POV Angga.Aku menjemput ibu pulang, karena Martina menelpon. Katanya Mami sehari ini sampai minum obat sakit kepala dua kali, karena pusing melihat tingkah absurd Ibu. Serba bingung rasanya, aku faham betul gimana Ibu. Enak nggak enak, aku mengajak Ibu pulang, dari Pada Mami over dosis. Mumpung, lagi waktunya jam istirahat jadi aku bisa menjemput ibu. Karena nggak mungkin Martina mau mengantar Ibu pulang. Selain perutnya juga sudah besar, bisa-bisa ibu salah tanggap nanti.Ibu juga selalu menyindir-nyindir tentang pembantu. Harusnya ibu tahu seberapa gajiku. Hanya sekedar sopir pribadi. Untuk memenuhi kebutuhan rumah selama sebulan saja sudah untung. Gitu masih mau bayar gaji ART? mau makan apa?Aku sebenarnya kasihan dengan Ibu, yang tinggal sendirian di rumah Martina. Karena ibu itu sebenarnya penakut. Apalagi setelah kejiwaannya terganggu. Ibu semakin parah. Halusinasinya tinggi banget. Tapi gimana lagi? kasihan Martina juga kalau tinggal di sana. Perutnya juga semakin membesar.
POV DEWI“Mas, aku kok pengen rujak yang ada di ujung jalan poros itu, ya,” ucapku dengan liur yang kemecer dan menelannya. Membayangkan kayaknya enak banget. Mas Romi mendekat.“Ngidam?” tanya Mas Romi seraya mengelus perutku. Masih merasakan desiran yang sama. Hati ini masih saja berdesir jika Mas Romi menyentuh badanku.“Nggak tahu nyidam apa nggak, yang jelas yang ada di pikiran membayangkan rujak yang ada di ujung jalan poros itu, kok, enak banget ya. Sampai kemecer ini liur,” jawabku. Kemudian dia tertawa. Mengecup keningku beberapa detik. Kemudian juga mencium perutku beberapa detik.“Haduh, anak Papa pengen rujak? Apa Mama ini yang pengen, ya?” ucap Mas Romi seakan mengajak anaknya bicara. Ada-ada saja.“Mas mau beliinkan?” tanyaku. Dia semakin melebarkan tawanya.“Ya, jelas mau lah sayang, mau di belikan apa ikut?” jawab dan tanya Mas Romi seraya membelai rambutku. Dia memang seperti itu. Aku merasa wanita paling beruntung memilikinya. Cuma ada satu yang aku nggak suka dariny
POV ANGGAIbu di temukan pingsan oleh Pak RT di teras rumah, pagi ini. Nggak tahu masalahnya apa? Karena ibu juga baru saja sadar dan belum bisa di tanya-tanya. Seperti orang linglung.“Bu?” sapaku seraya memegang tangannya. Ibu masih terdiam, tatapan matanya kosong. Aku jadi sangat menyesal, tak menemani ibu tadi malam.“Kasihan ibumu, Ga! harusnya kamu sebagai anak satu-satunya, harusnya bisa jagain ibumu,” celetuk Pak Rt seakan menamparku. Iya, bener yang di bilang Pak Rt. Aku anak semata wayang ibu. Laki-laki lagi. Tapi, tadi malam aku malah mementingkan Martina yang jelas-jelas di rumah Mami banyak orang. Sedangkan ibu sendirian di rumah ini.“Iya, Pak. Istri saya hamil tua, nggak tega juga ninggalin dia. Karena dia ingin lahiran di rumah orang tuanya sendiri,” balasku. Pak Rt hanya mengangguk-angguk saja, mendengar ucapanku.“Iya, Ga. tapi kasihan ibumu sampai pingsan di teras. Mungkin dia ketakutan hingga tidur di teras,” ucap Pak RT. Mendengar ucapan Pak RT, aku jadi menginga
POV DEWI“Anu kenapa, Bi?” tanyaku penasaran dengan ucapan Bi Yuli. Mas Romi masih menenangkan anaknya.“Tadi merengek-rengek minta ke rumahmu, Mbak, terus aku bentak,” celetuk Rizka keluar dari dalam. Aku mengerutkan kening. Ku lihat Bi Yuli, langsung menuju ke luar rumah, mungkin mau melanjutkan tugasnya tadi.“Kenapa nggak telpon Mas Romi, biar di jemput, kasihankan di bentak,” ucapku, seraya memandang Mila yang masih sesenggukkan di pelukkan Papanya. Rizka duduk di kursi yang tak jauh dari kami.“Aku nggak enak sama kamu, Mbak. Mbakkan lagi hamil, apalagi Mbak juga masih mual muntah, aku nggak enak sama Mbak, kalau ada Mila di sana,” jawab Rizka. “Ya Allah Rizka, Mbak ini sudah menganggap Mila seperti anak Mbak sendiri, jadi jangan merasa nggak enak kayak gitu,” ucapku. Rizka terdiam.“Kangen sama Mama Dewi?” tanya Mas Romi ke Mila yang masih dalam pelukkannya. Mila mengangguk. Seraya menyeka air mata di bantu oleh Papanya.“Mama Dewikan sudah ada di sini, peluk dong!” ucap Mas R
Part 21POV MARTINASebenarnya malas berhubungan dengan Ibu. Tapi, karena nggak tega juga dengan Mas Angga, akhirnya mau juga ngerawat Ibu yang stres ini. Sebagai balas budi juga kepada Mas Angga yang telah mau menutupi aibku.“Mbak saya pulang dulu, ya! Nanti kalau ada apa-apa bisa hubungi saya,” ucap Pak RT pamit seraya beranjak.“Iya, Pak. Makasih ya, Pak, sudah menjaga mertua saya,” balasku.“Sama-sama, Mbak,” ucap Pak RT seraya keluar. Aku mengantarnya sampai pintu. Mas Angga, aku sampai langsung berangkat ke tempat kerjanya. Katanya udah telat. Makanya terburu-buru. Setelah sekian menit barulah Pak RT yang pamit. Sekarang tinggal aku dan Ibu. Melihat Ibu terdiam dengan tatapan mata kosong, kasihan sebenarnya. Aku sendiri juga bingung sebenarnya. Nggak tahu mau ngapain. “Ibu udah sarapan?” tanyaku dari pada diam saja. Dia masih terdiam, melihatku saja tidak. Tatapan matanya lurus ke depan. Entahlah, dia mendengar suaraku atau tidak. “Ibu mau sarapan apa?” aku terus bertanya w
Part 22POV Angga“Loh, Ga! apa kabar?” pundakku terasa ada yang menepuk. Seketika aku menoleh. Mataku menyipit. “Rama apa Romi?” tanyaku, dia menyeringai seraya menepuk pundakku lagi.“Aku Rama,” jawabnya. Kuamati bajunya. Iya, dia nggak bohong. Dia Rama, karena cowok yang mirip dengannya saat bersama Dewi tadi bajunya berbeda. Nggak mungkin juga dalam satu waktu bisa di dua tempat.“Owh, kabar baik, kamu sendiri apa kabar?” tanyaku balik. Seraya berjabat tangan khas lelaki.“Kabarku juga baik, lagi beliin susu buat anak,” jawabnya seraya menunjukkan susu. Aku tersenyum.“Kamu sendiri beli apa?” tanyanya, aku menunjukkan susu buat Baby Hana.“Sama beli susu juga,” jawabku. Dia melipatkan keningnya.“Udah punya anak sekarang?” tanyanya lagi. Aku tersenyum.“Ini di suruh Bos, anakku belum lahir, masih dalam perut,” jawabku. Biar sajalah, walau itu bukan anakku. Nggak mungkin juga aku mau ngomong itu bukan anakku. Malu juga.“Owh, istrimu udah hamil, sama kayak Dewi,” jawab Rama.“Iya,
part 23POV ANGGA“Ibu!!!” teriakku saat mata ini melihat Ibu sedang melempar gelas suka-suka. Kulihat Martina lagi duduk seraya memegangi perutnya. Matanya terpejam.“Cukup, Bu!! ibu kenapa?” tanyaku dengan nada membentak. Martina diam saja. Masih dengan hal yang sama, memegangi perutnya.“Dasar anak nggak berguna, gara-gara kamu nggak mau nemeni Ibu tadi malam, hingga ibu pingsan di teras karena ketakutan,” sungutnya. Kulihat lantai rumah sudah berantakkan. Berantakkan pecahan gelas beling.“Ibu maafkan Angga. Tapi, tolong fahami kondisi Angga, Angga juga nggak tega membiarkan Martina sendirian di saat hamil tua seperti itu,” jawabku.“Kamu lebih mementingkan perempuan itu dari pada Ibu? sakit hati Ibu, Ga!” sungut Ibu semakin menjadi.“Terus Angga harus bagaimana?” tanyaku bingung.“Kalau kamu tetap mau tinggal di rumah mertuamu, kamu harus mencarikan ibu teman di rumah ini. Carikan ibu ART,” ucap ibu menegaskan. Kuusap wajahku yang terasa kusut. Kulirik Martina, dia hanya terdiam.
Part 24POV DEWI“Ma, mila laper,” ucap Mila saat terbangun dari tidurnya. Aku tersenyum, Mila membalas senyumanku. Hangat sekali. Ikatan hati dengan Mila semakin kuat. Walau dia tak terlahir dari rahimku, juga tak ikut mengasuhnya dari bayi. Tapi, hati ini sangat menyayangi dia.“Cuci muka dulu, ya, baru makan, biar seger,” ucapku, seraya membantunya duduk. Badannya masih lemas karena bangun tidur.“Anak Papa udah bangun,” ucap Mas Romi seraya mencubit gemes pipinya. Mas Romi lebih dari aku sayangnya ke Mila. Secara Mas Romi dan Rama sama-sama mengasuh Mila dari dalam perut Rizka. Mila tersenyum di godain Papanya. Kemudian menempelkan wajahnya di lenganku. Iya, menyembunyikan wajah imutnya.“Sini, sama Papa saja ke kamar mandinya, Papa gendong,” ucap Mas Romi lagi. Mila mengangguk, kemudian melebarkan ke dua tangannya.Mas Romi menggendong manja anaknya. Membawanya ke kamar mandi agar Mila segera cuci muka dan berkumur.Sambil menunggu mereka, aku menyiapkan makan di bantu oleh Bi I