Tiga tahun kemudian ...
The Diamond Technologi.Inc Company_______________________________
"Selama pagi, Ms. Anna,"Seluruh pasang mata tampak begitu memperhatikan wanita dengan sejuta pesona itu, Anna Smith. Sepatu hak tinggi berwarna merah kesayangannya mengetuk memberikan irama yang indah membuat semua telinga memujanya. Semua orang di lobi utama sejenak menghentikan aktivitas mereka sekadar untuk menyambut bos sekaligus pemilik perusahaan ini.
"Good morning, Ms. Anna,"
"Good Mor—" Anna menghentikan langkah. Jarinya terangkat hendak menarik kaca mata hitam kesayangannya dari balik batang hidung mancungnya. "Wait ...." Anna bergumam sambil memperhatikan gadis yang baru saja menyapanya itu.
Gadis itu tampak gelisah ketika bulu mata lentik milik bosnya terus me
Ayoo~ tekan VOTE-nya ;) Oh ya, sekedar info, NOVEL ini bernuansa Romansa Dewasa, jadi beberapa bagian akan menyuguhkan adegan dewasa. Hal-hal yang berhubungan dengan konten kekerasan, rokok, alkohol dan seksualitas (explicit) pastikan kamu sudah 18+ ya Dear ;)
Waktu yang ditunggu-tunggu Anna akhirnya tiba. Jam sudah menunjukkan pukul sepuluh pagi dan bertepatan juga Anna telah selesai mempercantik dirinya. Anna menatap dirinya sekali lagi di depan cermin sebelum kakinya melangkah meninggalkan ruang pribadi yang sengaja dibuat di dalam ruang kerjanya. "Bagaimana penampilanku?" tanya Anna. Mijung tergelak kagum. "Demi Tuhan, Anna Smith, kau lebih terlihat pemilik perusahaan fashion." Mijung melayangkan tangannya ke udara seraya memutar bola mata. Ekspresinya sangat dramatis. "Permisi." Seseorang mengetuk dari luar dan tampaknya itu Glory, sekretaris Anna. "Tamu dari The Glitch sudah tiba. Mereka menunggu di ruang rapat," ucap Glory. "Baiklah, Glory. Anna akan kesana," ucap Mijung.
[-MARVINPOV-]_______________ Aku sungguh tidak mengerti. Betapapun kerasnya aku mencoba untuk berpikir, tetap saja ini di luar kendaliku. Aku tidak menyangka jika karyaku akan dilirik di mancanegara. Kegemaranku untuk melukis di atas kanvas membuatku tertarik untuk bergabung menjadi Iluslator di dunia digital. Awalnya, aku dikenalkan oleh Luna, istriku. Katanya ada sebuah aplikasi yang memungkinkan pelukis amatiran seperti aku dikenal oleh banyak orang. Aku dan Luna akhirnya membuat sebuah komik online. Sayangnya penjualan komik online kami tidak berjalan baik. Kemudian dua tahun lalu aku mendapat email. Katanya dia seorang editor dar sebuah perusahaan bernama The Glitch yang memproduksi web komik terbesar di Amerika.
Iluslator akan menerima 200.000,00$ sebagai upah awal tanda tangan kontrak. "Ap- apa ...." Marvin tidak bisa menahan rasa kagetnya. Dia terkejut membaca nominal yang tertera pada bagian terakhir, paling bawah dari kontrak yang menurutnya konyol itu. Dua ratus ribu dolar bukan angka yang sedikit. Itu setara dengan gajinya selama setahun di The Giltch, tetapi yang tertulis di sana adalah upah awal. Dalam artian ini bonus penandatanganan. Wow! Marvin menarik napas. Mulutnya menganga sedari tadi hingga dia perlu membawa telapak tangannya untuk menutup mulutnya. "Mi ... Ms. Anna." Marvin menggagap. Matanya masih tidak mau lepas dari angka-angka fantastis dalam kertas yang ada di tangannya.
ANNA:_________ Aku terbangun di depan sebuah gedung tiga tingkat dengan halaman luas dan sebuah lapangan basket. Beberapa orang pria memakai pakaian putih abu-abu tengah asik berlarian mengejar bola basket. Salah satu dari mereka berhasil menangkap bola itu lalu memasukkannya ke dalam ring. Mataku mengecil ketika melihat seorang pria tengah duduk menyendiri lalu aku mulai mengambil langkah untuk mendekatinya. Dia sendirian di bawah pohon besar. Kepalanya tertunduk pada sebuah kertas sambil tangannya sibuk menari-nari di atas kertas berwarna putih. Matanya begitu fokus. Terjebak dengan dunianya sendiri. Aku ke sana dan menghampirinya. Aku duduk di depannya, tapi dia sama sekali tidak bergeming. "Hai, Vin ..."
"Tidak!" Anna menjerit dan secara naluriah tubuhnya terduduk di atas ranjang. Dia membawa satu tangannya, meremas dada yang berdebar hebat oleh karena mimpi buruk yang kembali menghantuinya. Hampir di setiap malam. Seolah menjadi lagu tidur menyeramkan yang tiada habisnya. "Ah ...." Anna mendesah. Dia membawa kedua tangan ke wajah. Mengubur wajahnya di sana lalu mengusapnya dengan kasar. Keringat dingin bercucuran dari wajah hingga ke seluruh tubuhnya. Ia lemas. Anna kembali menghela napas panjang lalu membuangnya dengan cepat. Dia butuh sesuatu untuk bisa menemaninya sampai malam berakhir. Anna pun mulai menggerakkan kakinya menghindari selimut lalu turun dari ranjang. Duduk selama beberapa detik di tepi ranjang sekadar mengumpulkan kesadaran. Setelah beberapa detik berlalu, Ann pun memutuskan untuk berdiri.
Jika kamu pernah tersakiti, percayalah karma akan bekerja pada waktunya. Akan ada waktunya mereka menerima apa yang telah mereka lakukan. - Anna Smith -~~~~~~~~~~~~~ Senyum di bibir wanita bernama Anna Smith tidak kunjung pudar. Hari ini benar-benar harinya. Selama sepuluh tahun lebih dia menantikan hari di mana dia bisa membalaskan dendamnya. Anna bahkan pernah berencana untuk kembali ke Indonesia dan membuka perusahaannya di sana kemudian mencari keberadaan Marvin dan Luna. Lagi pula Indonesia terlalu kecil jika hanya untuk mencari dua orang itu. Anna bisa menggunakan uangnya untuk membayar beberapa orang atau bahkan menggunakan alat canggih untuk bisa menemukan mereka. Namun, siapa sangka ternyata takdir malah mengirim Marvin Aditiya Wijaya padanya. "Now, it's time to sha
Roissy – Charles de Gaulie International Airports Paris - 02.33 PM_______________Setelah menempuh perjalanan kurang lebih tiga belas jam di dalam pesawat komersil, akhirnya Anna dan Marvin tiba di Paris. Anna membawa serta anak buahnya yaitu Vic. Dia yang saat ini tampak begitu sibuk memasukkan barang bawaan sang bos ke dalam mobil limosin. Sementara Marvin hanya melongo di samping Anna. Pria itu masih dilanda kebingungan. Sebelum berangkat ke Paris, seperti biasa, Marvin terlibat pertengkaran dengan Luna. Awalnya Luna sama sekali tidak mengizinkan suaminya itu untuk pergi bersama sang bos. Namun, lagi-lagi Marvin terpaksa harus berbohong dengan mengatakan jika mereka akan datang bersama tim dari perusahaan dan untuk keperluan riset. Hal terbodoh dari semua itu adalah Marvin kembali membujuk Luna dengan uang. Ia terpaksa memakai check yang diberikan Anna kepadanya. Padahal Marvin sudah berjanji untuk tidak mengambil uang di luar gajinya. Namun, Ma
“Ehem!” Sedari tadi Marvin terus berdehem. Ia tak bisa memegang alat makan dengan benar. Untuk pertama kalinya ia makan di restoran berbintang dengan makanan Prancis yang kurang dia mengerti. Di samping itu … sedari tadi ia tak mengerti dengan tubuhnya dan juga otaknya yang kadang begitu kurang ajar. Ia gelisah dan satu-satu penyebabnya adalah si wanita yang tengah duduk di depannya. “Kenapa?” tanya Anna. Setengah alis Marvin naik, ragu-ragu ia menatap Anna. “Makanannya tidak enak?” tanya Anna. Marvin kembali berdehem. Butuh beberapa kali untuk bisa mengumpulkan suaranya. “Bukan,” kata Marvin. Pria itu kembali membawa tatapannya pada makanan di depannya. “Lalu? Kau terlihat seperti begitu terbebani,” kata Anna sembari menggoyangkan pisau dan garpu di atas piring. Wanita itu mengintip lewat bulu matanya. Marvin tertawa formal. “Bukan itu. Maafkan aku Ms. Anna, hanya saja ini pertama kali bagiku berdua bersama atasanku,” kata Mar
Terlihat kelopak mata Marvin bergerak-gerak selama beberapa detik lalu akhirnya terbuka. Marvin mengernyit lalu berusaha menelan saliva untuk membasahi kerongkongannya. Tubuhnya benar-benar lemas.Marvin masih berusaha mengumpulkan kesadaran. Namun, saat kesadaran Marvin mulai terkumpul, lelaki itu kemudian menggeram. Rasa kram menjalar cepat, dirasakan Marvin pada lengan sebelah kanan. Sehingga lelaki itu langsung memutar wajahnya ke samping.Seketika kening Marvin mengerut saat melihat siapa yang sedang tertidur di samping ranjang dengan kepala berada di atas lengan Marvin. Dengan cepat, pria itu bangkit dan menarik lengannya.Terdengar geraman dari pemilik suara serak-serak basah itu. Disusul gerakan bulu mata. Perlahan-lahan, sepasang manik cokelat pun terlihat.&ldq
Anna melesak dari atas tempat tidur saat mendengar bunyi derap langkah. Seketika membuat jantungnya berdetak meningkat. Ia pun membetulkan pakaian Marvin lalu berdiri di samping ranjang.“Ms. Anna,” panggil Vic.Karena buru-buru, lelaki itu tidak mengetuk pintu. Mendapati senyum di wajah sang majikan, membuat Vic mengerutkan dahi. Untuk alasan apa wanita itu tersenyum dan malah membuatnya takut. Namun, mengingat ada sesuatu yang harus dikatakan oleh Vic, ia pun mengerjapkan mata lalu menggoyangkan kepala.“Aku sudah memanggil dokternya,” kata Vic.“Kalau begitu suruh dia masuk,” ucap Anna.Vic mengangguk lalu menoleh. Seorang pria dengan kemeja kotak-kotak dan celana kain hitam, masuk ke dalam kamar.“Bonjour,” sapa lelaki itu dengan hormat.Anna menelengkan wajah sambil mempertahankan senyum horornya. Ia benar-benar terlihat seperti Maleficent. Lebih baik dia memasang wajah tegas daripa
“Let’s play with me,” bisik Anna. Entah Marvin menyadarinya atau tidak, bibirnya kini mengering dan matanya mendadak perih. Serta membutuhkan waktu yang lama untuk menyeret alam bawah sadarnya kembali ke daratan sehingga ia bisa mengembuskan napas panjang dan menyahut dengan nada lirih, “Tidak.” Anna mengerutkan keningnya. Belum ingin menyerah, ia pun mendekat. Menempatkan bibir merahnya tepat satu inci di depan bibir Marvin. Sengaja membuat celah kecil ketika dilihatnya Marvin tengah mematri tatapan pada bibir sensualnya. “Yakin?” Lelaki itu mengerjap, mengembalikan instingnya dan ia pun memberanikan diri, menatap wanita di depannya. “Ya!” jawab Marvin dengan tegas. Lelaki itu meraih kedua tangan Anna dari atas pundaknya kemudian melepasnya begitu saja. “Aku harus kembali bekerja.” Dengan wajah tegas, pucat tak berekspresi, Marvin melangkah meninggalkan kamarnya. Bergegas menaiki anak tangga menuju lantai dua dan ia kembali ke kursi k
Marvin masih mencoba mengumpulkan kesadarannya. Namun ia tidak sadar jika sekarang kecepatan napasnya melebihi perpindahan detik, membuat dadanya naik turun.Sementara di ujung kakinya, berdiri seorang wanita dengan alis yang menukik tajam, tampak menghakimi. Wanita dalam balutan bathrobes dress merah itu berkacak pinggang. Dia tak kalah mendengkus.“Aku hanya keluar sebentar dan kau sudah bermalas-malasan di tempat tidur?!”Suara itu melengking hingga memekkan telinga. Marvin menundukkan kepala, lantas melepaskan desahan panjang. Untuk sekelebat lelaki itu berdiam diri. Memijat dahi dengan jempol dan jari tengahnya.“Maaf,” gumam Marvin. Akhirnya lelaki itu mengangkat pandangannya. “kepalaku pening dan aku tidak bisa berkonsentrasi, ja-&ldq
Aku seperti ngengat yang mengejar api. Dan kupikir aku telah gila karena mulai menyukai bagaimana caranya membakar diriku sehingga, untuk menjerit pun rasanya terlalu nikmat.[Marvin POV]___________Aku merasakan kedinginan menghujam ubun-ubun, hingga kupikir kedinginan itu mulai merasuk ke dalam tubuh dan membuat otakku membeku.Kupikir inilah cara terbaik untuk membuat pikiranku berhenti untuk memikirkan pesona wanita bernama Anna Smith itu. Wanita yang punya napas mint yang candu. Wanita yang gemar melepaskan kalimat sarkasme, wanita yang terlalu sering menatapku dengan tatapan dingin.Wanita yang punya otoriter yang besar dan mampu membuatku tunduk dan takluk. Aku tida
“Hahh ….”Embusan napas panjang dan berat itu telah memecah keheningan selama satu jam berlalu. Demi Tuhan, Marvin tak bisa membuat otaknya berkonsentrasi pada drawing tablet, dan monitor di depannya. Sementara matanya tak bisa berhenti bergerak untuk tidak menatap visual menggoda dan mengintimidasi di belakang layar laptopnya.Sehingga Marvin hanya bisa melepaskan desahan panjang dari mulut sambil melayangkan tangan kanannya yang memegang pen tablet ke udara. Wanita yang sejak tadi berdiam diri di kursi kerjanya itu kini mengerutkan dahi.“What the hell wrong with you.” Suara serak-serak basah itu membuat Marvin menatapnya.Melihat raut wajah Marvin yang menggeruskan kekesalan di sana malah membuat Anna tersenyum di dalam hatinya. Tidak ad
Matahari yang terbit menandakan hari baru, sejatinya sanggup membangunkan semangat semua orang, tetapi tidak dengan Marvin Aditya Wijaya. Ketika sinar mentari menelusup dari celah gorden yang tidak tertutup sempurna, membuat lelaki itu malah menggeram.Mungkin baru beberapa jam ia memejamkan mata. Ya. Marvin ingat betul. Setelah drama yang dibuat oleh Anna membuat Marvin terus mengumpat sepanjang malam. Ingin rasanya pria itu pergi dari kota ini. Membatalkan semua kontrak yang telah ia tandatangani. Andai saja ia bisa. Andai saja Marvin punya cukup kekuatan untuk bisa melawan Anna Smith, tentu saja Marvin akan melakukannya. Persetan jika ia miskin. Itu lebih baik daripada terjebak situasi gila seperti ini.Namun, pria itu sadar seratus persen kalau dirinya benar-benar telah menancapkan kepala pada liang bahaya dan sulit untuk keluar dari sana hidup-hidup. Marvi
“Kalau begitu … kalau begitu kau cari sendiri caranya,” ucap Anna.Dengan gampang dia melangkah. Melewati tubuh Marvin dan bersiap menuju ke lantai dua, akan tetapi langkahnya terhenti saat mendengar sesuatu. Gadis itu pun berhenti. Ia menggerakkan kepalanya. Menoleh kecil ke belakang. Seringaian kembali muncul di wajah Anna saat melihat apa yang dilakukan Marvin.Pria itu menelan harga dirinya dengan berlutut. Kepalanya tertunduk, selain rungunya yang dibiarkan tetap peka menangkap bunyi sepasang sepatu hak tinggi yang kini bergerak menghampirinya.Semilir angin yang bertiup ke tengkuknya, membuat tubuh Marvin bergidik. Alam bawah sadarnya telah menangkap teror besar yang mendekat dan sekarang tepat berada di depannya. Bulu roma Marvin berdiri sewaktu merasakan tekanan udara, seperti menyambar wajahnya.Dengan kepala yang masih terunduk itu, Marvin bisa melihat sepasang sepatu hak tinggi berwarna merah metalik tepat berada di depan lut
“Diam dan jangan bergerak.”Marvin terbelalak saat mendengar suara serak-serak basah itu berada tepat di depan tengkuknya. Suara tersebut sanggup membuat tubuhnya membeku. Pria itu menutup mata. Membiarkan tubuhnya bergetar sewaktu Anna memutar tubuhnya. Wangi parfum milik Anna Smith menyatu dengan angin. Seketika merasuk ke dalam penciuman Marvin. Membuatnya tak rela membuka kedua mata bahkan untuk sedetik. Naluri menginginkan Marvin untuk membiarkan parfum dengan wangi menyihir itu merasuk lebih jauh ke dalam penciuman hingga membekukan otaknya, akan tetapi sejurus kemudian matanya kembali terbelalak saat merasakan sesuatu menyerangnya tiba-tiba.HEKSeketika Marvin kehilangan napasnya sewaktu Anna menggenggam dirinya di bawah sana. Entah mengapa sentuhan itu sanggup membunuh seluruh kekuatan Marvin. Membuatnya lemah tak berdaya dan hanya bisa membeku di tempat.Dalam keadaan tak berdaya seperti sekarang ini, Marvin bisa merasakan senyum Ann