“Ehem!”
Sedari tadi Marvin terus berdehem. Ia tak bisa memegang alat makan dengan benar. Untuk pertama kalinya ia makan di restoran berbintang dengan makanan Prancis yang kurang dia mengerti. Di samping itu … sedari tadi ia tak mengerti dengan tubuhnya dan juga otaknya yang kadang begitu kurang ajar. Ia gelisah dan satu-satu penyebabnya adalah si wanita yang tengah duduk di depannya.
“Kenapa?” tanya Anna.
Setengah alis Marvin naik, ragu-ragu ia menatap Anna.
“Makanannya tidak enak?” tanya Anna.
Marvin kembali berdehem. Butuh beberapa kali untuk bisa mengumpulkan suaranya. “Bukan,” kata Marvin. Pria itu kembali membawa tatapannya pada makanan di depannya.
“Lalu? Kau terlihat seperti begitu terbebani,” kata Anna sembari menggoyangkan pisau dan garpu di atas piring. Wanita itu mengintip lewat bulu matanya.
Marvin tertawa formal. “Bukan itu. Maafkan aku Ms. Anna, hanya saja ini pertama kali bagiku berdua bersama atasanku,” kata Mar
Anna dan Marvin saling menatap tanpa berkedip. Menatap sepasang iris cokelat abu-abu di depannya, membuat Marvin merasa tersesat. Sekuat apa pun ia mencoba, tetap saja ada satu sisi dalam dirinya yang terus mendorong Marvin untuk mengira-ngira … bagaimana bosnya itu. Namun, satu sisi lagi dalam dirinya seperti merantai pria itu agar jangan sampai dia melewati garis yang telah ditandai sebagai bahaya. Atau dia akan makin tersesat. Hingga yang bisa dia lakukan hanyalah mendesah. “Baiklah,” ucap Marvin dengan penuh kepasrahan. Anna menyeringai. Ia begitu semangat. Wanita itu memutar tubuh menghadap meja bar lalu menuangkan wiksi ke dalam seloki. “Here we go,” gumam Anna. Setelah mengisi seloki dengan wiski, ia kembali menatap Marvin. “Kapan kau menikah?” “10 Januari 2010.” Marvin menjawab dengan cepat. Seketika ekspresi wajah Anna berubah. Terlihat rahangnya mengencang dengan tatapan kosong yang memancarkan keheningan yang mematik
“Siapa? Berikan aku satu nama.” “No ….” “JAWAB!” Marvin membelalak. Mabuknya mendadak hilang saat mendengar teriakan Anna. “NADIA!” DEG Jantung Anna seperti terkena pukulan gada membuatnya berhenti berdetak selama beberapa detik. Tenggorokannya ikut tersekat dan ia tak bisa memindahkan tatapan matanya dari si pria yang baru saja menyebutkan sebuah nama. “Canadia …,” gumamnya “Smith.” Lanjut Marvin. Bola mata Anna makin melebar. Dalam keadaan tak sadar, Marvin terkekeh. “She’s my girl, but ….” Suara Marvin menghilang bersamaan dengan kesadarannya. Sementara Anna masih menangkup wajah pria itu dengan kedua tangannya. Anna diam memandang Marvin dalam sorot mata kosong. Matanya mendadak perih karena ia mulai lupa caranya berkedip. Dirasa Anna jika tubuh Marvin mulai bergerak dan ia membiarkan pria itu melempar wajahnya hingga mendarat tepat di depan dada Anna. Sedetik kemudian tampak sudut bibir Anna bergerak. Perlahan-laha
“Wanna cum, Baby? Then I’ll make you cum.”Anna menyeringai. Entakan jantung yang sempat berdetak normal beberapa detik yang lalu, kembali berdetak meningkat. Wajahnya terlihat seperti seorang anak kecil yang terlalu girang mendapat kado dari Santa Claus, tangan Anna bergerak dengan cepat melepas benda yang melilit pinggang Marvin. Adrenalinnya telah terpacu sejak tadi dan kini makin menjalar ke seluruh pembuluh darah.Mulut Anna terbuka, membiarkan desahan lolos dari sana. Ia menatap kedua tangannya yang berhasil membuka gesper. Anna tertawa lalu mendongak menatap Marvin. Sejurus kemudian, tangannya kembali bergerak menarik gesper yang melingkari pinggang Marvin.‘Ayo, Anna. Cepatlah. Aku haus!’Dirasa Anna ada sesuatu yang menudungi tubuhnya dari belakang. Ia menghela napas sambil mengangkat dagunya tinggi.‘Biarkan aku melakukan sisanya, Anna.’Makin lama, semakin kuat sisi gelap itu mengusainya d
Terdengar samar suara geraman dari Marvin. Pria itu mulai sadar ketika cahaya matahari masuk lewat celah gorden yang tak tertutup sempurna memberikan pertanda jika hari sudah pagi. Marvin memegang kepalanya yang berdengung karena kelebihan alkohol.Sambil mengumpulkan kesadaran, pria itu mencoba membuka kelopak matanya. Agak buram hingga ia mengerjap beberapa kali. Lewat bulu matanya, Marvin seperti menangkap sesuatu. Detik selanjutnya ia pun melesak dari atas tempat tidur.“Mi – Mi-“ Marvin menggagap menatap wanita dalam balutan jubah mandi berwarna putih yang kini duduk di tepi ranjang –tepat di sampingnya.“Good morning,” sapa Anna. Seulas senyum mematri wajah Anna saat menyapa Marvin.Sementara pria itu masih dalam kebingungan. Ia menyeret punggungnya ke belakang hingga kepalanya menyentuh headboard. Jantungnya langsung berdetak meningkat saat melihat sang bos dalam pakaian seperti itu. Wajahnya terlihat natural. Ta
Marvin mendengkus. Ia menoleh ke belakang lalu kembali menatap Luna dengan tatapan nyalang.“Kamu tuh ya, bisanya cuman nuduh, nuduh, nuduh aja!” tukas Marvin. Ia berdecak kesal. Membawa telapak tangan meremas dahinya, pria itu kembali mengembuskan napas panjang.“Lun,” panggil Marvin. Suaranya kembali berubah kalem. Menyadari jika sedetik yang lalu, ia telah bertindak kasar, pria itu pun memasang tampang lunak. Ditatapanya sang istri yang sekarang memasang tampang kesal. “Mas minta maaf soal tadi,” bujuk Marvin.“Gak apa-apa, Mas. Bentak aja aku terus. Kamu hanya bisa seperti itu kalo lagi marah.”Mulut Marvin terbuka. Ia menengadahkan wajahnya ke atas. Desahan napasnya kembali menggema ketika dirasa Marvin kepalanya berkedut nyeri. Seperti biasa. Istrinya selalu menuduhnya berselingkuh.“Lun, kita bukan remaja lagi. Kita udah tua untuk berdebat seperti ini.”“Kamu yang selal
“Ahhhh ….” Desahan dari bibir berbalut lipstick merah, dibarengi dengan bunyi gelas yang menyentak meja bar. “Lagi,” kata Anna. Di samping gadis itu, ada Marvin yang dengan begitu setia menuangkan martini ke seloki milik sang bos. Wajah Anna tampak merah padam dan sejak tadi ia terus mendengkus. “Persetan!” Dan tak henti memaki. Wanita muda itu memalingkan wajahnya ke samping tepat saat Marvin juga masih mematri tatapan padanya. “Bagaimana dia bisa ada di sini, hah?!” Anna menaikkan nadanya setengah oktaf. Sementara Marvin meresponnya dengan memberengut dan mengedikkan kedua bahu. “Sial!” desis Anna. Ia kembali mendengkus. “Tuangkan lagi,” titah wanita itu. Marvin memilih untuk tidak bertanya apa pun. Walaupun dia sudah sangat penasaran, tetapi pria itu memilih untuk bungkam agar tidak melanggar batasan. “Apa dia tahu kalau aku di Paris? Apa Mijung memberitahu keberadaanku?” Anna terus bermonolog. Sejurus kemudian ia memutar tubuh. Mat
“FUCK!” jerit Anna. Hidungnya kembang kempis mengembuskan napas yang bergemuruh kasar. Wanita itu meracau kesal sambil mengentak-entakkan kedua kakinya. Sekali lagi mendengkus dan dia berjalan menghampiri dua orang pria yang berjalan tak jauh di depannya. “I wanna kill this man,” kata Anna. Telunjuknya bergetar menunjuk ke arah Marvin yang kini berjalan dalam keadaan setengah sadar. Sementara Vic hanya mendelikkan matanya ke atas. Ya. Ini sudah biasa. Pria itu sudah beberapa kali mengantar pria-pria yang pernah menjadi ‘submasif’ sang bos. Dan ini yang pertama kalinya dia mengantar seseorang yang … basah. “Dia gila! Sinting.” Anna terus memaki. “I think he told that he was wet!” Anna berbicara dengan kening yang terlipat dan wajah yang ia condongkan ke depan. Kemudian dia mengedikkan kedua bahu. “Sial!” umpatnya lagi. “Ternyata dia menyirami celananya sendiri.” Lanjut Anna. Wanita itu melayangkan kedua tangan ke udara dan menggeram. Sudut bibir
Bola mata Marvin melebar saat merasakan serangan tiba-tiba di bibirnya. Namun, bukannya mendorong tubuh Anna untuk menjauh, dia malah membiarkan Anna melakukan keliarannya.Wanita Smith itu juga tak mengerti dengan dirinya yang tiba-tiba bertindak gegabah. Selama tiga jam dia terus menggerutu. Bahkan, dia telah merendam tubuhnya ke dalam bak mandi berisi es batu. Berharap kepalanya akan dingin, tetapi yang terjadi malah sebaliknya. Amarah di dalam dirinya makin meledak-ledak.Anna tak tahan untuk segera menghukum Marvin. Namun, saat ia tiba di depan kamar Marvin, Anna mendengar sesuatu yang malah menghiburnya.‘Terima kasih, Luna. Terima kasih karena sudah memarahi Marvin. Sekarang aku jadi tahu kalau kamu sangat sialan jalang. Berani-beraninya kamu membentak lelakiku. Berani-beraninya kamu memperlakukan dia seperti binatang.’“No …,” gumam Anna di dalam mulut Marvin. Wanita itu menarik bibirnya. Membiarkan Marvin bernapas,
Terlihat kelopak mata Marvin bergerak-gerak selama beberapa detik lalu akhirnya terbuka. Marvin mengernyit lalu berusaha menelan saliva untuk membasahi kerongkongannya. Tubuhnya benar-benar lemas.Marvin masih berusaha mengumpulkan kesadaran. Namun, saat kesadaran Marvin mulai terkumpul, lelaki itu kemudian menggeram. Rasa kram menjalar cepat, dirasakan Marvin pada lengan sebelah kanan. Sehingga lelaki itu langsung memutar wajahnya ke samping.Seketika kening Marvin mengerut saat melihat siapa yang sedang tertidur di samping ranjang dengan kepala berada di atas lengan Marvin. Dengan cepat, pria itu bangkit dan menarik lengannya.Terdengar geraman dari pemilik suara serak-serak basah itu. Disusul gerakan bulu mata. Perlahan-lahan, sepasang manik cokelat pun terlihat.&ldq
Anna melesak dari atas tempat tidur saat mendengar bunyi derap langkah. Seketika membuat jantungnya berdetak meningkat. Ia pun membetulkan pakaian Marvin lalu berdiri di samping ranjang.“Ms. Anna,” panggil Vic.Karena buru-buru, lelaki itu tidak mengetuk pintu. Mendapati senyum di wajah sang majikan, membuat Vic mengerutkan dahi. Untuk alasan apa wanita itu tersenyum dan malah membuatnya takut. Namun, mengingat ada sesuatu yang harus dikatakan oleh Vic, ia pun mengerjapkan mata lalu menggoyangkan kepala.“Aku sudah memanggil dokternya,” kata Vic.“Kalau begitu suruh dia masuk,” ucap Anna.Vic mengangguk lalu menoleh. Seorang pria dengan kemeja kotak-kotak dan celana kain hitam, masuk ke dalam kamar.“Bonjour,” sapa lelaki itu dengan hormat.Anna menelengkan wajah sambil mempertahankan senyum horornya. Ia benar-benar terlihat seperti Maleficent. Lebih baik dia memasang wajah tegas daripa
“Let’s play with me,” bisik Anna. Entah Marvin menyadarinya atau tidak, bibirnya kini mengering dan matanya mendadak perih. Serta membutuhkan waktu yang lama untuk menyeret alam bawah sadarnya kembali ke daratan sehingga ia bisa mengembuskan napas panjang dan menyahut dengan nada lirih, “Tidak.” Anna mengerutkan keningnya. Belum ingin menyerah, ia pun mendekat. Menempatkan bibir merahnya tepat satu inci di depan bibir Marvin. Sengaja membuat celah kecil ketika dilihatnya Marvin tengah mematri tatapan pada bibir sensualnya. “Yakin?” Lelaki itu mengerjap, mengembalikan instingnya dan ia pun memberanikan diri, menatap wanita di depannya. “Ya!” jawab Marvin dengan tegas. Lelaki itu meraih kedua tangan Anna dari atas pundaknya kemudian melepasnya begitu saja. “Aku harus kembali bekerja.” Dengan wajah tegas, pucat tak berekspresi, Marvin melangkah meninggalkan kamarnya. Bergegas menaiki anak tangga menuju lantai dua dan ia kembali ke kursi k
Marvin masih mencoba mengumpulkan kesadarannya. Namun ia tidak sadar jika sekarang kecepatan napasnya melebihi perpindahan detik, membuat dadanya naik turun.Sementara di ujung kakinya, berdiri seorang wanita dengan alis yang menukik tajam, tampak menghakimi. Wanita dalam balutan bathrobes dress merah itu berkacak pinggang. Dia tak kalah mendengkus.“Aku hanya keluar sebentar dan kau sudah bermalas-malasan di tempat tidur?!”Suara itu melengking hingga memekkan telinga. Marvin menundukkan kepala, lantas melepaskan desahan panjang. Untuk sekelebat lelaki itu berdiam diri. Memijat dahi dengan jempol dan jari tengahnya.“Maaf,” gumam Marvin. Akhirnya lelaki itu mengangkat pandangannya. “kepalaku pening dan aku tidak bisa berkonsentrasi, ja-&ldq
Aku seperti ngengat yang mengejar api. Dan kupikir aku telah gila karena mulai menyukai bagaimana caranya membakar diriku sehingga, untuk menjerit pun rasanya terlalu nikmat.[Marvin POV]___________Aku merasakan kedinginan menghujam ubun-ubun, hingga kupikir kedinginan itu mulai merasuk ke dalam tubuh dan membuat otakku membeku.Kupikir inilah cara terbaik untuk membuat pikiranku berhenti untuk memikirkan pesona wanita bernama Anna Smith itu. Wanita yang punya napas mint yang candu. Wanita yang gemar melepaskan kalimat sarkasme, wanita yang terlalu sering menatapku dengan tatapan dingin.Wanita yang punya otoriter yang besar dan mampu membuatku tunduk dan takluk. Aku tida
“Hahh ….”Embusan napas panjang dan berat itu telah memecah keheningan selama satu jam berlalu. Demi Tuhan, Marvin tak bisa membuat otaknya berkonsentrasi pada drawing tablet, dan monitor di depannya. Sementara matanya tak bisa berhenti bergerak untuk tidak menatap visual menggoda dan mengintimidasi di belakang layar laptopnya.Sehingga Marvin hanya bisa melepaskan desahan panjang dari mulut sambil melayangkan tangan kanannya yang memegang pen tablet ke udara. Wanita yang sejak tadi berdiam diri di kursi kerjanya itu kini mengerutkan dahi.“What the hell wrong with you.” Suara serak-serak basah itu membuat Marvin menatapnya.Melihat raut wajah Marvin yang menggeruskan kekesalan di sana malah membuat Anna tersenyum di dalam hatinya. Tidak ad
Matahari yang terbit menandakan hari baru, sejatinya sanggup membangunkan semangat semua orang, tetapi tidak dengan Marvin Aditya Wijaya. Ketika sinar mentari menelusup dari celah gorden yang tidak tertutup sempurna, membuat lelaki itu malah menggeram.Mungkin baru beberapa jam ia memejamkan mata. Ya. Marvin ingat betul. Setelah drama yang dibuat oleh Anna membuat Marvin terus mengumpat sepanjang malam. Ingin rasanya pria itu pergi dari kota ini. Membatalkan semua kontrak yang telah ia tandatangani. Andai saja ia bisa. Andai saja Marvin punya cukup kekuatan untuk bisa melawan Anna Smith, tentu saja Marvin akan melakukannya. Persetan jika ia miskin. Itu lebih baik daripada terjebak situasi gila seperti ini.Namun, pria itu sadar seratus persen kalau dirinya benar-benar telah menancapkan kepala pada liang bahaya dan sulit untuk keluar dari sana hidup-hidup. Marvi
“Kalau begitu … kalau begitu kau cari sendiri caranya,” ucap Anna.Dengan gampang dia melangkah. Melewati tubuh Marvin dan bersiap menuju ke lantai dua, akan tetapi langkahnya terhenti saat mendengar sesuatu. Gadis itu pun berhenti. Ia menggerakkan kepalanya. Menoleh kecil ke belakang. Seringaian kembali muncul di wajah Anna saat melihat apa yang dilakukan Marvin.Pria itu menelan harga dirinya dengan berlutut. Kepalanya tertunduk, selain rungunya yang dibiarkan tetap peka menangkap bunyi sepasang sepatu hak tinggi yang kini bergerak menghampirinya.Semilir angin yang bertiup ke tengkuknya, membuat tubuh Marvin bergidik. Alam bawah sadarnya telah menangkap teror besar yang mendekat dan sekarang tepat berada di depannya. Bulu roma Marvin berdiri sewaktu merasakan tekanan udara, seperti menyambar wajahnya.Dengan kepala yang masih terunduk itu, Marvin bisa melihat sepasang sepatu hak tinggi berwarna merah metalik tepat berada di depan lut
“Diam dan jangan bergerak.”Marvin terbelalak saat mendengar suara serak-serak basah itu berada tepat di depan tengkuknya. Suara tersebut sanggup membuat tubuhnya membeku. Pria itu menutup mata. Membiarkan tubuhnya bergetar sewaktu Anna memutar tubuhnya. Wangi parfum milik Anna Smith menyatu dengan angin. Seketika merasuk ke dalam penciuman Marvin. Membuatnya tak rela membuka kedua mata bahkan untuk sedetik. Naluri menginginkan Marvin untuk membiarkan parfum dengan wangi menyihir itu merasuk lebih jauh ke dalam penciuman hingga membekukan otaknya, akan tetapi sejurus kemudian matanya kembali terbelalak saat merasakan sesuatu menyerangnya tiba-tiba.HEKSeketika Marvin kehilangan napasnya sewaktu Anna menggenggam dirinya di bawah sana. Entah mengapa sentuhan itu sanggup membunuh seluruh kekuatan Marvin. Membuatnya lemah tak berdaya dan hanya bisa membeku di tempat.Dalam keadaan tak berdaya seperti sekarang ini, Marvin bisa merasakan senyum Ann