"Iyaa, tau. Orang tua gue juga, pasti gue jaga baik-baik lah!" ketus Yusuf dalam kalimatnya tersembunyi maksud mendesak saudara kembarnya untuk pergi. Pria yang didorong Yusuf keluar dari ruangan pun sebenarnya tidak langsung mengindahkan, Ya'qub malahan menatap Yusuf lama, ada sesuatu yang coba dia ingat dengan cara menatap kembarannya, tetapi tidak kunjung ia temukan apa itu, merasa sudah kelamaan berpikir dan tidak juga menemukan jawaban akhirnya Ya'qub memilih menyerah, biarlah nantinya akan teringat sendiri. Satu harapannya, semoga apa yang telah ia lupa dan tidak berhasil ia ingat ini bukanlah perkara yang teramat penting, dan tidak mengapa dirinya kesampingkan terlebih dahulu."Oke, gue pamit, wassalamu'alaikum," pamit Ya'qub kemudian berlalu pergi begitu saja, setelah juga menepuk pundak Yusuf sekali. Punggung tegak Ya'qub berjalan sedikit demi sedikit menjauh dari pandangannya Yusuf, sebagai saudara kandung, bahkan kembar yang mana notabene nya jauh lebih dulu bersama ketim
Sweater berlengan panjang berwarna hitam, celana panjang hingga mata kaki yang berwarna serupa, telah melekat indah di tubuh tegaknya yang sejujurnya letih tapi tidak pernah bisa ia tunjukkan kepada siapapun, tiada pengecualian, sebab orang yang bisa dikecualikan sudah meninggalkannya untuk selamanya. Dari pantulan cermin Ya'qub sadar raut wajahnya tampak memprihatinkan, tangannya pun bergerak membuka laci nakas yang ada di samping cermin ini. Di dalam sana ia menemukan benda yang terbilang berukuran sedang sebenarnya, dirinya mengambil itu, nama bendanya adalah nano spray, di nano spray itu ada wadah transparan, biasanya di isi air atau bahan kosmetik lain seperti toner atau apalah sebagainya. Pun yang dipegang Ya'qub ini juga sudah ada isinya, tetapi bukan kosmetik, bukan pula air biasa, ini adalah air zam-zam. Ya'qub memencet tombol yang ada di sana setelah mengarahkannya ke wajahnya, kemudian keluarlah dari sana air yang terlihat sangat lembut bagaikan embun dan membasahi wajahn
"Kalau begitu, urus Nayyara! Saya tidak butuh anda!" tukas pria yang memiliki manik mata berwarna hijau tersebut berani, posisinya yang sebelumnya duduk segera berubah menjadi berdiri saking menggebu nya dia berujar. Ketiga orang yang ada di ruangan itu baik si orang yang berkata atau dua orang sisanya sama-sama terdiam setelah mendengar kalimat itu di telinga mereka masing-masing. Tidak perlu waktu lama untuk lelaki paruh baya berkacamata di depan pria yang berucap barusan untuk menenangkan jiwanya yang sempat tertekan gegara kalimat itu, setelahnya dia berucap, "Nayyara masih punya mama! Masih ada yang mengurusnya, sementara dirimu? Siapa yang akan mengurusmu hah?!" Pak Naseh tidak hanya berucap, lelaki berkacamata itu bahkan juga mendorong bahu pria yang berdiri di depannya yang lebih muda darinya beberapa tahun, pria yang tidak lain adalah putranya sendiri. Karena dorongan papanya Ansel sampai dibuat terduduk kembali di kasur rumah sakit. "Mama kamu sudah tiada, Ansel! Siapa l
Manik mata blue sapphire miliknya di tatap sendiri oleh dirinya melalui sebuah cermin yang memantulkan bayangan dirinya, meski sudah sarapan jika kambuh ini terjadi pastinya apa yang dia makan itu menjadi sia-sia, sehingga berujung membuatnya kembali tampak pucat dan lesu seperti sekarang ini. Namun, bukan waktunya untuk makan lagi, Nayyara tidak bisa asal untuk makan, tidak diperkenankan baginya sebebas itu perihal makanan seperti misalnya kalau lapar ya makan, no! Nayyara tidak bisa begitu, waktu makannya sudah tertata, dan dia tidak bisa, tidak boleh, juga tidak berniat melanggar itu, sebab akan ada dampak pada tubuhnya yang terancam mengalami kenaikan berat badan. Pekerjaan Nayyara bisa terganggu jika tubuhnya menjadi gemuk, maka dari itulah dia tidak boleh terlalu sering makan dan juga tidak boleh banyak. Jika sudah pucat begini ya Nayyara hanya boleh minum air putih saja dan diharapkan bisa beristirahat, sekali pun perutnya meronta kelaparan tidak akan dia turuti dengan membe
Sajadah berwarna hijau dan putih telah terhampar di ruangan berukuran empat meter kali empat meter, arahnya menghadap kepada kiblat orang Islam untuk beribadah, yakni Kakbah di Mekkah. Di atasnya ada seorang pria yang tengah bersujud khusyuk meletakkan dahinya di permukaan sajadah, kedua telapak tangannya pun juga menyentuh kain sajadah yang bertekstur sangat lembut. Kedua matanya sudah memanas ingin mengeluarkan cairan beningnya, tetapi dia menahannya agar tidak keluar, pasalnya ini masih siang, bisa saja nantinya dia akan bertemu orang dan jejak bekas tangisnya masih nampak. Menangis itu wajar untuk semua manusia, baik laki-laki dan perempuan tidak ada pengecualian, pun bagi pria ini juga sama, dia pernah menangis kok seumur hidupnya selain masa kanak-kanak nya, yakni yang di garis bawahi ada ketika seorang perempuan terbaik dalam hidupnya setelah umi nya pergi meninggalkannya untuk selama-lamanya. Ingin sekali Ya'qub menangis kali ini bukan karena tertimpa kehilangan itu lagi di
"Gue dan lo tidak akan pernah menikah," tutur pria berambut hitam ikal itu, dari intonasi bicaranya kental sekali begitu dingin dan datar. "Ohh tidak tidak tidak, kita pasti menikah," balas gadis di depannya mantap dan berani. Dia sebenarnya cukup terkejut dengan gaya bahasa lawan bicara yang berdiri di depannya ini, biasanya pria ini menggunakan bahasa formal, paling tidak menggunakan saya dan anda, sebab aku dan kamu terasa tidak pernah terdengar, tetapi yang kali ini adalah lo gue, kata yang terasa cukup kasar untuk lelaki yang dikenali begitu nyaris sempurna keagamaannya, perihal adab kepada orang yang lebih tua, tata krama kepada yang lebih muda, sopan santun dengan yang seumuran. Termasuk perihal gaya bahasa Ya'qub begitu apik dan tertata, sopan dan begitu mempesona. "Minggir! Gue ada operasi!" tukas Ya'qub mengusir, pasalnya Hanna berdiri tepat di depan pintu, seandainya Hanna sedikit saja berada ketepi dan dia bisa lewat, maka bisa Ya'qub pastikan dia akan langsung saja berj
Tatapan curiga tepatnya menyelidik yang dilayangkan seseorang ke arahnya tidak terlalu membuat gadis bermata blue sapphire itu terganggu, hanya saja dia sedikit risih. Berhubung risih dia pun tidak mau membiarkan ditatap seperti itu lebih lama, Nayyara dengan segera memberikan pelototan mata. "Bukan urusan lo deh!" sentaknya, mencoba mengeluarkan sisinya yang urakan, bukan feminim seperti yang sekarang ini tengah terjadi, ini pun sebenarnya sangat sedikit. "Ciee, gue bakalan punya ponakan nih yee," goda pria di depannya bersenda gurau. Karakternya memang begini, suka bercanda dan melawak, pun Nayyara sendiri sebenarnya juga begitu, dia suka bercanda dan banyak bicara, sayangnya dia sedang tidak mood sekarang disebabkan kehabisan energi sekaligus juga pembahasannya ini yang terdengar begitu menyebalkan. Nayyara tau dan bisa menebak dengan jelas apa yang ada di pikirannya pria di depannya ini, Yusuf pasti berpikiran Nayyara tengah hamil makanya muntah-muntah di pagi hari begini, sepe
Bibir bawah seorang gadis berhijab hitam itu bergetar hebat mendengar kalimat dari seorang lelaki paruh baya barusan, ia merasa sudah tidak bisa lagi menahan untuk tidak memberikan teguran, bukan kepada lelaki paruh baya itu, tetapi kepada putranya lelaki tersebut, seorang pria muda yang duduk diam di pinggiran kasur rumah sakit. "Muhammad Ansel Zarawka!" pekik gadis itu kemudian. Sudah lekat dalam pengetahuan banyak orang ya kan bahwa jika seseorang menyebutkan nama lengkap seseorang, itu artinya dia ingin berbicara serius dan kalimatnya harus didengarkan. Itu pun juga termasuk dalam pengetahuannya Ansel dan sang papa, sebab mereka berdua juga sering melakukan itu, tepatnya sih papanya Ansel sering menyebutkan nama lengkapnya setiap kali mereka berdebat, terhitung tidak hanya sekali setiap perdebatan. Ansel tak suka nama nya baik nama panggilan terlebih lagi nama lengkap terlalu sering disebutkan oleh papanya, baginya mulut papanya tidak pantas mengucapkan namanya. Cukup kelewatan