"Jadi, Abang nggak keberatan tinggal di sini?" Naya bertanya pada suaminya dengan pandangan yang masih mengelilingi sekitar kosan yang kami tempati.Beberapa kali tatapannya tertuju pada tumpukan baju kering yang belum sempat aku lipat dan setrika, juga beberapa sisa jajanan yang kami beli di pasar malam. Harus diakui, gara-gara Khalid semalam, kami bangun kesiangan bahkan sampai terlambat salat subuh. Pekerjaan rumah belum sempat kukerjakan, karena tiba-tiba kedatangan tamu tak diundang."Kalau dia keberatan, mungkin dari awal juga udah minggat," cibirku seraya menyodorkan teh manis dan kaleng berisi biskuit ke hadapan Naya."Nindi ...." Khalid menatapku dengan nada memeringati, tapi jelas aku tak peduli.Perempuan berjilbab dalam balutan tunik dan celana cutbray yang tampak elegant itu hanya bisa menundukan pandangan."Kayaknya Nindi yang bikin Abang betah di sini, sampe kadang lupa menghubungi." Dia melanjutkan dengan seulas senyum yang dipaksakan."Lebih tepatnya demi bayi di kand
Di dapur, aku masih bisa mendengar percakapan mereka tentang segala hal yang terjadi akhir-akhir ini. Naya yang bercerita dengan antusias tentang kondisinya yang terus membaik, tentang orang tua Khalid, tentang kabar Neli dan Mbok Warmi, bahkan tentang usaha kerasnya dalam belajar memasak.Sementara itu Khalid juga tak mau kalah menceritakan tentang kegiatannya selama tinggal di sini. Bersosialisasi dengan berbagai jenis manusia yang belum pernah dia hadapi sebelumnya, hidup sederhana, bahkan berpergian hanya dengan kendaraan roda dua. Tentu saja dia mengecualikan malam-malam panas yang sudah kami lewati beberapa waktu terakhir ini. Kalau hal itu sampai dia ceritakan, mungkin tanduk yang tersembunyi di balik jilbab Naya sudah mencuat keluar."Nin, boleh ikut ke toilet?" Panggilan itu tiba-tiba menyentak lamunan kotorku tentang malam panjang yang sudah aku dan Khalid lewati hingga terlambat bangun pagi."Boleh, tuh WC-nya. Jangan lupa siram!" Kutunjuk kamar mandi yang pintunya terbuka
Tiga hari setelah kepergiaan Bang Khalid yang menyusul Nindi ke Jakarta. Bunda tiba-tiba datang dan menangis dalam pelukan. Dia bercerita kalau setelah status Nindi terbongkar hubungannya dan Ayah tak lagi sama, ikatan yang sebelumnya memang sudah mengendur, sepertinya akan benar-benar lebur.Aku tak bisa menyalahkan salah satu di antara mereka, atau pun berusaha keras mempertahankan keluarga kami tetap berjalan semestinya. Karena saat memutuskan untuk membongkar indentitas Nindi di hadapan Ayah dan Bunda, aku memang sudah siap untuk risiko terburuknya. Di umur yang hampir menginjak dua puluh sembilan sekarang, sepertinya aku tak terlalu asing dengan kata cerai. Bila memang itu yang terbaik untuk mereka, kenapa tidak? Daripada terus-menerus berada dalam pusara luka masa lalu atau terpaksa mempertahankan pernikahan yang sudah tak dikehendaki keduanya.Aku rasa dua puluh lima tahun sudah lebih dari cukup bagi Ayah dan Bunda membohongi diri masing-masing. Sudah saatnya mereka menata hidu
Keputusanku untuk datang ke Jakarta ternyata sudah benar. Aku tak mau celah yang terbuka itu semakin lebar dan membuatku semakin menyesal.Cukup mudah melacak lokasi indekos di daerah padat penduduk seperti Jakarta Pusat khususnya Kemayoran. Dari bandara aku hanya perlu menempuh tiga puluh menit perjalanan menggunakan taksi. Kuperhatikan sekitar pemukiman yang ramai. Untukku yang suka ketenangan jelas tempat ini kurang nyaman. Aku juga sangat tahu Bang Khalid luar dan dalam. Lelaki itu sangat pemilih bahkan untuk urusan tempat dan makanan. Kami pernah sekali menginap di sebuah vila karena perjalanan bisnis mengharuskan. Dan suamiku itu demam sampai dua hari dua malam karena tak cocok dengan lingkungan dan airnya.Aku heran bagaimana bisa Bang Khalid mudah beradaptasi di tempat ini? Tok! Tok! Tok!Kuketuk pintu yang hanya berukuran kurang lebih 1,8 meter di hadapan. Melihat pintu tua ini aku jadi membayangkan tinggi Bang Khalid yang bisa dibilang sama.Ceklek!Pintu terbuka. Terliha
"I am home!" Roy tiba-tiba muncul beberapa saat setelah Khalid dan Naya pergi meninggalkan kosan. Selain tulang lunak, panggilan yang cocok untuknya memang Jelangkung. Datang tak diundang, pulang minta traktir."Ada apenih? Asem banget tuh muka kayak ketek kena matahari!"Aku memutar bola mata, dan melanjutkan melipat pakaian di ruang tamu menghadap TV yang tengah menyiarkan berita."Lu nggak liat yang mulia ratu baru aja bawa rajanya pergi?""Demi?" Roy melotot. Seketika dia mengempaskan bokong di sisiku. "Kapan si Naya ke sini?""Tadi pagi, numpang makan, ngomel, terus bawa Khalid pergi.""Dih, belum juga sebulan. Mpoksesip amat jadi orang. Lupa kali kalau lakinya udah siko bagi duo!"Kulempar wajahnya dengan selembar dalaman."Yey, gue mah bener kali. Sesuai kesepakatan, kan harusnya dia adil membagi peran. Perasaan sama si Naya Khalid udah tiga minggu, masa sama lu baru seminggu udah disusulin.""Bodo amat, ah. Nggak usah bahas lagi mereka. Mending lu beli martabak, gih! Ketan sa
Aku tertegun, entah kenapa apa yang Roy katakan hampir semua benar. Melihat nasib yang dialami dari mulai lahir sampai saat ini, aku belum benar-benar bisa menerima takdir. Menerima keberadaanku sebagai anak yang terbuang, sebagai benih dosa dari perselingkuhan, dan sebagai sampah masyarakat yang mencari nafkah dari menjual selangkangan.Aku tak pernah bisa benar-benar mencintai diriku, mencintai apa yang Tuhan anugerahkan, meski di luar banyak yang menginginkan paras dan tubuh seperti ini.Semua memang harus dimulai dariku, perubahan memang selalu datang dari diri sendiri."Ah, masa?" Sepanjang ceritanya, aku hanya bisa menanggapi dengan ejekan."Iya, Pea!" Roy yang tampak kesal, langsung menoyor kepalaku yang berada tepat di hadapan.Aku hanya bisa terkekeh pelan. Kemudian merenung sejenak sebelum melanjutkan."Ngomong-ngomong kabar Emak lu gimana? Gue denger baru-baru ini gula darahnya naik karena beliau sempet meriang.""Udah baikan, baru tadi pagi gue anter buat beli stok insulin
"Hape yang kemarin, kan nggak sengaja aku jatohin. Jadi, Abang pake aja yang ini!" Kusodorkan ponsel baru dengan merk dan tipe yang sama pada Bang Khalid yang tengah duduk di tepi kolam berenang, memangku laptop, menyelesaikan pekerjaan yang sempat terbengkalai sepekan terakhir, karena sepertinya dia lebih sibuk dengah hal lain saat bersama Nindi.Dia mengambil-alih benda pipih tersebut dari tanganku, kemudian mulai memeriksa data eksternal dan internal juga akun google yang dipakai untuk log in."Kok, semua data dari memori card-nya ilang? Nomber kontak? foto? Mana Abang simpen nomber orang-orang deket sama foto-foto pribadi di memori ini." Dahinya bertautan. Bang Khalid menatapku penuh tuntutan."Maaf, nggak sengaja ke-reset." Kutautkan kedua tangan, dan menunduk kemudian."Apa?" Dia tampak memastikan, hingga refleks meletakkan laptop dari pangkuan. "Kok, bisa?""Namanya juga nggak sengaja. Ya, aku juga nggak tahu sebabnya. Lagian di hape itu aku liat kontaknya cuma sepuluh biji, ga
"Apa yang kamu pake, Nay?" Bang Khalid mengusap wajah sesaat setelah keluar dari kamar mandi begitu melihatku duduk bersandar di tepi ranjang."Lingerie."Dia menghela napas gusar, lalu meraih sepasang piama dari lemari, kemudian berjalan menghampiri."Sebelumnya kamu nggak pernah begini. Udah, nggak usah aneh-aneh, Nay. Nanti masuk angin. Abang suka kamu yang apa adanya." Dia pasangkan atasan piama tersebut untuk memutup tubuhku yang sebelumnya terekspos."Tapi, Abang suka Nindi yang ada apanya, kan?" sahutku kemudian.Gerakannya yang tengah mengancing piama terhenti. "Kenapa jadi bahas Nindi?""Karena dari sisi mana pun dia lebih unggul dari aku!""Astagfirullah, Nay. Nggak ada yang minta kamu buat bandingin diri. Kalian punya kelebihan dan kekurangan masing-masing. Lagian Nindi nggak pernah pake yang beginian di depan Abang. Dia malah lebih sering dasteran.""Tapi, Abang suka, kan? Bahkan saat dia cuma dasteran pasti keliatan lebih menggoda dan seksi, ka--""Naya!" Aku tersentak sa