Gegara Ya'qub meninggalkannya duduk sendirian di sofa, yah walaupun masih seruangan dengan pria itu, tetapi posisi mereka yang berjauhan dan Ya'qub yang punya kesibukan mengurus kedua orang tuanya terlebih dahulu sekarang ini, Nayyara pun dibuat kembali tenggelam ke dunia memori otaknya, segala file-file masa lalunya seperti terbongkar habis tanpa pengecualian, luka-luka itu yang tidak pernah kering terasa kembali basah dan menyakiti, meski sebenarnya tidak ada yang memicu luka tersebut tampak kembali. Nayyara sendiri lah yang kembali datang kepada segala ruangan memori tersebut setelah ia melihat betapa harmonis nya keluarga suaminya. Tidak luput dari pandangannya Nayyara abi dan umi nya Ya'qub saling berpandangan setelah mereka selesai melaksanakan sholat shubuh katanya yang dibantu Ya'qub pula, Nayyara tidak melarang apalagi membatasi Ya'qub untuk mengutamakan keluarganya, silahkan saja, toh Nayyara juga tidak ada keluhan sekarang, dia sudah kenyang dan dirinya bisa kok duduk ante
Meskipun suaranya sangat pelan dan lirih, sekalipun juga kalimat yang keluar dari bibirnya terbata-bata, seakan-akan pria di hadapannya itu tidak akan pernah merasa tuli untuk mendengarnya, selamanya pun pendengarannya terasa tajam untuk mendengar kata apa pun yang terlontar dari bibir mungilnya. "Kok lo bicara gitu?" tanya pria yang mengenakan baju kaos lengan pendek berwarna coklat dengan nada menyelidik itu bercampur keheranan yang ia sembunyikan agar tidak terlalu nampak. Sadar telah melakukan kelalaian dengan tidak sengaja mengucapkan apa yang seharusnya ia ucapkan di dalam hati saja, gadis berambut coklat itu langsung mengalihkan pandangannya ke samping kiri agar tidak bertatapan langsung lagi dengan pria di depannya kini. Bukan masalah karena terlalu dekat, tetapi masalahnya sejauh pengalamannya pria di depannya ini senantiasa biasa membaca isi pikirannya bahkan isi hatinya hanya dengan bertatapan mata dengannya. Mungkin tingkat kemampuan membaca isi pikiran dan hati yang di
Klik... Baru saja suara pintu dikunci itu terdengar, spontan saja seorang pria yang duduk dengan kaki diletakkan lurus di atas meja kaca itu juga bersuara. "Kenapa kamu kunci? Lihatlah! Gadis ini belum kamu keluarkan?!" Sebelah tangan pria paruh baya itu tepatnya tangan kiri terangkat menunjuk seorang gadis yang ada di ruangan ini. "Dia tidak akan keluar, ia akan mendengarkan apa saja yang kita bicarakan," jawab datar pria yang mengunci pintu barusan. Ia duduk di pinggiran kasur rumah sakit ruangan VVIP yang sudah dirinya sewa selama beberapa waktu kedepan, setidaknya sampai kesembuhannya ia temukan. Muhammad Ansel Zarawka, Ahmad Naseh Zarawka, dan Medina Angkara, ketiga insan itulah yang kini berada di ruangan VVIP nomor 2 rumah sakit, hanya mereka bertiga, tidak ada suster, dokter, apalagi para asisten Ansel dan Naseh saja, semuanya tidak ada yang boleh masuk. Setelah berdebat cukup banyak di kantin rumah sakit dengan Ansel yang ngotot ingin membawa Medina ke ruangannya dan men
"Siapa ayah lo?"Dua kata pertanyaan itu terdengar begitu menginterogasi di telinganya Nayyara, ada rasa tidak nyaman yang ia rasa, tetapi kapanpun itu pertanyaan seperti barusan pasti kelak akan ia dengar. Bersyukur nya bagi Nayyara posisi duduknya dengan lawan bicaranya tidak berhadap-hadapan, melainkan bersisian, sehingga mata mereka tidak akan benar-benar bertemu tatap, dan begitu mudah bagi Nayyara untuk mengalihkan pandangan dari tatapannya Ya'qub. Posisi bersisian itu tidak membuat Ya'qub tidak melihat wajah Nayyara, nyatanya pria pemilik rambut hitam bertekstur ikal itu menolehkan wajahnya sempurna ke arah Nayyara. "Lo tidak perlu tahu," jawab Nayyara acuh. "Bukankah kita sudah berjanji di awal untuk saling jujur dan memberikan jawaban yang akurat serta terbuka ketika ditanyai lawan bicaranya? Jika lo melanggar lebih dulu, maka jangan salahkan gue menyampaikan jawaban yang tidak benar juga tatkala lo bertanya nanti," tutur Ya'qub panjang lebar. "Doyam!" sentak Nayyara, ia
Kalimat yang terdengar begitu jelas di telinganya karena orang yang berucap itu berbisik kepadanya seperti berhasil membuat Ya'qub tersetrum petir di siang bolong. Ada sudut hati yang tidak pernah menyangka akan mendengar suatu ungkapan begitu tetapi hari ini detik ini mendengarnya sempurna. Nayyara membenci ayahnya. Suatu kalimat yang terucap dari bibir sang anak langsung yang mengungkapkan perasaannya terhadap orang tuanya. Memiliki sosok ayah seperti abi Yasser yang terkadang dingin terkadang hangat persis seperti sifat yang dimiliki Ya'qub dengan Yusuf, membuat Ya'qub tidak merasa tertekan sama sekali. Dinginnya sifat seseorang menurut Ya'qub tidak membuatnya kepikiran, terlebih lagi jika dingin ataupun cuek orang itu tidak gegara kesalahannya, maka Ya'qub pun santai saja. Pun dirinya juga tidak ngelunjak berharap memiliki sosok ayah yang punya sifat hangat, bagi Ya'qub punya ayah yang penyayang kepada keluarga pun sudah cukup, mengenai bagaimana bersifat, dingin atau hangat it
"Berarti orang yang berjabat tangan dengan gue di hari akad nikah bukanlah ayah kandung lo?" selidik Ya'qub terasa ketar ketir. Bukannya apa-apa, dia hanya sedang terbayang segala momen kedekatannya dengan Nayyara, jikalau... "Tentu saja, papa gue kan sudah mati, ya kali dia menjabat tangan lo dan nikahin kita?" ketus Nayyara, tidak pernah suka membahas mengenai ayahnya. Mendengar kalimat itu Ya'qub segera bangkit dari duduknya dan berjalan mengambil sebuah kursi lipat di pojok ruangan, pria itu membukanya dan kemudian meletakkannya di depan Nayyara, setelahnya ia mendudukinya, posisinya dengan Nayyara telah usai duduk bersisian, sekarang mereka tidak lagi sedekat tadi, hanya berhadapan. "Berarti pernikahan kita tidak sah..." Ya'qub menggantungkan kalimat dan mengalihkan pandangannya menatap jendela ruangan yang sudah dibuka gorden nya setengah, sehingga cahaya matahari sedikit masuk. Ada perasaan berat yang dia rasakan begitu mengucapkan kalimat barusan, masih ada kalimat yang ing
Dua insan yang status pasangan keduanya masih dipertanyakan itu duduk berhadapan, jarak mereka tidak terlalu dekat tidak pula berjauhan, sebatas cukup untuk saling mendengar omongan satu sama lain saja tanpa perlu mengulang kalimat. Dua-duanya sama-sama melayangkan tatapan kosong, tetapi tidak ke arah manik mata masing-masing, melainkan menatap ke arah lain. "Namanya..."Untuk yang kesekian kalinya perkataan Nayyara menggantung, memang kata di atas bukan pertama kalinya Nayyara membuka suara, tetapi sudah beberapa kali mungkin sekitaran sudah tiga kalian dan ini yang keempat. Laki-laki berambut warna hitam ikal di depannya itu pun juga tidak memaksa untuk cepat mendengar penuturan dari Nayyara, pria itu dengan sabar menunggu sampai Nayyara siap dan berucap sendiri, Ya'qub tau gadis itu masih merasa berat makanya tidak langsung siap. Brak! "Namanya Ahmad Naseh Zarawka!" pekik Nayyara kaget dan tidak sengaja langsung mengucapkan sesuatu yang ada di pikirannya, yakni nama sang papa.
"Anda keras, penuh kekejaman, bengis, dan yang paling penting untuk di garis bawahi adalah anda tidak pernah memikirkan perasaan orang lain baik itu pria yang notabene nya sejenis dengan anda, apalagi wanita yang perasaannya tidak bisa tertebak!""Tidak pernah kah anda pikirkan bagaimana perasaan wanita yang telah anda selingkuhi itu? Wanita itu paling menyukai kesetiaan dan dijadikan satu-satunya, tetapi anda tidak melakukan dua-duanya sama sekali!""Sangat saya sayangkan mama saya wafat masih dengan status istrinya anda! Andai keinginan beliau untuk bercerai dengan anda, anda kabulkan, maka pastinya mama saya wafat dengan status lajang dan di surga sana beliau tidak perlu menunggu-nunggu anda menyusulnya. Sayangnya bukan itu yang terjadi, pasti sampai saat ini mama saya sentiasa menunggu anda di surga, sedangkan anda apa? Di dunia ini bisa saja anda sudah menikahi banyak wanita tanpa tau bahwa mama saya di surga menunggu anda dengan setianya!""SAYA BENCI ANDA!""Ansel, cukup!" pekik