"Kalau begitu, urus Nayyara! Saya tidak butuh anda!" tukas pria yang memiliki manik mata berwarna hijau tersebut berani, posisinya yang sebelumnya duduk segera berubah menjadi berdiri saking menggebu nya dia berujar. Ketiga orang yang ada di ruangan itu baik si orang yang berkata atau dua orang sisanya sama-sama terdiam setelah mendengar kalimat itu di telinga mereka masing-masing. Tidak perlu waktu lama untuk lelaki paruh baya berkacamata di depan pria yang berucap barusan untuk menenangkan jiwanya yang sempat tertekan gegara kalimat itu, setelahnya dia berucap, "Nayyara masih punya mama! Masih ada yang mengurusnya, sementara dirimu? Siapa yang akan mengurusmu hah?!" Pak Naseh tidak hanya berucap, lelaki berkacamata itu bahkan juga mendorong bahu pria yang berdiri di depannya yang lebih muda darinya beberapa tahun, pria yang tidak lain adalah putranya sendiri. Karena dorongan papanya Ansel sampai dibuat terduduk kembali di kasur rumah sakit. "Mama kamu sudah tiada, Ansel! Siapa l
Manik mata blue sapphire miliknya di tatap sendiri oleh dirinya melalui sebuah cermin yang memantulkan bayangan dirinya, meski sudah sarapan jika kambuh ini terjadi pastinya apa yang dia makan itu menjadi sia-sia, sehingga berujung membuatnya kembali tampak pucat dan lesu seperti sekarang ini. Namun, bukan waktunya untuk makan lagi, Nayyara tidak bisa asal untuk makan, tidak diperkenankan baginya sebebas itu perihal makanan seperti misalnya kalau lapar ya makan, no! Nayyara tidak bisa begitu, waktu makannya sudah tertata, dan dia tidak bisa, tidak boleh, juga tidak berniat melanggar itu, sebab akan ada dampak pada tubuhnya yang terancam mengalami kenaikan berat badan. Pekerjaan Nayyara bisa terganggu jika tubuhnya menjadi gemuk, maka dari itulah dia tidak boleh terlalu sering makan dan juga tidak boleh banyak. Jika sudah pucat begini ya Nayyara hanya boleh minum air putih saja dan diharapkan bisa beristirahat, sekali pun perutnya meronta kelaparan tidak akan dia turuti dengan membe
Sajadah berwarna hijau dan putih telah terhampar di ruangan berukuran empat meter kali empat meter, arahnya menghadap kepada kiblat orang Islam untuk beribadah, yakni Kakbah di Mekkah. Di atasnya ada seorang pria yang tengah bersujud khusyuk meletakkan dahinya di permukaan sajadah, kedua telapak tangannya pun juga menyentuh kain sajadah yang bertekstur sangat lembut. Kedua matanya sudah memanas ingin mengeluarkan cairan beningnya, tetapi dia menahannya agar tidak keluar, pasalnya ini masih siang, bisa saja nantinya dia akan bertemu orang dan jejak bekas tangisnya masih nampak. Menangis itu wajar untuk semua manusia, baik laki-laki dan perempuan tidak ada pengecualian, pun bagi pria ini juga sama, dia pernah menangis kok seumur hidupnya selain masa kanak-kanak nya, yakni yang di garis bawahi ada ketika seorang perempuan terbaik dalam hidupnya setelah umi nya pergi meninggalkannya untuk selama-lamanya. Ingin sekali Ya'qub menangis kali ini bukan karena tertimpa kehilangan itu lagi di
"Gue dan lo tidak akan pernah menikah," tutur pria berambut hitam ikal itu, dari intonasi bicaranya kental sekali begitu dingin dan datar. "Ohh tidak tidak tidak, kita pasti menikah," balas gadis di depannya mantap dan berani. Dia sebenarnya cukup terkejut dengan gaya bahasa lawan bicara yang berdiri di depannya ini, biasanya pria ini menggunakan bahasa formal, paling tidak menggunakan saya dan anda, sebab aku dan kamu terasa tidak pernah terdengar, tetapi yang kali ini adalah lo gue, kata yang terasa cukup kasar untuk lelaki yang dikenali begitu nyaris sempurna keagamaannya, perihal adab kepada orang yang lebih tua, tata krama kepada yang lebih muda, sopan santun dengan yang seumuran. Termasuk perihal gaya bahasa Ya'qub begitu apik dan tertata, sopan dan begitu mempesona. "Minggir! Gue ada operasi!" tukas Ya'qub mengusir, pasalnya Hanna berdiri tepat di depan pintu, seandainya Hanna sedikit saja berada ketepi dan dia bisa lewat, maka bisa Ya'qub pastikan dia akan langsung saja berj
Tatapan curiga tepatnya menyelidik yang dilayangkan seseorang ke arahnya tidak terlalu membuat gadis bermata blue sapphire itu terganggu, hanya saja dia sedikit risih. Berhubung risih dia pun tidak mau membiarkan ditatap seperti itu lebih lama, Nayyara dengan segera memberikan pelototan mata. "Bukan urusan lo deh!" sentaknya, mencoba mengeluarkan sisinya yang urakan, bukan feminim seperti yang sekarang ini tengah terjadi, ini pun sebenarnya sangat sedikit. "Ciee, gue bakalan punya ponakan nih yee," goda pria di depannya bersenda gurau. Karakternya memang begini, suka bercanda dan melawak, pun Nayyara sendiri sebenarnya juga begitu, dia suka bercanda dan banyak bicara, sayangnya dia sedang tidak mood sekarang disebabkan kehabisan energi sekaligus juga pembahasannya ini yang terdengar begitu menyebalkan. Nayyara tau dan bisa menebak dengan jelas apa yang ada di pikirannya pria di depannya ini, Yusuf pasti berpikiran Nayyara tengah hamil makanya muntah-muntah di pagi hari begini, sepe
Bibir bawah seorang gadis berhijab hitam itu bergetar hebat mendengar kalimat dari seorang lelaki paruh baya barusan, ia merasa sudah tidak bisa lagi menahan untuk tidak memberikan teguran, bukan kepada lelaki paruh baya itu, tetapi kepada putranya lelaki tersebut, seorang pria muda yang duduk diam di pinggiran kasur rumah sakit. "Muhammad Ansel Zarawka!" pekik gadis itu kemudian. Sudah lekat dalam pengetahuan banyak orang ya kan bahwa jika seseorang menyebutkan nama lengkap seseorang, itu artinya dia ingin berbicara serius dan kalimatnya harus didengarkan. Itu pun juga termasuk dalam pengetahuannya Ansel dan sang papa, sebab mereka berdua juga sering melakukan itu, tepatnya sih papanya Ansel sering menyebutkan nama lengkapnya setiap kali mereka berdebat, terhitung tidak hanya sekali setiap perdebatan. Ansel tak suka nama nya baik nama panggilan terlebih lagi nama lengkap terlalu sering disebutkan oleh papanya, baginya mulut papanya tidak pantas mengucapkan namanya. Cukup kelewatan
Mulut seorang gadis yang berwarna merah muda itu sejak beberapa menit yang lalu tidak berhenti komat kamit bukan karena membaca mantra melainkan disebabkan menggerutu tanpa henti. "Waalaikumussalam, kunci rumah ada di nona?"Gelengan kepala gadis itu tampilkan setelah salamnya dijawab, dan dilempari pertanyaan. Ia sudah menghentikan kegiatan ngedumel unfaedah yang dirinya lakukan. "Ya ampun, nona, untung saya sudah datang, kalau saya belum datang, nona perlu hubungin den Ya'qub dulu supaya bisa masuk rumah," cerocos pembantu rumah tangga di rumahnya abi Yasser Ahnaf Al Lathif dan umi Yasmin Al Aziz ini, bibi Siti panggilannya kebiasaan. Memang benar apa yang diucapkan bibi Siti, biasanya beliau datang lebih siang daripada ini, hari ini sedang ada kemudahan saja di rumahnya beliau, makanya bisa datang sedikit lebih pagi. Jam segini memang sudah lewat jam sarapan, memang bukan bibi Siti yang menyiapkan sarapan, biasanya umi Yasmin memasak sendiri dan bibi Siti hanya bertugas beberes.
Setelah memegang pigura foto seorang gadis yang begitu cantik itu, tangan Nayyara rasanya tidak bisa untuk tidak menyalurkan kelembutan dalam memegangi pigura tersebut, rasanya begitu wajib baginya menjaga pigura agar tidak lecet sedikit pun. Dengan hati-hati Nayyara mendudukkan diri di pinggiran kasur besar kepunyaan Ya'qub, tidak lama setelah itu dirinya juga menjatuhkan punggungnya ke kasur dengan posisi kaki yang menjuntai ke bawah. Perlahan-lahan foto di pigura itu kembali ia tatap, setelahnya rasa kantuk menerjang kedua mata Nayyara, merasa tak mampu melawannya Nayyara memilih untuk mencoba tidur saja, toh dia juga sedang bingung harus melakukan apa, yang dirinya perlukan adalah bertemu dengan Ya'qub dan berbicara dengan pria itu, sayangnya sampai kini mereka belum bertemu, jadilah segala pembicaraan terpaksa Nayyara tahan. Nayyara tidak tahu apakah yang dia rasakan begitu melihat foto gadis ini adalah perasaan cemburu? Mengapa dia harus cemburu? Ya'qub bukan siapa-siapanya, j
Beberapa bulan kemudian... "Mama, umi? Ini bagusnya yang mana ya?" tanya Nayyara menunjuk sebuah rak yang tersusun beberapa baju bayi. "Kalau bayi baru lahir, baiknya gak usah pake baju yang begini," timpal umi Yasmin. "Bener, memakaikannya susah," sahut mamanya Nayyara menanggapi. Tiga orang wanita yang memiliki usia berbeda itu sedang recok di salah satu toko perlengkapan bayi di sebuah mall, usia kandungan Nayyara yang sudah memasuki tiga puluh minggu membuatnya dan para ibunya harus berbelanja kebutuhan bayinya dan Ya'qub. "Astaghfirullah!" pekik Nayyara kaget melihat keranjang belanja miliknya sudah berisi setengah penuh perlengkapan si kecil. "Kok udah penuh ya? Mama, umi! Ini keranjang kita kan, ya? Atau bukan? Kok udah berisi banyak banget?" tanyanya mencolek wanita paruh baya di sisinya agar memperhatikan sesuatu yang ia maksud. Tepat ketika dua wanita ibunya itu membalikkan badan tuk melihat keranjang, seorang pria berambut hitam ikal datang dengan tangan penuh barang
Beberapa hari kemudian... Rumah abi Yasser dan umi Yasmin sedang sepi-sepinya karena waktu memang menunjukkan tengah malam, kecuali sebuah kamar di lantai atas milik sang putra pertama, di sana cerocosan uring-uringan dari seorang perempuan memenuhi isi kamar. "Ihhh gak suka, ganti ganti!" suruh Nayyara kepada suaminya yang baru saja membalikkan badan ke arahnya. Perempuan berambut coklat terurai itu tengah duduk di sofa dengan bersedekap dada, posisi kakinya sekejap-sekejap berganti, kadang bersila kadang diluruskan. Sementara Ya'qub suaminya berdiri di depan lemari yang pintunya terbuka tidak kunjung ditutup sejak satu jam yang lalu. "Yang mana lagi, Nayya?" tanya Ya'qub bingung. Tepat tengah malam tadi, Nayyara membangunkan dirinya memintanya untuk memakai baju-bajunya, katanya Nayyara menginginkan melihat suaminya ini memakai pakaian yang beragam. "Baju kamu banyak tauk, cobalah pakai semuanya, aku mau liat!" Nyaris saja Ya'qub menganga mendengar penuturannya Nayyara, memak
Perasaan Nayyara campur aduk saat ini, biarpun sesuatu yang sudah lama dia inginkan, yakni bergenggaman tangan dengan Ya'qub suaminya sendiri, sudah tercapai, tetap saja ada suatu perkara lain yang membuatnya belum bisa untuk benar-benar senang. Bagaimana jika... Bagaimana jika... Sejak tadi kalimat berawalan dua kata diatas selalu terlintas di benaknya, ketimbang terpikir semua pertanyaan ketakutannya itu Nayyara ingin mencoba berfokus pada bagaimana caranya dia untuk tidak merisaukan semua itu. "Tenang, bumil tidak seharusnya risau," celetuk Ya'qub tiba-tiba membuka obrolan, membuat Nayyara segera menolehkan kepala ke arahnya. "Gak bisa," ungkap Nayyara jujur. "Tarik nafas, buang, lakukan beberapa kali sampai tenang." Ya'qub memberikan arahan berharap bisa menjadi solusi. Sesuai petunjuk dari suaminya, Nayyara pun melakukannya, setelah mulai tenang dia menimpali, "Kayak mau lahiran aja di suruh tarik dan buang nafas!""Emang mau lahiran sekarang?" tawar Ya'qub asal, moodnya s
"Kira-kira anak siapa itu?"Mendengar pertanyaan barusan membuat Nayyara menarik kemudian menghela nafasnya panjang, ia tidak diperkenankan untuk sakit hati atas pertanyaan itu, sebab ulahnya sendirilah yang memancing suaminya bisa bertanya demikian. Lalu, sebuah iPad mini dilemparkan Nayyara asal tetapi dia yakin akan mendarat di pahanya Ya'qub yang memang berposisi duduk. Di layar iPad itu sudah tampak suatu gambar yang ingin Nayyara tunjukkan pada Ya'qub, dia yakin pria itu bisa memahaminya sendiri tanpa harus dia jelaskan, sekarang mood Nayyara kembali berubah jadi malas bicara meniru Ya'qub. "Mengapa membuat drama ini?" tanya Ya'qub heran, sembari menscroll layar iPad tersebut. "Karena aku kesal," judes Nayyara. Krik... Krik... Setengah menit terjadi hening di ruang tamu apartemen itu, Nayyara enggan memulai pembicaraan lagi, dia ingin menunggu pria dingin ini lebih dulu bersuara. Bahkan, Nayyara juga membuang muka mengalihkan tatapannya dari sang suami. "Eh!" pekik Nayyar
"Kenapa mama biarin pria ini masuk sih, ma?" keluh Nayyara ketika melihat seorang pria muda berambut ikal berdiri di belakang mamanya. "Kalian harus bicara tau, Nay," sahut sang mama enteng. "Udah, ma, kita udah-""Belum semuanya," potong pria itu yang tidak lain adalah Ya'qub Lutfi Al Lathif. Dua kata yang Nayyara dengar itu sontak saja membuat hatinya bergetar, malangnya bukan bergetar karena baper ataupun bahagia, tetapi karena tegang takut Ya'qub menyampaikan sesuatu yang tidak dia inginkan. Bagaimana jika dia membicarakan tentang perceraian? batin Nayyara ketakutan. Jujur saja Nayyara belum siap tentang itu, sama sekali, di samping ada seseorang ini yang kehadirannya belum diketahui seorang pun terkecuali dirinya dan Allah Ta'ala. "Yasudah mama tinggal dulu, mama tau kalian berdua sudah dewasa, sudah bisa mengambil keputusan dengan bijak seharusnya, jangan sampai salah mengambil keputusan, itu saja pesan mama," timpal mamanya Nayyara, kemudian berlalu pergi. Tidak akan, ma,
Nayyara menggigit bibirnya sekuat mungkin agar suara tangisnya tidak terdengar, air matanya mungkin tidak akan sederas ini seandainya tidak mendengar satu kalimat lirih barusan, sekalipun dia dan suaminya terhalang sebuah pagar taman tidak membuat Nayyara tuli akan kalimat yang terucap dari bibirnya Ya'qub ternyata. Akhir-akhir ini Nayyara juga cukup moodyan, moodnya bisa berubah secepat dia mengedipkan mata, dan Nayyara tau kok mengapa dia begitu. Ternyata bawaan... Dengan segera dia menggelengkan kepala enggan semakin mengingat perkara itu lagi, ia tidak seharusnya terlalu bahagia takut nantinya akan jatuh pada relung kesedihan saja.Tidak seharusnya terlalu lama berada di sini takut nantinya malah diketahui pria yang dia hindari, Nayyara pun segera mengetikkan pesan kepada sopirnya untuk menjemputnya di taman ini. Posisi Ya'qub yang duduk di pinggiran jalan yang mana jalan tersebut mau tak mau harus dilewati Nayyara untuk pulang, membuat Nayyara kebingungan apakah dia harus menut
"Salah satu kewajiban seorang suami adalah memaafkan kesalahan istrinya, jika sang istri melakukan kesalahan maka seharusnya seorang suami menegurnya dan menasehatinya terlebih dahulu, jika tidak berdampak juga maka boleh memukulnya, dengan catatan tidak boleh memukul yang keras hingga memar dan menyakiti, ingat! Benar-benar tidak boleh! Pukulan yang dimaksudkan di sini pun tidak menggunakan telapak tangan, melainkan memakai benda berupa sikat gigi misalnya, nah itu dipukulkan ringan saja kepada istri, bukan dengan niatan menyakiti, tetapi niatan mendidik. Jadi ingat ya, semua ada tahapannya, pertama-tama ditegur, jika tidak mau juga kemudian dinasehati, masih tidak mempan baru dipukul yang sangat-sangat ringan!"Jleb... Semua kalimat dari seorang pria yang duduk di barisan terdepan dan menghadap ke arahnya serta seluruh jemaah yang lain membuat Ya'qub tertohok, hatinya tersentil dan dibuat bergetar, ia dibuat sadar akan kesalahannya. Saat ini pria itu sedang berada di sebuah masjid
Beberapa hari kemudian... Siang ataupun malam terasa begitu lambat berlalu dan juga seperti sangat monoton, seakan-akan tidak ada yang begitu menarik sejak hari itu, semenjak hari di mana Nayyara pergi darinya, dunia Ya'qub seperti dingin lagi, tampak tidak berwarna, bahkan akan terasa sangat membosankan juga seandainya Ya'qub tidak menyibukkan diri dengan fokus kepada pekerjaannya dan mengambil shift lebih banyak dari biasa. Nasehat ataupun semangat dari Yusuf, abi, dan umi pun tidak berdampak banyak pada Ya'qub, bukan nasehat mereka yang tidak bagus, tetapi mood Ya'qub saja yang amburadul sejak hari itu, dia belum siap melakukan perubahan karena bimbang harus melakukan perubahannya dari sisi mana terlebih dahulu, sekaligus takut juga salah berbuat. Ya'qub sedang lelah, sungguh, fisiknya tidak terlalu, tetapi hati dan pikirannya rasanya benar-benar semrawut, kalau dia sedang lelah ya biarpun satu dunia menyemangatinya tetap saja dia ingin beristirahat. Jadilah akhir-akhir ini Ya'q
"Foto apa ini? Siapa ini?" tanya Ya'qub to the point, begitu dia masuk ke kamarnya dan mendapati seorang perempuan yang jelas ia kenali berdiri di depan jendela. Perempuan itu menoleh ke arahnya dan mengulurkan tangan meminta diberikan handphone nya Ya'qub yang sedang menunjukkan suatu foto, tidak perlu mengelak Ya'qub pun menyerahkannya. Ekspresi gadis itu tidak terbaca saat menatap foto itu, arah pandangnya yang menunduk membuat Ya'qub tidak bisa membaca manik matanya. Beberapa detik setelahnya tiba-tiba saja Nayyara memeluk Ya'qub erat, membuat Ya'qub di posisinya mengernyitkan dahi keheranan dengan respon istrinya. "Ya, itu aku dan Arthan, oh ya aku punya cerita yang mau diceritakan sama kamu, suami istri seharusnya bersikap terbuka kan, rasanya momen itu begitu menyenangkan dan membuatku puas."Sebenarnya Ya'qub sudah mengerti dengan yang diucapkan Nayyara, tetapi dia memilih untuk bersikap sok bodoh dengan bertanya meminta diperjelas, lebih tepatnya ingin mengorek kejujuran,