Dua insan yang status pasangan keduanya masih dipertanyakan itu duduk berhadapan, jarak mereka tidak terlalu dekat tidak pula berjauhan, sebatas cukup untuk saling mendengar omongan satu sama lain saja tanpa perlu mengulang kalimat. Dua-duanya sama-sama melayangkan tatapan kosong, tetapi tidak ke arah manik mata masing-masing, melainkan menatap ke arah lain. "Namanya..."Untuk yang kesekian kalinya perkataan Nayyara menggantung, memang kata di atas bukan pertama kalinya Nayyara membuka suara, tetapi sudah beberapa kali mungkin sekitaran sudah tiga kalian dan ini yang keempat. Laki-laki berambut warna hitam ikal di depannya itu pun juga tidak memaksa untuk cepat mendengar penuturan dari Nayyara, pria itu dengan sabar menunggu sampai Nayyara siap dan berucap sendiri, Ya'qub tau gadis itu masih merasa berat makanya tidak langsung siap. Brak! "Namanya Ahmad Naseh Zarawka!" pekik Nayyara kaget dan tidak sengaja langsung mengucapkan sesuatu yang ada di pikirannya, yakni nama sang papa.
"Anda keras, penuh kekejaman, bengis, dan yang paling penting untuk di garis bawahi adalah anda tidak pernah memikirkan perasaan orang lain baik itu pria yang notabene nya sejenis dengan anda, apalagi wanita yang perasaannya tidak bisa tertebak!""Tidak pernah kah anda pikirkan bagaimana perasaan wanita yang telah anda selingkuhi itu? Wanita itu paling menyukai kesetiaan dan dijadikan satu-satunya, tetapi anda tidak melakukan dua-duanya sama sekali!""Sangat saya sayangkan mama saya wafat masih dengan status istrinya anda! Andai keinginan beliau untuk bercerai dengan anda, anda kabulkan, maka pastinya mama saya wafat dengan status lajang dan di surga sana beliau tidak perlu menunggu-nunggu anda menyusulnya. Sayangnya bukan itu yang terjadi, pasti sampai saat ini mama saya sentiasa menunggu anda di surga, sedangkan anda apa? Di dunia ini bisa saja anda sudah menikahi banyak wanita tanpa tau bahwa mama saya di surga menunggu anda dengan setianya!""SAYA BENCI ANDA!""Ansel, cukup!" pekik
Di salah satu meja di kantin rumah sakit Pelita Sehat. Ada dua wanita berbeda usia yang duduk berhadapan, usia mereka boleh beda puluhan tahun, tetapi penampilan mereka tidak jauh beda, tepatnya sih fashion mereka yang nyaris sama. Tetapi, kali ini tidak terlalu sama, sebab si perempuan yang muda mengenakan kaos santai tapi tetap bermerk tentunya, sedangkan wanita yang lebih tua darinya mengenakan dress berwarna hitam dan merah, jangan lupakan mahalnya harganya tetaplah pasti.Rambut keduanya pun berwarna sama, yakni coklat, dan terlihat begitu persis, sebagai isyarat bisu bahwa diantara keduanya ada ikatan nyata yang tidak akan pernah bisa dibohongi, keduanya adalah seorang putri dan ibunya. Manik mata keduanya tidak kalah sama, blue sapphire sama-sama dimiliki oleh Nayyara dengan Sunee mamanya, sebab gadis itu memang mewarisi manik mata tersebut dari sang mama. Beruntungnya rambut dan mata kepunyaan Nayyara diwarisi dari mamanya, bukan dari lelaki yang ia benci. Sayangnya juga lel
Suara ketukan sepatu snickers berwarna favoritnya yakni hitam terdengar lambat laun semakin cepat, memang pergerakan kakinya mengetuk ke lantai bertambah cepat seiring menit. Menunggu tanpa kepastian siapa yang menyukainya? Termasuk Ya'qub sendiri pun juga tidak suka itu, dirinya sangat benci menunggu yang tidak tau kapan akan berakhir ini. Pria itu pun juga tidak lupa menghitung sejak kapan dirinya menunggu, sekarang sudah sekitaran dua puluh menitan Ya'qub menunggu Nayyara kembali ke ruangan, tapi sepertinya belum ada juga tanda-tanda gadis itu akan kembali dalam waktu cepat. Sekarang Ya'qub harus apa? pria ini ternyata bisa juga merasakan bingung dalam hidupnya, terpantau dia jarang sekali merasakan bingung, sebab biasanya Ya'qub selalu terarah akan melakukan apa kedepan nya, apalagi ketika kak Yumna masih ada, Ya'qub teramat teratur setiap detiknya. Eh iya, Ya'qub baru ingat dengan kewajibannya, pria itupun melirik jam tangan yang terpasang di tangannya. Jam tangan dengan tali
"Iyaa, tau. Orang tua gue juga, pasti gue jaga baik-baik lah!" ketus Yusuf dalam kalimatnya tersembunyi maksud mendesak saudara kembarnya untuk pergi. Pria yang didorong Yusuf keluar dari ruangan pun sebenarnya tidak langsung mengindahkan, Ya'qub malahan menatap Yusuf lama, ada sesuatu yang coba dia ingat dengan cara menatap kembarannya, tetapi tidak kunjung ia temukan apa itu, merasa sudah kelamaan berpikir dan tidak juga menemukan jawaban akhirnya Ya'qub memilih menyerah, biarlah nantinya akan teringat sendiri. Satu harapannya, semoga apa yang telah ia lupa dan tidak berhasil ia ingat ini bukanlah perkara yang teramat penting, dan tidak mengapa dirinya kesampingkan terlebih dahulu."Oke, gue pamit, wassalamu'alaikum," pamit Ya'qub kemudian berlalu pergi begitu saja, setelah juga menepuk pundak Yusuf sekali. Punggung tegak Ya'qub berjalan sedikit demi sedikit menjauh dari pandangannya Yusuf, sebagai saudara kandung, bahkan kembar yang mana notabene nya jauh lebih dulu bersama ketim
Sweater berlengan panjang berwarna hitam, celana panjang hingga mata kaki yang berwarna serupa, telah melekat indah di tubuh tegaknya yang sejujurnya letih tapi tidak pernah bisa ia tunjukkan kepada siapapun, tiada pengecualian, sebab orang yang bisa dikecualikan sudah meninggalkannya untuk selamanya. Dari pantulan cermin Ya'qub sadar raut wajahnya tampak memprihatinkan, tangannya pun bergerak membuka laci nakas yang ada di samping cermin ini. Di dalam sana ia menemukan benda yang terbilang berukuran sedang sebenarnya, dirinya mengambil itu, nama bendanya adalah nano spray, di nano spray itu ada wadah transparan, biasanya di isi air atau bahan kosmetik lain seperti toner atau apalah sebagainya. Pun yang dipegang Ya'qub ini juga sudah ada isinya, tetapi bukan kosmetik, bukan pula air biasa, ini adalah air zam-zam. Ya'qub memencet tombol yang ada di sana setelah mengarahkannya ke wajahnya, kemudian keluarlah dari sana air yang terlihat sangat lembut bagaikan embun dan membasahi wajahn
"Kalau begitu, urus Nayyara! Saya tidak butuh anda!" tukas pria yang memiliki manik mata berwarna hijau tersebut berani, posisinya yang sebelumnya duduk segera berubah menjadi berdiri saking menggebu nya dia berujar. Ketiga orang yang ada di ruangan itu baik si orang yang berkata atau dua orang sisanya sama-sama terdiam setelah mendengar kalimat itu di telinga mereka masing-masing. Tidak perlu waktu lama untuk lelaki paruh baya berkacamata di depan pria yang berucap barusan untuk menenangkan jiwanya yang sempat tertekan gegara kalimat itu, setelahnya dia berucap, "Nayyara masih punya mama! Masih ada yang mengurusnya, sementara dirimu? Siapa yang akan mengurusmu hah?!" Pak Naseh tidak hanya berucap, lelaki berkacamata itu bahkan juga mendorong bahu pria yang berdiri di depannya yang lebih muda darinya beberapa tahun, pria yang tidak lain adalah putranya sendiri. Karena dorongan papanya Ansel sampai dibuat terduduk kembali di kasur rumah sakit. "Mama kamu sudah tiada, Ansel! Siapa l
Manik mata blue sapphire miliknya di tatap sendiri oleh dirinya melalui sebuah cermin yang memantulkan bayangan dirinya, meski sudah sarapan jika kambuh ini terjadi pastinya apa yang dia makan itu menjadi sia-sia, sehingga berujung membuatnya kembali tampak pucat dan lesu seperti sekarang ini. Namun, bukan waktunya untuk makan lagi, Nayyara tidak bisa asal untuk makan, tidak diperkenankan baginya sebebas itu perihal makanan seperti misalnya kalau lapar ya makan, no! Nayyara tidak bisa begitu, waktu makannya sudah tertata, dan dia tidak bisa, tidak boleh, juga tidak berniat melanggar itu, sebab akan ada dampak pada tubuhnya yang terancam mengalami kenaikan berat badan. Pekerjaan Nayyara bisa terganggu jika tubuhnya menjadi gemuk, maka dari itulah dia tidak boleh terlalu sering makan dan juga tidak boleh banyak. Jika sudah pucat begini ya Nayyara hanya boleh minum air putih saja dan diharapkan bisa beristirahat, sekali pun perutnya meronta kelaparan tidak akan dia turuti dengan membe
Beberapa bulan kemudian... "Mama, umi? Ini bagusnya yang mana ya?" tanya Nayyara menunjuk sebuah rak yang tersusun beberapa baju bayi. "Kalau bayi baru lahir, baiknya gak usah pake baju yang begini," timpal umi Yasmin. "Bener, memakaikannya susah," sahut mamanya Nayyara menanggapi. Tiga orang wanita yang memiliki usia berbeda itu sedang recok di salah satu toko perlengkapan bayi di sebuah mall, usia kandungan Nayyara yang sudah memasuki tiga puluh minggu membuatnya dan para ibunya harus berbelanja kebutuhan bayinya dan Ya'qub. "Astaghfirullah!" pekik Nayyara kaget melihat keranjang belanja miliknya sudah berisi setengah penuh perlengkapan si kecil. "Kok udah penuh ya? Mama, umi! Ini keranjang kita kan, ya? Atau bukan? Kok udah berisi banyak banget?" tanyanya mencolek wanita paruh baya di sisinya agar memperhatikan sesuatu yang ia maksud. Tepat ketika dua wanita ibunya itu membalikkan badan tuk melihat keranjang, seorang pria berambut hitam ikal datang dengan tangan penuh barang
Beberapa hari kemudian... Rumah abi Yasser dan umi Yasmin sedang sepi-sepinya karena waktu memang menunjukkan tengah malam, kecuali sebuah kamar di lantai atas milik sang putra pertama, di sana cerocosan uring-uringan dari seorang perempuan memenuhi isi kamar. "Ihhh gak suka, ganti ganti!" suruh Nayyara kepada suaminya yang baru saja membalikkan badan ke arahnya. Perempuan berambut coklat terurai itu tengah duduk di sofa dengan bersedekap dada, posisi kakinya sekejap-sekejap berganti, kadang bersila kadang diluruskan. Sementara Ya'qub suaminya berdiri di depan lemari yang pintunya terbuka tidak kunjung ditutup sejak satu jam yang lalu. "Yang mana lagi, Nayya?" tanya Ya'qub bingung. Tepat tengah malam tadi, Nayyara membangunkan dirinya memintanya untuk memakai baju-bajunya, katanya Nayyara menginginkan melihat suaminya ini memakai pakaian yang beragam. "Baju kamu banyak tauk, cobalah pakai semuanya, aku mau liat!" Nyaris saja Ya'qub menganga mendengar penuturannya Nayyara, memak
Perasaan Nayyara campur aduk saat ini, biarpun sesuatu yang sudah lama dia inginkan, yakni bergenggaman tangan dengan Ya'qub suaminya sendiri, sudah tercapai, tetap saja ada suatu perkara lain yang membuatnya belum bisa untuk benar-benar senang. Bagaimana jika... Bagaimana jika... Sejak tadi kalimat berawalan dua kata diatas selalu terlintas di benaknya, ketimbang terpikir semua pertanyaan ketakutannya itu Nayyara ingin mencoba berfokus pada bagaimana caranya dia untuk tidak merisaukan semua itu. "Tenang, bumil tidak seharusnya risau," celetuk Ya'qub tiba-tiba membuka obrolan, membuat Nayyara segera menolehkan kepala ke arahnya. "Gak bisa," ungkap Nayyara jujur. "Tarik nafas, buang, lakukan beberapa kali sampai tenang." Ya'qub memberikan arahan berharap bisa menjadi solusi. Sesuai petunjuk dari suaminya, Nayyara pun melakukannya, setelah mulai tenang dia menimpali, "Kayak mau lahiran aja di suruh tarik dan buang nafas!""Emang mau lahiran sekarang?" tawar Ya'qub asal, moodnya s
"Kira-kira anak siapa itu?"Mendengar pertanyaan barusan membuat Nayyara menarik kemudian menghela nafasnya panjang, ia tidak diperkenankan untuk sakit hati atas pertanyaan itu, sebab ulahnya sendirilah yang memancing suaminya bisa bertanya demikian. Lalu, sebuah iPad mini dilemparkan Nayyara asal tetapi dia yakin akan mendarat di pahanya Ya'qub yang memang berposisi duduk. Di layar iPad itu sudah tampak suatu gambar yang ingin Nayyara tunjukkan pada Ya'qub, dia yakin pria itu bisa memahaminya sendiri tanpa harus dia jelaskan, sekarang mood Nayyara kembali berubah jadi malas bicara meniru Ya'qub. "Mengapa membuat drama ini?" tanya Ya'qub heran, sembari menscroll layar iPad tersebut. "Karena aku kesal," judes Nayyara. Krik... Krik... Setengah menit terjadi hening di ruang tamu apartemen itu, Nayyara enggan memulai pembicaraan lagi, dia ingin menunggu pria dingin ini lebih dulu bersuara. Bahkan, Nayyara juga membuang muka mengalihkan tatapannya dari sang suami. "Eh!" pekik Nayyar
"Kenapa mama biarin pria ini masuk sih, ma?" keluh Nayyara ketika melihat seorang pria muda berambut ikal berdiri di belakang mamanya. "Kalian harus bicara tau, Nay," sahut sang mama enteng. "Udah, ma, kita udah-""Belum semuanya," potong pria itu yang tidak lain adalah Ya'qub Lutfi Al Lathif. Dua kata yang Nayyara dengar itu sontak saja membuat hatinya bergetar, malangnya bukan bergetar karena baper ataupun bahagia, tetapi karena tegang takut Ya'qub menyampaikan sesuatu yang tidak dia inginkan. Bagaimana jika dia membicarakan tentang perceraian? batin Nayyara ketakutan. Jujur saja Nayyara belum siap tentang itu, sama sekali, di samping ada seseorang ini yang kehadirannya belum diketahui seorang pun terkecuali dirinya dan Allah Ta'ala. "Yasudah mama tinggal dulu, mama tau kalian berdua sudah dewasa, sudah bisa mengambil keputusan dengan bijak seharusnya, jangan sampai salah mengambil keputusan, itu saja pesan mama," timpal mamanya Nayyara, kemudian berlalu pergi. Tidak akan, ma,
Nayyara menggigit bibirnya sekuat mungkin agar suara tangisnya tidak terdengar, air matanya mungkin tidak akan sederas ini seandainya tidak mendengar satu kalimat lirih barusan, sekalipun dia dan suaminya terhalang sebuah pagar taman tidak membuat Nayyara tuli akan kalimat yang terucap dari bibirnya Ya'qub ternyata. Akhir-akhir ini Nayyara juga cukup moodyan, moodnya bisa berubah secepat dia mengedipkan mata, dan Nayyara tau kok mengapa dia begitu. Ternyata bawaan... Dengan segera dia menggelengkan kepala enggan semakin mengingat perkara itu lagi, ia tidak seharusnya terlalu bahagia takut nantinya akan jatuh pada relung kesedihan saja.Tidak seharusnya terlalu lama berada di sini takut nantinya malah diketahui pria yang dia hindari, Nayyara pun segera mengetikkan pesan kepada sopirnya untuk menjemputnya di taman ini. Posisi Ya'qub yang duduk di pinggiran jalan yang mana jalan tersebut mau tak mau harus dilewati Nayyara untuk pulang, membuat Nayyara kebingungan apakah dia harus menut
"Salah satu kewajiban seorang suami adalah memaafkan kesalahan istrinya, jika sang istri melakukan kesalahan maka seharusnya seorang suami menegurnya dan menasehatinya terlebih dahulu, jika tidak berdampak juga maka boleh memukulnya, dengan catatan tidak boleh memukul yang keras hingga memar dan menyakiti, ingat! Benar-benar tidak boleh! Pukulan yang dimaksudkan di sini pun tidak menggunakan telapak tangan, melainkan memakai benda berupa sikat gigi misalnya, nah itu dipukulkan ringan saja kepada istri, bukan dengan niatan menyakiti, tetapi niatan mendidik. Jadi ingat ya, semua ada tahapannya, pertama-tama ditegur, jika tidak mau juga kemudian dinasehati, masih tidak mempan baru dipukul yang sangat-sangat ringan!"Jleb... Semua kalimat dari seorang pria yang duduk di barisan terdepan dan menghadap ke arahnya serta seluruh jemaah yang lain membuat Ya'qub tertohok, hatinya tersentil dan dibuat bergetar, ia dibuat sadar akan kesalahannya. Saat ini pria itu sedang berada di sebuah masjid
Beberapa hari kemudian... Siang ataupun malam terasa begitu lambat berlalu dan juga seperti sangat monoton, seakan-akan tidak ada yang begitu menarik sejak hari itu, semenjak hari di mana Nayyara pergi darinya, dunia Ya'qub seperti dingin lagi, tampak tidak berwarna, bahkan akan terasa sangat membosankan juga seandainya Ya'qub tidak menyibukkan diri dengan fokus kepada pekerjaannya dan mengambil shift lebih banyak dari biasa. Nasehat ataupun semangat dari Yusuf, abi, dan umi pun tidak berdampak banyak pada Ya'qub, bukan nasehat mereka yang tidak bagus, tetapi mood Ya'qub saja yang amburadul sejak hari itu, dia belum siap melakukan perubahan karena bimbang harus melakukan perubahannya dari sisi mana terlebih dahulu, sekaligus takut juga salah berbuat. Ya'qub sedang lelah, sungguh, fisiknya tidak terlalu, tetapi hati dan pikirannya rasanya benar-benar semrawut, kalau dia sedang lelah ya biarpun satu dunia menyemangatinya tetap saja dia ingin beristirahat. Jadilah akhir-akhir ini Ya'q
"Foto apa ini? Siapa ini?" tanya Ya'qub to the point, begitu dia masuk ke kamarnya dan mendapati seorang perempuan yang jelas ia kenali berdiri di depan jendela. Perempuan itu menoleh ke arahnya dan mengulurkan tangan meminta diberikan handphone nya Ya'qub yang sedang menunjukkan suatu foto, tidak perlu mengelak Ya'qub pun menyerahkannya. Ekspresi gadis itu tidak terbaca saat menatap foto itu, arah pandangnya yang menunduk membuat Ya'qub tidak bisa membaca manik matanya. Beberapa detik setelahnya tiba-tiba saja Nayyara memeluk Ya'qub erat, membuat Ya'qub di posisinya mengernyitkan dahi keheranan dengan respon istrinya. "Ya, itu aku dan Arthan, oh ya aku punya cerita yang mau diceritakan sama kamu, suami istri seharusnya bersikap terbuka kan, rasanya momen itu begitu menyenangkan dan membuatku puas."Sebenarnya Ya'qub sudah mengerti dengan yang diucapkan Nayyara, tetapi dia memilih untuk bersikap sok bodoh dengan bertanya meminta diperjelas, lebih tepatnya ingin mengorek kejujuran,