POV ANGGA“Ibu ngapain ke sini?” tanyaku setelah membayar ojek Ibu. Mungkin terdengar nggak sopan di telinga Ibu. Terbukti Ibu mengerutkan kening.“Kamu ini gimana? Di datangin orang tua, kok, kayak gitu tanyanya? Kamu nggak suka Ibu main ke sini? Mentang-mentang ibumu ini kere, mertuamu kaya jadi malu ibu main ke sini? Gitu?” jawab ibu langsung nyolot. Benarkan ibu tersinggung. Aku jadi serba salah rasanya.“Ya, nggak gitu, Bu. Ini aja Angga mau ke sana, untung Angga belum berangkat, kalau Angga berangkat bisa-bisa nggak ketemu. Angga ke sana, Ibu ke sini,” jawabku asal. Kulirik Martina wajah yang dari tadi sumringah sekarang kembali ke asal. Cemberut.“Orang tua datang itu, ya, di ajak masuk! Masak di suruh berdiri saja di luar kayak gini,” sahut Ibu. Astaga! aku sampai lupa nyuruh ibu masuk. Ku lihat Martina sudah masuk ke dalam rumah, tanpa menyuruh Ibu masuk. Dia seakan nggak suka ibu main ke sini.“Istrimu itu memang nggak ada akhlak, ya, orang tua datang malah di tinggal masuk,
Part 15POV MARTINAAslinya aku sebel banget lihat ibu pagi-pagi kayak gini sudah sampai di rumah Mami. Baru saja aku mau bener-bener membuka hati untuk Mas Angga. Walau bagaimanapun, dia laki-laki baik. Mau menutupi aib terbesarku. Walau kerjaaanya hanya sopir dengan gaji yang nggak seberapa. Setidaknya aku tak malu menghadapi kajamnya dunia ini.Untuk pertama kalinya Mas Angga mau mengelus perutku seraya menyebut anaknya. Hatiku bener-bener luluh. Entahlah, apa maksudnya. Mungkin hanya ingin merayuku agar mu menemui ibu. Apapun alasannya, hati ini berdesir saat dia mau mengakui anak yang sebenarnya bukan benihnya.“Tina, rumah orang tuamu bagus banget, kenapa kamu nggak minta di belikan rumah yang bagus kayak gini juga?” baru saja pantat ini menempel di sofa karena ingin menemani ibu. Dia sudah ngoceh nggak jelas. Benar-benar matre.“Tugas Mas Angga, dong, yang harusnya beli rumah. Bukan tugas Mami sama Papi lagi. masih untung di beliin,” jawabku. Kalau denger ocehan ibu rasanya hat
POV IBURumah Jeng Sella memang bagus banget. Sampai nggak bisa berkedip ini mata. Andaikan aku bisa tinggal di sana, pasti aku di hormati oleh orang-orang. Terutama si Lampiratu Wesi. Belum puas aku di sana, Angga menjemputku. Dia mengajakku pulang. Padahal aku masih betah di sana. Jeng Sella juga nggak mau mengajakku ke arisan. Katanya yang bisa masuk hanya yang ikut arisan saja. Nampak sekali bohongnya. Manalah ada arisan model begitu. Aku dulu pernah ikut arisan di kampung seminggu sepuluh ribu, siapa-siapa yang datang silahkan, tak ada masalah. Bahkan anak-anaknya di bawa semua juga boleh.“Mertuamu itu kelewatan, masa ibu mau ikut grop arisannya nggak boleh,” ucapku kepada Angga. Dia masih fokus nyetir.“Arisan Mami itu gaya sosialita, Bu. Nggak akan kuat kalau mau ikut gaya Mami,” sahut Angga. Aku hanya mencebikkan mulut.“Kan, cuma ikut saja. Biar di kenalkan gitu ke temen-temennya, kalau ibu ini besannya,” balasku. Angga masih fokus mengemudi.“Sudahlah, Bu. Lagian ibu nggak
POV Angga.Aku menjemput ibu pulang, karena Martina menelpon. Katanya Mami sehari ini sampai minum obat sakit kepala dua kali, karena pusing melihat tingkah absurd Ibu. Serba bingung rasanya, aku faham betul gimana Ibu. Enak nggak enak, aku mengajak Ibu pulang, dari Pada Mami over dosis. Mumpung, lagi waktunya jam istirahat jadi aku bisa menjemput ibu. Karena nggak mungkin Martina mau mengantar Ibu pulang. Selain perutnya juga sudah besar, bisa-bisa ibu salah tanggap nanti.Ibu juga selalu menyindir-nyindir tentang pembantu. Harusnya ibu tahu seberapa gajiku. Hanya sekedar sopir pribadi. Untuk memenuhi kebutuhan rumah selama sebulan saja sudah untung. Gitu masih mau bayar gaji ART? mau makan apa?Aku sebenarnya kasihan dengan Ibu, yang tinggal sendirian di rumah Martina. Karena ibu itu sebenarnya penakut. Apalagi setelah kejiwaannya terganggu. Ibu semakin parah. Halusinasinya tinggi banget. Tapi gimana lagi? kasihan Martina juga kalau tinggal di sana. Perutnya juga semakin membesar.
POV DEWI“Mas, aku kok pengen rujak yang ada di ujung jalan poros itu, ya,” ucapku dengan liur yang kemecer dan menelannya. Membayangkan kayaknya enak banget. Mas Romi mendekat.“Ngidam?” tanya Mas Romi seraya mengelus perutku. Masih merasakan desiran yang sama. Hati ini masih saja berdesir jika Mas Romi menyentuh badanku.“Nggak tahu nyidam apa nggak, yang jelas yang ada di pikiran membayangkan rujak yang ada di ujung jalan poros itu, kok, enak banget ya. Sampai kemecer ini liur,” jawabku. Kemudian dia tertawa. Mengecup keningku beberapa detik. Kemudian juga mencium perutku beberapa detik.“Haduh, anak Papa pengen rujak? Apa Mama ini yang pengen, ya?” ucap Mas Romi seakan mengajak anaknya bicara. Ada-ada saja.“Mas mau beliinkan?” tanyaku. Dia semakin melebarkan tawanya.“Ya, jelas mau lah sayang, mau di belikan apa ikut?” jawab dan tanya Mas Romi seraya membelai rambutku. Dia memang seperti itu. Aku merasa wanita paling beruntung memilikinya. Cuma ada satu yang aku nggak suka dariny
POV ANGGAIbu di temukan pingsan oleh Pak RT di teras rumah, pagi ini. Nggak tahu masalahnya apa? Karena ibu juga baru saja sadar dan belum bisa di tanya-tanya. Seperti orang linglung.“Bu?” sapaku seraya memegang tangannya. Ibu masih terdiam, tatapan matanya kosong. Aku jadi sangat menyesal, tak menemani ibu tadi malam.“Kasihan ibumu, Ga! harusnya kamu sebagai anak satu-satunya, harusnya bisa jagain ibumu,” celetuk Pak Rt seakan menamparku. Iya, bener yang di bilang Pak Rt. Aku anak semata wayang ibu. Laki-laki lagi. Tapi, tadi malam aku malah mementingkan Martina yang jelas-jelas di rumah Mami banyak orang. Sedangkan ibu sendirian di rumah ini.“Iya, Pak. Istri saya hamil tua, nggak tega juga ninggalin dia. Karena dia ingin lahiran di rumah orang tuanya sendiri,” balasku. Pak Rt hanya mengangguk-angguk saja, mendengar ucapanku.“Iya, Ga. tapi kasihan ibumu sampai pingsan di teras. Mungkin dia ketakutan hingga tidur di teras,” ucap Pak RT. Mendengar ucapan Pak RT, aku jadi menginga
POV DEWI“Anu kenapa, Bi?” tanyaku penasaran dengan ucapan Bi Yuli. Mas Romi masih menenangkan anaknya.“Tadi merengek-rengek minta ke rumahmu, Mbak, terus aku bentak,” celetuk Rizka keluar dari dalam. Aku mengerutkan kening. Ku lihat Bi Yuli, langsung menuju ke luar rumah, mungkin mau melanjutkan tugasnya tadi.“Kenapa nggak telpon Mas Romi, biar di jemput, kasihankan di bentak,” ucapku, seraya memandang Mila yang masih sesenggukkan di pelukkan Papanya. Rizka duduk di kursi yang tak jauh dari kami.“Aku nggak enak sama kamu, Mbak. Mbakkan lagi hamil, apalagi Mbak juga masih mual muntah, aku nggak enak sama Mbak, kalau ada Mila di sana,” jawab Rizka. “Ya Allah Rizka, Mbak ini sudah menganggap Mila seperti anak Mbak sendiri, jadi jangan merasa nggak enak kayak gitu,” ucapku. Rizka terdiam.“Kangen sama Mama Dewi?” tanya Mas Romi ke Mila yang masih dalam pelukkannya. Mila mengangguk. Seraya menyeka air mata di bantu oleh Papanya.“Mama Dewikan sudah ada di sini, peluk dong!” ucap Mas R
Part 21POV MARTINASebenarnya malas berhubungan dengan Ibu. Tapi, karena nggak tega juga dengan Mas Angga, akhirnya mau juga ngerawat Ibu yang stres ini. Sebagai balas budi juga kepada Mas Angga yang telah mau menutupi aibku.“Mbak saya pulang dulu, ya! Nanti kalau ada apa-apa bisa hubungi saya,” ucap Pak RT pamit seraya beranjak.“Iya, Pak. Makasih ya, Pak, sudah menjaga mertua saya,” balasku.“Sama-sama, Mbak,” ucap Pak RT seraya keluar. Aku mengantarnya sampai pintu. Mas Angga, aku sampai langsung berangkat ke tempat kerjanya. Katanya udah telat. Makanya terburu-buru. Setelah sekian menit barulah Pak RT yang pamit. Sekarang tinggal aku dan Ibu. Melihat Ibu terdiam dengan tatapan mata kosong, kasihan sebenarnya. Aku sendiri juga bingung sebenarnya. Nggak tahu mau ngapain. “Ibu udah sarapan?” tanyaku dari pada diam saja. Dia masih terdiam, melihatku saja tidak. Tatapan matanya lurus ke depan. Entahlah, dia mendengar suaraku atau tidak. “Ibu mau sarapan apa?” aku terus bertanya w
Benalu part 102POV 3“Pi, motor Angga di bawa kabur mereka,” ucap Angga, dia masih sangat menyayangkan motornya yang belum lunas. Masih kredit.“Biar, Ga! motor bisa di beli lagi. Yang penting nyawa kamu selamat,” jawab Pak Faris bijak.Angga mendesah. ‘Untung nggak mau membawa mobil Papi, kalau sampai memenuhi keinginan Ibu untuk meminjam motor Papi, yang hilang mungkin mobil Papi. Harus dengan cara apa untuk menggantinya?’ lirih Angga dalam hati. Walau kondisinya sudah babak belur begitu, tapi dia masih bersyukur, karena bukan mobil mertuanya yang dia bawa.“Bagaimana keadaan sebenarnya, Ga? kok, kamu bisa sampai seperti ini?” tanya Pak Faris kepada menantunya.“Permisi,” Pak Faris dan Angga mengarah ke asal suara. Ternyata ada dokter dan Martina berjalan mendekat.“Saya periksa dulu, ya?” ucap dokter laki-laki paruh baya itu ramah. “Silahkan dok,” jawab Pak Faris mempersilahkan. Dokter itu menjalankan tugasnya. Memeriksa detak jantung dan yang lainnya. “Kepala saya pusing banget
Benalu part 101POV 3“Yaudah Om, Tante, Mita, kami pulang dulu. Kalau ada apa-apa langsung hubungi Romi,” pamit Romi kepada semuanya.“Iya, Rom, pasti, kamu juga hati-hati di jalan,” balas Om Heru. Kemudian mereka beranjak dan keluar dari kamar Mita.Romi dan Dewi melewati lorong Rumah Sakit seraya bergandengan tangan. Dewi mengedarkan pandang. Matanya melihat sosok laki-laki yang menggunakan masker, kacamata hitam dan jaket, berjalan seraya tolah toleh. Mata Dewi menyipit. Langkah kakinya penuh curiga.“Mas, laki-laki itu, kok, jalannya ngendap-ngendap, ya?” tanya Dewi lirih dengan mata masih memperhatikan laki-laki itu. Romi akhirnya juga ikut menoleh ke arah yang di pandang Dewi.“Iya, mau ngapain, ya? tapi dia ke lorong sana?” sahut Romi lirih. Mata mereka masih fokus dengan laki-laki berjaket itu.“Iya, apa kita ikuti?” tanya Dewi kepada suaminya.Dreettt dreeerrrttt dreetttt gawai Dewi bergetar di dalam tasnya. Tak berselang lama berbunyi. Nada panggilan masuk. Dengan cepat De
Benalu part 100POV 3Ya, di sini, Rizka berpelukkan manja dengan Ibu mertuanya. Dan Rama berpelukkan haru dengan Ibu mertuanya. “Doakan, ya, Bu. semoga Rumah Tangga kami sakinnah ma waaddah wa rohmah,” pinta Rama kepada mertuanya.“Pasti, Nak. Pasti. Tanpa kalian minta, ibu pasti mendoakan kalian,” ucap Bu Sumi. Rama kemudian melepaskan pelukannya.“Pa, kapan Mama Dewi pulang?” tanya Mila tiba-tiba. Membuat Rama tidak bisa menjawabnya. Rama dan mertuanya saling beradu pandang. Rama menarik nafasnya kuat-kuat dan melepaskannya perlahan.“Papa juga nggak tahu, Sayang,” jawab Rama. Membuat bibir Mila cemberut.“Katanya Mama Dewi nggak lama-lama. Tapi, kok nggak pulang-pulang?” sahut Mila seraya bertanya.Mila memang sangat merindukan Dewi. Menunggu Dewi pulang terasa sangat lama baginya. Selalu menunggu hari esok, dengan harapan hari esok mama Dewinya pulang. “Urusan Mama Dewi belum selesai Sayang, makanya Mama Dewi belum bisa pulang,” jawab Rama santai, dengan selalu menyunggingkan s
Benalu part 99POV 3Anga sudah di periksa oleh dokter. Dia juga belum sadar. Martina dan orang tuanya menunggu di luar. Karena belum di ijinkan masuk. Karena Angga masih dalam penanganan.Martina masih terus menangis. Dia mondar mandir dengan hati yang cemas. Berkali-kali melirik ke pintu kamar di mana Angga di rawat. Berharap pintu itu segera di buka dan dokter segera menyampaikan kabar tentang kondisi suaminya.Yusuf sudah tenang. Dia tidur di pelukkan neneknya. Bu Intan juga nggak kalah paniknya. Hatinya juga berdegub nggak jelas. Selalu berdoa untuk kebaikan anaknya.“Dokternya kok, nggak keluar-keluar, ya?” celetuk Bu Intan. Dia juga nggak sabar menunggu dokter keluar.Bu Intan menyesal sekali, menyuruh anaknya membelikan dia makanan. Lebih tepatnya dia memaksa Angga untuk membelikan makan. Padahal waktu itu, kerjaan rumah di besannya masih banyak dan rumah juga masih berantakan. Makanan juga banyak. Hanya demi ingin pamer baju baru dan naik mobil besannya dia memaksa. Ternyata
Benlau part 98POV 3“Ma, tapi Mama dan Papa setujukan Mita nikah sama Gio?” tanya Mita kepada mamanya. membuat mamanya bingung menjawabnya. Langkah kaki Dewi langsung terhenti. Dari kemarin-kemarin dia cuma membayangkan saja, kalau Mita akan menikah dengan Pak Galih. Dan itu sudah membuatnya mual. Tapi, hari ini telinganya mendengar sendiri kalau adiknya ingin menikah dengan laki-laki yang selalu mual jika namanya di sebut. Kemudian Dewi berbalik badan, tak jadi keluar tapi malah menuju ke toilet yang ada di kamar rawat inap Mita. Membuat Tante Tika cemas juga dengan kondisi Dewi. Kemudian menyusul Dewi ke toilet. Memijit tengkuknya. Agar terasa enakkan.“Kamu masih sering muntah, Wi?” tanya Tante Tika dengan nada cemas. Walau dia sering melihat Dewi seperti itu, tapi tetap saja dia cemas dengan kondisi keponakannya.“Iya, Tante,” jawab Dewi dengan nada lemas. Dia sudah duduk di sofa ruang kamar Mita di rawat.“Ibu hami itu memang macam-macam, ada yang cuma trimester pertama, ada y
Benalu part 97POV 3Hati Martina semakin berdegub kencang saat kakinya melangkah menuju rumah Pak Agung. Dia sangat penasaran dengan keadaan suaminya, dan apa yang terjadi sebenarnya. Terus foto yang di berikan Haris itu, apa maksudnya? Dari mana dia mendapatkan foto itu? Semuanya masih menjadi tanya besar di benak Martina. dan sebentar lagi akan terjawab. ‘Mas Angga aku sudah dekat denganmu,’ lirih Tina lagi dalam hati.“Silahkan langsung ke kamar saja semuanya. Karena yang punya hape ini masih di dalam kamar dan belum sadar,” ucap Pak Agung. Semakin membuat hati Tina bergemuruh. Pintu kamar di buka oleh pemiliknya. Bu Intan juga berdebar hatinya, ingin segera melihat kondisi anaknya. Begitu juga dengan Jeng Sella dan Pak Faris. Tak kalah berdebar walau hanya anak mantu. Tapi, mereka benar-benar cemas. Martina masuk lebih di dalam kamar itu. Tak sabar rasanya, ingin melihat suaminya. “Itu, Mbak pemilik hape ini,” jawab Pak Agung seraya menunjuk ke ranjang. Di sana terbaring seso
Benalu 96POV 3“Sayang, aku sudah melacak alamat-alamat nomor baru yang menghubungi kamu. Cuma banyak nomor baru, jadi kamu ingat-ingat ya, nomor mana yang menghubungimu, saat kamu di kabari kalau papamu kecelakaan,” jelas Pak Galih seraya memberikan gawai Mita yang dia bawa dari tadi.Mita menerima gawainya. Kemudian melihat nomor-nomor baru itu. Matanya kembali nanar lagi. Nggak ingin membahas masalah ini. Tapi, kalau nggak di bahas, nggak akan selesai-selesai ini kasus.“Yang ujungnya 29, sahut Mita,” sahut Mita kemudian, meletakkan gawainya di sebelahnya.Pak Galih langsung memeriksa alamat nomor yang di bilang Mita. Dari sekian banyak nomor baru, hanya satu yang ujungnya 29. Pak Galih tersenyum.“Kita bisa lapor polisi dan segera menggerebeknya,” ucap Pak Galih yakin dan mantab.“Alamatnya mana, Pak?” tanya Om Heru penasaran.“Ini, Pak!” Pak galih menyerah kertas yang sudah tercantum semua alamat-alamat nomor baru yang menghubungi Mita. Om Heru langsung menerimanya. Kemudian men
Benalu part 95POV 3Dreett dreet dreettt gawai Tina bergetar. Tak berselang lama berbunyi.“Ma, tolong lihatkan siapa yang menelpon?” pinta Tina kepada mamanya. “Iya, Sayang,” ucap Jeng Sella, kemudian langsung mengambil gawai yang masih di saku baju Tina. “Astaga!” ucap jeng Sella saat melihat siapa yang menelpon.“Siapa yang nelpon, Mi? Peneror itu lagi kah?” tanya Tina masih dengan Mata sedikit membuka. Karena kalau membuka sempurna dia nggak tahan. Karena melihat semuanya berputar-putar.“Angga, yang nelpon,” sahut Jeng Sella. Seketika Martina terperanjat dari baringnya. Membuka paksa matanya saat mendengar nama suaminya menelon ke nomornya.“Cepat angkat, Mi!” perintah Martina semangat. Jeng sella mengangguk dan kemudia mengangkat telpon itu.[Hallo, Angga] ucap Jeng Sella memulai percakapannya. Kemudian dia meloundspeaker gawainya.[Hallo] terdengar suara dari seberang. Suara laki-laki. Martina mengerutkan keningnya. Karena dia faham kalau itu bukan suara suaminya.[Ini siapa
Benalu part 94POV 3Pak Galih memutuskan pulang, seraya membawa hape Mita. Karena dia ingin mengeceknya di rumah. Om Heru nggak percaya gitu saja tentunya dia membawa pulang gawai Mita. Karena baru saja ketemu. Walau dia tahu anaknya sangat dekat dengannya. Akhirnya Pak Galih meninggalkan KTPnya, agar Om Heru dan yang lainnya percaya, kalau dia memang serius ingin membantu Mita.“Gio mana, Mbak?” tanya Mita kepada Dewi. Langsung mual perut Dewi jika nama itu di sebut. Seakarang di kamar itu tinggal mereka berdua. Om Heru dan Tante Tika pulang. Romi sedang mencari ke kantin rumah sakit untuk membeli makanan.“Pak Galih, udah pulang,” jawab Dewi dengan susah payah menahan rasa mualnya.“Mbak, salah nggak aku jatuh cinta dengan Gio?” tanya Mita. Semakin membuat Dewi mual. Liur sudah naik ke mulut. Susah payah dia menelan ludahnya sendiri.“Eh, namanya kan Pak Galih. Kenapa kamu panggilnya Gio?” tanya Dewi balik, sengaja mengalihkan pembicaraan, karena memang nggak mau menjawab pertanyaa