part 32POV ANGGA“Pak Handoko, Bu Gendis, kita masuk ke kamar saja, Martina dan Yusuf ada di kamar,” ucapku saat melihat Pak Handoko dan Bu Gendis duduk di sofa ruang tamu. Baby Hana juga di bawa.“Iya, Nak Angga. Penasaran dengan paras anakmu,” sahut Bu Gendis ramah. Aku tersenyum mendengarnya. Bu Gendis dan Pak Handoko juga membalas senyumanku. Baby Hana lagi terlelap di gendongan mamanya. “Mari kita ke kamar langsung saja. Mami sama Papi sudah berangkat ke kantor,” sahutku lagi, seraya beranjak dan mempersilahkan mereka. Pak Handoko dan Bu Gendis akhirnya juga ikut beranjak. Mengikuti langkahku.“Dek, kedatangan tamu kita,” ucapku kepada Martina. Martina tersenyum melihat kedatangan Pak Handoko dan Bu Gendis.“Gimana keadaannya, Nak?” tanya Bu Gendis kepada Martina, seraya duduk di tepian ranjang.“Sudah mendingan, Bu. Cuma masih sakit kalau untuk jalan,” jawab Martina.“Sabar, ya, itulah perjuangan seorang Ibu,” Jawab Bu Gendis lembut keibuan.“Ganteng sekali anak kalian,” ucap
part 33POV MARTINA“Dek, diangkat lagi saja telponnya siapa tahu penting,” perintah Mas Angga. Jujur saja aku enggan mengangkat nomor baru. Apalagi tadi sudah aku angkat, malah diam saja. Entah siapa dan apa maksdunya.“Mas saja yang ngangkat,” jawabku. akhirnya Mas Angga mengambil gawaiku dan mengangkatnya.“Hallo,” ucap Mas Angga. “Hallo, siapa Ini?” tanya Mas Angga lagi. Tak ada jawaban dari yang menelpon.“Mungkin hanya orang iseng, Mas, udah cuekin saja,” ucapku. Tit. Akhirnya komunikasi terputus. Entah siapa yang menelpon. “Siapalah sebenarnya?” tanya lirih Mas Angga. Aku hanya bisa mengangkat bahu. Pertanda memang nggak tahu siapa pemilik nomor telepon itu.“Kan, sudah aku bilang, tadi Tina juga sudah mengangkatnya, tapi diam saja kayak gitu,” ucapku. Mas Angga masih mengutak atik gawai sebentar, kemudian meletakkannya di tempat semula.“Orang kurang kerjaan,” sahut Mas Angga. ya, memang benar-benar kurang kerjaan.“Mas, boleh minta tolong?” tanyaku.“Jelas boleh, dong, tuan
part 34POV DEWI“Mama sakit?” tanya Mila padaku setelah melihat aku muntah-muntah. Dengan badan lemas aku berbaring di ranjang. Mengelus perut yang semakin membuncit ini. “Nggak sayang,” jawabku, mau di jelaskan juga Mila nggak akan mengerti kalau ini ngidam. Mila juga ikutan memegang perut seraya senyum-senyum.“Ma, kapan dedeknya lahir, ya?” tanya Mila sangat polos. Aku tersenyum geli medengarnya.“Nggak lama lagi. Doain ya, semoga dedek dan Mama sehat sampai lahiran,” balasku. Mila mengagguk seraya senyum-senyum.Sudah menjadi hal rutin kalau pagi mual parah. Tapi setelah beranjak siang akan enak dengan sendirinya. Sedangkan Mas Romi, kalau pagi harus berangkat kerja. Sebenarnya dia juga nggak tega meninggalkan aku, tapi gimana lagi? dia juga harus kerja.“Mil, Mama boleh minta tolong?” tanyaku kepadanya yang masih menciumi perutku. Kayaknya dia juga gemes.“Minta tolong apa, Ma?” tanya Mila, seraya memandangku .“Bilang sama Bi Ijah, minta tolong buatin bubur ayam, ya, Mama Dewi
Benalu part 35POV RAMAAku jadi kepikiran mendengar ucapan Dewi dan Romi. Awalnya merasa nggak percaya, kalau Rizka mencubit Mila. Secara ada Bu Sumi dan Bi Yuli di rumah. Jadi aku pikir Mila aman.Tapi setelah mendengar sendiri Mila mengigau, aku jadi percaya kalau Rizka memang mencubitnya sampai biru. Hingga membuat Mila trauma dan nggak mau pulang ke rumah. Aku pikir Rizka sudah benar-benar sembuh dari depresi. Tapi, setelah mendengar kabar ini, aku menyimpulkan Rizka belum sembuh total dari depresinya. Apa dia kumat? Ah, kayaknya kalau lihat kesehariannya, dia layaknya orang normal. Udah nggak pernah teriak-teriak nggak jelas.Aku harus bicara dengan Rizka. Harus bicara langsung dengannya. Tapi, dengan kata yang seolah-olah tidak masalah. Karena Rizka juga nggak bisa kena teguran yang keras. Bisa-bisa dia depresi parah lagi. Memang harus sabar hadapin Rizka. Aku sudah sampai rumah. Pikiran ini masih ke sana ke sini, memikirkan obrolan apa, untuk membawa Rizka ke arah itu? Nggak
Benalu part 36POV ANGGA“Ga, ibu mau gendong Yusuf,” ucap Ibu. Ya, untuk malam ini memang ibu tidur di rumah Mami. Mami sama Papi bolehin, karena memang Martina juga habis lahiran. Jadi lagi seneng-senengnya main sama cucu. Lagian malam ini setidaknya aku bisa Jaga ibu dan Martina. Ngak terpecah pikiran ini.“Yusuf ada di kamar, Bu. Ibu masuk saja di kamar,” jawabku. Ibu malah mengerucutkan bibir.“Tadi ibu sudah masuk kamarmu, tapi sama Martina nggak di bolehin, takut anaknya jatuh katanya,” jawab Ibu dengan nada kesal. Mulai mereka kumat berantemnya. Kalau nggak ada padahal juga saling mencari. Kalau ada seakan berantem terus tiada henti. Sampai pusing rasanya.“Wajarlah, Bu. Namanya juga anak pertama,” jawabku selow seraya menikmati kopi yang di buatkan oleh Bibi.“Tapi Jeng Sella di bolehin gendong Yusuf. Mentang-mentang ibu ini cuma mertua, tapi kan Yusuf juga cucu ibu,” sahut ibu dengan nada geram.Aku faham maksud Martina. Aku sendiri juga takut Ibu menggendong Yusuf. Entah,
Benalu part 37POV MartinaHanya satu orang yang memanggilku Martublack. Seketika aku terdiam sejenak. Segera aku mematikan gawaiku. Malas berhubungan dia. Dari mana dia tahu nomorku? Sedangkan aku sudah mengganti nomor ini lama. Aku tak mau lagi berhubungan dengan dia. Dia hanya akan merusuh di kehidupanku. Hanya akan menjadi benalu.Berlian Syafirda. Hanya dia yang memanggilku Martublack. Dia adalah saingan terberat waktu masih di kampus. Dan sialnya dia itu adalah adik kandung istri Mas Haris. Dia juga sempat memergokiku saat selingkuh dengan Abang iparnya.Entahlah, Mas Haris telah menyihirku dengan apa? aku bisa terlena dengan bujuk rayunya. Awalnya aku nggak tahu kalau Mas Haris telah beristri. Tapi saat kedoknya terbongkar, aku tak ingin marah dengannya karena telah membohongiku. Bahkan aku tetap melanjutkan hubungan terlarang itu. Hingga semuanya kau berikan, hingga benihnya tertanam.Saat tahu aku hamil, Mas Haris nggak mau bertanggung jawab. Dia memberatkan istrinya. Bahkan
Benalu part 38POV RAMAAku memutuskan pulang, dengan alasan tak enak badan. Memang pusing sekali rasanya. Padahal sudah janji sama Rizka untuk jemput Mila. Semoga saja Rizka bisa mengerti.“Kok, tumben pulang cepat, Mas?” tanya Rizka, saat melihatku merebahkan badan di ranjang, masih lengkap dengan sepatu dan baju kerja.“Kepalaku pusing,” jawabku dengan mata terpejam. Untung saja masih kuat bawa motor, hingga selamat sampai rumah. Rizka beranjak mendekat, melepaskan sepatu beserta kaos kaki yang aku pakai. Dia memang sangat pengertian. Kadang kalau sampai rumah dalam kondisi ngantuk berat dan langsung tertidur, Rizka mau melepaskan semuanya. Dia memang baik. Tak salah aku memilihnya, walau kadang masih sering kumat depresinya.Karena yang namanya pernah terganggu kejiwaannya, akan cepat terkena lagi. Apalagi kalau dia banyak beban pikiran. Walau gimanapun dia, aku telah memilihnya. Berusaha selalu menjaga perasaan dan pikirannya. Karena cinta ini tulus untuknya.“Mas aku buatin teh
Benalu part 39POV DEWI“Mas, katanya Rizka mau menjemput Mila sore ini,” ucapku kepada Mas Romi, yang sudah selesai mandi. Seperti biasa, pulang kerja dia langsung mandi dengan waktu yang lama. Nggak tahu ngapain di kamar mandi.“Nggak apa-apa,” jawabnya santai seraya mengusapkan handuk di rambutnya. Terlihat ganteng banget kalau kayak gitu. Seraya mengelus perut, semoga kalau laki-laki, gantengnya kayak Papanya. Baik dan pengertian juga.“Tapi aku belum bilang ke Mila, takutnya dia cemberut. Aku paling nggak suka kalau lihat Mila cemberut,” ucapku lagi seraya menerima uluran handuk dari Mas Romi. Kemudian menjemurnya di tempat yang sudah di sediakan. Rak mini khusus untuk handuk.“Nanti kita ngomong pelan-pelan ke Mila, ya,” jawabnya masih selow seraya menyisir rambutnya. “Iya, Mas, semoga saja, Mila bisa mengerti dan nggak nangis histeris saat melihat Rizka menjemputnya,” balasku.“Rizka juga nggak mungkin sendiriankan, jemput Milanya? Pasti juga sama Rama,.” Balas Mas Romi. Seray