternya, sosok pria yang ragu atas jawaban lawan bicaranya yang padahal dikenal adalah orang yang terpercaya. Sebenarnya Ya'qub bukan semata-mata ragu, ia hanya merasa tidak enak untuk meminta tolong kepada pria di depannya ini, pasalnya seperti yang dia ucapkan barusan untuk memenuhi permintaan tolongnya ini cukup repot. Tepukan beberapa kali didapatkan Ya'qub di pundaknya, bersamaan dengan itu terdengar kalimat ringan... "Kayak sama siapa aja? Anggap aku abangmu, meski tidak sedarah seperti halnya kamu dan Yumna. Kamu tidak akan pernah sungkan bukan dengan Yumna? Maka tidak perlu sungkan juga dengan abangmu ini!" seru Raskal. Kekehan kecil ditampilkan Ya'qub, sangat sangat kecil, sebab jangan pernah lupa dengan karakternya yang dingin dan tidak ekspresif. "Hm, anggap bang Raskal kakak ipa
Tarikan nafas berat dilakukan pria berambut hitam ikal itu setelah mendengar kalimat dari lawan bicaranya barusan, ia menyahut, "Selalu ku ucap terima kasih kepadanya, dan syukur ke hadirat Allah Yang Maha Mengatur semuanya, mengatur dia hadir di keluarga Al Lathif lebih dari tiga perempat masa hidupnya."Perihal Yumna Ya'qub siap berkata banyak, tidak ada kata irit bicara jika sudah menyangkut tentang kakak perempuannya itu, baik itu untuk memuji kakak perempuannya, membela, bahkan menceritakannya terkadang. Sepi menggulung di antara dua pria itu lagi selama beberapa detik, senja seharusnya sudah terjadi, tetapi cuaca yang mendung disertai hujan tipis-tipis membuat sinar senja kalah dan tidak bisa tampil. "Abang serius, semakin cepat kamu tau apa merk CCTV itu, anak buah abang akan semakin cepat turun tangan memeriksanya. Hidup dengan fitnah pasti tak enak, kamu pasti dituntut berbagai hal, seharusnya kamu ingin terbebas dari fitnah itu dengan cepat, kan? Maka cepatlah juga mencari