Part 28POV ANGGA“Pak, ketemu sama Ibu?” tanyaku kepada sopir Papi. Saat melihat dia lagi makan di kantin Rumah sakit. Karena aku sendiri juga sangat lapar, makanya memutuskan untuk makan dulu. Ternyata ketemu sama sopirnya Papi.“Eh, Mas Angga, sini duduk!” sahut sopir Papi, seraya menyuruhku untuk duduk di dekatnya. Aku segera mendekat dan duduk tak jauh darinya.“Gimana, Pak, ketemu sama Ibu?” tanyaku lagi seraya menatapnya.“Belum, Mas Angga. Saya sudah muter-muter tapi nggak nemuin Ibunya Mas Angga,” jawab sopir Papi. Mendengar ucapannya, kepala rasanya langsung memuncak pusingnya. “Kira-kira ibu kemana?” tanyaku lirih.“Itulah Mas, saya capek keliling Rumah Sakit ini, karena lapar saya ke sini dulu, makan,” jawab sopir Papi.“Bapak namanya siapa?” tanyaku, penasaran.“Hadi, Mas,” jawabnya. Aku mengangguk seraya tersenyum.“Bentar, Pak Hadi, saya mau pesan makanan dulu,” ucapku seraya beranjak.“Owh, iya, Mas Angga, silahkan,” jawab Pak Hadi. Aku beranjak mendekati Ibu kantin
part 29POV ANGGA“Ibu,” sapaku, karena wanita itu masih menunduk. Mendengar sapaanku kemudian dia mendongakkan kepalanya. Ya, memang ibu ternyata.“Syukurlah akhirnya ketemu juga,” ucapku seraya ikut duduk di sebelahnya.“Kamu ini ibu cari-cari dari tadi, malah ibu di tinggal. Ibukan jadi bingung,” sungut ibu. astaga baru saja ketemu sudah marah-marah saja.“Tadikan Angga fokus dengan Martina dan bayinya,” sahutku.“Gimana Martina sudah lahiran?” tanya ibu masih dengan nada ketus.“Sudah, Bu. Alhamdulillah cucu ibu laki-laki,” jawabku.“Laki-laki? Kenapa nggak perempuan? Ibu pengennya kalau punya cucu itu perempuan,” sahut Ibu. Ku garuk kening ini dengan kuku tangan. Ngomong sama ibu kayaknya nggak ada benarnya. Tadi waktu hilang, aku mencemaskannya. Giliran ketemu, seakan menyesal mencarinya.“Gimana lagi, Bu. keluarnya memang laki-laki,” sahutku, seraya memijit kepalaku yang mulai pusing. Pusing mendengar ucapan ibu.“Eh, tapi bagus juga kalau laki-laki, otomatis harta Jeng Sella,
part 30POV DEWI“Apa iya?” Tanya Rama seakan nggak percaya dengan ucapanku. Aku mengangguk serius. Ya, aku sudah menceritakan tentang memar di lengan Mila. Juga sudah menceritan apa yang Mila katakan.“Tapi kamu jangan marah sama Rizka, ya. Kita semua juga tahu kalau Rizka memang punya masalah tentang kejiwaannya,” sahut Mas Romi ikut menimpali. Aku juga ikut mengangguk. Aku juga nggak mau Rama marah dengan Rizka.“Iya, Ram, kamu jangan sampai marah dengan Rizka, ya, untuk sementara waktu biarkan Mila di sini dulu,” ucapku. “Tapikan Ada Bi Yuli dan ibu, masak iya mereka diam saja?” ucap Rama seakan bertanya. Itu juga yang ada dalam pikiranku.“Mungkin mereka pas nggak lihat,” Ucap Mas Romi.“Kasihan Mila, dia sampai nggak mau pulang,” ucap Rama.“Kamu tenang saja, Mila aman di sini,” sahutku.“Aku percaya sama kalian, cuma aku takutnya Mila semakin menjauh dari Rizka,” ucap Rama seraya mengatur nafasnya.“Ram, kami nggak akan membuat Mila membenci Rizka, karena walau bagaimana Rizka
part 31POV MARTINAHari ini sudah di perbolehkan pulang. Aku nggak mau ikut Ibu. Bisa-bisa setiap hari aku bertengkar terus dengan Mas Angga. Cerai ujung-ujungnya. Aku ingin membalas semua kebaikan Mas Angga. Ingin menjadi istri yang baik untuknya. Masalah Ibu memang harusnya menjauh dulu. Hingga cinta ini benar-benar bersemi dan mekar. “Mas, maaf, ya, aku nggak mau ikut Ibu,” ucapku kepada Mas Angga. Dia lagi menimang-nimang Baby Yusuf. Kayaknya Mas Angga beneran sayang sama Yusuf. Saat melihat Mas Angga menciumi Yusuf, hati ini terasa nano-nano. Ada rasa senang dan rasa bersalah. Entahlah.“Nggak apa-apa, Dek, yang penting kamu nyaman. Nggak usah di pikirkan, ya! yang penting kamu sehat dulu,” jawab Mas Angga, dengan nada lembut terasa sangat adem. Aku tersenyum memandanginya. “Kamu nggak marah, Mas?” tanyaku. Masih dengan mata memandanginya. Entahlah, aku merasa Mas Angga terlihat sangat dewasa saat menimang Yusuf.“Nggaklah, sayang. Mas bisa mengerti dengan kondisimu. Wanita ha
part 32POV ANGGA“Pak Handoko, Bu Gendis, kita masuk ke kamar saja, Martina dan Yusuf ada di kamar,” ucapku saat melihat Pak Handoko dan Bu Gendis duduk di sofa ruang tamu. Baby Hana juga di bawa.“Iya, Nak Angga. Penasaran dengan paras anakmu,” sahut Bu Gendis ramah. Aku tersenyum mendengarnya. Bu Gendis dan Pak Handoko juga membalas senyumanku. Baby Hana lagi terlelap di gendongan mamanya. “Mari kita ke kamar langsung saja. Mami sama Papi sudah berangkat ke kantor,” sahutku lagi, seraya beranjak dan mempersilahkan mereka. Pak Handoko dan Bu Gendis akhirnya juga ikut beranjak. Mengikuti langkahku.“Dek, kedatangan tamu kita,” ucapku kepada Martina. Martina tersenyum melihat kedatangan Pak Handoko dan Bu Gendis.“Gimana keadaannya, Nak?” tanya Bu Gendis kepada Martina, seraya duduk di tepian ranjang.“Sudah mendingan, Bu. Cuma masih sakit kalau untuk jalan,” jawab Martina.“Sabar, ya, itulah perjuangan seorang Ibu,” Jawab Bu Gendis lembut keibuan.“Ganteng sekali anak kalian,” ucap
part 33POV MARTINA“Dek, diangkat lagi saja telponnya siapa tahu penting,” perintah Mas Angga. Jujur saja aku enggan mengangkat nomor baru. Apalagi tadi sudah aku angkat, malah diam saja. Entah siapa dan apa maksdunya.“Mas saja yang ngangkat,” jawabku. akhirnya Mas Angga mengambil gawaiku dan mengangkatnya.“Hallo,” ucap Mas Angga. “Hallo, siapa Ini?” tanya Mas Angga lagi. Tak ada jawaban dari yang menelpon.“Mungkin hanya orang iseng, Mas, udah cuekin saja,” ucapku. Tit. Akhirnya komunikasi terputus. Entah siapa yang menelpon. “Siapalah sebenarnya?” tanya lirih Mas Angga. Aku hanya bisa mengangkat bahu. Pertanda memang nggak tahu siapa pemilik nomor telepon itu.“Kan, sudah aku bilang, tadi Tina juga sudah mengangkatnya, tapi diam saja kayak gitu,” ucapku. Mas Angga masih mengutak atik gawai sebentar, kemudian meletakkannya di tempat semula.“Orang kurang kerjaan,” sahut Mas Angga. ya, memang benar-benar kurang kerjaan.“Mas, boleh minta tolong?” tanyaku.“Jelas boleh, dong, tuan
part 34POV DEWI“Mama sakit?” tanya Mila padaku setelah melihat aku muntah-muntah. Dengan badan lemas aku berbaring di ranjang. Mengelus perut yang semakin membuncit ini. “Nggak sayang,” jawabku, mau di jelaskan juga Mila nggak akan mengerti kalau ini ngidam. Mila juga ikutan memegang perut seraya senyum-senyum.“Ma, kapan dedeknya lahir, ya?” tanya Mila sangat polos. Aku tersenyum geli medengarnya.“Nggak lama lagi. Doain ya, semoga dedek dan Mama sehat sampai lahiran,” balasku. Mila mengagguk seraya senyum-senyum.Sudah menjadi hal rutin kalau pagi mual parah. Tapi setelah beranjak siang akan enak dengan sendirinya. Sedangkan Mas Romi, kalau pagi harus berangkat kerja. Sebenarnya dia juga nggak tega meninggalkan aku, tapi gimana lagi? dia juga harus kerja.“Mil, Mama boleh minta tolong?” tanyaku kepadanya yang masih menciumi perutku. Kayaknya dia juga gemes.“Minta tolong apa, Ma?” tanya Mila, seraya memandangku .“Bilang sama Bi Ijah, minta tolong buatin bubur ayam, ya, Mama Dewi
Benalu part 35POV RAMAAku jadi kepikiran mendengar ucapan Dewi dan Romi. Awalnya merasa nggak percaya, kalau Rizka mencubit Mila. Secara ada Bu Sumi dan Bi Yuli di rumah. Jadi aku pikir Mila aman.Tapi setelah mendengar sendiri Mila mengigau, aku jadi percaya kalau Rizka memang mencubitnya sampai biru. Hingga membuat Mila trauma dan nggak mau pulang ke rumah. Aku pikir Rizka sudah benar-benar sembuh dari depresi. Tapi, setelah mendengar kabar ini, aku menyimpulkan Rizka belum sembuh total dari depresinya. Apa dia kumat? Ah, kayaknya kalau lihat kesehariannya, dia layaknya orang normal. Udah nggak pernah teriak-teriak nggak jelas.Aku harus bicara dengan Rizka. Harus bicara langsung dengannya. Tapi, dengan kata yang seolah-olah tidak masalah. Karena Rizka juga nggak bisa kena teguran yang keras. Bisa-bisa dia depresi parah lagi. Memang harus sabar hadapin Rizka. Aku sudah sampai rumah. Pikiran ini masih ke sana ke sini, memikirkan obrolan apa, untuk membawa Rizka ke arah itu? Nggak