POV ANGGA“Kemas bajumu, Ga! karena kamu harus mendampingi istrimu, sampai melahirkan,” perintah Mami. Kulirik Ibu matanya membelalak.“Ayo, Ga! kita-kita kemas-kemas!” sahut Ibu. Wajahnya seakan sumringah untuk ikut tinggal bersama Mami.“Eh, maaf, ya, Jeng Intan! Kami hanya menjemput Angga, suaminya Martina,” sanggah Mami. Ku gigit bibir bawah, kasihan melihat Ibu.“Lho, saya kan mertuanya Martina? Ibu kandungnya Angga. Jadi, kemanapun Angga, saya harus ikut,” jawab Ibu dengan ikutan cara bicara Mami. Membuatku malu dan menahan tawa sebenarnya.Mendengar jawaban Ibu, Mami langsung mengambil kipas angin portabale mininya, dari dalam tas. Menyalakannya menghadap ke wajahnya. Dengan memutar-mutarka bola matanya.“Haduh, Jeng ... kalau Jeng Intan juga ikut, Martina bisa tambah stres,” jawab Mami masih menggunakan kipas angin portable mininya.“Emangnya saya ngapain? Kok sampai bisa buat Martina stres?”sahut ibu ikutan mengipas lehernya dengan tangan kanannya. Ibu benar-benar ingin mengi
POV ANGGA“Mas!” sapa Martina. Tumben lembut. Biasanya kalau manggil aku suka teriak-teriak kalau di rumah. Ya, aku sudah di rumah Martina sekarang. Ibu mau di tinggal dengan syarat aku harus kesana setiap hari. Sekalian bawakan makanan setiap ke sana. Aku iyakah sajalah. Karena Mami nggak ada niat juga, ngajak ibu untuk tinggal satu rumah dengan mereka.“Hemmm,” jawabku seraya merebahkan badan di ranjang. Empuk sekali. Beda dengan yang ada di rumah. Dia mendekat, kemudian menyandarkan kepalanya di lenganku. Kenapa ini anak? Pasti ada maunya baik-baikin.“Maafin aku, ya, kalau sering kasar sama kamu,” jawabnya. Kutautkan keningku. Aku nggak salah dengarkan dia minta maaf? “Udah sadar sekarang, kalau itu salah?” tanyaku dengan nada jutek.“Hemmm, makasih juga masih berusaha menutupi, siapa bapak dari anak yang aku kandung ini,” ucapnya lagi. Tumben banget sih, ni, anak. Ada apa?“Tapi, kamu itu tega sama aku, Martina. Kamu membohongiku mentah-mentah. Kalau aku tahu, kamu lagi hamil an
POV IBU.Dengan sangat berat hati, aku mengijinkan Angga untuk tinggal di rumah mertuanya. Kasihan juga Martina, kalau nggak mikirin dia hamil, aku nggak akan mengijinkan Angga untuk tinggal bersama mereka. Enak saja, anakku mau di kuasainya.Hidup sendirian di rumah besar ini merasa bulu kudukku merinding. Hari juga semakin malam. Rasanya horor banget ini rumah. Sedikit saja terdengar bunyi sesuatu, rasanya hati ini berdebar. Kluntaaanggg. Terdengar lagi saura dari dapur. Jantung ini terasa akan keluar dari tempatnya. “suara apa itu?” lirihku. Aku yang sudah masuk ke dalam kamar akhirnya memberanika diri untuk keluar.Kreekkkkkkkk, mendengar pintu suara kamar, yang aku buka sendiri saja terdengar horor. Sungguh tega Angga membiarkan ibunya sendirian di rumah besar ini. Harusnya dia membayar pembantu biar aku nggak sendirian. Tahu kayak gini, aku tadi meminta syarat gaji pembantu. Ah, nyesal aku hanya minta di kirim makanan dan uang saja.Dengan langkah pelan, aku memberanikan diri k
POV ANGGA“Ibu ngapain ke sini?” tanyaku setelah membayar ojek Ibu. Mungkin terdengar nggak sopan di telinga Ibu. Terbukti Ibu mengerutkan kening.“Kamu ini gimana? Di datangin orang tua, kok, kayak gitu tanyanya? Kamu nggak suka Ibu main ke sini? Mentang-mentang ibumu ini kere, mertuamu kaya jadi malu ibu main ke sini? Gitu?” jawab ibu langsung nyolot. Benarkan ibu tersinggung. Aku jadi serba salah rasanya.“Ya, nggak gitu, Bu. Ini aja Angga mau ke sana, untung Angga belum berangkat, kalau Angga berangkat bisa-bisa nggak ketemu. Angga ke sana, Ibu ke sini,” jawabku asal. Kulirik Martina wajah yang dari tadi sumringah sekarang kembali ke asal. Cemberut.“Orang tua datang itu, ya, di ajak masuk! Masak di suruh berdiri saja di luar kayak gini,” sahut Ibu. Astaga! aku sampai lupa nyuruh ibu masuk. Ku lihat Martina sudah masuk ke dalam rumah, tanpa menyuruh Ibu masuk. Dia seakan nggak suka ibu main ke sini.“Istrimu itu memang nggak ada akhlak, ya, orang tua datang malah di tinggal masuk,
Part 15POV MARTINAAslinya aku sebel banget lihat ibu pagi-pagi kayak gini sudah sampai di rumah Mami. Baru saja aku mau bener-bener membuka hati untuk Mas Angga. Walau bagaimanapun, dia laki-laki baik. Mau menutupi aib terbesarku. Walau kerjaaanya hanya sopir dengan gaji yang nggak seberapa. Setidaknya aku tak malu menghadapi kajamnya dunia ini.Untuk pertama kalinya Mas Angga mau mengelus perutku seraya menyebut anaknya. Hatiku bener-bener luluh. Entahlah, apa maksudnya. Mungkin hanya ingin merayuku agar mu menemui ibu. Apapun alasannya, hati ini berdesir saat dia mau mengakui anak yang sebenarnya bukan benihnya.“Tina, rumah orang tuamu bagus banget, kenapa kamu nggak minta di belikan rumah yang bagus kayak gini juga?” baru saja pantat ini menempel di sofa karena ingin menemani ibu. Dia sudah ngoceh nggak jelas. Benar-benar matre.“Tugas Mas Angga, dong, yang harusnya beli rumah. Bukan tugas Mami sama Papi lagi. masih untung di beliin,” jawabku. Kalau denger ocehan ibu rasanya hat
POV IBURumah Jeng Sella memang bagus banget. Sampai nggak bisa berkedip ini mata. Andaikan aku bisa tinggal di sana, pasti aku di hormati oleh orang-orang. Terutama si Lampiratu Wesi. Belum puas aku di sana, Angga menjemputku. Dia mengajakku pulang. Padahal aku masih betah di sana. Jeng Sella juga nggak mau mengajakku ke arisan. Katanya yang bisa masuk hanya yang ikut arisan saja. Nampak sekali bohongnya. Manalah ada arisan model begitu. Aku dulu pernah ikut arisan di kampung seminggu sepuluh ribu, siapa-siapa yang datang silahkan, tak ada masalah. Bahkan anak-anaknya di bawa semua juga boleh.“Mertuamu itu kelewatan, masa ibu mau ikut grop arisannya nggak boleh,” ucapku kepada Angga. Dia masih fokus nyetir.“Arisan Mami itu gaya sosialita, Bu. Nggak akan kuat kalau mau ikut gaya Mami,” sahut Angga. Aku hanya mencebikkan mulut.“Kan, cuma ikut saja. Biar di kenalkan gitu ke temen-temennya, kalau ibu ini besannya,” balasku. Angga masih fokus mengemudi.“Sudahlah, Bu. Lagian ibu nggak
POV Angga.Aku menjemput ibu pulang, karena Martina menelpon. Katanya Mami sehari ini sampai minum obat sakit kepala dua kali, karena pusing melihat tingkah absurd Ibu. Serba bingung rasanya, aku faham betul gimana Ibu. Enak nggak enak, aku mengajak Ibu pulang, dari Pada Mami over dosis. Mumpung, lagi waktunya jam istirahat jadi aku bisa menjemput ibu. Karena nggak mungkin Martina mau mengantar Ibu pulang. Selain perutnya juga sudah besar, bisa-bisa ibu salah tanggap nanti.Ibu juga selalu menyindir-nyindir tentang pembantu. Harusnya ibu tahu seberapa gajiku. Hanya sekedar sopir pribadi. Untuk memenuhi kebutuhan rumah selama sebulan saja sudah untung. Gitu masih mau bayar gaji ART? mau makan apa?Aku sebenarnya kasihan dengan Ibu, yang tinggal sendirian di rumah Martina. Karena ibu itu sebenarnya penakut. Apalagi setelah kejiwaannya terganggu. Ibu semakin parah. Halusinasinya tinggi banget. Tapi gimana lagi? kasihan Martina juga kalau tinggal di sana. Perutnya juga semakin membesar.
POV DEWI“Mas, aku kok pengen rujak yang ada di ujung jalan poros itu, ya,” ucapku dengan liur yang kemecer dan menelannya. Membayangkan kayaknya enak banget. Mas Romi mendekat.“Ngidam?” tanya Mas Romi seraya mengelus perutku. Masih merasakan desiran yang sama. Hati ini masih saja berdesir jika Mas Romi menyentuh badanku.“Nggak tahu nyidam apa nggak, yang jelas yang ada di pikiran membayangkan rujak yang ada di ujung jalan poros itu, kok, enak banget ya. Sampai kemecer ini liur,” jawabku. Kemudian dia tertawa. Mengecup keningku beberapa detik. Kemudian juga mencium perutku beberapa detik.“Haduh, anak Papa pengen rujak? Apa Mama ini yang pengen, ya?” ucap Mas Romi seakan mengajak anaknya bicara. Ada-ada saja.“Mas mau beliinkan?” tanyaku. Dia semakin melebarkan tawanya.“Ya, jelas mau lah sayang, mau di belikan apa ikut?” jawab dan tanya Mas Romi seraya membelai rambutku. Dia memang seperti itu. Aku merasa wanita paling beruntung memilikinya. Cuma ada satu yang aku nggak suka dariny