"Apa?!" Mijung memekik dengan kuat. Gadis Asia itu membulatkan matanya ketika mendengar perkataan sahabat sekaligus rekan kerjanya itu.
"Ya, Mijung. Dia belum secara resmi memberikan kekuasaan padaku."
"Tapi, dia sudah menandatangani dokumen kerja sama. Kita hanya pe-" Ucapan Mijung terhenti ketika Anna mengangkat tangan di depan wajah. Gerakan kecil itu sanggup membungkam mulut Mijung.
"Secara hukum dia tidak menyatakan kewenangannya secara langsung. Dia harus menandatangani berkas itu dengan tangannya dan dia akan melakukannya malam ini," ucap Anna. Wajahnya begitu percaya diri ketika menyebutkan kalimat 'malam ini' seakan gadis itu begitu yakin jika Anderson Baldwin akan datang malam ini.
Mijung melayangkan kedua tangannya ke udara sambil memutar bola mata. "Terserah padamu, Anna. Kau bosnya," ucap Mijung.
"Well ... kurasa aku harus kembali ke rumahku. Ada banyak hal yang harus kupersiapkan sebelum malam tiba," ucap Anna. Ia meraih tas berwarna hitam metalik bermerek terkenal lalu wanita itu bangkit dari tempat duduknya.
"Apa Josh menjemputmu?" tanya Mijung. Gadis itu masih duduk di tempatnya. Ia masih terlalu malas untuk berdiri. Anna sudah membuat semangatnya hilang dengan mengatakan agar Mijung segera mengembalikan berkas itu ke kantor dan menunda kerja sama dengan perusahaan teknologi terbesar di Kanada itu. Padahal jelas-jelas perusahaan Anna sudah cukup mendapat persetujuan kontrak untuk segera memulai bisnis mereka.
"Memangnya pernah dia membiarkan aku pergi sendiri? Pria itu seperti parasit. Terlalu sulit untuk menghindarinya," ucap Anna. Ia mengedipkan sebelah mata sebelum lutunya berputar.
"Seandainya Josh adalah pengawal pribadiku, sudah kubuat dia jadi suamiku," ucap Mijung.
Langkah Anna terhenti. Telinganya tergelitik oleh ucapan sahabatnya. Wanita bertubuh molek itu kembali memutar tubuh.
"Menikah tidak ada dalam kamusnya, Mijung. Kamu harus berhenti berfantasi liar dengan Josh sebagai satu-satunya objekmu. Serius, Josh lebih menyukai limosin ayahku dari pada wanita." Anna melayangkan satu tangannya sambil memutar mata dengan malas. Gadis itu lanjut menggelengkan kepala.
"Cih!" Mijung memanyunkan bibirnya. Gadis Asia itu menopang dagu sambil menatap sinis punggung polos Anna. Matanya terus mengekori Anna hingga ke luar restoran. Ia melihat bagaimana Josh buru-buru menghampiri Anna lalu dengan gentle membukakan pintu belakang untuk Anna.
"Oh, Anna Smith, betapa beruntungnya dirimu bisa berada di dekat pria setampan Josh," gumam Mijung.
***
"Anna, Mr. Smith memintaku mengantarmu ke rumahnya."
"Hah ... pasti dia akan menyuruhku konsultasi. Ck!" Anna mendengkus lalu membuang muka. "Josh," panggilnya.
"Astaga!" Josh memekik saat mendapati wajah Anna terlalu dekat dengannya.
"Ada apa denganmu?" tanya Anna dengan nada sinis sambil menaikkan setengah alisnya.
"Maaf, wajahmu." Josh menarik dirinya ke samping.
"Ingat yah, kau tidak boleh jauh-jauh dariku saat di rumah ayahku. Jika mereka bertanya, kau tidak boleh mengatakan apa pun terlebih ...." Anna menarik dirinya. Dia memilih menatap Josh lewat kaca. "Jangan katakan apa pun soal ... kau tahu, soal yang aku lakukan di apartemenku."
"Ehem." Josh berdehem lalu memalingkan wajahnya. Dia memilih untuk segera menghidupkan mesin mobil.
"Pokoknya kau hanya bicara seperlunya, dan jangan beranjak satu jengkal pun dari sisiku. Aku benci berbicara dengan dokter sialan itu," ucap Anna. Tiba-tiba mood-nya rusak. Wanita itu menyilangkan tangannya di dada sementara Josh hanya bisa menggelengkan kepala.
****
Satu jam berlalu. Perjalanan yang membuat Anna bosan. Dia bukannya tidak ingin mengunjungi orang tuanya, Anna hanya tidak ingin berkonsultasi dengan teman ayahnya yang adalah seorang psikiater. Namun, Anna juga tahu dia tidak bisa menolak permintaan ayahnya karena Vincent Smith akan terus mengganggunya seperti seorang renternir yang menagih hutang.
"Kita sudah sampai, Anna."
Anna bergeming. Dia memalingkan wajahnya. Dia terlalu larut dalam pemikirannya hingga tidak menyadari jika ternyata mereka sudah sampai di kediaman Smith.
Josh bergegas turun dari mobil lalu membukakan pintu belakang agar Anna bisa turun. Dia juga memperbaiki outwear Anna dengan memajukan blazer potongan panjang itu ke depan untuk menutupi tubuh bagian atas Anna yang terbuka.
"Josh, ingat kata-kataku, oke?" Anna kembali memperingatkan Josh. Namun, seperti bicara pada patung, Josh tidak sekali pun menggubris ucapan Anna. Untung saja Anna cukup mengerti sifat Josh, mereka sudah hidup bersama selama belasan tahun. Josh tidak perlu berkata 'iya' pada Anna, tapi tetap saja itu membuat Anna tidak bisa berhenti memperingatkan Josh.
"Hai, Sweetheart ...." Julia begitu senang melihat putri semata wayangnya itu. Ia mempercepat langkah untuk segera menghampiri Anna. Julia langsung membawa Anna ke dalam pelukan.
"Hai, Mom." Anna juga begitu senang bertemu ibunya. Walau mereka tinggal dalam satu kota, Anna terlalu jarang mengunjungi rumah orang tuanya sementara kedua orang tuanya terlalu sibuk dengan pekerjaan mereka.
"Cana ...," panggil seorang pria paruh baya yang berjalan santai menuju pintu depan.
"Daddy ...." Anna membuka kedua tangan menyambut ayahnya itu. Mereka berpelukan.
"Daddy sangat merindukanmu, Sweetheart," ucap Vincent sambil mengecup puncak kepala putrinya.
"Josh." Vincent beralih menyapa pria yang sedari tadi berdiri di belakang Anna.
"Mr. Smith," ucap Josh. Pria bertubuh atletis itu sedang membungkukkan badan sebagai tanda hormatnya kepada Vincent Smith.
Vincent melempas pelukan dengan putrinya lalu beralih memeluk pria di belakang Anna. "Apa kabarmu, Josh?" Vincent menepuk bahu kanan Josh saat hendak melepas pelukannya.
"Kabarku selalu baik, Mr. Smith," ucap Josh.
"Mommy memasak masakan spesial untuk kalian, ayo silahkan masuk," ucap Julia. Ia langsung melingkarkan tangannya pada lengan Anna.
"Biar kutebak, Mommy pasti memasak gule sama nasi goreng pete."
Julia terkekeh. "Logat Indonesia-mu masih kental, yah," ucap Julia.
"Well, kurasa itu karena setiap kali aku pulang ke rumah, ibuku selalu memasak makanan Indonesia untukku jadi aku tidak bisa move on dari bahasa Indonesia."
Julia tersenyum. Dia berbalik lalu mencubit hidung putrinya dengan gemas. "Paling bisa, yah godain Mommy."
"Aduh ... Mommy, you hurt me," keluh gadis itu.
Mereka pun tiba di ruang makan. Para pelayan di rumah Smith langsung menyiapkan hidangan untuk majikan mereka.
"Di mana Josh?" tanya Anna. Matanya sibuk menyapu sekeliling.
"Dia ke toilet," ucap Vincent yang baru saja bergabung dengan mereka. "Oke ... mari kita makan."
Dia sangat tidak sabar ingin menyantap makanan di depannya. Satu hal yang membuatnya begitu menantikan kunjungan dari putri semata wayangnya selain melepaskan rindunya adalah istrinya, Julia akan mati-matian mencari rempah dan bumbu Indonesia agar bisa menyajikan makanan dari Indonesia untuk putrinya.
"Kamu mau tempe?" tanya Julia. Dia begitu sibuk mengambilkan makanan untuk putrinya.
"Hem ... dikit aja, Mom," ucap Anna. Gadis itu tampak sibuk dengan ponselnya. Jarinya mengetuk dengan cepat di atas layar monitor.
_____________
*To : Joshi
Cepat kemari !!
* sending massage ...
Delivered ✓
_____________
Tiga menit setelah pesan itu terkirim, Josh tiba-tiba datang. Gaya formalnya yang terlampau santun membuat Vincent Smith terus memujinya.
"Makanlah, bukankah kau juga merindukan masakan Indonesia?" tanya Vince.
Josh mengangguk sambil menumpuk kedua tangannya di depan perutnya. Josh lalu ikut bergabung ke meja makan. Dia duduk di samping Anna.
Mereka mulai menyantap makanan dengan obrolarn ringan walau tidak banyak yang mereka bicarakan selama menyantap makan siang. Anna hanya menjawab seadanya ketika Vince dan Julia bertanya seputar perusahaannya. Gadis itu belum ingin memberitahukan tentang proyek yang sedang ia kerjakan saat ini.
"Permisi." Salah satu pelayan menghampiri mereka. "Dokter Chris sudah tiba," ucap pelayan itu.
Vincent berdehem. Dia memperbaiki duduknya lalu berkata, "Suruh dia menunggu di ruanganku."
"Baik, Tuan," ucap pelayan tersebut kemudian dia pergi.
Vincent tersenyum simpul ketika matanya bertabrakan dengan mata putrinya. "Kau tahu, ini hanya obrolan biasa. Maksudku, ka-"
"Aku paham, Dad," tukas Anna. Dia memaksakan senyum sempul.
"Sweetheart, jika kau tidak ingin melakukannya hari ini, kita bisa lakukan nanti," ucap Julia.
"Tidak perlu, Mom. Lagi pula dokter Chris sudah bersedia kemari. Aku harus menghargainya," ucap Anna. Dia berdiri, merapikan pakaiannya lalu melirik kecil ke samping.
Josh seolah sudah memikirkan tindakan Anna. Dia mendongak tepat saat Anna memberi isyarat dengan kedipan matanya pertanda Josh harus segera beranjak dari sana dan ikut bersamanya.
Anna berjalan dengan santai sampai dia tiba di ruang kerja ayahnya di mana dokter psikiater bernama Chris sudah menunggunya.
"Hai Anna," sapa dokter Chris terlebih dahulu. Ia berdiri bersiap menyambut Anna.
"Hai, Chris." Anna menjabat tangan Chris lalu dia duduk di sofa depan dokter Chris dengan memangku sebelah kakinya.
Anna menarik napas lalu membuangnya dengan cepat. Wanita itu menaruh lengannya pada kedua sisi sandaran tangan. Anna melirik kecil ke belakang sekadar untuk memastikan jika Josh berdiri tepat di belakangnya dan itu sudah pasti.
"Baiklah, kita akan mulai dengan menanyakan kabarmu. Bagaimana kabarmu, Anna?" tanya dokter Chris.
"Aku baik," ucap Anna santai.
"Bagaimana harimu belakangan ini, apa kau masih bermimpi buruk?"
Anna memalingkan wajahnya. Dia mendengkus. "Chris, bisa kau tuliskan saja obat untukku?"
Dokter Chris tersenyum kecil. "Anna, obat penenang tidak bisa menyembuhkan batinmu. Jika kau benar-benar ingin keluar dari mimpi buruk itu, kau harus bersedia melepaskan semuanya."
"Melepaskan?" tukas Anna dengan nada sinis. Ia terkekeh sinis sambil menggelengkan kepala. "Apa yang perlu kulepaskan lagi, Chris?"
"Anna, terkadang apa yang kau alami adalah cara hidup untuk membentuk dirimu. Kau sudah cukup kuat melewati semua ini sendiri. Sekarang, ijinkan dirimu untuk bahagia. Jangan hukum dirimu untuk dosa yang tidak kau perbuat," ujar dokter Chris.
Anna menarik napas dalam-dalam. Ia menunduk lalu mengangguk pelan-pelan.
"Sekarang katakan padaku, apakah kau masih bermimpi buruk?" tanya dokter Chris.
Mendadak Anna merasa begitu takut. Ketika Chris menyebutkan mimpi buruk, Anna tiba-tiba bergidik. Anna terdiam. Kengerian berjalan cepat dan bersarang di pikirannya. Anna memilin jarinya dengan kuat.
"Dia tidak pernah mau pergi, Chris," ucap Anna. Suaranya memelan, nyaris berbisik.
Dokter Chris mengangguk pelan. "Anna, apa kau merasa risih?"
Anna menarik napas panjang untuk kesekian kalinya. Jantungnya mulai merespon. Berdetak dua kali lebih cepat ketika sekelebat bayangan hitam melintas begitu saja di pikirannya. Otaknya terpaksa membuat Anna mengingat kejadian masa lalu. Trauma yang membuat gadis itu tak bisa memejamkan mata ketika malam tiba. Memaksa dirinya untuk tetap terjaga atau ia akan terjebak ke dalam mimpi buruk yang seolah tak ada ujungnya. Tak pernah hilang.
"Anna," panggil dokter Chris. Anna dengan ragu melarikan matanya pada dokter Chris. "Apa dia menyakitimu?"
"Sangat," gumam Anna. Sebulir air bening jatuh begitu saja membasahi pipinya. Anna menggigit bibirnya yang bergetar.
Dokter Chris kembali mengangguk. "Anna, jika kau diberi pilihan, apakah yang bisa kau lakukan agar bisa keluar dari mimpi buruk itu?"
Tiba-tiba raut wajahnya berubah. Anna tersenyum kecut. Ia menatap dokter Chris kemudian menggelengkan kepala. "Tahukah kamu Chris, satu-satunya yang ingin kulakukan adalah membunuh mimpi itu."
"Tapi dia tidak nyata, Anna," sergah dokter Chris.
Anna mengulum bibirnya lalu mengangguk. "Ya, tapi mereka yang menjadi aktor dalam mimpi burukku masih berkeliaran di luar sana. Mereka bebas dan mereka bahagia. Hanya aku yang terus tersiksa," ucap Anna.
"Jadi, apa yang ingin kau lakukan?"
Seketika raut wajah Anna menjadi tegas. Rahangnya mengencang. Matanya menatap tajam pada kehampaan di depannya. Tangan gadis itu mengepal dengan kuat.
"Aku ingin ...." Anna mengangkat wajahnya menatap dokter Chris. "Aku ingin melenyapkan mereka dengan tanganku agar mereka tak lagi datang dalam mimpiku."
Dokter Chris menarik dirinya. Embusan napas panjang terdengar darinya. Dia sudah sering mendengar perkataan itu dari Anna, tapi di setiap kali Anna mengatakannya, reaksi Chris akan terus terkejut.
"Apakah kau masih mengonsumsi alkohol?" tanya dokter Chris.
Anna mengangguk. "Jika obatmu tidak berfungsi. Makanya tambah dosisnya," ucap Anna.
Dokter Chris menarik senyum simpul. "Anna, mungkin kau akan bosan mendengar perkataanku. Namun, aku tidak bisa berhenti mengatakan jika satu-satunya jalan untuk keluar dari sana adalah dengan memaafkan masa lalu mu. Maafkan mereka, dan lup-"
"Chris McVinner," tukas Anna. Sorot matanya berubah tajam menatap wanita di depannya. "Kau tidak mengalami kejadian yang kualami. Kau hanya seseorang dokter dan sepanjang hidupmu kau hanya belajar cara berbicara manis kepada orang lain, tapi biarku beritahu satu hal padamu." Anna menarik punggunya dari sandaran kursi lalu mencondongkan tubuhnya ke depan. "Jika kau, sekali saja bisa merasakan bagaimana sakitnya dikhianati, mungkin kau bisa sedikit mengerti perasaan pasien seperti diriku."
Dokter Chris tidak menjawab. Ia terdiam. Tentu ini bukan hal yang muda baginya dan juga bagi Anna. Chris sudah berusaha, tapi entah mengapa ia sendiri merasa jika dirinya belum sepenuhnya mengerti apa yang sedang dirasakan oleh Anna dan perkataan Anna barusan sangat benar. Chris tahu itu.
"Josh, ayo kita pergi." Anna bangkit lalu dengan cepat dia pergi dan meninggalkan ruangan itu.
"Sweetheart," panggil Julia.
"Mom, aku harus pergi," ucap Anna. Ia mendengkus. Tampak jelas jika gadis itu sedang kesal dan Julia tahu persis penyebabnya.
Vince tidak bicara apa pun. Dia memilih untuk mengecup puncak kepala putrinya. Lalu Vince memutar lututnya. Dia menghadap pada Josh lalu berkata, "Tolong jaga putriku, Josh."
"Tentu, Tuan," ucap pria santun itu.
Anna tidak berkata apa-apa lagi. Suasana hatinya telah rusak oleh perkataan dokter Chris.
"Josh, cepatlah!" teriak Anna. Dia benci pada Josh yang terlampau santun pada kedua orang tuanya.
Josh yang mendengar teriakan Anna, bergegas ke mobil.
"Sialan, wanita itu. Tahu apa dia!" gerutu Anna. Gadis itu memukul pelan bibirnya dengan satu tangan yang telah mengepal dengan kuat. Jantungnya bertalu dengan kencang hingga ia perlu menarik napas berkali-kali sambil memegang dadanya.
"Kau butuh sesuatu untuk menenangkan pikiranmu?" tanya Josh. Dia melirik lewat kaca spion di depannya.
Anna menggeleng. "Tancap gasmu dan segera bawa aku ke apartemen. Aku harus bisa sampai sebelum malam," ucap Anna.
Josh mengerutkan keningnya. Itu bukan jawaban yang dinantikannya.
Biasanya Anna akan meminta Josh mengantarnya ke bar. Josh paham betul jika majikannya akan tenang ketika bibirnya bersentuhan dengan alkohol. Atau, dia cukup yakin, bahwa kasino langganan majikannya bisa membuat dia melupakan kejadian tadi. Namun, Josh kembali harus menebak-nebak apa yang sedang dipikirkan oleh Anna Smith.
_____________________
To Be Continue :)Tekan VOTE dulu, yuk ;)
Ayoo~ tekan VOTE-nya ;) Oh ya, sekedar info, NOVEL ini bernuansa Romansa Dewasa, jadi beberapa bagian akan menyuguhkan adegan dewasa. Hal-hal yang berhubungan dengan konten kekerasan, rokok, alkohol dan seksualitas (explicit) pastikan kamu sudah 18+ ya Dear ;)
"Kau yakin?" Anna mengulum bibirnya sambil menaikkan kedua alis. Tangannya sibuk menggoyangkan seloki sementara ekor matanya terus mengawasi pria yang mondar-mandir di depannya. "Aku tahu seperti apa dia, dan aku yakin dia akan datang." Terdengar suara terkekeh dari ujung sambungan telepon. "Kau memang gila kontrol, Anna Smith." Anna tertawa kecil. Wajahnya terangkat membuat lehernya melengkung. "Sudahlah, Mijung, kau hanya membuang waktuku. Aku harus bersiap-siap. Dia akan datang sebentar lagi," ucap bibir seksi itu. "Sialan, Anna Smith. Kau mempertaruhkan jutaan dolar demi keinginan gilamu? Aku tidak bisa membayangkan jika dia akan benar-benar menolak berinve-" "No ... no ... no." Anna menggoyangkan jari telunjuk bersamaan dengan kepalanya yang menggeleng. "Itu tidak akan terjadi," ucap Anna. "Hei, Josh." Dengan gerakan telunjuk dan jari tengah, Anna memanggil pengawal pribadinya. P
[ANDERSON BALDWIN - POV] ________________________ "Sial!" Aku mengumpat berulang kali. Napasku terasa berat ketika mengingat bagaimana wanita itu mengucapkan dua kalimat yang membuatku naik pitam. Berlutut padaku. "Cih!" Aku melampiaskan rasa frustasi ini pada meja kayu di depanku. Kupukul benda sial ini dengan sangat kuat. "Keterlaluan!" Aku meremas daguku sambil menggelengkan kepala. Beberapa hari yang lalu Octavia memberiku sebuah berkas di mana ada sebuah perusahaan rintisan yang mengajukan permohonan kerja sama. Aku sangat kagum ketika membaca visi dan misi perusahaan yang baru ingin memulai bisnis mereka itu. Baiklah. Dia ingin akuisi saham. Mudah saja. Aku bisa terima. Idenya lumayan dan aku suka pemikiran seperti itu. Aku begitu tertarik dengan ide dari perusahaan mereka lalu setelah membaca proposal yang mereka kirimkan, aku pun menyuruh Octavia menjadwalkan perte
Tiga tahun kemudian ... TheDiamondTechnologi.IncCompany _______________________________"Selama pagi, Ms. Anna," Seluruh pasang mata tampak begitu memperhatikan wanita dengan sejuta pesona itu, Anna Smith. Sepatu hak tinggi berwarna merah kesayangannya mengetuk memberikan irama yang indah membuat semua telinga memujanya. Semua orang di lobi utama sejenak menghentikan aktivitas mereka sekadar untuk menyambut bos sekaligus pemilik perusahaan ini. "Good morning, Ms. Anna," "Good Mor—" Anna menghentikan langkah. Jarinya terangkat hendak menarik kaca mata hitam kesayangannya dari balik batang hidung mancungnya. "Wait...." Anna bergumam sambil memperhatikan gadis yang baru saja menyapanya itu. Gadis itu tampak gelisah ketika bulu mata lentik milik bosnya terus me
Waktu yang ditunggu-tunggu Anna akhirnya tiba. Jam sudah menunjukkan pukul sepuluh pagi dan bertepatan juga Anna telah selesai mempercantik dirinya. Anna menatap dirinya sekali lagi di depan cermin sebelum kakinya melangkah meninggalkan ruang pribadi yang sengaja dibuat di dalam ruang kerjanya. "Bagaimana penampilanku?" tanya Anna. Mijung tergelak kagum. "Demi Tuhan, Anna Smith, kau lebih terlihat pemilik perusahaan fashion." Mijung melayangkan tangannya ke udara seraya memutar bola mata. Ekspresinya sangat dramatis. "Permisi." Seseorang mengetuk dari luar dan tampaknya itu Glory, sekretaris Anna. "Tamu dari The Glitch sudah tiba. Mereka menunggu di ruang rapat," ucap Glory. "Baiklah, Glory. Anna akan kesana," ucap Mijung.
[-MARVINPOV-]_______________ Aku sungguh tidak mengerti. Betapapun kerasnya aku mencoba untuk berpikir, tetap saja ini di luar kendaliku. Aku tidak menyangka jika karyaku akan dilirik di mancanegara. Kegemaranku untuk melukis di atas kanvas membuatku tertarik untuk bergabung menjadi Iluslator di dunia digital. Awalnya, aku dikenalkan oleh Luna, istriku. Katanya ada sebuah aplikasi yang memungkinkan pelukis amatiran seperti aku dikenal oleh banyak orang. Aku dan Luna akhirnya membuat sebuah komik online. Sayangnya penjualan komik online kami tidak berjalan baik. Kemudian dua tahun lalu aku mendapat email. Katanya dia seorang editor dar sebuah perusahaan bernama The Glitch yang memproduksi web komik terbesar di Amerika.
Iluslator akan menerima 200.000,00$ sebagai upah awal tanda tangan kontrak. "Ap- apa ...." Marvin tidak bisa menahan rasa kagetnya. Dia terkejut membaca nominal yang tertera pada bagian terakhir, paling bawah dari kontrak yang menurutnya konyol itu. Dua ratus ribu dolar bukan angka yang sedikit. Itu setara dengan gajinya selama setahun di The Giltch, tetapi yang tertulis di sana adalah upah awal. Dalam artian ini bonus penandatanganan. Wow! Marvin menarik napas. Mulutnya menganga sedari tadi hingga dia perlu membawa telapak tangannya untuk menutup mulutnya. "Mi ... Ms. Anna." Marvin menggagap. Matanya masih tidak mau lepas dari angka-angka fantastis dalam kertas yang ada di tangannya.
ANNA:_________ Aku terbangun di depan sebuah gedung tiga tingkat dengan halaman luas dan sebuah lapangan basket. Beberapa orang pria memakai pakaian putih abu-abu tengah asik berlarian mengejar bola basket. Salah satu dari mereka berhasil menangkap bola itu lalu memasukkannya ke dalam ring. Mataku mengecil ketika melihat seorang pria tengah duduk menyendiri lalu aku mulai mengambil langkah untuk mendekatinya. Dia sendirian di bawah pohon besar. Kepalanya tertunduk pada sebuah kertas sambil tangannya sibuk menari-nari di atas kertas berwarna putih. Matanya begitu fokus. Terjebak dengan dunianya sendiri. Aku ke sana dan menghampirinya. Aku duduk di depannya, tapi dia sama sekali tidak bergeming. "Hai, Vin ..."
"Tidak!" Anna menjerit dan secara naluriah tubuhnya terduduk di atas ranjang. Dia membawa satu tangannya, meremas dada yang berdebar hebat oleh karena mimpi buruk yang kembali menghantuinya. Hampir di setiap malam. Seolah menjadi lagu tidur menyeramkan yang tiada habisnya. "Ah ...." Anna mendesah. Dia membawa kedua tangan ke wajah. Mengubur wajahnya di sana lalu mengusapnya dengan kasar. Keringat dingin bercucuran dari wajah hingga ke seluruh tubuhnya. Ia lemas. Anna kembali menghela napas panjang lalu membuangnya dengan cepat. Dia butuh sesuatu untuk bisa menemaninya sampai malam berakhir. Anna pun mulai menggerakkan kakinya menghindari selimut lalu turun dari ranjang. Duduk selama beberapa detik di tepi ranjang sekadar mengumpulkan kesadaran. Setelah beberapa detik berlalu, Ann pun memutuskan untuk berdiri.
Terlihat kelopak mata Marvin bergerak-gerak selama beberapa detik lalu akhirnya terbuka. Marvin mengernyit lalu berusaha menelan saliva untuk membasahi kerongkongannya. Tubuhnya benar-benar lemas.Marvin masih berusaha mengumpulkan kesadaran. Namun, saat kesadaran Marvin mulai terkumpul, lelaki itu kemudian menggeram. Rasa kram menjalar cepat, dirasakan Marvin pada lengan sebelah kanan. Sehingga lelaki itu langsung memutar wajahnya ke samping.Seketika kening Marvin mengerut saat melihat siapa yang sedang tertidur di samping ranjang dengan kepala berada di atas lengan Marvin. Dengan cepat, pria itu bangkit dan menarik lengannya.Terdengar geraman dari pemilik suara serak-serak basah itu. Disusul gerakan bulu mata. Perlahan-lahan, sepasang manik cokelat pun terlihat.&ldq
Anna melesak dari atas tempat tidur saat mendengar bunyi derap langkah. Seketika membuat jantungnya berdetak meningkat. Ia pun membetulkan pakaian Marvin lalu berdiri di samping ranjang.“Ms. Anna,” panggil Vic.Karena buru-buru, lelaki itu tidak mengetuk pintu. Mendapati senyum di wajah sang majikan, membuat Vic mengerutkan dahi. Untuk alasan apa wanita itu tersenyum dan malah membuatnya takut. Namun, mengingat ada sesuatu yang harus dikatakan oleh Vic, ia pun mengerjapkan mata lalu menggoyangkan kepala.“Aku sudah memanggil dokternya,” kata Vic.“Kalau begitu suruh dia masuk,” ucap Anna.Vic mengangguk lalu menoleh. Seorang pria dengan kemeja kotak-kotak dan celana kain hitam, masuk ke dalam kamar.“Bonjour,” sapa lelaki itu dengan hormat.Anna menelengkan wajah sambil mempertahankan senyum horornya. Ia benar-benar terlihat seperti Maleficent. Lebih baik dia memasang wajah tegas daripa
“Let’s play with me,” bisik Anna. Entah Marvin menyadarinya atau tidak, bibirnya kini mengering dan matanya mendadak perih. Serta membutuhkan waktu yang lama untuk menyeret alam bawah sadarnya kembali ke daratan sehingga ia bisa mengembuskan napas panjang dan menyahut dengan nada lirih, “Tidak.” Anna mengerutkan keningnya. Belum ingin menyerah, ia pun mendekat. Menempatkan bibir merahnya tepat satu inci di depan bibir Marvin. Sengaja membuat celah kecil ketika dilihatnya Marvin tengah mematri tatapan pada bibir sensualnya. “Yakin?” Lelaki itu mengerjap, mengembalikan instingnya dan ia pun memberanikan diri, menatap wanita di depannya. “Ya!” jawab Marvin dengan tegas. Lelaki itu meraih kedua tangan Anna dari atas pundaknya kemudian melepasnya begitu saja. “Aku harus kembali bekerja.” Dengan wajah tegas, pucat tak berekspresi, Marvin melangkah meninggalkan kamarnya. Bergegas menaiki anak tangga menuju lantai dua dan ia kembali ke kursi k
Marvin masih mencoba mengumpulkan kesadarannya. Namun ia tidak sadar jika sekarang kecepatan napasnya melebihi perpindahan detik, membuat dadanya naik turun.Sementara di ujung kakinya, berdiri seorang wanita dengan alis yang menukik tajam, tampak menghakimi. Wanita dalam balutan bathrobes dress merah itu berkacak pinggang. Dia tak kalah mendengkus.“Aku hanya keluar sebentar dan kau sudah bermalas-malasan di tempat tidur?!”Suara itu melengking hingga memekkan telinga. Marvin menundukkan kepala, lantas melepaskan desahan panjang. Untuk sekelebat lelaki itu berdiam diri. Memijat dahi dengan jempol dan jari tengahnya.“Maaf,” gumam Marvin. Akhirnya lelaki itu mengangkat pandangannya. “kepalaku pening dan aku tidak bisa berkonsentrasi, ja-&ldq
Aku seperti ngengat yang mengejar api. Dan kupikir aku telah gila karena mulai menyukai bagaimana caranya membakar diriku sehingga, untuk menjerit pun rasanya terlalu nikmat.[Marvin POV]___________Aku merasakan kedinginan menghujam ubun-ubun, hingga kupikir kedinginan itu mulai merasuk ke dalam tubuh dan membuat otakku membeku.Kupikir inilah cara terbaik untuk membuat pikiranku berhenti untuk memikirkan pesona wanita bernama Anna Smith itu. Wanita yang punya napas mint yang candu. Wanita yang gemar melepaskan kalimat sarkasme, wanita yang terlalu sering menatapku dengan tatapan dingin.Wanita yang punya otoriter yang besar dan mampu membuatku tunduk dan takluk. Aku tida
“Hahh ….”Embusan napas panjang dan berat itu telah memecah keheningan selama satu jam berlalu. Demi Tuhan, Marvin tak bisa membuat otaknya berkonsentrasi pada drawing tablet, dan monitor di depannya. Sementara matanya tak bisa berhenti bergerak untuk tidak menatap visual menggoda dan mengintimidasi di belakang layar laptopnya.Sehingga Marvin hanya bisa melepaskan desahan panjang dari mulut sambil melayangkan tangan kanannya yang memegang pen tablet ke udara. Wanita yang sejak tadi berdiam diri di kursi kerjanya itu kini mengerutkan dahi.“What the hell wrong with you.” Suara serak-serak basah itu membuat Marvin menatapnya.Melihat raut wajah Marvin yang menggeruskan kekesalan di sana malah membuat Anna tersenyum di dalam hatinya. Tidak ad
Matahari yang terbit menandakan hari baru, sejatinya sanggup membangunkan semangat semua orang, tetapi tidak dengan Marvin Aditya Wijaya. Ketika sinar mentari menelusup dari celah gorden yang tidak tertutup sempurna, membuat lelaki itu malah menggeram.Mungkin baru beberapa jam ia memejamkan mata. Ya. Marvin ingat betul. Setelah drama yang dibuat oleh Anna membuat Marvin terus mengumpat sepanjang malam. Ingin rasanya pria itu pergi dari kota ini. Membatalkan semua kontrak yang telah ia tandatangani. Andai saja ia bisa. Andai saja Marvin punya cukup kekuatan untuk bisa melawan Anna Smith, tentu saja Marvin akan melakukannya. Persetan jika ia miskin. Itu lebih baik daripada terjebak situasi gila seperti ini.Namun, pria itu sadar seratus persen kalau dirinya benar-benar telah menancapkan kepala pada liang bahaya dan sulit untuk keluar dari sana hidup-hidup. Marvi
“Kalau begitu … kalau begitu kau cari sendiri caranya,” ucap Anna.Dengan gampang dia melangkah. Melewati tubuh Marvin dan bersiap menuju ke lantai dua, akan tetapi langkahnya terhenti saat mendengar sesuatu. Gadis itu pun berhenti. Ia menggerakkan kepalanya. Menoleh kecil ke belakang. Seringaian kembali muncul di wajah Anna saat melihat apa yang dilakukan Marvin.Pria itu menelan harga dirinya dengan berlutut. Kepalanya tertunduk, selain rungunya yang dibiarkan tetap peka menangkap bunyi sepasang sepatu hak tinggi yang kini bergerak menghampirinya.Semilir angin yang bertiup ke tengkuknya, membuat tubuh Marvin bergidik. Alam bawah sadarnya telah menangkap teror besar yang mendekat dan sekarang tepat berada di depannya. Bulu roma Marvin berdiri sewaktu merasakan tekanan udara, seperti menyambar wajahnya.Dengan kepala yang masih terunduk itu, Marvin bisa melihat sepasang sepatu hak tinggi berwarna merah metalik tepat berada di depan lut
“Diam dan jangan bergerak.”Marvin terbelalak saat mendengar suara serak-serak basah itu berada tepat di depan tengkuknya. Suara tersebut sanggup membuat tubuhnya membeku. Pria itu menutup mata. Membiarkan tubuhnya bergetar sewaktu Anna memutar tubuhnya. Wangi parfum milik Anna Smith menyatu dengan angin. Seketika merasuk ke dalam penciuman Marvin. Membuatnya tak rela membuka kedua mata bahkan untuk sedetik. Naluri menginginkan Marvin untuk membiarkan parfum dengan wangi menyihir itu merasuk lebih jauh ke dalam penciuman hingga membekukan otaknya, akan tetapi sejurus kemudian matanya kembali terbelalak saat merasakan sesuatu menyerangnya tiba-tiba.HEKSeketika Marvin kehilangan napasnya sewaktu Anna menggenggam dirinya di bawah sana. Entah mengapa sentuhan itu sanggup membunuh seluruh kekuatan Marvin. Membuatnya lemah tak berdaya dan hanya bisa membeku di tempat.Dalam keadaan tak berdaya seperti sekarang ini, Marvin bisa merasakan senyum Ann