Tania bergerak mundur, sambil melepaskan cekalan tangan Ibu Ryan di lengannya. Ia berusaha bersikap tenang, walaupun sebenarnya ia merasa gemetar dan jantungnya berdegup kencang. “Mengapa saya harus merasa heran Anda akan menemukan saya di sini, IBU?”Ia sengaja memberikan penekanan pada kata Ibu. Ia memberanikan diri menatap tajam kepada wanita yang telah melahirkan suaminya itu. Ia tidak akan memperlihatkan, kalau sebenarnya ia merasa takut kepada wanita itu.“Jangan panggil saya, Ibu! Karena saya bukanlah Ibumu dan saya tidak pernah setuju kamu menjadi menantu saya,” tegas Ibu Ryan.Tania tersenyum kecut, ia harus memberikan aplaus kepada mertuanya ini, yang berkata jujur. Memang benar, kalau dirinya bukanlah menantu pilihan dan ia tidak akan memaksa Ibu Ryan untuk menerima dirinya.“Betapa senng mendengar kejujuran Anda, Nyonya! Sekarang saya harus pergi dan semoga kita tidak pernah bertemu lagi.” Tania berjalan cepat menuju halte bis yang berjarak tidak terlalu juah dari tempat T
Tania sontak saja menjadi terkejut, ia langsung menolehkan kepala dan melihat Ades yang menyeringai ke arahnya. “Saya tidak takut kepadamu dan saya tidak memerlukan bantuan siapapun juga!”Ades tertawa mencemooh mendengar jawaban dari Tania. Ia memberikan jawaban dengan nada mengejek kepada Tania. “Tentu saja dan kamu akan menangis, kemudian melapor kepada Ryan. Ups! Saya lupa, kalau Ryan sudah tidak peduli lagi kepadamu, setelah kamu mempermalukan dirinya.”Tania memejamkan mata dengan tangan yang terkepal di samping badan. Tangannya gatal hendak melayangkan tamparan kepada wanita itu. Kenapa ia tidak bisa bersikap toleransi saja kepada dirinya yang saat ini sedang berada di rumah sakit.Suara Tania bergetar menahan emosi ketika ia mengatakan kepada Ades untuk bisa bersikap lebih toleransi, karena sekarang ini dirinya sedang berada di rumah sakit. Ia dapat melanjutkan menghina dirinya, ketika mereka berada di luar.“Maaf, di sini bukan tempat untuk bertengkar. Silakan keluar!” tegur
Ryan berjalan keluar dari ruang kerjanya dengan langkah gagah. Ia berhenti di depan meja kerja sekretarisnya. “Saya dan pak Robby keluar. Dan kami tidak akan kembali ke kantor, kalau ada tamu yang berkunjung, silakan buat janji kembali.”“Baik, Pak!” sahut sekretaris Ryan.Ryan kembali berjalan menyusuri koridor menuju lift, sebelum ia mencapai lift pintu ruang kerja Robby terbuka. Asistennya itu keluar dengan menenteng tas kerja di tangannya.Ia menganggukkan kepala kepada Ryan dan mengatakan kepada bosnya itu, kalau semua dokumen untuk pertemuan nanti sudah siap. Berikut dengan materi yang akan dipresentasikan oleh Ryan.“Bagus! Tidak sia-sia saya membayar mahal gajimu. Hanya saja kamu masih memiliki kekurangan besar, kamu tidak berhasil menjaga dan membawa Tania untuk saya,” ucap Ryan dengan dingin.Robby mendengus, sambil melirik Ryan. “Itu semua, karena kekacauan yang kau buat sendiri dan jangan menyalahkan orang lain.”Rahang hanya diam saja dengan gestur tubuh yang kaku. Ia ber
Ryan melayangkan tatapan mengejek ke arah Robby. “Saya tidak percaya kau akan berani dan sanggup melakukannya! Ingat saja apa yang pernah saya lakukan di masa lalu untukmu.”Robby mendesah dengan keras mendengar apa yang dikatakan oleh Ryan. “Kau sungguh sialan, karena mengingatkan saya! Bisa jadi, orang lainlah yang akan merebut Tania darimu, kalau kau lambat menemukannya. Kesempatan ketiga belum tentu seberuntung kesempatan kedua.”Ryan terdiam, ia memang beruntung berhasil bertemu dengan Tania kembali. Masalah di antara mereka yang terjadi pada pernikahan pertama juga sudah terkuak, walau masih ada beberapa hal yang perlu ia cari tahu kebenarannya.Ia tidak menanggapi apa yang dikatakan oleh Robby, dirinya memilih untuk diam dan masuk mobil yang dikemudikan oleh sopir pribadinya. Ia tadi, begitu selesai meeting langsung menghubungi sopirnya untuk menjemput.“Jangan antarkan, Tuanmu ke kelab atau ke tempat yang bisa membuatnya mabuk!” perintah Robby kepada sopir pribadi Ryan.“Baik,
Tangis Tania pecah, ia yang tadinya merasa sendirian dan tidak tahu tempat untuk bercerita. Mendadak merasa ada teman, walaupun itu orang asing yang sama sekali tidak dikenalnya. “Ayah saya baru saja meninggal dunia dan saya bingung, bagaimana caranya mengurus jenazahnya, agar bisa dibawa pulang ke Indonesia.”Pria asing itu terdiam mendengar apa yang diceritakan oleh Tania dengan suara tersendat, karena isak tangisnya. Ia menarik Tania kepelukannya, agar wanita itu merasa aman dan terlindungi,“Saya akan membantumu, sebagai sesama orang Indonesia yang berada di negara orang.” Pria itu mengusap pelan punggung Tania.Tania menjauhkan dirinya dari pelukan pria itu. Ia merasa malu dan menyesal sudah membiarkan dirinya dipeluk, padahal ia sudah memiliki suami.“Maaf! Tidak seharusnya saya memeluk Tuan. Saya terlalu senang ada orang yang peduli dengan keadaan saya dan bersedia membantu.” Tania menundukkan kepala.Pria itu memperkenalkan dirinya bernama Syarif. Dirinya bekerja di negara Sin
Sekretaris Ryan terrkesiap, karena terkejut, tetapi ia dengan cepat menguasai dirinya kembali. “Ryan! Kenapa kamu mabuk?”Wanita itu tahu ia salah, tetapi ia akan memanfaatkan situasi yang menguntungkan baginya. Ia sudah lama memendam rasa kepada bosnya itu dn sekarang ia akan melakukan cara yang rendah sekalipun demi mendapatkan cinta Ryan.Sekretaris Ryan mengangkat tangannya untuk mengusap pipi Ryan dengan lembut. Satu jarinya menelusuri bibir Ryan yang terlihat seksi diabaikannya, kalau napas dan badan Ryan bau menyengat alkohol.‘Bagaimana rasanya mencium bibir Ryan? Ini kesempatan saya untuk merasakan apa yang selama ini hanya ada dalam khayalan saja,’ batin sekretaris Ryan.Ia mendekatkan bibirnya ke bibir Ryan, dengan mata terpejam. Namun, tiba-tba saja ia merasakan dirinya didorong dengan kasar sampai terjatuh dengan keras ke lantai.‘Sialan, kamu! Kamu pikir dengan merayu saya, saya akan memaafkan kesalahanmu? Keluar dan jangan datang lagi kepada saya!” bentak Ryan dengan su
“Semua sudah beres, Ayah kamu besok sudah bisa dibawa pulang ke Indonesi. Maaf, saya harus segera kembali bekerja, karena saya sudah meminta ijin kemarin,” ucap Syarif.“Saya mengucapkan banyak terima kasih, atas bantuanmu. Saya tidak tahu apa yang harus saya lakukan, kalau tidak dibantu,” sahut Tania.Syarif menyunggingkan senyuman yang tulus kepada Tania. Ia mengatakan, sebagai sesama perantau di negara orang sudah sewajarnya mereka saling menolong. Iaj juga mengatakan, kalau dirinya minta maaf, tidak bisa memberikan bantuan materi kepada Tania.“Bantuanmu menghubungi pihak-pihak yang terkait dengan pemulangan jenazah Ayah saya sudah lebih dari cukup. Kamu juga sudah mengorbankan waktu dan uang pribadimu untuk mengurus itu semua,” Tania menangkupkan tangan di depan dada.Syarif memberikan senyuman tulus, ia berharap, kalau suatu hari nanti mereka kembali bertemu, setelah dirinya kembali ke Indonesia. Usai mengatakan hal itu Syarif meninggalkan Tania seorang diri.Tania duduk di bang
Robby terperangah mendengar apa yang diucapkan oleh Ryan. “Dan kamu hanya diam saja tidak mencarinya?”“Mengapa saya harus melaporkan apa yang sudah dan akan saya lakukan kepadamu?” sindir Ryan.Robby mengangkat pundak dengan santai ia mengatakan tidak masalah. Ia duduk dengan santai menunggu sarapan yang dipesannya datang. Sementara Ryan disibukkan dengan ponsel dan wajahnya terlihat serius.“Saya tidak jadi sarapan di kantor! Kamu habiskan saja sendiri.” Ryan dengan santainya memberikan isyarat kepada Robby untuk keluar dari ruang kerjanya.Robby dengan santai berjalan keluar, meski ia sedikit marah. Sudah dipesankan makanan, ternyata Ryannya malah akan pergi. Dan sekarang ia yang harus menghabiskan makanan itu.Ryan juga keluar dari ruang kerjanya dengan langkah yang panjang. Raut wajahnya begitu dingin membuat Robby yang hendak menegur Ryan, karena tidak seperti biasa. Temannya itu berjalan, seperti dikejar setan saja.Beberapa jam berselang, Ryan sudah berada di Singapura. Ia men