"Kau yakin?"
Anna mengulum bibirnya sambil menaikkan kedua alis. Tangannya sibuk menggoyangkan seloki sementara ekor matanya terus mengawasi pria yang mondar-mandir di depannya.
"Aku tahu seperti apa dia, dan aku yakin dia akan datang."
Terdengar suara terkekeh dari ujung sambungan telepon. "Kau memang gila kontrol, Anna Smith."
Anna tertawa kecil. Wajahnya terangkat membuat lehernya melengkung.
"Sudahlah, Mijung, kau hanya membuang waktuku. Aku harus bersiap-siap. Dia akan datang sebentar lagi," ucap bibir seksi itu.
"Sialan, Anna Smith. Kau mempertaruhkan jutaan dolar demi keinginan gilamu? Aku tidak bisa membayangkan jika dia akan benar-benar menolak berinve-"
"No ... no ... no." Anna menggoyangkan jari telunjuk bersamaan dengan kepalanya yang menggeleng. "Itu tidak akan terjadi," ucap Anna.
"Hei, Josh." Dengan gerakan telunjuk dan jari tengah, Anna memanggil pengawal pribadinya. Pria yang mendapatkan isyarat itu langsung menghampiri majikannya. "Mana kunci ruanganku?" bisik Anna.
Josh mengerutkan dahi. Ada banyak kunci di tangannya dan ada banyak ruangan di apartemen Anna tentu Anna harus menjelaskan dengan detail ruangan mana yang dimaksudnya.
"Astaga ...." Anna menggelengkan kepala. Wanita itu mendelikkan matanya sambil melayangkan satu tangan ke udara. Dia kembali menatap Josh. "Red room, Josh. Hurry!" bentak Anna.
Mulut Josh terbuka. "Ah ... ya." Josh mengangguk. Sepertinya dia mengerti dengan kata kunci itu.
"Cepat ke sana!" perintah Anna. Seperti biasa pria itu tidak menjawab dan langsung menjalankan perintah majikannya.
"Astaga, Anna Smith, kau harus berhenti membentak calon suamiku." Suara di seberang sambungan telepon memprotes seorang Anna Smith.
Anna terkekeh kecil. "Serius? Mijung Kim, kau itu gadis tercantik versi Asia. Semua lelaki akan berteriak saat melihat tubuhmu, dan kau memilih Josh untuk berfantasi? Ck ... ck ... ck!" Anna menggelengkan kepalanya.
"Anna, mungkin karena kau telah hidup selama belasan tahun bersama pria Afro-Amerika itu, makanya kau tidak bisa melihat sisi kharismatiknya. Sungguh, aku selalu bergetar saat melihat bodyguard-mu itu. Sialan! Aku ingin sekali mengambilnya darimu. Setidaknya aku tidak akan membentaknya sebanyak dirimu. Kecuali saat di ranjang. Haha ...."
Anna tertawa geli. Kepalanya terus menggeleng. Dia tidak bisa mengerti pemikiran gadis Asia yang sudah menjadi sahabatnya selama tujuh tahun itu. Gadis yang terlahir sempurna dengan postur tubuh dan wajah yang memesona. Kim Mijung memiliki ketertarikan kepada pria Afro-Amerika yang umurnya terlampau jauh dengannya.
"Berhenti berfantasi liar dan segera kerjakan pekerjaanmu. Astaga! Kau bilang kau bekerja keras untuk proyek ini, tapi lihatlah dirimu, kau bahkan hanya sibuk memprotes keputusanku dan menjadikan itu alasan untuk menanyakan kabar Josh." Anna menggerutu walau dengan nada halus.
"Ya ... ya. Baiklah, Nyonya Anna Smith. Aku akan mendengarkanm, tapi kau harus janji, kau akan meneleponku setelah pekerjaanmu ... upps!" Mijung menjeda kalimatnya. Gadis itu paham di mana letak kesalahannya. "Mianhae," ucapnya. Dia menggunakan bahasa dari negara asalnya artinya maafkan aku. "Maksudku, jika kau sudah selesai hubungi aku, oke." Lanjut Mijung.
"Hem!" Anna bergumam.
"Hehehe ...." Mijung kembali tertawa. "Enjoy your rough game, Ms. Anna," ucapnya.
"Hem ...." Anna kembali menyahut dengan nada berat. Jarinya beralih menekan tombol merah di layar ponsel. Dia mematikan sambungan telepon lalu melempar ponselnya ke sembarang arah.
Gadis itu meraih bungkusan rokok tak jauh dari tempat duduknya. Hanya berjarak lima senti dengan lututnya. Mengeluarkan sebatang rokok dari dalam bungkusan itu, Anna pun langsung membawa benda pereda emosi itu ke bibir seksi yang berbalut lipstik merah. Menyalakan pematik untuk bisa langsung menikmati kenikmatan dari benda tersebut.
Anna menghisap batang filter berwarna putih sambil menutup mata. Ia menarik punggung hingga menyentuh sandaran sofa. Anna menangadahkan wajahnya ke langit-langit ruangan. Gadis itu tengah menikmati nikotin dari dalam rokok. Dia menghisapnya perlahan agar nikotin itu bisa masuk dan menyebar hingga ke otaknya. Anna membutuhkan itu untuk membuat pikirannya tenang.
Rokok dan alkohol selalu satu langkah di depan Xanax, obat yang selalu ia minum saat tiba-tiba terserang panic attack.
"Ms. Anna," panggil seseorang.
"Ya, Debby." Anna menjawab dengan nada lembut membuat pelayanan rumahnya tersentuh. Anna memang tidak seburuk yang terlihat. Buktinya ia tidak pernah memperlakukan Debby seperti budak. Anna tidak sembarangan memerintah. Anna penuh kelembutan, tapi sayangnya tak semua orang bisa melihat hal itu.
"Saya sudah siapkan air hangat untuk berendam."
"Kau menambahkan essentials oil?" tanya Anna dia masih menatap ke langit-langit ruangan.
"Iya, Ms. Anna."
"Aroma citrus?"
"Ya," sahut Debby.
"Haahhh ...."
Anna melenguh sambil melonjorkan kakinya. Entah mengapa hari ini terasa begitu berat bagi seorang Anna Smith. Dia kembali menghisap rokoknya dalam-dalam. Puas dengan semua itu, Anna pun menaruh puntung ke dalam asbak lalu menegak wiskinya.
Anna bangkit. Dia mulai berjalan menuju kamarnya.
"An- what the- oh, shit!" Josh membuang muka dengan cepat saat tubuhnya hendak berpapasan dengan Anna dan dia melihat Anna sedang berjalan sambil melepas pakaiannya.
Anna terkekeh melihat bagaimana tingkah Josh yang menjadi panik. Pria itu bahkan membawa telapak tangan untuk menutupi wajahnya saat dia benar-benar akan melewati pintu kamar Anna.
"Astaga ...." Josh bergumam seraya menggelengkan kepalanya."Dia selalu seperti itu." Josh mengembuskan napas berat sambil menggelengkan kepalanya.
****
Setengah jam berendam air hangat membuat Anna mendapatkan relaksasinya. Mood-nya telah kembali dan dia telah bersiap.
Mini dress ketat berwarna hitam. Dengan bagian dada yang terbuka sedikit dalam hingga kebagian dada. Tali spaghetti. Butiran berlian pada hampir setiap bagian gaun. Anna memandang dirinya penuh takjub. Ia memutar-mutar tubuh sambil mengepit-epitkan bibir.
"Good ...," gumamnya.
Puas memandang diri di depan cermin, Anna pun beranjak dari sana. Membuka lemari besar berisi berbagai macam koleksi sandal dan sepatu dari berbagai merek terkenal. Warna merah yang mendominasi setiap barisan sepatu mewah itu. Dari sekian banyak merek terkenal dan mahal, Anna Smith meraih sepasang sandal hak tinggi bertuliskan Gucci. Warna merah metalik memang yang terbaik untuk mengimbangi mini dress berwarna gelap yang ia kenakan.
Setelah memasang sepatu, Anna pun bangkit. Ia menuju meja rias. Memoles make up adalah keahliannya. Wanita itu hanya butuh tiga menit untuk bisa tampil layaknya seorang model dunia. Sentuhan terakhir untuk membuat penampilannya makin menarik adalah lipstik. Kali ini dia memilih nuansa plum. Anna kembali mengepit-epitkan bibir sambil memandang wajahnya depan cermin.
"Done." Anna mengecup bibirnya hingga menimbulkan bunyi khas.
Wanita muda itu berjalan penuh percaya diri. Ketukan sepatu hak tinggi berwarna merah menggema di sepanjang koridor hingga ke ruang tengah.
"Makan malamnya sudah siap, Ms. Anna." Debby kembali menyapa majikannya. Dia yang awalnya menunduk kini mulai mengangkat kepala saat bayangan Anna berhasil melewatinya.
Debby terkesiap. Dia menggelengkan kepala sambil batinnya terus berdecak kagum.
'Bagaimana bisa dia memakai pakaian seperti itu hanya untuk makan malam? dan lagi, kenapa tuan Josh menyuruhku mengatur makan malam romantis jika hanya ada nyonya Anna di sana.' Debby membatin. Sejujurnya wanita setengah baya itu sangat penasaran dengan majikannya.
Well, selama empat tahun bekerja sebagai houskeeper di apartemen Anna, tak pernah sekalipun Debby tidak merasa penasaran dengan sikap misterius majikannya. Namun, kali ini majikannya benar-benar sangat tidak bisa ditebak. Lihat saja, dia tengah asik menatap lilin di depannya sambil bibir seksinya terus menunggingkan senyuman.
"Gadis malang," gumam Debby. Ia kembali menggoyangkan kepala.
Bunyi bel pintu yang menggema membuyarkan lamunan Debby. Wanita itu sempat mengerutkan dahi. Debby melempar tatapan tepat saat Anna melirikan matanya pada Debby. Anna tersenyum. Wanita itu mengedikkan kepala menunjuk ke arah pintu.
Setelah mendapatkan isyarat itu, Debby langsung melesat menuju pintu. Namun, dalam pikirannya dia terus meraih-raih siapakah yang hendak bertamu pada rumah majikannya.
Sementara itu, di meja makan yang telah dihiasi dengan lilin, bibir Anna tidak mau berhenti tersenyum.
"Aku tahu kau akan datang," gumam Anna. Dia terus menatap lilin di depan sambil menopang dagu dengan tangan kirinya. Jemari di tangan kanannya berirama mengetuk meja makan.
Mata Anna mengekori langkah kaki Debby. Dia menghitung dalam hati dan seolah penasaran dengan hasilnya, Anna tidak mau mengedipkan mata.
"Selamat malam, selamat datang," sapa Debby.
"Ms. Anna Smith?"
Anna menyeringai mendengar suara bass berat yang barusan menyebutkan namanya.
Debby mengerutkan dahi saat matanya berhasil mengenali sosok yang sedang berdiri di depannya. Dia menggoyangkan kepala untuk menarik kesadaran. Perlahan wanita itu mulai menoleh kebelakang. Matanya kembali bertemu dengan manik berwarna hazel milik sang majikan.
Anna kembali mengedikkan kepala, menyuruh Debby untuk segera memasukkan tamunya.
"Silahkan masuk, Ms. Anna sudah menunggu Anda," ucap Debby. Dia membuka pintu lebar-lebar.
Tamu yang baru saja masuk itu merasakan debar-debar hebat dalam dadanya. Ketika sepatu kulit mahalnya melewati pintu rumah itu, dia tahu bahwa di sinilah letak kelemahannya. Dia tahu jika bahaya sedang menantinya dan dia tahu jika dia akan hancur malam ini.
"Hai ...." Anna berdiri. Kedua sudut bibirnya terangkat membentuk senyum.
"Ha-hai." Tamu Anna itu menggagap. Sebenarnya dia terkesiap melihat penampilan wanita yang tengah berdiri di depannya dengan senyum yang terlihat seksi.
Pria itu bahkan harus menahan napas ketika jarak yang dia lalui semakin membawanya pada wanita yang telah berhasil menyihir dirinya itu.
"Aku tahu kamu pasti akan datang, Anderson." Anna tersenyum. Dia membuka kedua tangannya.
Anderson Baldwin. Dia berhenti tepat di depan Anna. Rahangnya mengencang sejenak kala netranya kembali bertatapan dengan manik hazel milik gadis di depannya. Gadis yang sudah berhasil membuatnya uring-uringan sepanjang hari.
"Anna Smith," panggil suara serak dan ... sedikit terdengar basah.
"Selamat datang, Tuan Baldwin."
Anderson mengikis semua jarak yang tersisa untuk meraih kedua tangan di depannya. Dia bergidik ketika hidungnya menabrak wangi parfum milik Anna.
"Aku sudah menantikanmu."
_______________
TO BE CONTINUE~
Send me a VOTE please ;)
Ayoo~ tekan VOTE-nya ;) Oh ya, sekedar info, NOVEL ini bernuansa Romansa Dewasa, jadi beberapa bagian akan menyuguhkan adegan dewasa. Hal-hal yang berhubungan dengan konten kekerasan, rokok, alkohol dan seksualitas (explicit) pastikan kamu sudah 18+ ya Dear ;)
[ANDERSON BALDWIN - POV] ________________________ "Sial!" Aku mengumpat berulang kali. Napasku terasa berat ketika mengingat bagaimana wanita itu mengucapkan dua kalimat yang membuatku naik pitam. Berlutut padaku. "Cih!" Aku melampiaskan rasa frustasi ini pada meja kayu di depanku. Kupukul benda sial ini dengan sangat kuat. "Keterlaluan!" Aku meremas daguku sambil menggelengkan kepala. Beberapa hari yang lalu Octavia memberiku sebuah berkas di mana ada sebuah perusahaan rintisan yang mengajukan permohonan kerja sama. Aku sangat kagum ketika membaca visi dan misi perusahaan yang baru ingin memulai bisnis mereka itu. Baiklah. Dia ingin akuisi saham. Mudah saja. Aku bisa terima. Idenya lumayan dan aku suka pemikiran seperti itu. Aku begitu tertarik dengan ide dari perusahaan mereka lalu setelah membaca proposal yang mereka kirimkan, aku pun menyuruh Octavia menjadwalkan perte
Tiga tahun kemudian ... TheDiamondTechnologi.IncCompany _______________________________"Selama pagi, Ms. Anna," Seluruh pasang mata tampak begitu memperhatikan wanita dengan sejuta pesona itu, Anna Smith. Sepatu hak tinggi berwarna merah kesayangannya mengetuk memberikan irama yang indah membuat semua telinga memujanya. Semua orang di lobi utama sejenak menghentikan aktivitas mereka sekadar untuk menyambut bos sekaligus pemilik perusahaan ini. "Good morning, Ms. Anna," "Good Mor—" Anna menghentikan langkah. Jarinya terangkat hendak menarik kaca mata hitam kesayangannya dari balik batang hidung mancungnya. "Wait...." Anna bergumam sambil memperhatikan gadis yang baru saja menyapanya itu. Gadis itu tampak gelisah ketika bulu mata lentik milik bosnya terus me
Waktu yang ditunggu-tunggu Anna akhirnya tiba. Jam sudah menunjukkan pukul sepuluh pagi dan bertepatan juga Anna telah selesai mempercantik dirinya. Anna menatap dirinya sekali lagi di depan cermin sebelum kakinya melangkah meninggalkan ruang pribadi yang sengaja dibuat di dalam ruang kerjanya. "Bagaimana penampilanku?" tanya Anna. Mijung tergelak kagum. "Demi Tuhan, Anna Smith, kau lebih terlihat pemilik perusahaan fashion." Mijung melayangkan tangannya ke udara seraya memutar bola mata. Ekspresinya sangat dramatis. "Permisi." Seseorang mengetuk dari luar dan tampaknya itu Glory, sekretaris Anna. "Tamu dari The Glitch sudah tiba. Mereka menunggu di ruang rapat," ucap Glory. "Baiklah, Glory. Anna akan kesana," ucap Mijung.
[-MARVINPOV-]_______________ Aku sungguh tidak mengerti. Betapapun kerasnya aku mencoba untuk berpikir, tetap saja ini di luar kendaliku. Aku tidak menyangka jika karyaku akan dilirik di mancanegara. Kegemaranku untuk melukis di atas kanvas membuatku tertarik untuk bergabung menjadi Iluslator di dunia digital. Awalnya, aku dikenalkan oleh Luna, istriku. Katanya ada sebuah aplikasi yang memungkinkan pelukis amatiran seperti aku dikenal oleh banyak orang. Aku dan Luna akhirnya membuat sebuah komik online. Sayangnya penjualan komik online kami tidak berjalan baik. Kemudian dua tahun lalu aku mendapat email. Katanya dia seorang editor dar sebuah perusahaan bernama The Glitch yang memproduksi web komik terbesar di Amerika.
Iluslator akan menerima 200.000,00$ sebagai upah awal tanda tangan kontrak. "Ap- apa ...." Marvin tidak bisa menahan rasa kagetnya. Dia terkejut membaca nominal yang tertera pada bagian terakhir, paling bawah dari kontrak yang menurutnya konyol itu. Dua ratus ribu dolar bukan angka yang sedikit. Itu setara dengan gajinya selama setahun di The Giltch, tetapi yang tertulis di sana adalah upah awal. Dalam artian ini bonus penandatanganan. Wow! Marvin menarik napas. Mulutnya menganga sedari tadi hingga dia perlu membawa telapak tangannya untuk menutup mulutnya. "Mi ... Ms. Anna." Marvin menggagap. Matanya masih tidak mau lepas dari angka-angka fantastis dalam kertas yang ada di tangannya.
ANNA:_________ Aku terbangun di depan sebuah gedung tiga tingkat dengan halaman luas dan sebuah lapangan basket. Beberapa orang pria memakai pakaian putih abu-abu tengah asik berlarian mengejar bola basket. Salah satu dari mereka berhasil menangkap bola itu lalu memasukkannya ke dalam ring. Mataku mengecil ketika melihat seorang pria tengah duduk menyendiri lalu aku mulai mengambil langkah untuk mendekatinya. Dia sendirian di bawah pohon besar. Kepalanya tertunduk pada sebuah kertas sambil tangannya sibuk menari-nari di atas kertas berwarna putih. Matanya begitu fokus. Terjebak dengan dunianya sendiri. Aku ke sana dan menghampirinya. Aku duduk di depannya, tapi dia sama sekali tidak bergeming. "Hai, Vin ..."
"Tidak!" Anna menjerit dan secara naluriah tubuhnya terduduk di atas ranjang. Dia membawa satu tangannya, meremas dada yang berdebar hebat oleh karena mimpi buruk yang kembali menghantuinya. Hampir di setiap malam. Seolah menjadi lagu tidur menyeramkan yang tiada habisnya. "Ah ...." Anna mendesah. Dia membawa kedua tangan ke wajah. Mengubur wajahnya di sana lalu mengusapnya dengan kasar. Keringat dingin bercucuran dari wajah hingga ke seluruh tubuhnya. Ia lemas. Anna kembali menghela napas panjang lalu membuangnya dengan cepat. Dia butuh sesuatu untuk bisa menemaninya sampai malam berakhir. Anna pun mulai menggerakkan kakinya menghindari selimut lalu turun dari ranjang. Duduk selama beberapa detik di tepi ranjang sekadar mengumpulkan kesadaran. Setelah beberapa detik berlalu, Ann pun memutuskan untuk berdiri.
Jika kamu pernah tersakiti, percayalah karma akan bekerja pada waktunya. Akan ada waktunya mereka menerima apa yang telah mereka lakukan. - Anna Smith -~~~~~~~~~~~~~ Senyum di bibir wanita bernama Anna Smith tidak kunjung pudar. Hari ini benar-benar harinya. Selama sepuluh tahun lebih dia menantikan hari di mana dia bisa membalaskan dendamnya. Anna bahkan pernah berencana untuk kembali ke Indonesia dan membuka perusahaannya di sana kemudian mencari keberadaan Marvin dan Luna. Lagi pula Indonesia terlalu kecil jika hanya untuk mencari dua orang itu. Anna bisa menggunakan uangnya untuk membayar beberapa orang atau bahkan menggunakan alat canggih untuk bisa menemukan mereka. Namun, siapa sangka ternyata takdir malah mengirim Marvin Aditiya Wijaya padanya. "Now, it's time to sha
Terlihat kelopak mata Marvin bergerak-gerak selama beberapa detik lalu akhirnya terbuka. Marvin mengernyit lalu berusaha menelan saliva untuk membasahi kerongkongannya. Tubuhnya benar-benar lemas.Marvin masih berusaha mengumpulkan kesadaran. Namun, saat kesadaran Marvin mulai terkumpul, lelaki itu kemudian menggeram. Rasa kram menjalar cepat, dirasakan Marvin pada lengan sebelah kanan. Sehingga lelaki itu langsung memutar wajahnya ke samping.Seketika kening Marvin mengerut saat melihat siapa yang sedang tertidur di samping ranjang dengan kepala berada di atas lengan Marvin. Dengan cepat, pria itu bangkit dan menarik lengannya.Terdengar geraman dari pemilik suara serak-serak basah itu. Disusul gerakan bulu mata. Perlahan-lahan, sepasang manik cokelat pun terlihat.&ldq
Anna melesak dari atas tempat tidur saat mendengar bunyi derap langkah. Seketika membuat jantungnya berdetak meningkat. Ia pun membetulkan pakaian Marvin lalu berdiri di samping ranjang.“Ms. Anna,” panggil Vic.Karena buru-buru, lelaki itu tidak mengetuk pintu. Mendapati senyum di wajah sang majikan, membuat Vic mengerutkan dahi. Untuk alasan apa wanita itu tersenyum dan malah membuatnya takut. Namun, mengingat ada sesuatu yang harus dikatakan oleh Vic, ia pun mengerjapkan mata lalu menggoyangkan kepala.“Aku sudah memanggil dokternya,” kata Vic.“Kalau begitu suruh dia masuk,” ucap Anna.Vic mengangguk lalu menoleh. Seorang pria dengan kemeja kotak-kotak dan celana kain hitam, masuk ke dalam kamar.“Bonjour,” sapa lelaki itu dengan hormat.Anna menelengkan wajah sambil mempertahankan senyum horornya. Ia benar-benar terlihat seperti Maleficent. Lebih baik dia memasang wajah tegas daripa
“Let’s play with me,” bisik Anna. Entah Marvin menyadarinya atau tidak, bibirnya kini mengering dan matanya mendadak perih. Serta membutuhkan waktu yang lama untuk menyeret alam bawah sadarnya kembali ke daratan sehingga ia bisa mengembuskan napas panjang dan menyahut dengan nada lirih, “Tidak.” Anna mengerutkan keningnya. Belum ingin menyerah, ia pun mendekat. Menempatkan bibir merahnya tepat satu inci di depan bibir Marvin. Sengaja membuat celah kecil ketika dilihatnya Marvin tengah mematri tatapan pada bibir sensualnya. “Yakin?” Lelaki itu mengerjap, mengembalikan instingnya dan ia pun memberanikan diri, menatap wanita di depannya. “Ya!” jawab Marvin dengan tegas. Lelaki itu meraih kedua tangan Anna dari atas pundaknya kemudian melepasnya begitu saja. “Aku harus kembali bekerja.” Dengan wajah tegas, pucat tak berekspresi, Marvin melangkah meninggalkan kamarnya. Bergegas menaiki anak tangga menuju lantai dua dan ia kembali ke kursi k
Marvin masih mencoba mengumpulkan kesadarannya. Namun ia tidak sadar jika sekarang kecepatan napasnya melebihi perpindahan detik, membuat dadanya naik turun.Sementara di ujung kakinya, berdiri seorang wanita dengan alis yang menukik tajam, tampak menghakimi. Wanita dalam balutan bathrobes dress merah itu berkacak pinggang. Dia tak kalah mendengkus.“Aku hanya keluar sebentar dan kau sudah bermalas-malasan di tempat tidur?!”Suara itu melengking hingga memekkan telinga. Marvin menundukkan kepala, lantas melepaskan desahan panjang. Untuk sekelebat lelaki itu berdiam diri. Memijat dahi dengan jempol dan jari tengahnya.“Maaf,” gumam Marvin. Akhirnya lelaki itu mengangkat pandangannya. “kepalaku pening dan aku tidak bisa berkonsentrasi, ja-&ldq
Aku seperti ngengat yang mengejar api. Dan kupikir aku telah gila karena mulai menyukai bagaimana caranya membakar diriku sehingga, untuk menjerit pun rasanya terlalu nikmat.[Marvin POV]___________Aku merasakan kedinginan menghujam ubun-ubun, hingga kupikir kedinginan itu mulai merasuk ke dalam tubuh dan membuat otakku membeku.Kupikir inilah cara terbaik untuk membuat pikiranku berhenti untuk memikirkan pesona wanita bernama Anna Smith itu. Wanita yang punya napas mint yang candu. Wanita yang gemar melepaskan kalimat sarkasme, wanita yang terlalu sering menatapku dengan tatapan dingin.Wanita yang punya otoriter yang besar dan mampu membuatku tunduk dan takluk. Aku tida
“Hahh ….”Embusan napas panjang dan berat itu telah memecah keheningan selama satu jam berlalu. Demi Tuhan, Marvin tak bisa membuat otaknya berkonsentrasi pada drawing tablet, dan monitor di depannya. Sementara matanya tak bisa berhenti bergerak untuk tidak menatap visual menggoda dan mengintimidasi di belakang layar laptopnya.Sehingga Marvin hanya bisa melepaskan desahan panjang dari mulut sambil melayangkan tangan kanannya yang memegang pen tablet ke udara. Wanita yang sejak tadi berdiam diri di kursi kerjanya itu kini mengerutkan dahi.“What the hell wrong with you.” Suara serak-serak basah itu membuat Marvin menatapnya.Melihat raut wajah Marvin yang menggeruskan kekesalan di sana malah membuat Anna tersenyum di dalam hatinya. Tidak ad
Matahari yang terbit menandakan hari baru, sejatinya sanggup membangunkan semangat semua orang, tetapi tidak dengan Marvin Aditya Wijaya. Ketika sinar mentari menelusup dari celah gorden yang tidak tertutup sempurna, membuat lelaki itu malah menggeram.Mungkin baru beberapa jam ia memejamkan mata. Ya. Marvin ingat betul. Setelah drama yang dibuat oleh Anna membuat Marvin terus mengumpat sepanjang malam. Ingin rasanya pria itu pergi dari kota ini. Membatalkan semua kontrak yang telah ia tandatangani. Andai saja ia bisa. Andai saja Marvin punya cukup kekuatan untuk bisa melawan Anna Smith, tentu saja Marvin akan melakukannya. Persetan jika ia miskin. Itu lebih baik daripada terjebak situasi gila seperti ini.Namun, pria itu sadar seratus persen kalau dirinya benar-benar telah menancapkan kepala pada liang bahaya dan sulit untuk keluar dari sana hidup-hidup. Marvi
“Kalau begitu … kalau begitu kau cari sendiri caranya,” ucap Anna.Dengan gampang dia melangkah. Melewati tubuh Marvin dan bersiap menuju ke lantai dua, akan tetapi langkahnya terhenti saat mendengar sesuatu. Gadis itu pun berhenti. Ia menggerakkan kepalanya. Menoleh kecil ke belakang. Seringaian kembali muncul di wajah Anna saat melihat apa yang dilakukan Marvin.Pria itu menelan harga dirinya dengan berlutut. Kepalanya tertunduk, selain rungunya yang dibiarkan tetap peka menangkap bunyi sepasang sepatu hak tinggi yang kini bergerak menghampirinya.Semilir angin yang bertiup ke tengkuknya, membuat tubuh Marvin bergidik. Alam bawah sadarnya telah menangkap teror besar yang mendekat dan sekarang tepat berada di depannya. Bulu roma Marvin berdiri sewaktu merasakan tekanan udara, seperti menyambar wajahnya.Dengan kepala yang masih terunduk itu, Marvin bisa melihat sepasang sepatu hak tinggi berwarna merah metalik tepat berada di depan lut
“Diam dan jangan bergerak.”Marvin terbelalak saat mendengar suara serak-serak basah itu berada tepat di depan tengkuknya. Suara tersebut sanggup membuat tubuhnya membeku. Pria itu menutup mata. Membiarkan tubuhnya bergetar sewaktu Anna memutar tubuhnya. Wangi parfum milik Anna Smith menyatu dengan angin. Seketika merasuk ke dalam penciuman Marvin. Membuatnya tak rela membuka kedua mata bahkan untuk sedetik. Naluri menginginkan Marvin untuk membiarkan parfum dengan wangi menyihir itu merasuk lebih jauh ke dalam penciuman hingga membekukan otaknya, akan tetapi sejurus kemudian matanya kembali terbelalak saat merasakan sesuatu menyerangnya tiba-tiba.HEKSeketika Marvin kehilangan napasnya sewaktu Anna menggenggam dirinya di bawah sana. Entah mengapa sentuhan itu sanggup membunuh seluruh kekuatan Marvin. Membuatnya lemah tak berdaya dan hanya bisa membeku di tempat.Dalam keadaan tak berdaya seperti sekarang ini, Marvin bisa merasakan senyum Ann