Jakarta, Indonesia
7 Januari 2010.
_________________"Tahan napasmu sebentar, Nona."
Canadia menarik napasnya sambil mengangkat dagu lalu menahannya sebentar. Dadanya berhenti berdebar selama beberapa detik ketika dia melakukannya.
"Selesai," ucap wanita yang sedang membantu Canadia memasang gaun putih yang merupakan gaun paling indah bagi setiap wanita.
Semua wanita yang memakai gaun ini akan merasa menjadi wanita paling beruntung. Apalagi ketika yang meminangnya adalah teman seperjuangan sekaligus kekasih, tentu tak ada kalimat yang mampu menggambarkan betapa gadis blasteran Indo-Amerika itu sangat dan teramat bahagia.
"Huh ...." Canadia kembali mengembuskan napasnya. Jantung yang sempat berdetak normal itu kembali berdegup kencang. "Astaga, aku sangat gugup, Mama."
Julia menghampiri putri semata wayangnya itu. Dia meraih kedua tangan putrinya lalu memasangkan sarung tangan putih sambil wajahnya tidak berhenti tersenyum.
"Anak Mama akan menikah muda rupanya," ucap Julia.
Canadia terkekeh. "Kan, Mama yang terus nanyain kapan Marvin bakalan nikahin Nadia," ucap Canadia.
Julia mengulum bibir membentuk senyum simpul. Matanya mulai bergetar ketika dia telah selesai memakaikan sarung tangan itu pada tangan putrinya. Setelah itu, asisten Julia memakaikan tudung berwarna putih transpran di kepala Canadia.
"Mama masih gak nyangka kalau Nadia akan ninggalin rumah dan pindah ke rumah Marvin. Nanti siapa yang bakalan pakein masker buat Mama? Mama juga bakalan kesepian gak ada temen berantem."
"Ah ... Mama." Nadia meraih tubuh ibunya lalu memeluknya erat. Julia sudah tidak bisa menahan air matanya lagi. Dia menangis di atas pundak putrinya.
Seseorang mengetuk pintu membuat ibu dan anak itu sontak melepaskan pelukan mereka. Momen haru itu terpaksa terhenti ketika Vincent Smith, ayah Canadia menghampiri keduanya.
"Why are you crying? Ini kan hari bahagia, come on ...," ucap Vince. Dia meraih tubuh anak dan istrinya lalu memeluk mereka dengan erat.
"Mama, berhenti nangis dong, nanti make up Nadia luntur," keluh Nadia. Julia pun menarik dirinya dan menyeka air mata putrinya dengan hati-hati takut membuat riasan di wajah cantik putrinya akan luntur.
"Acaranya akan dimulai, apa kamu sudah siap?" tanya Vince. Nadia mengangguk sambil tersenyum. "Kalau begitu ayo."
Vincent Smith dan Julia Amariah segera membawa putri semata wayang mereka memasuki sebuah tempat sakral di mana tempat tersebut akan menjadi tempat mengucap janji suci.
Hari ini adalah hari yang telah di tunggu-tunggu Canadia Smith selama lima tahun. Akhirnya, di sinilah dia membuktikan dirinya yang selalu mendapat julukan 'beast' di sekolahnya dahulu.
Dia akan membuktikan bahwa pria yang sejak dulu menjadi temannya, menjadi teman berbagi dan satu-satunya orang yang tidak pernah mempermasalahkan berat badannya hari ini akan meminangnya.
Marvin Aditiya Wijaya, nama mempelai pria yang hendak membawa hubungannya dengan gadis blasteran Indonesia - Kanada itu ke jenjang yang lebih tinggi yaitu pernikahan.
Canadia terus tersenyum ketika kakinya berjalan di koridor bangunan. Beberapa orang tampak sibuk mengambil gambarnya dan yang lain berdiri menyambut pengantin wanita yang diapit oleh kedua orang tuanya.
Canadia kembali menarik napas panjang ketika matanya menangkap sepadang pintu raksasa yang telah terbuka siap menunggunya. Canadia merasa jika jantungnya kembali berdegup kencang saat langkah kakinya semakin memasuki pintu tersebut.
"Calm down, Dear." Vince mengusap lembut lengan putrinya. Dia paham betul bagaimana perasaan putrinya saat ini.
"I'm trying on it." Nadia mempererat kepalan tangannya saat kakinya berhasil melewati pintu gereja.
"Sssttt ...." Seseorang memberi isyarat.
Nadia mengerutkan dahi saat melihat altar di depannya. Tidak ada siapa pun di sana. Di mana sang mempelai pria?
"Marvin mendadak ingin buang air, sepertinya dia sangat gugup," bisik paman Marvin yang berdiri di samping altar.
Vince tersenyum. Dia terus membawa putrinya ke altar walau mempelai prianya belum ada di sana.
Canadia kembali menarik napas panjang ketika kedua kakinya hampir sampai di altar. Dia bisa mengerti kegelisahan yang dirasakan oleh calon suaminya itu. Bahkan Nadia harus berusaha menahan keinginannya untuk buang air sebab rasanya benar-benar gugup.
'Aku gadis yang beruntung bisa menikah dengan pria seperti Marvin. Selangkah lagi, dan kami akan menjadi suami istri yang sah. Kami akan mewujudkan keinginan kami untuk memiliki banyak anak, rumah kecil, berbagi dalam suka dan duka. Marvin selalu antusias saat menceritakan kisah itu. Wajar saja dia sangat gugup sekarang,' batin Nadia.
Lima menit, sepuluh menit, lima belas menit.
Canadia terus menghitung dalam hatinya. Gadis itu melirik ke belakang mendapati banyak orang yang tengah menatapnya dengan berbagai macam tatapan. Mulai timbul bisikan dari para undangan.
"Di mana si Marvin?"
"Tau ... lama amat, ke toilet doang."
"Jangan-jangan kabur lagi."
"Haha ... iya kali."
"Dia kayaknya mikir lagi buat nikahin si goliath."
"Hush ... diam. Orangnya lagi liatin kita, tuh."
Kepala Canadia tertunduk. Tangannya mengepal dengan kuat. Dia menggeleng. 'Gak. Marvin gak mungkin kayak gitu. Dia gak mungkin ninggalin aku,' batin Canadia. Gadis itu masih terus burusaha untuk mempercayai pernikahannya dan menunggu pria yang sudah berjanji akan menikahinya itu.
"Mr. Smith ...."
Seorang pria menghampiri Vincent. Wajahnya berkeringat dan matanya terlihat was-was melirik sekeliling.
"Ada apa, Josh?" tanya Vince.
Josh mendekatkan wajahnya pada Vince lalu berbisik, "Aku melihat tuan Marvin pergi terburu-buru. Aku mengikutinya lalu kulihat sebuah mobil van berwarna putih menghampiri tuan Marvin dan dia pergi dengan mobil itu."
"Apa?!" Vince nyaris memekik. "Cepat cari dia!" titahnya dengan nada menekan.
"Baik, Mr. Vince," ucap Josh. Dia pergi dari sana dan bergegas melakukan perintah tuannya.
"Nadia ...," panggil Vince. Dia memutar pandangan. Pria itu berharap putrinya tidak sampai mendengar perkataan Josh.
"Apa dia benar-benar pergi, Dad?"
Perkataan Josh terlalu jelas di telinga Canadia. Dia mendengar semuanya dan dia tahu apa yang sebentar lagi akan terjadi padanya.
"Don't worry, Daddy can handle this." Vincent masih berusaha meyakinkan putrinya. Dia meraih tubuh Canadia dari samping lalu mengelus lengan gadis itu.
Vince menoleh, mencari istrinya. Dia memanggil Julia lewat isyarat mata. Julia yang mengerti maksud tatapan Vince, segera mengambil langkah menuju ke altar. Seketika Julia merasa gelisah. Naluri memberitahu jika telah terjadi sesuatu pada putrinya.
"Nyonya Smith ...." Seorang wanita tiba-tiba menghampiri Julia dan mencegat jalannya.
Juliah mendongak untuk melihat siapa wanita itu.
"Apa yang sedang terjadi? Sampai kapan kami harus membuang waktu untuk menunggu drama ini selesai?" tanya wanita itu dengan tatapannya yang sinis mengintimidasi Julia.
"Maaf saya harus pergi," tolak Julia dengan halus. Dia tidak harus menyahuti perkataan wanita itu sekarang. Canadia jauh lebih membutuhkannya
"Makanya ... kalau punya suami seorang dokter bedah plastik, suruh aja dia bedah muka anakmu biar mirip bule dikit lah ...," cibir wanita itu. Ia menutup kalimatnya dengan tawa yang mencemooh.
Ucapan wanita itu bagaikan peledak yang membakar darah Julia. Tangannya mengepal dengan kuat dan kakinya sontak berputar dengan cepat. Dia berjalan menghampiri wanita itu kemudian mengayunkan tangannya.
PLAK
Sebuah tamparan keras mendarat di pipi wanita itu.
"Jangan pernah menghina putriku!" kecam Julia.
Wanita itu masih tidak menyerah. Dia terkekeh sinis sambil perlahan memutar wajahnya. "Kau marah?" Dia melotot sambil memegang pipinya. "Jelas kau marah karena apa yang kukatakan barusan adalah sebuah kebenaran yang bahkan kau sendiri tidak bisa menerimanya. Anak buruk rupa-"
PLAK
Julia kembali menampar wanita di depannya. Tanpa mereka sadari, seluruh pasang mata tengah memperhatikan mereka. Seketika, Julia dan wanita itu menjadi pusat perhatian semua orang. Para undangan bahkan harus berdiri karena mereka begitu penasaran dengan yang sedang terjadi.
"Siapa kau, berani-beraninya menghina putriku, hah?!" desis Julia. Kali ini dia sudah tidak bisa menahan amarahnya yang meledak-ledak. Julia benar-benar murka.
"Hah!" Wanita itu kembali terkekeh. Dia menyapukan pandangannya menatap sekeliling. Wanita itu tahu bahwa semua orang tengah memperhatikan mereka. "Haruskah aku katakan apa yang sedang terjadi sekarang?" Lagi kata wanita itu.
Julia mengerutkan kening. Dia tahu ada yang tidak beres, akan tetapi Julia tidak tahu pasti apa yang sebenarnya terjadi.
"Calon suami anakmu telah meninggalkan mempelainya. Dia pergi dan aku melihatnya langsung," ucap wanita itu dengan suara lantang.
"Hah ...." Beberapa orang turut bergumam.
"Apa yang sedang dia katakan?"
Suara-suara lebah mulai timbul. Julia membeku. Dia hanya bisa menggerakkan matanya, tapi kepalanya sangat berat untuk bisa berbalik menatap altar.
"Lelcon macam apa ini?!" Salah satu tamu undangan ikut berdiri dan memberikan pendapatnya. "Apa waktu kami yang berharga harus terbuang untuk menyaksikan semua ini?" Dia berbalik menatap altar lalu berteriak, "Mr. Smith!"
Orang-orang mulai berdebat. Walau sebagian dari mereka masih ada yang penasaran dan sebagian lagi ada yang merasa iba, tapi mereka sama sekali tidak bisa merasakan apa yang saat ini Canadia rasakan. Hatinya telah hancur berkeping-keping. Telinganya begitu pening.
Mendadak pandangan menjadi buram saat air mata mulai mengumpul di pelupuk matanya. Canadia ingin lari dari sana, tapi kedua kakinya seolah telah menancap dengan kuat. Sehingga yang bisa dia lakukan saat ini adalah menundukan kepalanya.
"Darling ...."
"No ...." Canadia menggeleng. Air mata sudah tak tertahankan. Lebih dari perasaan malu yang dia rasakan sekarang. Canadia sangat ingin menghilang dari hadapan banyak orang itu. Lenyap. Ini sunguh memalukan. Menyakitkan.
Kenapa? Kenapa Marvin harus membuat lelucon seperti ini? Ini tidak lucu.
Lima tahun adalah waktu yang diperlukan Canadia untuk meyakinkan dirinya bahwa dialah gadis paling beruntung, oleh karena ada seseorang seperti Marvin yang bersedia menjadi kekasihnya. Berbagi segala sesuatu baik suka dan duka. Menjadi teman bermain dan tempat mengadu. Canadia bahkan tidak peduli dengan semua orang yang mencemooh berat tubuhnya dan bahkan wajahnya yang tidak begitu menarik, tapi ... sekali lagi, apa yang sedang coba dimainkan oleh Marvin?
Canadia sudah cukup menderita selama ini, bisakah dia menderita lebih lama lagi? Apa salahnya hingga dia harus dipermalukan sedemikian rupa? Apakah Marvin tidak bisa menunggu sebentar saja? Setidaknya lakukanlah dulu prosesi pernikahan setelah itu, mari bicarakan apa yang sedang terjadi dan pasti Canadia akan membantunya mencari solusi.
Mengapa Marvin harus meninggalkan Canadia di hari pernikahan mereka?
"Makanya, kalau punya anak diurus baik-baik. Muka kayak gitu berharap pengen nikah."
"Ya ... mana pake ngundang kami lagi, buang-buang waktu aja."
Haruskah semua orang mempermasalahkan itu sekarang? Mengapa mereka tidak bisa menahan bibir mereka untuk tidak mencemooh Canadia? Jika mereka di posisi Canadia, apakah mereka akan tahan mendengar semua hinaan itu?
"Dad ...." Canadia memanggil ayahnya tanpa melirik ke samping. "Tolong, bawa aku pergi dari sini," pinta Canadia.
Ia menutup matanya rapat-rapat sambil memaksa rungunya untuk tidak mendengarkan suara-suara di belakang. Canadia menggeleng.
'Semuanya sudah berakhir. Tidak ada lagi yang tersisa. Semuanya telah hancur.'
_____________________Send me a VOTE please :)
Ayoo~ tekan VOTE-nya ;) Oh ya, sekedar info, NOVEL ini bernuansa Romansa Dewasa, jadi beberapa bagian akan menyuguhkan adegan dewasa. Hal-hal yang berhubungan dengan konten kekerasan, rokok, alkohol dan seksualitas (explicit) pastikan kamu sudah 18+ ya Dear ;)
Las Vegas, Nevada. Maret - 2017___________
Ketukan sepatu hak tinggi menggema di beranda perusahaan teknologi terbesar di Toronto, The Ace Enterprise Company. Sebuah perusahan raksasa yang menaungi banyak sekali perusahaan perintis yang sekarang sudah berkembang sampai ke seluruh penjuru dunia. Di sinilah Anna Smith dengan begitu santai melangkahkan kaki jenjangnya. Ia berjalan memasuki bangunan bertingkat ini sambil mengangkat dagunya tinggi.
"Hah ...." Sudah berulang kali Mr. Baldwin membuang napas. Sedari tadi dia tidak berhenti bergidik. Entah apa yang terjadi padanya saat ini. Pria itu tidak bisa menghentikan pikiran nakalnya yang benar-benar menginginkan Anna seutuhnya. Pria itu terus menatap Anna yang terlalu santai
"Apa?!" Mijung memekik dengan kuat. Gadis Asia itu membulatkan matanya ketika mendengar perkataan sahabat sekaligus rekan kerjanya itu. "Ya, Mijung. Dia belum secara resmi memberikan kekuasaan padaku." "Tapi, dia sudah menandatangani dokumen kerja sama. Kita hanya pe-" Ucapan Mijung terhenti ketika Anna mengangkat tangan di depan wajah. Gerakan kecil itu sanggup membungkam mulut Mijung. "Secara hukum dia tidak menyatakan kewenangann
"Kau yakin?" Anna mengulum bibirnya sambil menaikkan kedua alis. Tangannya sibuk menggoyangkan seloki sementara ekor matanya terus mengawasi pria yang mondar-mandir di depannya. "Aku tahu seperti apa dia, dan aku yakin dia akan datang." Terdengar suara terkekeh dari ujung sambungan telepon. "Kau memang gila kontrol, Anna Smith." Anna tertawa kecil. Wajahnya terangkat membuat lehernya melengkung. "Sudahlah, Mijung, kau hanya membuang waktuku. Aku harus bersiap-siap. Dia akan datang sebentar lagi," ucap bibir seksi itu. "Sialan, Anna Smith. Kau mempertaruhkan jutaan dolar demi keinginan gilamu? Aku tidak bisa membayangkan jika dia akan benar-benar menolak berinve-" "No ... no ... no." Anna menggoyangkan jari telunjuk bersamaan dengan kepalanya yang menggeleng. "Itu tidak akan terjadi," ucap Anna. "Hei, Josh." Dengan gerakan telunjuk dan jari tengah, Anna memanggil pengawal pribadinya. P
[ANDERSON BALDWIN - POV] ________________________ "Sial!" Aku mengumpat berulang kali. Napasku terasa berat ketika mengingat bagaimana wanita itu mengucapkan dua kalimat yang membuatku naik pitam. Berlutut padaku. "Cih!" Aku melampiaskan rasa frustasi ini pada meja kayu di depanku. Kupukul benda sial ini dengan sangat kuat. "Keterlaluan!" Aku meremas daguku sambil menggelengkan kepala. Beberapa hari yang lalu Octavia memberiku sebuah berkas di mana ada sebuah perusahaan rintisan yang mengajukan permohonan kerja sama. Aku sangat kagum ketika membaca visi dan misi perusahaan yang baru ingin memulai bisnis mereka itu. Baiklah. Dia ingin akuisi saham. Mudah saja. Aku bisa terima. Idenya lumayan dan aku suka pemikiran seperti itu. Aku begitu tertarik dengan ide dari perusahaan mereka lalu setelah membaca proposal yang mereka kirimkan, aku pun menyuruh Octavia menjadwalkan perte
Tiga tahun kemudian ... TheDiamondTechnologi.IncCompany _______________________________"Selama pagi, Ms. Anna," Seluruh pasang mata tampak begitu memperhatikan wanita dengan sejuta pesona itu, Anna Smith. Sepatu hak tinggi berwarna merah kesayangannya mengetuk memberikan irama yang indah membuat semua telinga memujanya. Semua orang di lobi utama sejenak menghentikan aktivitas mereka sekadar untuk menyambut bos sekaligus pemilik perusahaan ini. "Good morning, Ms. Anna," "Good Mor—" Anna menghentikan langkah. Jarinya terangkat hendak menarik kaca mata hitam kesayangannya dari balik batang hidung mancungnya. "Wait...." Anna bergumam sambil memperhatikan gadis yang baru saja menyapanya itu. Gadis itu tampak gelisah ketika bulu mata lentik milik bosnya terus me
Waktu yang ditunggu-tunggu Anna akhirnya tiba. Jam sudah menunjukkan pukul sepuluh pagi dan bertepatan juga Anna telah selesai mempercantik dirinya. Anna menatap dirinya sekali lagi di depan cermin sebelum kakinya melangkah meninggalkan ruang pribadi yang sengaja dibuat di dalam ruang kerjanya. "Bagaimana penampilanku?" tanya Anna. Mijung tergelak kagum. "Demi Tuhan, Anna Smith, kau lebih terlihat pemilik perusahaan fashion." Mijung melayangkan tangannya ke udara seraya memutar bola mata. Ekspresinya sangat dramatis. "Permisi." Seseorang mengetuk dari luar dan tampaknya itu Glory, sekretaris Anna. "Tamu dari The Glitch sudah tiba. Mereka menunggu di ruang rapat," ucap Glory. "Baiklah, Glory. Anna akan kesana," ucap Mijung.
Terlihat kelopak mata Marvin bergerak-gerak selama beberapa detik lalu akhirnya terbuka. Marvin mengernyit lalu berusaha menelan saliva untuk membasahi kerongkongannya. Tubuhnya benar-benar lemas.Marvin masih berusaha mengumpulkan kesadaran. Namun, saat kesadaran Marvin mulai terkumpul, lelaki itu kemudian menggeram. Rasa kram menjalar cepat, dirasakan Marvin pada lengan sebelah kanan. Sehingga lelaki itu langsung memutar wajahnya ke samping.Seketika kening Marvin mengerut saat melihat siapa yang sedang tertidur di samping ranjang dengan kepala berada di atas lengan Marvin. Dengan cepat, pria itu bangkit dan menarik lengannya.Terdengar geraman dari pemilik suara serak-serak basah itu. Disusul gerakan bulu mata. Perlahan-lahan, sepasang manik cokelat pun terlihat.&ldq
Anna melesak dari atas tempat tidur saat mendengar bunyi derap langkah. Seketika membuat jantungnya berdetak meningkat. Ia pun membetulkan pakaian Marvin lalu berdiri di samping ranjang.“Ms. Anna,” panggil Vic.Karena buru-buru, lelaki itu tidak mengetuk pintu. Mendapati senyum di wajah sang majikan, membuat Vic mengerutkan dahi. Untuk alasan apa wanita itu tersenyum dan malah membuatnya takut. Namun, mengingat ada sesuatu yang harus dikatakan oleh Vic, ia pun mengerjapkan mata lalu menggoyangkan kepala.“Aku sudah memanggil dokternya,” kata Vic.“Kalau begitu suruh dia masuk,” ucap Anna.Vic mengangguk lalu menoleh. Seorang pria dengan kemeja kotak-kotak dan celana kain hitam, masuk ke dalam kamar.“Bonjour,” sapa lelaki itu dengan hormat.Anna menelengkan wajah sambil mempertahankan senyum horornya. Ia benar-benar terlihat seperti Maleficent. Lebih baik dia memasang wajah tegas daripa
“Let’s play with me,” bisik Anna. Entah Marvin menyadarinya atau tidak, bibirnya kini mengering dan matanya mendadak perih. Serta membutuhkan waktu yang lama untuk menyeret alam bawah sadarnya kembali ke daratan sehingga ia bisa mengembuskan napas panjang dan menyahut dengan nada lirih, “Tidak.” Anna mengerutkan keningnya. Belum ingin menyerah, ia pun mendekat. Menempatkan bibir merahnya tepat satu inci di depan bibir Marvin. Sengaja membuat celah kecil ketika dilihatnya Marvin tengah mematri tatapan pada bibir sensualnya. “Yakin?” Lelaki itu mengerjap, mengembalikan instingnya dan ia pun memberanikan diri, menatap wanita di depannya. “Ya!” jawab Marvin dengan tegas. Lelaki itu meraih kedua tangan Anna dari atas pundaknya kemudian melepasnya begitu saja. “Aku harus kembali bekerja.” Dengan wajah tegas, pucat tak berekspresi, Marvin melangkah meninggalkan kamarnya. Bergegas menaiki anak tangga menuju lantai dua dan ia kembali ke kursi k
Marvin masih mencoba mengumpulkan kesadarannya. Namun ia tidak sadar jika sekarang kecepatan napasnya melebihi perpindahan detik, membuat dadanya naik turun.Sementara di ujung kakinya, berdiri seorang wanita dengan alis yang menukik tajam, tampak menghakimi. Wanita dalam balutan bathrobes dress merah itu berkacak pinggang. Dia tak kalah mendengkus.“Aku hanya keluar sebentar dan kau sudah bermalas-malasan di tempat tidur?!”Suara itu melengking hingga memekkan telinga. Marvin menundukkan kepala, lantas melepaskan desahan panjang. Untuk sekelebat lelaki itu berdiam diri. Memijat dahi dengan jempol dan jari tengahnya.“Maaf,” gumam Marvin. Akhirnya lelaki itu mengangkat pandangannya. “kepalaku pening dan aku tidak bisa berkonsentrasi, ja-&ldq
Aku seperti ngengat yang mengejar api. Dan kupikir aku telah gila karena mulai menyukai bagaimana caranya membakar diriku sehingga, untuk menjerit pun rasanya terlalu nikmat.[Marvin POV]___________Aku merasakan kedinginan menghujam ubun-ubun, hingga kupikir kedinginan itu mulai merasuk ke dalam tubuh dan membuat otakku membeku.Kupikir inilah cara terbaik untuk membuat pikiranku berhenti untuk memikirkan pesona wanita bernama Anna Smith itu. Wanita yang punya napas mint yang candu. Wanita yang gemar melepaskan kalimat sarkasme, wanita yang terlalu sering menatapku dengan tatapan dingin.Wanita yang punya otoriter yang besar dan mampu membuatku tunduk dan takluk. Aku tida
“Hahh ….”Embusan napas panjang dan berat itu telah memecah keheningan selama satu jam berlalu. Demi Tuhan, Marvin tak bisa membuat otaknya berkonsentrasi pada drawing tablet, dan monitor di depannya. Sementara matanya tak bisa berhenti bergerak untuk tidak menatap visual menggoda dan mengintimidasi di belakang layar laptopnya.Sehingga Marvin hanya bisa melepaskan desahan panjang dari mulut sambil melayangkan tangan kanannya yang memegang pen tablet ke udara. Wanita yang sejak tadi berdiam diri di kursi kerjanya itu kini mengerutkan dahi.“What the hell wrong with you.” Suara serak-serak basah itu membuat Marvin menatapnya.Melihat raut wajah Marvin yang menggeruskan kekesalan di sana malah membuat Anna tersenyum di dalam hatinya. Tidak ad
Matahari yang terbit menandakan hari baru, sejatinya sanggup membangunkan semangat semua orang, tetapi tidak dengan Marvin Aditya Wijaya. Ketika sinar mentari menelusup dari celah gorden yang tidak tertutup sempurna, membuat lelaki itu malah menggeram.Mungkin baru beberapa jam ia memejamkan mata. Ya. Marvin ingat betul. Setelah drama yang dibuat oleh Anna membuat Marvin terus mengumpat sepanjang malam. Ingin rasanya pria itu pergi dari kota ini. Membatalkan semua kontrak yang telah ia tandatangani. Andai saja ia bisa. Andai saja Marvin punya cukup kekuatan untuk bisa melawan Anna Smith, tentu saja Marvin akan melakukannya. Persetan jika ia miskin. Itu lebih baik daripada terjebak situasi gila seperti ini.Namun, pria itu sadar seratus persen kalau dirinya benar-benar telah menancapkan kepala pada liang bahaya dan sulit untuk keluar dari sana hidup-hidup. Marvi
“Kalau begitu … kalau begitu kau cari sendiri caranya,” ucap Anna.Dengan gampang dia melangkah. Melewati tubuh Marvin dan bersiap menuju ke lantai dua, akan tetapi langkahnya terhenti saat mendengar sesuatu. Gadis itu pun berhenti. Ia menggerakkan kepalanya. Menoleh kecil ke belakang. Seringaian kembali muncul di wajah Anna saat melihat apa yang dilakukan Marvin.Pria itu menelan harga dirinya dengan berlutut. Kepalanya tertunduk, selain rungunya yang dibiarkan tetap peka menangkap bunyi sepasang sepatu hak tinggi yang kini bergerak menghampirinya.Semilir angin yang bertiup ke tengkuknya, membuat tubuh Marvin bergidik. Alam bawah sadarnya telah menangkap teror besar yang mendekat dan sekarang tepat berada di depannya. Bulu roma Marvin berdiri sewaktu merasakan tekanan udara, seperti menyambar wajahnya.Dengan kepala yang masih terunduk itu, Marvin bisa melihat sepasang sepatu hak tinggi berwarna merah metalik tepat berada di depan lut
“Diam dan jangan bergerak.”Marvin terbelalak saat mendengar suara serak-serak basah itu berada tepat di depan tengkuknya. Suara tersebut sanggup membuat tubuhnya membeku. Pria itu menutup mata. Membiarkan tubuhnya bergetar sewaktu Anna memutar tubuhnya. Wangi parfum milik Anna Smith menyatu dengan angin. Seketika merasuk ke dalam penciuman Marvin. Membuatnya tak rela membuka kedua mata bahkan untuk sedetik. Naluri menginginkan Marvin untuk membiarkan parfum dengan wangi menyihir itu merasuk lebih jauh ke dalam penciuman hingga membekukan otaknya, akan tetapi sejurus kemudian matanya kembali terbelalak saat merasakan sesuatu menyerangnya tiba-tiba.HEKSeketika Marvin kehilangan napasnya sewaktu Anna menggenggam dirinya di bawah sana. Entah mengapa sentuhan itu sanggup membunuh seluruh kekuatan Marvin. Membuatnya lemah tak berdaya dan hanya bisa membeku di tempat.Dalam keadaan tak berdaya seperti sekarang ini, Marvin bisa merasakan senyum Ann