"Hah ...."
Sudah berulang kali Mr. Baldwin membuang napas. Sedari tadi dia tidak berhenti bergidik. Entah apa yang terjadi padanya saat ini. Pria itu tidak bisa menghentikan pikiran nakalnya yang benar-benar menginginkan Anna seutuhnya.
Pria itu terus menatap Anna yang terlalu santai memasukkan anggur merah ke dalam bibirnya sementara tangan kanannya sibuk menggoyangkan gelas koktail.
"What the fuck!" Mr. Baldwin mendesis. Dia memalingkan wajah.
Anna berada di teras luar. Pandangannya tertuju pada pemandangan Toronto. Angin yang berembus sedikit kencang membuat dress yang ia kenakan sedikit lari meninggalkan kulitnya dan itu akan menjadi pemandangan paling indah di mata Anderson Baldwin.
"Ehem!" Pria itu kembali berdehem. Entahlah. Berdehem sepertinya menjadi hobi barunya sejak bertemu Anna pagi ini. Dia berjalan mengitari tubuh Anna dari belakang sambil matanya tertuju pada bagian bawah tubuh gadis itu.
"Pemandangannya indah, bukan?" tanya Anna.
"Hem?" Mr. Baldwin mendadak bingung. Tentu baginya pemandangan barusan begitu indah. "Ya, tentu. Kau menyukainya?" tanya pria itu. Dia berdiri di samping Anna.
"Apa aku bisa memilikinya?" tanya Anna tanpa sedikit pun memindahkan tatapannya.
"Kau ingin memilikinya?" Baldwin kembali bertanya. Ia menoleh lalu kembali melanjutkan, "maka kau harus berjuang untuk bisa mendapatkannya."
Sudut bibir Anna naik. Ia memutar tubuhnya menghadap Mr. Baldwin. "Aku sedang mengusahakannya," ucap Anna.
Anderson Baldwin menelan salivanya lagi. Hampir-hampir dia lepas kontrol dan hendak meraih pinggul Anna lalu melumat gundukan daging yang dibalut lipstik merah itu. Sayang sekali, Anna langsung memutar tubuhnya.
'Sial!' batin Baldwin menggerutu.
Entah apa yang terjadi pada Anderson Baldwin. Dia sama sekali tidak bisa menyentuh gadis di depannya. Ini bukan ciri khas Baldwin. Biasanya para gadis tidak akan tahan hanya dengan mengendus parfum maskulinnya. Namun, apa yang terjadi pada Anna? Apakah Anna tidak mengerti kode-kode yang diberikan Baldwin? Haruskah dia menunggu lebih lama lagi?
"Anna ...," panggil Baldwin. Kali ini suaranya terdengar serak dan berat. Pria itu menelan ludah sekali lagi. Anderson benar-benar sudah tidak tahan. Anna melirik kecil pada Baldwin.
"Wanna making love with me?" Kalimat itu meluncur begitu saja dari mulut pria nomor satu di perusahaan ini. Baldwin sedikit ragu, tapi dia tidak bisa menahan bibirnya lagi. Lagi pula, apa yang terjadi pada Baldwin? seharunya dia mengatakan, 'I wanna fuck you, harder!' Kenapa kali ini dia begitu lembut bahkan perkataan itu terkesan seperti permohonan.
Beberapa detik terasa panjang bagi Anderson Baldwin sebab Anna tak kunjung menjawab permintaanya. Anna malah memalingkan wajahnya lagi. Dia bahkan terkekeh sekarang. Anna menggelengkan kepalanya sambil terus tertawa.
"Apanya yang lucu?" tanya Mr. Baldwin.
Anna menggeleng. "Aku tidak bercinta, Tuan Baldwin." Anna memutar tubuhnya menghadap Anderson. Dia menatap pria itu sekali lagi lalu kakinya mencuri satu langkah agar wajahnya bisa lebih dekat dengan miliuner yang akan menjadi sponsor terbesar perusahaannya.
Mulut Anna terbuka. Napas mintnya membuat Baldwin makin bergidik. "I have another type for making love. No." Anna menggeleng. "I'm not. I ...." Anna meraih dasi Baldwin lalu memandangnya dengan tatapan menggoda. "I fuck. HARDER!"
Baldwin menahan napasnya. Dia tidak mengira perkataan itu akan keluar dan meluncur bebas di bibir manis Anna.
Anna berbalik dengan cepat. Kaki jenjangnya berjalan masuk ke dalam ruangan.
"Geez ...." Baldwin menggidikkan bahu. "I'm so fucking crazy!" Baldwin menampar besi penyanggah teras luarnya dengan sangat kuat. Jantungnya masih berdegup kencang dan sekarang dia mulai frustasi. Pria itu bergegas menyusul Anna ke dalam.
Dilihatnya, Anna tengah asik menatap lukisan di ruangan tamu. Sebelah tangannya terlipat di depan dada sementara tangannya yang lain masih sibuk memutar seloki. Baldwin pun heran sebab Anna tidak kunjung mabuk. Well, dia tiada henti menuangkan liquor ke dalam selokinya. Seharusnya alkohol dalam minuman itu sudah bisa memberikannya reaksi.
"Anna ...," panggil Baldwin. Dia kembali menghampiri Anna. Pria itu tidak tahan lagi dan langsung meraih tubuh Anna. Baldwin memeluk tubuh wanita itu dari belakang dan bibirnya langsung mendarat pada leher jenjang Anna.
Baldwin bertahan seperti itu selama beberapa detik sebab Anna sepertinya tidak keberatan. Anna bahkan membiarkan tangan Baldwin membungkus pinggul mungilnya.
"Mr. Baldwin," panggil Anna.
"Biarkan seperti ini, Anna. Sebentar saja. Aku benar-benar tidak dapat menahannya lagi."
Anna menarik napas lalu membuangnya dengan cepat. Dia melepaskan tangan Baldwin lalu berbalik. Anna menatap Baldwin yang tengah menatapnya sayu.
"Kita bisa melakukannya kapan pun," ucap Anna. Ia kembali meneguk minuman terakhirnya lalu menaruh seloki kosong pada nakas yang terletak di bawah lukisan. Anna berbalik dan langsung menggantungkan kedua tangannya di atas pundak Baldwin. "Hanya saja aku punya cara sendiri untuk melakukannya," kata Anna.
"Tidak bisakah kita langsung melakukannya sekarang?" tanya Anderson. Jantungnya mulai membeku tatkala matanya terus terpaku pada bibir merah Anna yang berada dua inci di depannya.
"Aku tidak melakukannya di tempat lain selain rumahku, Mr. Baldwin."
"Apakah tempat ini tidak cukup nyaman bagimu?" Baldwin meraih dagu lancip Anna lalu mengecupnya kilat. Bulu kuduk pria itu kembali berdiri saat hidungnya menangkap wangi tubuh Anna yang benar-benar khas.
Entah parfum seperti apa yang Anna gunakan. Baldwin telah bertemu banyak wanita kalangan kelas atas, tapi ia tak pernah mencium aroma parfum seindah dan semenggoda ini.
"Seperti yang aku katakan, Mr. Baldwin, aku hanya melakukannya di rumahku dan itu artinya aku sangat nyaman di sana."
"Hah ...." Anderson mendesah kecewa. Untuk pertama kalinya dalam hidup sang miliuner, dia merasa tidak berdaya dan itu hanya karena seorang wanita bernama Anna Smith. "Kalau begitu, ayo kita ke sana. Demi Tuhan, Anna ... kau membuatku gila."
"Bagaimana bisa? Ini masih siang dan kau masih bekerja. Lagi pula tujuanku kemari adalah melakukan kesepakatan bisnis denganmu. Kita harus profesional, Mr. Baldwin."
Anderson Baldwin mendongak. Dia menatap sepasang mata hazel yang tengah menantang dan menggodanya.
"Lupakan soal bisnis itu. The Ace sudah pasti akan menjadi kolega perusahaanmu. Sekarang, ayo kita pergi."
Anna menggeleng. "Jika seperti itu, terkesan sekali jika aku menukar tubuhku demi mendapatkan investasi darimu. Jika begitu, maka lebih baik kita batalkan saja bisnis ini," ujar Anna.
"Wait wait." Anderson menggeleng. Ia menunduk sejenak. Setelah itu, ia mengangkat kepala. Anderson meraih tangan Anna lalu menatap wanita itu lekat-lekat. "Aku sudah tertarik dengan perusahaanmu sejak pertama kali membaca proposal yang diberikan sekretarisku. Aku hanya tidak menyangka jika CEO The Diamond memiliki daya tarik luar biasa yang sanggup membuatku gila," ujar pria itu.
Anna menarik napas sambil mengulum bibirnya. Ia mengangguk pelan-pelan.
"Kalau begitu selesaikan urusan formalitasnya," ucap Anna.
"Urusan formal?"
Anna mengangguk. "Hemm. Selesaikan urusan formal kita dan mari pergi bersenang-senang," ucap Anna.
Baldwin tersenyum. Sedetik kemudian ponselnya berbunyi. Tertera nama Rose di layar ponsel itu. Rose adalah asisten pribadi Baldwin. Dia melirik Anna sebentar lalu Anna mengisyaratkan agar dia segera mengangkat teleponnya, tapi Baldwin terlalu tidak bisa menahan birahinya.
Anderson melempar tubuhnya ke sofa sambil menarik tangan Anna. Mereka berdua mendarat di atas sofa dengan posisi Baldwin memangku Anna di atas pahanya. Anna tertawa geli, dia mencubit hidung Baldwin dengan gemas.
"Halo," ucap Baldwin. Dia tidak bisa melepaskan tatapannya pada Anna.
Wanita itu pun tak mau tinggal diam. Ia semakin lihai menggoda Baldwin dengan menaikkan kedua kaki lalu memangkunya di atas paha Baldwin. Jemarinya yang nakal berjalan mengelilingi wajah Baldwin membuat pria itu mengeluarkan desisan pelan sambil menutup matanya.
"Mr. Baldwin, sekretaris nona Anna sudah menunggu di bawah haruskah aku menyuruhnya masuk?" tanya suara di seberang sambungan telepon.
"Ah, Rose tolong urus berkasnya. Berikan tanda tangan dan capku di sana," ucap Baldwin.
"Ba- eh?" Ucapan Rose terpotong. Sepertinya dia agak heran dengan perkataan bosnya barusan. "Anda yakin, Tuan? Bukankah Anda harus memeriksa berkasnya terlebih dahulu?"
"Apa aku membayarmu untuk menentang keputusanku?!" bentak Baldwin. Dia masih menutup mata. Sentuhan Anna terlampau nyaman hingga dia tak sanggup mengangkat kelopak matanya.
"Maafkan atas kelancangan saya, Tuan. Saya akan mengurus berkas-"
"Bullshit!" Baldwin melempar ponselnya ke sembarangan arah. Dia tidak perlu menunggu sekretarisnya menyelesaikan perkataannya untuk bisa mematikan sambungan telepon. "Pekerjaan formal telah beres. Sekarang, mari kita menyelesaikan pekerjaan informalnya," ucap Baldwin.
Anna tertawa. Perlahan tawanya semakin kuat membuat Baldwin kehilangan akal. Pria itu mengangkat tubuh Anna lalu membantingnya di atas sofa. Baldwin sudah tidak bisa menunggu lebih lama lagi. Anna terlanjur memercikan api dan membakar darahnya.
"Anna ...," panggil Baldwin lagi. Tubuhnya berada tepat di atas Anna. Wajahnya begitu dekat dan bibirnya tepat berada di depan bibir seksi Anna.
"Mr. Baldwin tolong lakukan dengan keras," ucap Anna.
"Aku akan memberimu angka satu sampai sepuluh. Dari semua angka itu, seberapa keras aku harus menamparmu di sana?" tanya Baldwin. Ancaman itu terdengar begitu manis di telinga Anna.
"Sebelas," jawab Anna. Ia menggigit bibir bawahnya. Baldwin tersenyum. Dia semakin berdenyut dan terlalu siap untuk Anna. "Tapi, kau juga harus terima saat aku melakukannya dua kali lipat lebih keras padamu." Lanjut Anna.
"Kalau begitu, ayo kita lakukan." Baldwin bersiap menangkupkan pakaian Anna, akan tetapi Anna menahan tangannya.
"Kubilang aku tidak melakukannya di tempat lain selain rumahku," ucap Anna.
"Ck!" Baldwin berdecak kesal. Anna lalu mendorong pelan tubuh Baldwin. Keadaan berbalik. Baldwin terduduk. Lalu Anna membuka kedua kakinya dan duduk di atas Baldwin. Pria itu kembali menarik napas.
Anderson makin tak tahan. Tangannya bergerak menjambak rambut Anna saat dirasanya perbuatan Anna sudah terlalu menyiksanya. Anna mendesah ketika rambutnya ditarik dengan kuat. Mulut Anna terbuka. Ia tertawa keras. Kemudian wanita itu kembali menatap Baldwin.
"Kamu punya dada yang bidang, Anderson," ucap Anna. Baldwin menangkupkan wajahnya menikmati sentuhan jari Anna yang menari-nari di sekitar bibirnya.
"Anna, bisakah kau membunuhku saja?" tanya Baldwin. Dia menahan pergerakan tangan Anna. Sambil menutup mata dia mulai menghitung jari Anna. Sedetik kemudian Baldwin memasukkan jari telunjuk Anna ke dalam mulutnya.
"Anderson," panggil Anna. Suaranya begitu sensual di telinga Baldwin.
"Lakukan, Anna. Lakukan apa pun yang kau inginkan. Aku tidak peduli lagi."
"Seberapa besar keinginanmu untuk menggauli aku?" tanya Anna. Baldwin mengeluarkan jari Anna dari mulutnya lalu beralih mengecup punggung tangan Anna.
"Aku tidak tahu, Anna. Aku tidak bisa berpikir apa pun sekarang."
Anna menggerakkan kakinya membuat dia menyentuh sesuatu yang terlalu keras di antara kedua pangkal paha milik Baldwin. Pria itu tersentak. Ia memekik. Perbuatan Anna semakin menyiksanya.
"Apa kau bersedia melakukan apa pun untukku?"
"Ya, Anna. Apa kau mau uang? katakan berapa banyak yang kau inginkan."
Anna tersenyum kecut. "Sepertinya kau terlalu rendah menilai diriku, Anderson. Aku tidak butuh uangmu. Kau bahkan bisa membatalkan proyek ini. Aku sudah mengatakannya."
Baldwin sontak membulatkan matanya. Dia terbangun dari fantasi liarnya. Terkejut dan menarik dirinya. Pria itu menahan punggung Anna ketika dia sendiri menarik punggunya dari sandaran sofa.
"Bukan itu maksudku, Anna." Baldwin menatap Anna dengan was-was. Lalu pria itu meraih rambut Anna dan memainkannya.
Anna menatap Baldwin. Jarinya beralih membelai dagu Baldwin. Gadis itu tergelitik oleh janggut halus yang tumbuh di dagu Anderson.
"Kau punya istri, Anderson. Jelas kau hanya menganggapku hiburanmu."
"Tidak, Anna-"
"Aku tidak keberatan, Anderson," sergah Anna. Anderson terdiam. "Aku sadar sepenuhnya dan aku mengerti. Aku juga tidak memintamu meninggalkan istrimu, tidak. Bagiku seks adalah sebuah kebutuhan. Kesenangan. Kita orang Barat dan kita bebas melakukannya. Hanya saja aku tidak sembarang melakukannya. Seperti kataku, aku tidak bercinta. Aku punya cara sendiri dan ... mungkin kau akan terkejut."
"Aku tidak peduli dengan semua itu, Anna. Demi apa pun kau bahkan bisa merasakan seberapa keras diriku sekarang," ucap pria itu dengan wajah frustasi.
Sudut atas bibir Anna terangkat membentuk seringaian. "Seperti pertanyaanku sebelumnya, maukah kau melakukan sesuatu untukku?"
"Katakan," sahutnya cepat. "Katakan apa yang harus kulakukan. Demi Tuhan, Anna. Aku tidak tahan untuk merobek pakaianmu."
Anna menjatuhkan tubuhnya. Ia meraih wajah Baldwin dengan satu tangannya. Bibir gadis itu tepat berada di depan bibir Baldwin dan pandangan matanya berubah sayu. Baldwin lagi-lagi bergidik.
"Maukah kau ...."
Anna menatap Baldwin lekat-lekat. Tatapan Baldwin semakin sayu memandang Anna. Jantungnya berdebar meningkat sambil menantikan lanjutan kalimat dari gadis di depannya.
"Maukah kau berlutut di depan kakiku?"
Baldwin mengerutkan dahi. Dia berharap telah salah dengar, akan tetapi telinga dan otaknya merekam dengan jelas perkataan Anna barusan.
Apa maksudnya? dia menyuruh Anderson Baldwin berlutut? Serius? Apa dia tidak tahu siapa pria di depannya? Dia Anderson Baldwin, pengusaha terkaya dan terkenal di Kanada. Siapa Anna Smith yang berani-beraninya menyuruh Baldwin berlutut.
"Apa katamu?!" pekik Baldwin.
Anna mengangguk dengan ekspresi datar.
"Cih!" Anderson membuang muka dengan kasar.
"Jadi, kau tidak mau?" tanya Anna.
"Jelas tidak. Kau pikir kau siapa, hah? Berani-beraninya jalang sepertimu menyuruhku berlutut," ucap Baldwin. Tatapannya mulai berubah pada Anna. Keinginannya yang mendamba tubuh Anna perlahan memudar.
"Benarkah? Ck ... ck ... ck." Anna mengangkat kedua kakinya dari atas pangkuan Anderson. Dia merapikan dressnya kemudian meraih tas di atas meja dan merogoh ponselnya di sana.
"Halo, Mijung?" Anna menoleh ke belakang. Baldwin masih tampak gelisah di tempat duduknya. "Ya, bagaimana berkasnya?"
"Dia sudah tanda tangan," ucap Mijung. Anna tidak berkata apa pun lagi dan langsung mematikan sambungan telepon.
Wanita muda itu berbalik dan kembali menghampiri Anderson. Dia duduk di samping Anderson. Ia menaruh siku tangan di atas sandaran kepala untuk menopang wajahnya. Anderson membuang muka saat melihat wajah Anna berada tepat di depannya.
"Aku hanya bercanda," ucap Anna.
Baldwin sontak memalingkan wajahnya. Dia mendengkus. "Kau pikir itu candaan?"
"Maafkan aku, Tuan Baldwin," ucap Anna.
"Kau membuatku kehilangan selera untuk bercinta," keluh Baldwin. Dia meremas hidungnya sambil menundukan kepalanya.
"Aku akan menunggumu di rumahku, nanti malam," ucap Anna. Dia berdiri lalu meraih tasnya. Wanita itu bersiap untuk pergi, akan tetapi ia kembali berbalik menatap Baldwin sebentar lalu berkata, "itu pun jika kau masih menginginkan aku."
Anna memutar lututnya. Dia berjalan pelan meninggalkan ruangan mewah milik miliuner itu tanpa rasa ragu, bersalah atau perasaan apa pun yang bisa membebaninya.
"Anna adalah milik Anna," gumam Anna. Dia meraih kaca mata hitamnya. Berjalan penuh percaya diri menuju lift.
Sementara di dalam ruangan, Anderson Baldwin sangat kacau. Dia menjambak rambutnya dengan kasar. Otaknya tidak mau berhenti memikirkan Anna. Padahal, Anna sudah cukup menghinanya. Jika menurut Anna itu candaan, dia sudah cukup menguji kesabaran Baldwin sejak pertama dia mengetuk pintu ruangannya.
"Anna Smith, aku akan menandaimu."
_______________________
VOTE PLEASE :)
Ayoo~ tekan VOTE-nya ;) Oh ya, sekedar info, NOVEL ini bernuansa Romansa Dewasa, jadi beberapa bagian akan menyuguhkan adegan dewasa. Hal-hal yang berhubungan dengan konten kekerasan, rokok, alkohol dan seksualitas (explicit) pastikan kamu sudah 18+ ya Dear ;)
"Apa?!" Mijung memekik dengan kuat. Gadis Asia itu membulatkan matanya ketika mendengar perkataan sahabat sekaligus rekan kerjanya itu. "Ya, Mijung. Dia belum secara resmi memberikan kekuasaan padaku." "Tapi, dia sudah menandatangani dokumen kerja sama. Kita hanya pe-" Ucapan Mijung terhenti ketika Anna mengangkat tangan di depan wajah. Gerakan kecil itu sanggup membungkam mulut Mijung. "Secara hukum dia tidak menyatakan kewenangann
"Kau yakin?" Anna mengulum bibirnya sambil menaikkan kedua alis. Tangannya sibuk menggoyangkan seloki sementara ekor matanya terus mengawasi pria yang mondar-mandir di depannya. "Aku tahu seperti apa dia, dan aku yakin dia akan datang." Terdengar suara terkekeh dari ujung sambungan telepon. "Kau memang gila kontrol, Anna Smith." Anna tertawa kecil. Wajahnya terangkat membuat lehernya melengkung. "Sudahlah, Mijung, kau hanya membuang waktuku. Aku harus bersiap-siap. Dia akan datang sebentar lagi," ucap bibir seksi itu. "Sialan, Anna Smith. Kau mempertaruhkan jutaan dolar demi keinginan gilamu? Aku tidak bisa membayangkan jika dia akan benar-benar menolak berinve-" "No ... no ... no." Anna menggoyangkan jari telunjuk bersamaan dengan kepalanya yang menggeleng. "Itu tidak akan terjadi," ucap Anna. "Hei, Josh." Dengan gerakan telunjuk dan jari tengah, Anna memanggil pengawal pribadinya. P
[ANDERSON BALDWIN - POV] ________________________ "Sial!" Aku mengumpat berulang kali. Napasku terasa berat ketika mengingat bagaimana wanita itu mengucapkan dua kalimat yang membuatku naik pitam. Berlutut padaku. "Cih!" Aku melampiaskan rasa frustasi ini pada meja kayu di depanku. Kupukul benda sial ini dengan sangat kuat. "Keterlaluan!" Aku meremas daguku sambil menggelengkan kepala. Beberapa hari yang lalu Octavia memberiku sebuah berkas di mana ada sebuah perusahaan rintisan yang mengajukan permohonan kerja sama. Aku sangat kagum ketika membaca visi dan misi perusahaan yang baru ingin memulai bisnis mereka itu. Baiklah. Dia ingin akuisi saham. Mudah saja. Aku bisa terima. Idenya lumayan dan aku suka pemikiran seperti itu. Aku begitu tertarik dengan ide dari perusahaan mereka lalu setelah membaca proposal yang mereka kirimkan, aku pun menyuruh Octavia menjadwalkan perte
Tiga tahun kemudian ... TheDiamondTechnologi.IncCompany _______________________________"Selama pagi, Ms. Anna," Seluruh pasang mata tampak begitu memperhatikan wanita dengan sejuta pesona itu, Anna Smith. Sepatu hak tinggi berwarna merah kesayangannya mengetuk memberikan irama yang indah membuat semua telinga memujanya. Semua orang di lobi utama sejenak menghentikan aktivitas mereka sekadar untuk menyambut bos sekaligus pemilik perusahaan ini. "Good morning, Ms. Anna," "Good Mor—" Anna menghentikan langkah. Jarinya terangkat hendak menarik kaca mata hitam kesayangannya dari balik batang hidung mancungnya. "Wait...." Anna bergumam sambil memperhatikan gadis yang baru saja menyapanya itu. Gadis itu tampak gelisah ketika bulu mata lentik milik bosnya terus me
Waktu yang ditunggu-tunggu Anna akhirnya tiba. Jam sudah menunjukkan pukul sepuluh pagi dan bertepatan juga Anna telah selesai mempercantik dirinya. Anna menatap dirinya sekali lagi di depan cermin sebelum kakinya melangkah meninggalkan ruang pribadi yang sengaja dibuat di dalam ruang kerjanya. "Bagaimana penampilanku?" tanya Anna. Mijung tergelak kagum. "Demi Tuhan, Anna Smith, kau lebih terlihat pemilik perusahaan fashion." Mijung melayangkan tangannya ke udara seraya memutar bola mata. Ekspresinya sangat dramatis. "Permisi." Seseorang mengetuk dari luar dan tampaknya itu Glory, sekretaris Anna. "Tamu dari The Glitch sudah tiba. Mereka menunggu di ruang rapat," ucap Glory. "Baiklah, Glory. Anna akan kesana," ucap Mijung.
[-MARVINPOV-]_______________ Aku sungguh tidak mengerti. Betapapun kerasnya aku mencoba untuk berpikir, tetap saja ini di luar kendaliku. Aku tidak menyangka jika karyaku akan dilirik di mancanegara. Kegemaranku untuk melukis di atas kanvas membuatku tertarik untuk bergabung menjadi Iluslator di dunia digital. Awalnya, aku dikenalkan oleh Luna, istriku. Katanya ada sebuah aplikasi yang memungkinkan pelukis amatiran seperti aku dikenal oleh banyak orang. Aku dan Luna akhirnya membuat sebuah komik online. Sayangnya penjualan komik online kami tidak berjalan baik. Kemudian dua tahun lalu aku mendapat email. Katanya dia seorang editor dar sebuah perusahaan bernama The Glitch yang memproduksi web komik terbesar di Amerika.
Iluslator akan menerima 200.000,00$ sebagai upah awal tanda tangan kontrak. "Ap- apa ...." Marvin tidak bisa menahan rasa kagetnya. Dia terkejut membaca nominal yang tertera pada bagian terakhir, paling bawah dari kontrak yang menurutnya konyol itu. Dua ratus ribu dolar bukan angka yang sedikit. Itu setara dengan gajinya selama setahun di The Giltch, tetapi yang tertulis di sana adalah upah awal. Dalam artian ini bonus penandatanganan. Wow! Marvin menarik napas. Mulutnya menganga sedari tadi hingga dia perlu membawa telapak tangannya untuk menutup mulutnya. "Mi ... Ms. Anna." Marvin menggagap. Matanya masih tidak mau lepas dari angka-angka fantastis dalam kertas yang ada di tangannya.
ANNA:_________ Aku terbangun di depan sebuah gedung tiga tingkat dengan halaman luas dan sebuah lapangan basket. Beberapa orang pria memakai pakaian putih abu-abu tengah asik berlarian mengejar bola basket. Salah satu dari mereka berhasil menangkap bola itu lalu memasukkannya ke dalam ring. Mataku mengecil ketika melihat seorang pria tengah duduk menyendiri lalu aku mulai mengambil langkah untuk mendekatinya. Dia sendirian di bawah pohon besar. Kepalanya tertunduk pada sebuah kertas sambil tangannya sibuk menari-nari di atas kertas berwarna putih. Matanya begitu fokus. Terjebak dengan dunianya sendiri. Aku ke sana dan menghampirinya. Aku duduk di depannya, tapi dia sama sekali tidak bergeming. "Hai, Vin ..."
Terlihat kelopak mata Marvin bergerak-gerak selama beberapa detik lalu akhirnya terbuka. Marvin mengernyit lalu berusaha menelan saliva untuk membasahi kerongkongannya. Tubuhnya benar-benar lemas.Marvin masih berusaha mengumpulkan kesadaran. Namun, saat kesadaran Marvin mulai terkumpul, lelaki itu kemudian menggeram. Rasa kram menjalar cepat, dirasakan Marvin pada lengan sebelah kanan. Sehingga lelaki itu langsung memutar wajahnya ke samping.Seketika kening Marvin mengerut saat melihat siapa yang sedang tertidur di samping ranjang dengan kepala berada di atas lengan Marvin. Dengan cepat, pria itu bangkit dan menarik lengannya.Terdengar geraman dari pemilik suara serak-serak basah itu. Disusul gerakan bulu mata. Perlahan-lahan, sepasang manik cokelat pun terlihat.&ldq
Anna melesak dari atas tempat tidur saat mendengar bunyi derap langkah. Seketika membuat jantungnya berdetak meningkat. Ia pun membetulkan pakaian Marvin lalu berdiri di samping ranjang.“Ms. Anna,” panggil Vic.Karena buru-buru, lelaki itu tidak mengetuk pintu. Mendapati senyum di wajah sang majikan, membuat Vic mengerutkan dahi. Untuk alasan apa wanita itu tersenyum dan malah membuatnya takut. Namun, mengingat ada sesuatu yang harus dikatakan oleh Vic, ia pun mengerjapkan mata lalu menggoyangkan kepala.“Aku sudah memanggil dokternya,” kata Vic.“Kalau begitu suruh dia masuk,” ucap Anna.Vic mengangguk lalu menoleh. Seorang pria dengan kemeja kotak-kotak dan celana kain hitam, masuk ke dalam kamar.“Bonjour,” sapa lelaki itu dengan hormat.Anna menelengkan wajah sambil mempertahankan senyum horornya. Ia benar-benar terlihat seperti Maleficent. Lebih baik dia memasang wajah tegas daripa
“Let’s play with me,” bisik Anna. Entah Marvin menyadarinya atau tidak, bibirnya kini mengering dan matanya mendadak perih. Serta membutuhkan waktu yang lama untuk menyeret alam bawah sadarnya kembali ke daratan sehingga ia bisa mengembuskan napas panjang dan menyahut dengan nada lirih, “Tidak.” Anna mengerutkan keningnya. Belum ingin menyerah, ia pun mendekat. Menempatkan bibir merahnya tepat satu inci di depan bibir Marvin. Sengaja membuat celah kecil ketika dilihatnya Marvin tengah mematri tatapan pada bibir sensualnya. “Yakin?” Lelaki itu mengerjap, mengembalikan instingnya dan ia pun memberanikan diri, menatap wanita di depannya. “Ya!” jawab Marvin dengan tegas. Lelaki itu meraih kedua tangan Anna dari atas pundaknya kemudian melepasnya begitu saja. “Aku harus kembali bekerja.” Dengan wajah tegas, pucat tak berekspresi, Marvin melangkah meninggalkan kamarnya. Bergegas menaiki anak tangga menuju lantai dua dan ia kembali ke kursi k
Marvin masih mencoba mengumpulkan kesadarannya. Namun ia tidak sadar jika sekarang kecepatan napasnya melebihi perpindahan detik, membuat dadanya naik turun.Sementara di ujung kakinya, berdiri seorang wanita dengan alis yang menukik tajam, tampak menghakimi. Wanita dalam balutan bathrobes dress merah itu berkacak pinggang. Dia tak kalah mendengkus.“Aku hanya keluar sebentar dan kau sudah bermalas-malasan di tempat tidur?!”Suara itu melengking hingga memekkan telinga. Marvin menundukkan kepala, lantas melepaskan desahan panjang. Untuk sekelebat lelaki itu berdiam diri. Memijat dahi dengan jempol dan jari tengahnya.“Maaf,” gumam Marvin. Akhirnya lelaki itu mengangkat pandangannya. “kepalaku pening dan aku tidak bisa berkonsentrasi, ja-&ldq
Aku seperti ngengat yang mengejar api. Dan kupikir aku telah gila karena mulai menyukai bagaimana caranya membakar diriku sehingga, untuk menjerit pun rasanya terlalu nikmat.[Marvin POV]___________Aku merasakan kedinginan menghujam ubun-ubun, hingga kupikir kedinginan itu mulai merasuk ke dalam tubuh dan membuat otakku membeku.Kupikir inilah cara terbaik untuk membuat pikiranku berhenti untuk memikirkan pesona wanita bernama Anna Smith itu. Wanita yang punya napas mint yang candu. Wanita yang gemar melepaskan kalimat sarkasme, wanita yang terlalu sering menatapku dengan tatapan dingin.Wanita yang punya otoriter yang besar dan mampu membuatku tunduk dan takluk. Aku tida
“Hahh ….”Embusan napas panjang dan berat itu telah memecah keheningan selama satu jam berlalu. Demi Tuhan, Marvin tak bisa membuat otaknya berkonsentrasi pada drawing tablet, dan monitor di depannya. Sementara matanya tak bisa berhenti bergerak untuk tidak menatap visual menggoda dan mengintimidasi di belakang layar laptopnya.Sehingga Marvin hanya bisa melepaskan desahan panjang dari mulut sambil melayangkan tangan kanannya yang memegang pen tablet ke udara. Wanita yang sejak tadi berdiam diri di kursi kerjanya itu kini mengerutkan dahi.“What the hell wrong with you.” Suara serak-serak basah itu membuat Marvin menatapnya.Melihat raut wajah Marvin yang menggeruskan kekesalan di sana malah membuat Anna tersenyum di dalam hatinya. Tidak ad
Matahari yang terbit menandakan hari baru, sejatinya sanggup membangunkan semangat semua orang, tetapi tidak dengan Marvin Aditya Wijaya. Ketika sinar mentari menelusup dari celah gorden yang tidak tertutup sempurna, membuat lelaki itu malah menggeram.Mungkin baru beberapa jam ia memejamkan mata. Ya. Marvin ingat betul. Setelah drama yang dibuat oleh Anna membuat Marvin terus mengumpat sepanjang malam. Ingin rasanya pria itu pergi dari kota ini. Membatalkan semua kontrak yang telah ia tandatangani. Andai saja ia bisa. Andai saja Marvin punya cukup kekuatan untuk bisa melawan Anna Smith, tentu saja Marvin akan melakukannya. Persetan jika ia miskin. Itu lebih baik daripada terjebak situasi gila seperti ini.Namun, pria itu sadar seratus persen kalau dirinya benar-benar telah menancapkan kepala pada liang bahaya dan sulit untuk keluar dari sana hidup-hidup. Marvi
“Kalau begitu … kalau begitu kau cari sendiri caranya,” ucap Anna.Dengan gampang dia melangkah. Melewati tubuh Marvin dan bersiap menuju ke lantai dua, akan tetapi langkahnya terhenti saat mendengar sesuatu. Gadis itu pun berhenti. Ia menggerakkan kepalanya. Menoleh kecil ke belakang. Seringaian kembali muncul di wajah Anna saat melihat apa yang dilakukan Marvin.Pria itu menelan harga dirinya dengan berlutut. Kepalanya tertunduk, selain rungunya yang dibiarkan tetap peka menangkap bunyi sepasang sepatu hak tinggi yang kini bergerak menghampirinya.Semilir angin yang bertiup ke tengkuknya, membuat tubuh Marvin bergidik. Alam bawah sadarnya telah menangkap teror besar yang mendekat dan sekarang tepat berada di depannya. Bulu roma Marvin berdiri sewaktu merasakan tekanan udara, seperti menyambar wajahnya.Dengan kepala yang masih terunduk itu, Marvin bisa melihat sepasang sepatu hak tinggi berwarna merah metalik tepat berada di depan lut
“Diam dan jangan bergerak.”Marvin terbelalak saat mendengar suara serak-serak basah itu berada tepat di depan tengkuknya. Suara tersebut sanggup membuat tubuhnya membeku. Pria itu menutup mata. Membiarkan tubuhnya bergetar sewaktu Anna memutar tubuhnya. Wangi parfum milik Anna Smith menyatu dengan angin. Seketika merasuk ke dalam penciuman Marvin. Membuatnya tak rela membuka kedua mata bahkan untuk sedetik. Naluri menginginkan Marvin untuk membiarkan parfum dengan wangi menyihir itu merasuk lebih jauh ke dalam penciuman hingga membekukan otaknya, akan tetapi sejurus kemudian matanya kembali terbelalak saat merasakan sesuatu menyerangnya tiba-tiba.HEKSeketika Marvin kehilangan napasnya sewaktu Anna menggenggam dirinya di bawah sana. Entah mengapa sentuhan itu sanggup membunuh seluruh kekuatan Marvin. Membuatnya lemah tak berdaya dan hanya bisa membeku di tempat.Dalam keadaan tak berdaya seperti sekarang ini, Marvin bisa merasakan senyum Ann