Mala menjadi gemetar ketakutan, lebih karena terkejut sebenarnya. Pemukul kasur yang ada di tangannya jatuh mengenai kaki, tetapi ia tidak mempedulikan rasa sakit. “Tu-Tuan, Ryan! Apa maksud Tuan bertanya, seperti itu? Nyonya Tania belum pulang dari pesta bersama dengan tuan Robby.”Ryan menyalakan lampu yang ada di koridor lantai dua, sehingga tempat itu menjadi terang. Diamatinya dengan lekat wajah Mala, untuk mengetahui, apakah wanita itu berbohong kepadanya.“Hmm, apakah Istri saya ada menghubungimu?” Tanya Ryan dingin.Mala menggelengkan kepala. Ia merasa kebingungan dengan apa yang sudah terjadi, sehingga membuatnya memberanikan diri untuk bertanya kepada Ryan.“Maaf, Tuan! Apa yang terjadi dengan, Nyonya Tania? Apakah Nnyonya dalam bahaya?” Tanya Mala dengan suara bergetar menahan rasa haru memikirkan istrinya.Ryan tidak menjawab pertanyaan dari Mala, ia membalikkan badan berjalan menuruni tangga. Sekarang satu tempat lagi yang mungkin dituju oleh Tania.Masuk mobil Ryan langs
“Kamu begitu cerewet di pagi hari hanya membuat kepala saya tambah sakit saja!” balas Ryan.Ia berjalan menuju kamar mandi, lalu menutup pintunya dengan kasar hingga menimbulkan bunyi berdebum yang nyaring.Dinyalakannya air pancuran dengan suhu dingin, lalu ia berdiri di bawahnya dan membiarkan seluruh badan dari kepala sampai kaki diguyur air dingin, tersebut.Ia teringat dengan wajah Tania yang kecewa, karena melihatnya dalam keadaan mabuk. Ia mabuk, karena merasa bersalah dan kehilangan Tania.Dimatikannya air pancuran, setelah badannya terasa kedinginan. Dengan berbalutkan handuk di pinggang, Ryan berjalan keluar dari kamar mandi. Ia melototkan mata, begitu dilihatnya Robby yang berbaring nyaman di atas sofa panjang di kamarnya.“Apa yang kau lakukan dengan berbaring di situ?” tegur Ryan galak.Robby malas-malasan bangun dari berbaringnya, sambil menggeliat. “Memastikan, kalau kamu baik-baik saja, setelah menyesal kehilangan Tania.”Tatapan Robby tertuju ke tangan Ryan yang terli
Tania bersembunyi di balik pilar. Ia dapat mendengar teriakan Ryan dan Robby memanggil namanya. ‘Ya, Tuhan! Semoga mereka tidak berhasil menemukan saya,’ batin Tania.Ia berjalan mengendap-endap keluar dari bangunan berlantai tujuh tersebut. Sesampainya di luar, ia berlari cepat ke jalanan. Sebuah keberuntungan bagi Tania ada sebuah taksi kosong melintas.Dipanggilnya taksi itu yang langsung berhenti. Begitu sudah duduk Tania menyebutkan alamat tujuannya. Walaupun sudah duduk di dalam taksi, ia berlumlah merasa tenang. Sesekali ia melirik ke belakang takut, kalau mobil Ryan atau Robby berhasil menyusul dirinya.“Ini, ongkosnya, Pak! Kembaliannya buat Bapak saja.” Tania menyerahkan selembar uang berwarna merah kepada sopir taksi yang mengantarkan ia ke rumah Ayahnya.Setengah berlari Tania menuju pintu rumah. Diketuknya pintu dengan tidak sabaran, karena takut akan disusul oleh Ryan ke tempat ini.Seorang wanita paruh baya tampak membukakan pintu untuk Tania. Wanita itu terlihat masih
Ryan mengusap pipinya yang terasa sakit, ia memandang Ibunya dengan dingin. “Maaf, Bu! Saya sudah mempunyai seorang Istri dan saya tidak akn menambah istri lagi. Barangkali saja, Ibu bisa menikahkan Ades dengan Ayah.”Sontak saja mata Ibu Ryan melotot, ia melayangkan tatapan galak ke arah Ryan. Dengan suara yang nyaring ia berkata, “Kamu berani berkata, seperti itu kepada Ibu? Kamu sudah menikah dengan wanita pilihanmu, tetapi hasilnya mengecewakan.”Ryan duduk di kursi kerjanya, ia menuang gelas berisi air putih dan meminum isinya sampai tandas. Kepalanya masih terasa sakit dan sekarang ia masih harus menghadapi tuntutan tidak masuk akal dari kedua orang tuanya.“Ayah dan Ibu, boleh pulang! Kalian sudah menyampaikan apa maksud kedatangan kalian dan sudah mendapatkan jawaban dari saya. Sekarang, saya ingin bekerja.” Ryan menyalakan komputernya.Ayah Ryan bangkit dari duduknya, lalu berjalan mendekati meja kerja putranya dan berhenti di sana. “Katakan kepada Istrimu untuk berhenti memb
Tania bergerak mundur, sambil melepaskan cekalan tangan Ibu Ryan di lengannya. Ia berusaha bersikap tenang, walaupun sebenarnya ia merasa gemetar dan jantungnya berdegup kencang. “Mengapa saya harus merasa heran Anda akan menemukan saya di sini, IBU?”Ia sengaja memberikan penekanan pada kata Ibu. Ia memberanikan diri menatap tajam kepada wanita yang telah melahirkan suaminya itu. Ia tidak akan memperlihatkan, kalau sebenarnya ia merasa takut kepada wanita itu.“Jangan panggil saya, Ibu! Karena saya bukanlah Ibumu dan saya tidak pernah setuju kamu menjadi menantu saya,” tegas Ibu Ryan.Tania tersenyum kecut, ia harus memberikan aplaus kepada mertuanya ini, yang berkata jujur. Memang benar, kalau dirinya bukanlah menantu pilihan dan ia tidak akan memaksa Ibu Ryan untuk menerima dirinya.“Betapa senng mendengar kejujuran Anda, Nyonya! Sekarang saya harus pergi dan semoga kita tidak pernah bertemu lagi.” Tania berjalan cepat menuju halte bis yang berjarak tidak terlalu juah dari tempat T
Tania sontak saja menjadi terkejut, ia langsung menolehkan kepala dan melihat Ades yang menyeringai ke arahnya. “Saya tidak takut kepadamu dan saya tidak memerlukan bantuan siapapun juga!”Ades tertawa mencemooh mendengar jawaban dari Tania. Ia memberikan jawaban dengan nada mengejek kepada Tania. “Tentu saja dan kamu akan menangis, kemudian melapor kepada Ryan. Ups! Saya lupa, kalau Ryan sudah tidak peduli lagi kepadamu, setelah kamu mempermalukan dirinya.”Tania memejamkan mata dengan tangan yang terkepal di samping badan. Tangannya gatal hendak melayangkan tamparan kepada wanita itu. Kenapa ia tidak bisa bersikap toleransi saja kepada dirinya yang saat ini sedang berada di rumah sakit.Suara Tania bergetar menahan emosi ketika ia mengatakan kepada Ades untuk bisa bersikap lebih toleransi, karena sekarang ini dirinya sedang berada di rumah sakit. Ia dapat melanjutkan menghina dirinya, ketika mereka berada di luar.“Maaf, di sini bukan tempat untuk bertengkar. Silakan keluar!” tegur
Ryan berjalan keluar dari ruang kerjanya dengan langkah gagah. Ia berhenti di depan meja kerja sekretarisnya. “Saya dan pak Robby keluar. Dan kami tidak akan kembali ke kantor, kalau ada tamu yang berkunjung, silakan buat janji kembali.”“Baik, Pak!” sahut sekretaris Ryan.Ryan kembali berjalan menyusuri koridor menuju lift, sebelum ia mencapai lift pintu ruang kerja Robby terbuka. Asistennya itu keluar dengan menenteng tas kerja di tangannya.Ia menganggukkan kepala kepada Ryan dan mengatakan kepada bosnya itu, kalau semua dokumen untuk pertemuan nanti sudah siap. Berikut dengan materi yang akan dipresentasikan oleh Ryan.“Bagus! Tidak sia-sia saya membayar mahal gajimu. Hanya saja kamu masih memiliki kekurangan besar, kamu tidak berhasil menjaga dan membawa Tania untuk saya,” ucap Ryan dengan dingin.Robby mendengus, sambil melirik Ryan. “Itu semua, karena kekacauan yang kau buat sendiri dan jangan menyalahkan orang lain.”Rahang hanya diam saja dengan gestur tubuh yang kaku. Ia ber
Ryan melayangkan tatapan mengejek ke arah Robby. “Saya tidak percaya kau akan berani dan sanggup melakukannya! Ingat saja apa yang pernah saya lakukan di masa lalu untukmu.”Robby mendesah dengan keras mendengar apa yang dikatakan oleh Ryan. “Kau sungguh sialan, karena mengingatkan saya! Bisa jadi, orang lainlah yang akan merebut Tania darimu, kalau kau lambat menemukannya. Kesempatan ketiga belum tentu seberuntung kesempatan kedua.”Ryan terdiam, ia memang beruntung berhasil bertemu dengan Tania kembali. Masalah di antara mereka yang terjadi pada pernikahan pertama juga sudah terkuak, walau masih ada beberapa hal yang perlu ia cari tahu kebenarannya.Ia tidak menanggapi apa yang dikatakan oleh Robby, dirinya memilih untuk diam dan masuk mobil yang dikemudikan oleh sopir pribadinya. Ia tadi, begitu selesai meeting langsung menghubungi sopirnya untuk menjemput.“Jangan antarkan, Tuanmu ke kelab atau ke tempat yang bisa membuatnya mabuk!” perintah Robby kepada sopir pribadi Ryan.“Baik,