Part 22POV Angga“Loh, Ga! apa kabar?” pundakku terasa ada yang menepuk. Seketika aku menoleh. Mataku menyipit. “Rama apa Romi?” tanyaku, dia menyeringai seraya menepuk pundakku lagi.“Aku Rama,” jawabnya. Kuamati bajunya. Iya, dia nggak bohong. Dia Rama, karena cowok yang mirip dengannya saat bersama Dewi tadi bajunya berbeda. Nggak mungkin juga dalam satu waktu bisa di dua tempat.“Owh, kabar baik, kamu sendiri apa kabar?” tanyaku balik. Seraya berjabat tangan khas lelaki.“Kabarku juga baik, lagi beliin susu buat anak,” jawabnya seraya menunjukkan susu. Aku tersenyum.“Kamu sendiri beli apa?” tanyanya, aku menunjukkan susu buat Baby Hana.“Sama beli susu juga,” jawabku. Dia melipatkan keningnya.“Udah punya anak sekarang?” tanyanya lagi. Aku tersenyum.“Ini di suruh Bos, anakku belum lahir, masih dalam perut,” jawabku. Biar sajalah, walau itu bukan anakku. Nggak mungkin juga aku mau ngomong itu bukan anakku. Malu juga.“Owh, istrimu udah hamil, sama kayak Dewi,” jawab Rama.“Iya,
part 23POV ANGGA“Ibu!!!” teriakku saat mata ini melihat Ibu sedang melempar gelas suka-suka. Kulihat Martina lagi duduk seraya memegangi perutnya. Matanya terpejam.“Cukup, Bu!! ibu kenapa?” tanyaku dengan nada membentak. Martina diam saja. Masih dengan hal yang sama, memegangi perutnya.“Dasar anak nggak berguna, gara-gara kamu nggak mau nemeni Ibu tadi malam, hingga ibu pingsan di teras karena ketakutan,” sungutnya. Kulihat lantai rumah sudah berantakkan. Berantakkan pecahan gelas beling.“Ibu maafkan Angga. Tapi, tolong fahami kondisi Angga, Angga juga nggak tega membiarkan Martina sendirian di saat hamil tua seperti itu,” jawabku.“Kamu lebih mementingkan perempuan itu dari pada Ibu? sakit hati Ibu, Ga!” sungut Ibu semakin menjadi.“Terus Angga harus bagaimana?” tanyaku bingung.“Kalau kamu tetap mau tinggal di rumah mertuamu, kamu harus mencarikan ibu teman di rumah ini. Carikan ibu ART,” ucap ibu menegaskan. Kuusap wajahku yang terasa kusut. Kulirik Martina, dia hanya terdiam.
Part 24POV DEWI“Ma, mila laper,” ucap Mila saat terbangun dari tidurnya. Aku tersenyum, Mila membalas senyumanku. Hangat sekali. Ikatan hati dengan Mila semakin kuat. Walau dia tak terlahir dari rahimku, juga tak ikut mengasuhnya dari bayi. Tapi, hati ini sangat menyayangi dia.“Cuci muka dulu, ya, baru makan, biar seger,” ucapku, seraya membantunya duduk. Badannya masih lemas karena bangun tidur.“Anak Papa udah bangun,” ucap Mas Romi seraya mencubit gemes pipinya. Mas Romi lebih dari aku sayangnya ke Mila. Secara Mas Romi dan Rama sama-sama mengasuh Mila dari dalam perut Rizka. Mila tersenyum di godain Papanya. Kemudian menempelkan wajahnya di lenganku. Iya, menyembunyikan wajah imutnya.“Sini, sama Papa saja ke kamar mandinya, Papa gendong,” ucap Mas Romi lagi. Mila mengangguk, kemudian melebarkan ke dua tangannya.Mas Romi menggendong manja anaknya. Membawanya ke kamar mandi agar Mila segera cuci muka dan berkumur.Sambil menunggu mereka, aku menyiapkan makan di bantu oleh Bi I
part 25POV ANGGAMenunggu operasi sesar berjalan rasanya hati berdegub tak menentu. Bukan hanya aku, kayaknya Mami dan Papi juga merasakan hal yang sama. Karena sama-sama mondar mondir udah kayak setrikaan. Berkali-kali, mata melihat ke arah pintu. Entahlah, menunggu dokter membukakan pintu sangat terasa lama.Ibu? sampai sekarang aku juga nggak tahu ibu dimana. Tapi, aku sudah meminta sopirnya Papi untuk mencarinya. Karena jujur saja pikiranku lagi nggak fokus. Terpecah kemana-kemana.Kreekkkk, terdengar pintu terbuka. Reflek mata langsung memandang ke asal suara. Dokter yang menangani persalinan Martina sudah berdiri di ambang pintu. Tanpa di komando kami semua langsung mendekat.“Gimana keadaan anak dan cucu saya, Dok?” tanya Mami terlihat cemas.“Iya, Dok, gimana keadaan istri dan anak saya?” aku juga ikut bertanya. Dokter itu tersenyum seraya membuka kaca matanya.“Alhamdulillah, semua berjalan dengan lancar, semua sehat,” jawab dokter itu masih dengan menyungging senyum.“Alham
part 26POV DEWI“Ini kenapa, Sayang?” tanya Mas Romi kepada Mila. Jujur saja kaget malihat lengan Mila terdapat memar biru menghitam. Mila diam saja. Seakan takut mau menjawab.“Mila, ini kenapa?” tanyaku lagi dengan lembut. Agar dia tak merasa takut menjawabnya.“Di cubit Mama Rizka,” jawabnya pelan, matanya memerah. Memainkan bibirnya seakan mau menangis.Aku dan Mas Romi saling bertatapan. Nggak tahu kenapa, hati ini terasa sakit, terasa nggak terima Rizka mencubit Mila walau dia ibu kandungnya.“Mila nakal, ya? Sampai Mama Rizka mencubit?” tanyaku masih dengan nada lembut. Agar Mila tak jadi meledak tangisnya. Karena aku lihat, dia seakan tangisnya mau pecah.“Mila minta Mama Rizka telponi Mama Dewi, suruh jemput Mila, Mama Rizka malah marah-marah,” sahut Mila masih tertunduk nggak mau memandangku atau memandang Mas Romi. Mendengar jawaban Mila, hati ini semakin sakit. Segitu sayangnya Mila denganku. Hingga dia kena cubit Mamanya. Melihat bekas cubitan itu, kayaknya nggak cuma se
part 27POV MARTINAAkhirnya telah lahir putra pertamaku, Arjuna Yusuf Abadan. Aku sangat amat nggak enak hati dengan Mas Angga. Yusuf bukan anak kandungnya, tapi Mas Angga mau menyematkan namanya. Sungguh, hati ini terasa teriris. Merasa bersalah, merasa berdosa.Mas Angga mau mengadzankan bayiku saja, aku sudah sangat bersyukur. Di tambah Mas Angga mau menyematkan namanya. Sungguh, dia laki-laki baik yang pernah aku kenal. Sedangkan ayah biologis Yusuf sendiri, tak mau mengakuinya. Kalau nggak ada Mas Angga, entah gimana nasibku. “Tina, Angga kemana?” tanya Mami seraya celingak celinguk.“Nyari ibu,” jawabku. Yusuf masih di rawat di ruang Baby. “Emang Jeng Intan kemana?” tanya Mami lagi.“Iya, mertuamu kemana?” Papi juga ikut bertanya.“Tina juga nggak tahu, Mi, Pki, makanya Mas Angga nyariin,” balasku.“Emang nyariinnya dimana?” tanya Mami. Seakan penasaran dengan melipatkan keningnya.“Di Rumah Sakit ini, tadikan Ibu juga ikut ngantar,” jawabku. Mami mengerucutkan bibirnya.“Mer
Part 28POV ANGGA“Pak, ketemu sama Ibu?” tanyaku kepada sopir Papi. Saat melihat dia lagi makan di kantin Rumah sakit. Karena aku sendiri juga sangat lapar, makanya memutuskan untuk makan dulu. Ternyata ketemu sama sopirnya Papi.“Eh, Mas Angga, sini duduk!” sahut sopir Papi, seraya menyuruhku untuk duduk di dekatnya. Aku segera mendekat dan duduk tak jauh darinya.“Gimana, Pak, ketemu sama Ibu?” tanyaku lagi seraya menatapnya.“Belum, Mas Angga. Saya sudah muter-muter tapi nggak nemuin Ibunya Mas Angga,” jawab sopir Papi. Mendengar ucapannya, kepala rasanya langsung memuncak pusingnya. “Kira-kira ibu kemana?” tanyaku lirih.“Itulah Mas, saya capek keliling Rumah Sakit ini, karena lapar saya ke sini dulu, makan,” jawab sopir Papi.“Bapak namanya siapa?” tanyaku, penasaran.“Hadi, Mas,” jawabnya. Aku mengangguk seraya tersenyum.“Bentar, Pak Hadi, saya mau pesan makanan dulu,” ucapku seraya beranjak.“Owh, iya, Mas Angga, silahkan,” jawab Pak Hadi. Aku beranjak mendekati Ibu kantin
part 29POV ANGGA“Ibu,” sapaku, karena wanita itu masih menunduk. Mendengar sapaanku kemudian dia mendongakkan kepalanya. Ya, memang ibu ternyata.“Syukurlah akhirnya ketemu juga,” ucapku seraya ikut duduk di sebelahnya.“Kamu ini ibu cari-cari dari tadi, malah ibu di tinggal. Ibukan jadi bingung,” sungut ibu. astaga baru saja ketemu sudah marah-marah saja.“Tadikan Angga fokus dengan Martina dan bayinya,” sahutku.“Gimana Martina sudah lahiran?” tanya ibu masih dengan nada ketus.“Sudah, Bu. Alhamdulillah cucu ibu laki-laki,” jawabku.“Laki-laki? Kenapa nggak perempuan? Ibu pengennya kalau punya cucu itu perempuan,” sahut Ibu. Ku garuk kening ini dengan kuku tangan. Ngomong sama ibu kayaknya nggak ada benarnya. Tadi waktu hilang, aku mencemaskannya. Giliran ketemu, seakan menyesal mencarinya.“Gimana lagi, Bu. keluarnya memang laki-laki,” sahutku, seraya memijit kepalaku yang mulai pusing. Pusing mendengar ucapan ibu.“Eh, tapi bagus juga kalau laki-laki, otomatis harta Jeng Sella,
Benalu part 102POV 3“Pi, motor Angga di bawa kabur mereka,” ucap Angga, dia masih sangat menyayangkan motornya yang belum lunas. Masih kredit.“Biar, Ga! motor bisa di beli lagi. Yang penting nyawa kamu selamat,” jawab Pak Faris bijak.Angga mendesah. ‘Untung nggak mau membawa mobil Papi, kalau sampai memenuhi keinginan Ibu untuk meminjam motor Papi, yang hilang mungkin mobil Papi. Harus dengan cara apa untuk menggantinya?’ lirih Angga dalam hati. Walau kondisinya sudah babak belur begitu, tapi dia masih bersyukur, karena bukan mobil mertuanya yang dia bawa.“Bagaimana keadaan sebenarnya, Ga? kok, kamu bisa sampai seperti ini?” tanya Pak Faris kepada menantunya.“Permisi,” Pak Faris dan Angga mengarah ke asal suara. Ternyata ada dokter dan Martina berjalan mendekat.“Saya periksa dulu, ya?” ucap dokter laki-laki paruh baya itu ramah. “Silahkan dok,” jawab Pak Faris mempersilahkan. Dokter itu menjalankan tugasnya. Memeriksa detak jantung dan yang lainnya. “Kepala saya pusing banget
Benalu part 101POV 3“Yaudah Om, Tante, Mita, kami pulang dulu. Kalau ada apa-apa langsung hubungi Romi,” pamit Romi kepada semuanya.“Iya, Rom, pasti, kamu juga hati-hati di jalan,” balas Om Heru. Kemudian mereka beranjak dan keluar dari kamar Mita.Romi dan Dewi melewati lorong Rumah Sakit seraya bergandengan tangan. Dewi mengedarkan pandang. Matanya melihat sosok laki-laki yang menggunakan masker, kacamata hitam dan jaket, berjalan seraya tolah toleh. Mata Dewi menyipit. Langkah kakinya penuh curiga.“Mas, laki-laki itu, kok, jalannya ngendap-ngendap, ya?” tanya Dewi lirih dengan mata masih memperhatikan laki-laki itu. Romi akhirnya juga ikut menoleh ke arah yang di pandang Dewi.“Iya, mau ngapain, ya? tapi dia ke lorong sana?” sahut Romi lirih. Mata mereka masih fokus dengan laki-laki berjaket itu.“Iya, apa kita ikuti?” tanya Dewi kepada suaminya.Dreettt dreeerrrttt dreetttt gawai Dewi bergetar di dalam tasnya. Tak berselang lama berbunyi. Nada panggilan masuk. Dengan cepat De
Benalu part 100POV 3Ya, di sini, Rizka berpelukkan manja dengan Ibu mertuanya. Dan Rama berpelukkan haru dengan Ibu mertuanya. “Doakan, ya, Bu. semoga Rumah Tangga kami sakinnah ma waaddah wa rohmah,” pinta Rama kepada mertuanya.“Pasti, Nak. Pasti. Tanpa kalian minta, ibu pasti mendoakan kalian,” ucap Bu Sumi. Rama kemudian melepaskan pelukannya.“Pa, kapan Mama Dewi pulang?” tanya Mila tiba-tiba. Membuat Rama tidak bisa menjawabnya. Rama dan mertuanya saling beradu pandang. Rama menarik nafasnya kuat-kuat dan melepaskannya perlahan.“Papa juga nggak tahu, Sayang,” jawab Rama. Membuat bibir Mila cemberut.“Katanya Mama Dewi nggak lama-lama. Tapi, kok nggak pulang-pulang?” sahut Mila seraya bertanya.Mila memang sangat merindukan Dewi. Menunggu Dewi pulang terasa sangat lama baginya. Selalu menunggu hari esok, dengan harapan hari esok mama Dewinya pulang. “Urusan Mama Dewi belum selesai Sayang, makanya Mama Dewi belum bisa pulang,” jawab Rama santai, dengan selalu menyunggingkan s
Benalu part 99POV 3Anga sudah di periksa oleh dokter. Dia juga belum sadar. Martina dan orang tuanya menunggu di luar. Karena belum di ijinkan masuk. Karena Angga masih dalam penanganan.Martina masih terus menangis. Dia mondar mandir dengan hati yang cemas. Berkali-kali melirik ke pintu kamar di mana Angga di rawat. Berharap pintu itu segera di buka dan dokter segera menyampaikan kabar tentang kondisi suaminya.Yusuf sudah tenang. Dia tidur di pelukkan neneknya. Bu Intan juga nggak kalah paniknya. Hatinya juga berdegub nggak jelas. Selalu berdoa untuk kebaikan anaknya.“Dokternya kok, nggak keluar-keluar, ya?” celetuk Bu Intan. Dia juga nggak sabar menunggu dokter keluar.Bu Intan menyesal sekali, menyuruh anaknya membelikan dia makanan. Lebih tepatnya dia memaksa Angga untuk membelikan makan. Padahal waktu itu, kerjaan rumah di besannya masih banyak dan rumah juga masih berantakan. Makanan juga banyak. Hanya demi ingin pamer baju baru dan naik mobil besannya dia memaksa. Ternyata
Benlau part 98POV 3“Ma, tapi Mama dan Papa setujukan Mita nikah sama Gio?” tanya Mita kepada mamanya. membuat mamanya bingung menjawabnya. Langkah kaki Dewi langsung terhenti. Dari kemarin-kemarin dia cuma membayangkan saja, kalau Mita akan menikah dengan Pak Galih. Dan itu sudah membuatnya mual. Tapi, hari ini telinganya mendengar sendiri kalau adiknya ingin menikah dengan laki-laki yang selalu mual jika namanya di sebut. Kemudian Dewi berbalik badan, tak jadi keluar tapi malah menuju ke toilet yang ada di kamar rawat inap Mita. Membuat Tante Tika cemas juga dengan kondisi Dewi. Kemudian menyusul Dewi ke toilet. Memijit tengkuknya. Agar terasa enakkan.“Kamu masih sering muntah, Wi?” tanya Tante Tika dengan nada cemas. Walau dia sering melihat Dewi seperti itu, tapi tetap saja dia cemas dengan kondisi keponakannya.“Iya, Tante,” jawab Dewi dengan nada lemas. Dia sudah duduk di sofa ruang kamar Mita di rawat.“Ibu hami itu memang macam-macam, ada yang cuma trimester pertama, ada y
Benalu part 97POV 3Hati Martina semakin berdegub kencang saat kakinya melangkah menuju rumah Pak Agung. Dia sangat penasaran dengan keadaan suaminya, dan apa yang terjadi sebenarnya. Terus foto yang di berikan Haris itu, apa maksudnya? Dari mana dia mendapatkan foto itu? Semuanya masih menjadi tanya besar di benak Martina. dan sebentar lagi akan terjawab. ‘Mas Angga aku sudah dekat denganmu,’ lirih Tina lagi dalam hati.“Silahkan langsung ke kamar saja semuanya. Karena yang punya hape ini masih di dalam kamar dan belum sadar,” ucap Pak Agung. Semakin membuat hati Tina bergemuruh. Pintu kamar di buka oleh pemiliknya. Bu Intan juga berdebar hatinya, ingin segera melihat kondisi anaknya. Begitu juga dengan Jeng Sella dan Pak Faris. Tak kalah berdebar walau hanya anak mantu. Tapi, mereka benar-benar cemas. Martina masuk lebih di dalam kamar itu. Tak sabar rasanya, ingin melihat suaminya. “Itu, Mbak pemilik hape ini,” jawab Pak Agung seraya menunjuk ke ranjang. Di sana terbaring seso
Benalu 96POV 3“Sayang, aku sudah melacak alamat-alamat nomor baru yang menghubungi kamu. Cuma banyak nomor baru, jadi kamu ingat-ingat ya, nomor mana yang menghubungimu, saat kamu di kabari kalau papamu kecelakaan,” jelas Pak Galih seraya memberikan gawai Mita yang dia bawa dari tadi.Mita menerima gawainya. Kemudian melihat nomor-nomor baru itu. Matanya kembali nanar lagi. Nggak ingin membahas masalah ini. Tapi, kalau nggak di bahas, nggak akan selesai-selesai ini kasus.“Yang ujungnya 29, sahut Mita,” sahut Mita kemudian, meletakkan gawainya di sebelahnya.Pak Galih langsung memeriksa alamat nomor yang di bilang Mita. Dari sekian banyak nomor baru, hanya satu yang ujungnya 29. Pak Galih tersenyum.“Kita bisa lapor polisi dan segera menggerebeknya,” ucap Pak Galih yakin dan mantab.“Alamatnya mana, Pak?” tanya Om Heru penasaran.“Ini, Pak!” Pak galih menyerah kertas yang sudah tercantum semua alamat-alamat nomor baru yang menghubungi Mita. Om Heru langsung menerimanya. Kemudian men
Benalu part 95POV 3Dreett dreet dreettt gawai Tina bergetar. Tak berselang lama berbunyi.“Ma, tolong lihatkan siapa yang menelpon?” pinta Tina kepada mamanya. “Iya, Sayang,” ucap Jeng Sella, kemudian langsung mengambil gawai yang masih di saku baju Tina. “Astaga!” ucap jeng Sella saat melihat siapa yang menelpon.“Siapa yang nelpon, Mi? Peneror itu lagi kah?” tanya Tina masih dengan Mata sedikit membuka. Karena kalau membuka sempurna dia nggak tahan. Karena melihat semuanya berputar-putar.“Angga, yang nelpon,” sahut Jeng Sella. Seketika Martina terperanjat dari baringnya. Membuka paksa matanya saat mendengar nama suaminya menelon ke nomornya.“Cepat angkat, Mi!” perintah Martina semangat. Jeng sella mengangguk dan kemudia mengangkat telpon itu.[Hallo, Angga] ucap Jeng Sella memulai percakapannya. Kemudian dia meloundspeaker gawainya.[Hallo] terdengar suara dari seberang. Suara laki-laki. Martina mengerutkan keningnya. Karena dia faham kalau itu bukan suara suaminya.[Ini siapa
Benalu part 94POV 3Pak Galih memutuskan pulang, seraya membawa hape Mita. Karena dia ingin mengeceknya di rumah. Om Heru nggak percaya gitu saja tentunya dia membawa pulang gawai Mita. Karena baru saja ketemu. Walau dia tahu anaknya sangat dekat dengannya. Akhirnya Pak Galih meninggalkan KTPnya, agar Om Heru dan yang lainnya percaya, kalau dia memang serius ingin membantu Mita.“Gio mana, Mbak?” tanya Mita kepada Dewi. Langsung mual perut Dewi jika nama itu di sebut. Seakarang di kamar itu tinggal mereka berdua. Om Heru dan Tante Tika pulang. Romi sedang mencari ke kantin rumah sakit untuk membeli makanan.“Pak Galih, udah pulang,” jawab Dewi dengan susah payah menahan rasa mualnya.“Mbak, salah nggak aku jatuh cinta dengan Gio?” tanya Mita. Semakin membuat Dewi mual. Liur sudah naik ke mulut. Susah payah dia menelan ludahnya sendiri.“Eh, namanya kan Pak Galih. Kenapa kamu panggilnya Gio?” tanya Dewi balik, sengaja mengalihkan pembicaraan, karena memang nggak mau menjawab pertanyaa