Gadis bermata blue sapphire itu memutus kegiatan saling tatap dengan menolehkan wajahnya beserta tatapannya ke arah dua kasur yang bersisian, di sana terbaring masing-masing satu insan dengan saling berpandangan. "Mereka punya ruang sendiri untuk berduaan, akan kita tanggapi jika mereka memerlukan," kata Ya'qub menjelaskan situasi kedua orang tuanya. "Ya'qub? Apa abi dan umi mu bisa melakukan sholat sekarang?" Si empu nama yang di panggil itu tentu saja langsung berdiri sebab tahu seseorang yang menyebutkan namanya barusan bukanlah orang sembarangan, karena beliau adalah abi nya sendiri, maka dari itulah tidak seharusnya Ya'qub melambatkan menanggapi panggilan dari beliau dan memberikan jawaban lama jika orang tuanya bertanya."Tunggu dulu," ucap Ya'qub, bukan sebagai jawaban atas pertanyaan abi nya, melainkan berbicara kepada Nayyara, pria itu sampai mencondongkan badannya sebagai kode bahwa memang Nayyara yang dirinya ajak bicara. Setelahnya tanpa menunggu balasan dari orang yan
Gegara Ya'qub meninggalkannya duduk sendirian di sofa, yah walaupun masih seruangan dengan pria itu, tetapi posisi mereka yang berjauhan dan Ya'qub yang punya kesibukan mengurus kedua orang tuanya terlebih dahulu sekarang ini, Nayyara pun dibuat kembali tenggelam ke dunia memori otaknya, segala file-file masa lalunya seperti terbongkar habis tanpa pengecualian, luka-luka itu yang tidak pernah kering terasa kembali basah dan menyakiti, meski sebenarnya tidak ada yang memicu luka tersebut tampak kembali. Nayyara sendiri lah yang kembali datang kepada segala ruangan memori tersebut setelah ia melihat betapa harmonis nya keluarga suaminya. Tidak luput dari pandangannya Nayyara abi dan umi nya Ya'qub saling berpandangan setelah mereka selesai melaksanakan sholat shubuh katanya yang dibantu Ya'qub pula, Nayyara tidak melarang apalagi membatasi Ya'qub untuk mengutamakan keluarganya, silahkan saja, toh Nayyara juga tidak ada keluhan sekarang, dia sudah kenyang dan dirinya bisa kok duduk ante
Meskipun suaranya sangat pelan dan lirih, sekalipun juga kalimat yang keluar dari bibirnya terbata-bata, seakan-akan pria di hadapannya itu tidak akan pernah merasa tuli untuk mendengarnya, selamanya pun pendengarannya terasa tajam untuk mendengar kata apa pun yang terlontar dari bibir mungilnya. "Kok lo bicara gitu?" tanya pria yang mengenakan baju kaos lengan pendek berwarna coklat dengan nada menyelidik itu bercampur keheranan yang ia sembunyikan agar tidak terlalu nampak. Sadar telah melakukan kelalaian dengan tidak sengaja mengucapkan apa yang seharusnya ia ucapkan di dalam hati saja, gadis berambut coklat itu langsung mengalihkan pandangannya ke samping kiri agar tidak bertatapan langsung lagi dengan pria di depannya kini. Bukan masalah karena terlalu dekat, tetapi masalahnya sejauh pengalamannya pria di depannya ini senantiasa biasa membaca isi pikirannya bahkan isi hatinya hanya dengan bertatapan mata dengannya. Mungkin tingkat kemampuan membaca isi pikiran dan hati yang di
Klik... Baru saja suara pintu dikunci itu terdengar, spontan saja seorang pria yang duduk dengan kaki diletakkan lurus di atas meja kaca itu juga bersuara. "Kenapa kamu kunci? Lihatlah! Gadis ini belum kamu keluarkan?!" Sebelah tangan pria paruh baya itu tepatnya tangan kiri terangkat menunjuk seorang gadis yang ada di ruangan ini. "Dia tidak akan keluar, ia akan mendengarkan apa saja yang kita bicarakan," jawab datar pria yang mengunci pintu barusan. Ia duduk di pinggiran kasur rumah sakit ruangan VVIP yang sudah dirinya sewa selama beberapa waktu kedepan, setidaknya sampai kesembuhannya ia temukan. Muhammad Ansel Zarawka, Ahmad Naseh Zarawka, dan Medina Angkara, ketiga insan itulah yang kini berada di ruangan VVIP nomor 2 rumah sakit, hanya mereka bertiga, tidak ada suster, dokter, apalagi para asisten Ansel dan Naseh saja, semuanya tidak ada yang boleh masuk. Setelah berdebat cukup banyak di kantin rumah sakit dengan Ansel yang ngotot ingin membawa Medina ke ruangannya dan men
"Siapa ayah lo?"Dua kata pertanyaan itu terdengar begitu menginterogasi di telinganya Nayyara, ada rasa tidak nyaman yang ia rasa, tetapi kapanpun itu pertanyaan seperti barusan pasti kelak akan ia dengar. Bersyukur nya bagi Nayyara posisi duduknya dengan lawan bicaranya tidak berhadap-hadapan, melainkan bersisian, sehingga mata mereka tidak akan benar-benar bertemu tatap, dan begitu mudah bagi Nayyara untuk mengalihkan pandangan dari tatapannya Ya'qub. Posisi bersisian itu tidak membuat Ya'qub tidak melihat wajah Nayyara, nyatanya pria pemilik rambut hitam bertekstur ikal itu menolehkan wajahnya sempurna ke arah Nayyara. "Lo tidak perlu tahu," jawab Nayyara acuh. "Bukankah kita sudah berjanji di awal untuk saling jujur dan memberikan jawaban yang akurat serta terbuka ketika ditanyai lawan bicaranya? Jika lo melanggar lebih dulu, maka jangan salahkan gue menyampaikan jawaban yang tidak benar juga tatkala lo bertanya nanti," tutur Ya'qub panjang lebar. "Doyam!" sentak Nayyara, ia
Kalimat yang terdengar begitu jelas di telinganya karena orang yang berucap itu berbisik kepadanya seperti berhasil membuat Ya'qub tersetrum petir di siang bolong. Ada sudut hati yang tidak pernah menyangka akan mendengar suatu ungkapan begitu tetapi hari ini detik ini mendengarnya sempurna. Nayyara membenci ayahnya. Suatu kalimat yang terucap dari bibir sang anak langsung yang mengungkapkan perasaannya terhadap orang tuanya. Memiliki sosok ayah seperti abi Yasser yang terkadang dingin terkadang hangat persis seperti sifat yang dimiliki Ya'qub dengan Yusuf, membuat Ya'qub tidak merasa tertekan sama sekali. Dinginnya sifat seseorang menurut Ya'qub tidak membuatnya kepikiran, terlebih lagi jika dingin ataupun cuek orang itu tidak gegara kesalahannya, maka Ya'qub pun santai saja. Pun dirinya juga tidak ngelunjak berharap memiliki sosok ayah yang punya sifat hangat, bagi Ya'qub punya ayah yang penyayang kepada keluarga pun sudah cukup, mengenai bagaimana bersifat, dingin atau hangat it
"Berarti orang yang berjabat tangan dengan gue di hari akad nikah bukanlah ayah kandung lo?" selidik Ya'qub terasa ketar ketir. Bukannya apa-apa, dia hanya sedang terbayang segala momen kedekatannya dengan Nayyara, jikalau... "Tentu saja, papa gue kan sudah mati, ya kali dia menjabat tangan lo dan nikahin kita?" ketus Nayyara, tidak pernah suka membahas mengenai ayahnya. Mendengar kalimat itu Ya'qub segera bangkit dari duduknya dan berjalan mengambil sebuah kursi lipat di pojok ruangan, pria itu membukanya dan kemudian meletakkannya di depan Nayyara, setelahnya ia mendudukinya, posisinya dengan Nayyara telah usai duduk bersisian, sekarang mereka tidak lagi sedekat tadi, hanya berhadapan. "Berarti pernikahan kita tidak sah..." Ya'qub menggantungkan kalimat dan mengalihkan pandangannya menatap jendela ruangan yang sudah dibuka gorden nya setengah, sehingga cahaya matahari sedikit masuk. Ada perasaan berat yang dia rasakan begitu mengucapkan kalimat barusan, masih ada kalimat yang ing
Dua insan yang status pasangan keduanya masih dipertanyakan itu duduk berhadapan, jarak mereka tidak terlalu dekat tidak pula berjauhan, sebatas cukup untuk saling mendengar omongan satu sama lain saja tanpa perlu mengulang kalimat. Dua-duanya sama-sama melayangkan tatapan kosong, tetapi tidak ke arah manik mata masing-masing, melainkan menatap ke arah lain. "Namanya..."Untuk yang kesekian kalinya perkataan Nayyara menggantung, memang kata di atas bukan pertama kalinya Nayyara membuka suara, tetapi sudah beberapa kali mungkin sekitaran sudah tiga kalian dan ini yang keempat. Laki-laki berambut warna hitam ikal di depannya itu pun juga tidak memaksa untuk cepat mendengar penuturan dari Nayyara, pria itu dengan sabar menunggu sampai Nayyara siap dan berucap sendiri, Ya'qub tau gadis itu masih merasa berat makanya tidak langsung siap. Brak! "Namanya Ahmad Naseh Zarawka!" pekik Nayyara kaget dan tidak sengaja langsung mengucapkan sesuatu yang ada di pikirannya, yakni nama sang papa.
Beberapa bulan kemudian... "Mama, umi? Ini bagusnya yang mana ya?" tanya Nayyara menunjuk sebuah rak yang tersusun beberapa baju bayi. "Kalau bayi baru lahir, baiknya gak usah pake baju yang begini," timpal umi Yasmin. "Bener, memakaikannya susah," sahut mamanya Nayyara menanggapi. Tiga orang wanita yang memiliki usia berbeda itu sedang recok di salah satu toko perlengkapan bayi di sebuah mall, usia kandungan Nayyara yang sudah memasuki tiga puluh minggu membuatnya dan para ibunya harus berbelanja kebutuhan bayinya dan Ya'qub. "Astaghfirullah!" pekik Nayyara kaget melihat keranjang belanja miliknya sudah berisi setengah penuh perlengkapan si kecil. "Kok udah penuh ya? Mama, umi! Ini keranjang kita kan, ya? Atau bukan? Kok udah berisi banyak banget?" tanyanya mencolek wanita paruh baya di sisinya agar memperhatikan sesuatu yang ia maksud. Tepat ketika dua wanita ibunya itu membalikkan badan tuk melihat keranjang, seorang pria berambut hitam ikal datang dengan tangan penuh barang
Beberapa hari kemudian... Rumah abi Yasser dan umi Yasmin sedang sepi-sepinya karena waktu memang menunjukkan tengah malam, kecuali sebuah kamar di lantai atas milik sang putra pertama, di sana cerocosan uring-uringan dari seorang perempuan memenuhi isi kamar. "Ihhh gak suka, ganti ganti!" suruh Nayyara kepada suaminya yang baru saja membalikkan badan ke arahnya. Perempuan berambut coklat terurai itu tengah duduk di sofa dengan bersedekap dada, posisi kakinya sekejap-sekejap berganti, kadang bersila kadang diluruskan. Sementara Ya'qub suaminya berdiri di depan lemari yang pintunya terbuka tidak kunjung ditutup sejak satu jam yang lalu. "Yang mana lagi, Nayya?" tanya Ya'qub bingung. Tepat tengah malam tadi, Nayyara membangunkan dirinya memintanya untuk memakai baju-bajunya, katanya Nayyara menginginkan melihat suaminya ini memakai pakaian yang beragam. "Baju kamu banyak tauk, cobalah pakai semuanya, aku mau liat!" Nyaris saja Ya'qub menganga mendengar penuturannya Nayyara, memak
Perasaan Nayyara campur aduk saat ini, biarpun sesuatu yang sudah lama dia inginkan, yakni bergenggaman tangan dengan Ya'qub suaminya sendiri, sudah tercapai, tetap saja ada suatu perkara lain yang membuatnya belum bisa untuk benar-benar senang. Bagaimana jika... Bagaimana jika... Sejak tadi kalimat berawalan dua kata diatas selalu terlintas di benaknya, ketimbang terpikir semua pertanyaan ketakutannya itu Nayyara ingin mencoba berfokus pada bagaimana caranya dia untuk tidak merisaukan semua itu. "Tenang, bumil tidak seharusnya risau," celetuk Ya'qub tiba-tiba membuka obrolan, membuat Nayyara segera menolehkan kepala ke arahnya. "Gak bisa," ungkap Nayyara jujur. "Tarik nafas, buang, lakukan beberapa kali sampai tenang." Ya'qub memberikan arahan berharap bisa menjadi solusi. Sesuai petunjuk dari suaminya, Nayyara pun melakukannya, setelah mulai tenang dia menimpali, "Kayak mau lahiran aja di suruh tarik dan buang nafas!""Emang mau lahiran sekarang?" tawar Ya'qub asal, moodnya s
"Kira-kira anak siapa itu?"Mendengar pertanyaan barusan membuat Nayyara menarik kemudian menghela nafasnya panjang, ia tidak diperkenankan untuk sakit hati atas pertanyaan itu, sebab ulahnya sendirilah yang memancing suaminya bisa bertanya demikian. Lalu, sebuah iPad mini dilemparkan Nayyara asal tetapi dia yakin akan mendarat di pahanya Ya'qub yang memang berposisi duduk. Di layar iPad itu sudah tampak suatu gambar yang ingin Nayyara tunjukkan pada Ya'qub, dia yakin pria itu bisa memahaminya sendiri tanpa harus dia jelaskan, sekarang mood Nayyara kembali berubah jadi malas bicara meniru Ya'qub. "Mengapa membuat drama ini?" tanya Ya'qub heran, sembari menscroll layar iPad tersebut. "Karena aku kesal," judes Nayyara. Krik... Krik... Setengah menit terjadi hening di ruang tamu apartemen itu, Nayyara enggan memulai pembicaraan lagi, dia ingin menunggu pria dingin ini lebih dulu bersuara. Bahkan, Nayyara juga membuang muka mengalihkan tatapannya dari sang suami. "Eh!" pekik Nayyar
"Kenapa mama biarin pria ini masuk sih, ma?" keluh Nayyara ketika melihat seorang pria muda berambut ikal berdiri di belakang mamanya. "Kalian harus bicara tau, Nay," sahut sang mama enteng. "Udah, ma, kita udah-""Belum semuanya," potong pria itu yang tidak lain adalah Ya'qub Lutfi Al Lathif. Dua kata yang Nayyara dengar itu sontak saja membuat hatinya bergetar, malangnya bukan bergetar karena baper ataupun bahagia, tetapi karena tegang takut Ya'qub menyampaikan sesuatu yang tidak dia inginkan. Bagaimana jika dia membicarakan tentang perceraian? batin Nayyara ketakutan. Jujur saja Nayyara belum siap tentang itu, sama sekali, di samping ada seseorang ini yang kehadirannya belum diketahui seorang pun terkecuali dirinya dan Allah Ta'ala. "Yasudah mama tinggal dulu, mama tau kalian berdua sudah dewasa, sudah bisa mengambil keputusan dengan bijak seharusnya, jangan sampai salah mengambil keputusan, itu saja pesan mama," timpal mamanya Nayyara, kemudian berlalu pergi. Tidak akan, ma,
Nayyara menggigit bibirnya sekuat mungkin agar suara tangisnya tidak terdengar, air matanya mungkin tidak akan sederas ini seandainya tidak mendengar satu kalimat lirih barusan, sekalipun dia dan suaminya terhalang sebuah pagar taman tidak membuat Nayyara tuli akan kalimat yang terucap dari bibirnya Ya'qub ternyata. Akhir-akhir ini Nayyara juga cukup moodyan, moodnya bisa berubah secepat dia mengedipkan mata, dan Nayyara tau kok mengapa dia begitu. Ternyata bawaan... Dengan segera dia menggelengkan kepala enggan semakin mengingat perkara itu lagi, ia tidak seharusnya terlalu bahagia takut nantinya akan jatuh pada relung kesedihan saja.Tidak seharusnya terlalu lama berada di sini takut nantinya malah diketahui pria yang dia hindari, Nayyara pun segera mengetikkan pesan kepada sopirnya untuk menjemputnya di taman ini. Posisi Ya'qub yang duduk di pinggiran jalan yang mana jalan tersebut mau tak mau harus dilewati Nayyara untuk pulang, membuat Nayyara kebingungan apakah dia harus menut
"Salah satu kewajiban seorang suami adalah memaafkan kesalahan istrinya, jika sang istri melakukan kesalahan maka seharusnya seorang suami menegurnya dan menasehatinya terlebih dahulu, jika tidak berdampak juga maka boleh memukulnya, dengan catatan tidak boleh memukul yang keras hingga memar dan menyakiti, ingat! Benar-benar tidak boleh! Pukulan yang dimaksudkan di sini pun tidak menggunakan telapak tangan, melainkan memakai benda berupa sikat gigi misalnya, nah itu dipukulkan ringan saja kepada istri, bukan dengan niatan menyakiti, tetapi niatan mendidik. Jadi ingat ya, semua ada tahapannya, pertama-tama ditegur, jika tidak mau juga kemudian dinasehati, masih tidak mempan baru dipukul yang sangat-sangat ringan!"Jleb... Semua kalimat dari seorang pria yang duduk di barisan terdepan dan menghadap ke arahnya serta seluruh jemaah yang lain membuat Ya'qub tertohok, hatinya tersentil dan dibuat bergetar, ia dibuat sadar akan kesalahannya. Saat ini pria itu sedang berada di sebuah masjid
Beberapa hari kemudian... Siang ataupun malam terasa begitu lambat berlalu dan juga seperti sangat monoton, seakan-akan tidak ada yang begitu menarik sejak hari itu, semenjak hari di mana Nayyara pergi darinya, dunia Ya'qub seperti dingin lagi, tampak tidak berwarna, bahkan akan terasa sangat membosankan juga seandainya Ya'qub tidak menyibukkan diri dengan fokus kepada pekerjaannya dan mengambil shift lebih banyak dari biasa. Nasehat ataupun semangat dari Yusuf, abi, dan umi pun tidak berdampak banyak pada Ya'qub, bukan nasehat mereka yang tidak bagus, tetapi mood Ya'qub saja yang amburadul sejak hari itu, dia belum siap melakukan perubahan karena bimbang harus melakukan perubahannya dari sisi mana terlebih dahulu, sekaligus takut juga salah berbuat. Ya'qub sedang lelah, sungguh, fisiknya tidak terlalu, tetapi hati dan pikirannya rasanya benar-benar semrawut, kalau dia sedang lelah ya biarpun satu dunia menyemangatinya tetap saja dia ingin beristirahat. Jadilah akhir-akhir ini Ya'q
"Foto apa ini? Siapa ini?" tanya Ya'qub to the point, begitu dia masuk ke kamarnya dan mendapati seorang perempuan yang jelas ia kenali berdiri di depan jendela. Perempuan itu menoleh ke arahnya dan mengulurkan tangan meminta diberikan handphone nya Ya'qub yang sedang menunjukkan suatu foto, tidak perlu mengelak Ya'qub pun menyerahkannya. Ekspresi gadis itu tidak terbaca saat menatap foto itu, arah pandangnya yang menunduk membuat Ya'qub tidak bisa membaca manik matanya. Beberapa detik setelahnya tiba-tiba saja Nayyara memeluk Ya'qub erat, membuat Ya'qub di posisinya mengernyitkan dahi keheranan dengan respon istrinya. "Ya, itu aku dan Arthan, oh ya aku punya cerita yang mau diceritakan sama kamu, suami istri seharusnya bersikap terbuka kan, rasanya momen itu begitu menyenangkan dan membuatku puas."Sebenarnya Ya'qub sudah mengerti dengan yang diucapkan Nayyara, tetapi dia memilih untuk bersikap sok bodoh dengan bertanya meminta diperjelas, lebih tepatnya ingin mengorek kejujuran,