Ketukan sepatu hak tinggi menggema di beranda perusahaan teknologi terbesar di Toronto, The Ace Enterprise Company. Sebuah perusahan raksasa yang menaungi banyak sekali perusahaan perintis yang sekarang sudah berkembang sampai ke seluruh penjuru dunia.
Di sinilah Anna Smith dengan begitu santai melangkahkan kaki jenjangnya. Ia berjalan memasuki bangunan bertingkat ini sambil mengangkat dagunya tinggi.
Dress berwarna maroon yang melekat ketat di tubuhnya membuat semua pasang mata tampak enggan untuk sekadar mengedipkan mata. Kulit cokelat yang seolah memanggil lawannya untuk segera mencicipinya. Kaki jenjangnya membuat mata jelalatan melahap bagian mulus itu dengan rakus.
Lipstik merah gelap menambah kesan seksi yang sedikit terlihat arogan, jika ditatap lebih jauh.
"Wow ...." Para lelaki bergumam sambil berdecak kagum melihat penampilan wanita brunette yang seperti malaikat itu.
"Astaga ...."
Dia seolah bersinar dan memaksa semua mata untuk memujanya. Ujung atas bibirnya yang kadang kala membuat senyum sinis yang bahkan menjadi seringaian menambah daya tariknya.
"Anna Smith untuk CEO The Ace." Bibir merah itu berucap pada seorang staff perusahaan yang bertugas untuk menerima tamu. Seorang wanita berambut blonde dengan pakaian setelan jas. Wanita itu tidak menggubris perkataan Anna dan malah sibuk memperhatikan penampilan Anna.
Anna menggaruk hidungnya sekilas, lalu telunjuknya menurunkan kaca mata hitam yang bertengger di hidungnya. Matanya sibuk mencari tanda pengenal wanita di depannya. "Oh, Marry Bennet, right?" tanya Anna.
"Oh, ya. Maafkan aku," ucap Marry. Dia menggoyangkan kepala untuk menarik kesadarannya. Suara Anna sanggup memecahkan lamunan gadis itu yang tengah memuji penampilan Anna Smith.
"Apa kau tidak pernah melihat gadis cantik sebelumnya?" tanya Anna dengan santai.
Marry melongo. Ia tidak menyangka jika gadis di depannya akan begitu percaya diri berkata seperti itu.
"Mr. Baldwin telah menunggu Anda. Kantornya berada di lantai dua puluh," ucap Marry.
Anna masih diam di depan meja hingga Marry harus bersedia lagi memalingkan wajahnya kepada Anna walau sebenarnya dia sangat tidak sudi melakukannya.
"Sstt ...," panggil Anna. Marry melirik dan mendapati Anna tengah menggedikkan kepalanya menunjuk ke arah lift.
"Ap-?" Marry tak sanggup meneruskan kalimatnya. Lirikan mata Anna bagaikan sebuah titah yang harus segera dipenuhi.
Marry tak punya pilihan lain. Dengan berat hati, gadis itu pun melangkahkan kakinya menuju lift yang terletak di samping kubikelnya.
"Thank you, Marry," ucap Anna sambil menunggingkan senyuman yang sebenarnya membuat Marry semakin terintimidasi.
"Bitches!" desis Marry ketika pintu lift tertutup dan wajah Anna tak lagi berada di depannya.
Anna berada di dalam lift sekarang. Dia menarik outwear berwarna hitam yang hanya menutupi pundak dan bagian belakang tubuhnya. Wanita itu mengangkat dagunya tinggi ketika memandang bayangannya dalam pantulan pintu lift.
"You so fucking pretty, Anna Smith." Dia bermonolog, memuji penampilannya.
Pintu lift terbuka dan Anna keluar dari sana.
"Miss Smith." Seorang gadis kembali menyapa Anna. Kali ini pakaiannya berbeda dari gadis yang berada di lobi. Dia sedikit modis walau tak semodis Anna Smith. Gadis itu berjalan menghampiri Anna. Dia setengah menunduk lalu gadis itu mengulurkan tangannya untuk meraih outwear yang dikenakan Anna. "Mr. Baldwin telah menunggu di ruangannya. Anda bisa langsung masuk," ucap wanita itu.
Anna mengangguk. Kakinya mulai melangkah menghampiri sepasang pintu kayu besar raksasa yang menjulang setinggi dua meter. Anna meletakkan kedua tangannya pada gagang lalu mendorong pintu tersebut.
Seorang pria pertengahan lima puluh sedang duduk di atas kursi kerjanya. Pria itu terlihat begitu serius memperhatikan layar monitor di depannya.
"Ehem." Anna berdehem dan itu sukses membuat sang Presdir bergeming.
"Oh hai, Miss Smith." Pria itu berpaling. Seketika dia berdiri dan memperbaiki dasinya. Dia berbalik. Tersenyum saat Anna mulai melangkah mendekatinya.
"Aku ragu jika sebenarnya aku telah mengganggu waktu berharga Anda, Tuan Baldwin," ucap Anna. Langkahnya semakin dekat.
"Ah ...." Pria itu tersenyum. Dia berjalan meninggalkan kursinya dan berhenti tepat di depan meja kerjanya ketika Anna pun telah berada di sana. "Bagaimana bisa kolegaku mengatakan hal seperti itu."
Anna terkekeh pelan. Sekejap tubuh Mr. Baldwin membeku saat matanya melihat senyum di bibir berbalut lipstik merah di depannya.
"Anna Smith," ucap Anna. Dia mengulurkan tangannya dan langsung disambut oleh Mr. Baldwin.
"Oh ...." Mr. Baldwin merinding. Tangan Anna seolah mengalirkan listrik yang menghantam nadinya, membuat pria itu kembali bergidik. "Ah, ya. Silahkan duduk. Ehem!" Mr. Baldwin memalingkan wajahnya dari Anna. Dia membuang napas berat sambil menggelengkan kepalanya.
Mr. Baldwin menunjuk sebuah sofa berbentuk persegi panjang di tengah ruangan kantornya. Anna duduk di sana. Wanita itu memangku kakinya hingga belahan di sebelah bagian pahanya terekspos dan membuat Mr. Baldwin menelan salivanya.
"Ehem!" Mr. Baldwin kembali berdehem. Mendadak darahnya terasa panas seperti terbakar, seketika membuat jantungnya memompa dengan cepat.
"Maaf Mr. Baldwin, sepertinya rekan kerjaku akan terlambat. Dia sedang dalam perjalanan kemari, tetapi perjalannya terhambat karena ada perbaikan jalan di sekitar Jhon. Avenue," ucap Anna.
"Ah, tidak mengapa. Kita bisa menunggunya. Mau anggur?" tanya tuan Baldwin.
"Aku lebih suka liquor Mr. Baldwin," ucap Anna.
Mr. Baldwin mengulum senyum. Dia mengangguk sejenak. Pria itu bangkit. Berjalan ke sisi kanan di mana terdapat mini bar di sana. Mr. Baldwin meraih sebuah botol bertuliskan Tequila kemudian kembali ke tempat duduknya. Pria itu menuangkan minuman tersebut ke seloki lalu memberikannya kepada Anna.
Anna harus menunduk kecil untuk meraih seloki itu. Terpampang dengan jelas sesuatu di balik dress Anna yang tidak tertutup kain. Itu sukses membuat Mr. Baldwin menelan ludah. Sesuatu yang lain dia rasakan di antara kedua pangkal paha. Mengetat di balik celana kain berwarna abu-abu yang ia kenakan.
"Mr. Baldwin, apa Anda keberatan jika kita memulai perbincangan soal kerja sama yang akan kita lakukan?" tanya Anna. Bibir merahnya terlihat begitu nikmat mencicipi minuman keras itu.
"Tentu tidak, Ms. Smith. Namun, untuk itu aku perlu melihat kembali profil perusahaan Anda. Mengingat perusahaan Anda yang tergolong unik sebab mau bergerak di bidang yang tidak diminati banyak orang."
"Mr. Baldwin, apa Anda keberatan jika aku mengatakan alasanku membuat aplikasi itu?" tanya Anna. Dia menaruh seloki yang sudah kosong ke atas meja.
Ekor mata tuan Baldwin tak mau lepas mengamati gerak-gerik Anna. Seolah-olah dia akan sangat menyesal jika melewatkan satu detik tanpa memandang tubuh molek di depannya.
"Si-silahkan, Ms. Smith," ucap Mr. Baldwin. Seketika pria itu merasakan gelisah. Ia harus berdehem berulang kali.
"Jadi, awalnya aku hanya ingin menyalurkan hobiku sebagai penulis. Aku bukan penulis profesional dan aku tidak ada latar belakang akademis untuk hal literasi dan kepenulisan. Aku hanya menulis untuk self healing. Kemudian, aku terpikirkan untuk membuat situs web agar orang-orang bisa membaca tulisanku. Barangkali mereka juga tertarik dengan metode yang aku gunakan untuk melakukan self healing. Di luar dugaan, banyak orang malah berkomentar jika mereka memiliki banyak ide untuk dikembangkan melalui sebuah buku. Mereka berharap, suatu saat seseorang akan memfasilitasi banyak orang agar mereka juga bisa menulis kisah, ide, pemikiran dan bahkan mengeluarkan kreatifitas mereka lewat tulisan. Jadi, aku mengajak temanku yang sekarang menjadi asistenku, Kim Mijung untuk mendirikan perusahaan teknologi kecil yang akan mengembangkan sebuah aplikasi yang bisa memfasilitasi banyak orang untuk mulai menulis dan menciptakan karya. Mereka tidak perlu memusingkan banyak hal layaknya memasukkan sebuah naskah pada perusahaan penerbit. Mereka hanya perlu menuangkan ide dan biarkan orang-orang yang menilai dan memutuskan apakah karya mereka layak untuk dipasarkan," tutur Anna panjang lebar.
"Aku punya tim untuk mengembangkan aplikasi tersebut. Mereka orang-orang terbaik yang bekerja di bidang IT. Jika mau, aku juga bisa memanggil mereka. Para pengembang teknologi yang kami miliki adalah orang-orang terbaik dan aku sangat mengandalkan mereka." Lanjut Anna.
Mr. Baldwin mengangguk. Sedikitnya, dia sudah mendapatkan gambaran tentang kerja sama mereka. Namun, satu hal yang mulai membuatnya gelisah adalah dia tidak bisa berhenti menatap Anna. Sesuatu yang sejak tadi mengintip lewat dress yang dikenakan Anna semakin membuat duduknya gelisah.
"Well, aku ingin berbicara lebih lanjut, tapi kantor ini sangat tidak nyaman untuk berbicara santai," ucap Mr. Smith.
Anna menyeringai dalam hatinya. Dewi batinnya muncul sambil mengangkat dagu tinggi dan mengatakan, 'Kau mendapatkannya, Anna Smith.'
Anna berdehem sambil memasang wajah polos.
"Lalu, apakah ada tempat lain yang lebih nyaman dari kantormu yang sangat luas ini, Mr. Baldwin?" tanya Anna. Dia mengganti posisi duduknya dengan bergantian memangku kakinya.
Mulut tuan Baldwin terbuka. Ia kembali menelan saliva. "Ada tempat bersantai di lantai dua puluh satu. Jendela luar dengan pemandangan indah, mau ke sana?" ajak Mr. Baldwin.
Anna tidak menjawab. Dia langsung berdiri, akan tetapi matanya tak mau lepas menatap Mr. Baldwin.
"Mr. Baldwin," panggil Anna dengan suara menggoda.
Mr. Baldwin kembali bergidik geli. Dia semakin keras dan sebentar lagi mungkin dia akan meledak.
"Apa ... di lantai itu, tidak ada siapa-siapa?"
Mr. Baldwin menahan napasnya. Pertanyaan Anna seperti sebuah cemeti yang sanggup membangunkan jiwa mudanya.
"Apa aku juga harus meliburkan semua kariyawanku?" tanya Mr. Baldwin.
Anna tertawa kecil. "Aku hanya tidak ingin mereka mendengar teriakanku, atau ...." Sambil menatap Mr. Baldwin, Anna bergerak perlahan membungkuk lalu berbisik di depan wajah Mr. Baldwin, "Teriakan Anda, Mr. Baldwin."
Mr. Baldwin menelan ludahnya susah payah. Dia benar-benar sudah berada pada titik paling gila dalam hidupnya. Tidak ada gadis yang mampu membuatnya menahan kegelisahan seperti ini. Jika biasanya para wanita akan berlutut di depan kakinya sambil memohon-mohon agar dia segera menelanjangi mereka, tapi kali ini, di depan seorang Anna Smith, Mr. Baldwin harus rela menahan siksaan yang disebabkan oleh feromon dan tatapan Anna.
"Anna Smith," panggil Mr. Baldwin, nyaris lirih.
"Mr. Baldwin." Anna tersenyum dan demi Tuhan, bibirnya sangat menggoda.
Mr. Baldwin bergegas menuntun Anna memasuki lift istimewa dari dalam kantornya. Lift berjalan cepat membawa mereka ke rooftop di mana Mr. Baldwin bisa memenuhi hasratnya kepada seorang Anna Smith.
__________________
Please give a a Vote :)
Ayoo~ tekan VOTE-nya ;) Oh ya, sekedar info, NOVEL ini bernuansa Romansa Dewasa, jadi beberapa bagian akan menyuguhkan adegan dewasa. Hal-hal yang berhubungan dengan konten kekerasan, rokok, alkohol dan seksualitas (explicit) pastikan kamu sudah 18+ ya Dear ;)
"Hah ...." Sudah berulang kali Mr. Baldwin membuang napas. Sedari tadi dia tidak berhenti bergidik. Entah apa yang terjadi padanya saat ini. Pria itu tidak bisa menghentikan pikiran nakalnya yang benar-benar menginginkan Anna seutuhnya. Pria itu terus menatap Anna yang terlalu santai
"Apa?!" Mijung memekik dengan kuat. Gadis Asia itu membulatkan matanya ketika mendengar perkataan sahabat sekaligus rekan kerjanya itu. "Ya, Mijung. Dia belum secara resmi memberikan kekuasaan padaku." "Tapi, dia sudah menandatangani dokumen kerja sama. Kita hanya pe-" Ucapan Mijung terhenti ketika Anna mengangkat tangan di depan wajah. Gerakan kecil itu sanggup membungkam mulut Mijung. "Secara hukum dia tidak menyatakan kewenangann
"Kau yakin?" Anna mengulum bibirnya sambil menaikkan kedua alis. Tangannya sibuk menggoyangkan seloki sementara ekor matanya terus mengawasi pria yang mondar-mandir di depannya. "Aku tahu seperti apa dia, dan aku yakin dia akan datang." Terdengar suara terkekeh dari ujung sambungan telepon. "Kau memang gila kontrol, Anna Smith." Anna tertawa kecil. Wajahnya terangkat membuat lehernya melengkung. "Sudahlah, Mijung, kau hanya membuang waktuku. Aku harus bersiap-siap. Dia akan datang sebentar lagi," ucap bibir seksi itu. "Sialan, Anna Smith. Kau mempertaruhkan jutaan dolar demi keinginan gilamu? Aku tidak bisa membayangkan jika dia akan benar-benar menolak berinve-" "No ... no ... no." Anna menggoyangkan jari telunjuk bersamaan dengan kepalanya yang menggeleng. "Itu tidak akan terjadi," ucap Anna. "Hei, Josh." Dengan gerakan telunjuk dan jari tengah, Anna memanggil pengawal pribadinya. P
[ANDERSON BALDWIN - POV] ________________________ "Sial!" Aku mengumpat berulang kali. Napasku terasa berat ketika mengingat bagaimana wanita itu mengucapkan dua kalimat yang membuatku naik pitam. Berlutut padaku. "Cih!" Aku melampiaskan rasa frustasi ini pada meja kayu di depanku. Kupukul benda sial ini dengan sangat kuat. "Keterlaluan!" Aku meremas daguku sambil menggelengkan kepala. Beberapa hari yang lalu Octavia memberiku sebuah berkas di mana ada sebuah perusahaan rintisan yang mengajukan permohonan kerja sama. Aku sangat kagum ketika membaca visi dan misi perusahaan yang baru ingin memulai bisnis mereka itu. Baiklah. Dia ingin akuisi saham. Mudah saja. Aku bisa terima. Idenya lumayan dan aku suka pemikiran seperti itu. Aku begitu tertarik dengan ide dari perusahaan mereka lalu setelah membaca proposal yang mereka kirimkan, aku pun menyuruh Octavia menjadwalkan perte
Tiga tahun kemudian ... TheDiamondTechnologi.IncCompany _______________________________"Selama pagi, Ms. Anna," Seluruh pasang mata tampak begitu memperhatikan wanita dengan sejuta pesona itu, Anna Smith. Sepatu hak tinggi berwarna merah kesayangannya mengetuk memberikan irama yang indah membuat semua telinga memujanya. Semua orang di lobi utama sejenak menghentikan aktivitas mereka sekadar untuk menyambut bos sekaligus pemilik perusahaan ini. "Good morning, Ms. Anna," "Good Mor—" Anna menghentikan langkah. Jarinya terangkat hendak menarik kaca mata hitam kesayangannya dari balik batang hidung mancungnya. "Wait...." Anna bergumam sambil memperhatikan gadis yang baru saja menyapanya itu. Gadis itu tampak gelisah ketika bulu mata lentik milik bosnya terus me
Waktu yang ditunggu-tunggu Anna akhirnya tiba. Jam sudah menunjukkan pukul sepuluh pagi dan bertepatan juga Anna telah selesai mempercantik dirinya. Anna menatap dirinya sekali lagi di depan cermin sebelum kakinya melangkah meninggalkan ruang pribadi yang sengaja dibuat di dalam ruang kerjanya. "Bagaimana penampilanku?" tanya Anna. Mijung tergelak kagum. "Demi Tuhan, Anna Smith, kau lebih terlihat pemilik perusahaan fashion." Mijung melayangkan tangannya ke udara seraya memutar bola mata. Ekspresinya sangat dramatis. "Permisi." Seseorang mengetuk dari luar dan tampaknya itu Glory, sekretaris Anna. "Tamu dari The Glitch sudah tiba. Mereka menunggu di ruang rapat," ucap Glory. "Baiklah, Glory. Anna akan kesana," ucap Mijung.
[-MARVINPOV-]_______________ Aku sungguh tidak mengerti. Betapapun kerasnya aku mencoba untuk berpikir, tetap saja ini di luar kendaliku. Aku tidak menyangka jika karyaku akan dilirik di mancanegara. Kegemaranku untuk melukis di atas kanvas membuatku tertarik untuk bergabung menjadi Iluslator di dunia digital. Awalnya, aku dikenalkan oleh Luna, istriku. Katanya ada sebuah aplikasi yang memungkinkan pelukis amatiran seperti aku dikenal oleh banyak orang. Aku dan Luna akhirnya membuat sebuah komik online. Sayangnya penjualan komik online kami tidak berjalan baik. Kemudian dua tahun lalu aku mendapat email. Katanya dia seorang editor dar sebuah perusahaan bernama The Glitch yang memproduksi web komik terbesar di Amerika.
Iluslator akan menerima 200.000,00$ sebagai upah awal tanda tangan kontrak. "Ap- apa ...." Marvin tidak bisa menahan rasa kagetnya. Dia terkejut membaca nominal yang tertera pada bagian terakhir, paling bawah dari kontrak yang menurutnya konyol itu. Dua ratus ribu dolar bukan angka yang sedikit. Itu setara dengan gajinya selama setahun di The Giltch, tetapi yang tertulis di sana adalah upah awal. Dalam artian ini bonus penandatanganan. Wow! Marvin menarik napas. Mulutnya menganga sedari tadi hingga dia perlu membawa telapak tangannya untuk menutup mulutnya. "Mi ... Ms. Anna." Marvin menggagap. Matanya masih tidak mau lepas dari angka-angka fantastis dalam kertas yang ada di tangannya.
Terlihat kelopak mata Marvin bergerak-gerak selama beberapa detik lalu akhirnya terbuka. Marvin mengernyit lalu berusaha menelan saliva untuk membasahi kerongkongannya. Tubuhnya benar-benar lemas.Marvin masih berusaha mengumpulkan kesadaran. Namun, saat kesadaran Marvin mulai terkumpul, lelaki itu kemudian menggeram. Rasa kram menjalar cepat, dirasakan Marvin pada lengan sebelah kanan. Sehingga lelaki itu langsung memutar wajahnya ke samping.Seketika kening Marvin mengerut saat melihat siapa yang sedang tertidur di samping ranjang dengan kepala berada di atas lengan Marvin. Dengan cepat, pria itu bangkit dan menarik lengannya.Terdengar geraman dari pemilik suara serak-serak basah itu. Disusul gerakan bulu mata. Perlahan-lahan, sepasang manik cokelat pun terlihat.&ldq
Anna melesak dari atas tempat tidur saat mendengar bunyi derap langkah. Seketika membuat jantungnya berdetak meningkat. Ia pun membetulkan pakaian Marvin lalu berdiri di samping ranjang.“Ms. Anna,” panggil Vic.Karena buru-buru, lelaki itu tidak mengetuk pintu. Mendapati senyum di wajah sang majikan, membuat Vic mengerutkan dahi. Untuk alasan apa wanita itu tersenyum dan malah membuatnya takut. Namun, mengingat ada sesuatu yang harus dikatakan oleh Vic, ia pun mengerjapkan mata lalu menggoyangkan kepala.“Aku sudah memanggil dokternya,” kata Vic.“Kalau begitu suruh dia masuk,” ucap Anna.Vic mengangguk lalu menoleh. Seorang pria dengan kemeja kotak-kotak dan celana kain hitam, masuk ke dalam kamar.“Bonjour,” sapa lelaki itu dengan hormat.Anna menelengkan wajah sambil mempertahankan senyum horornya. Ia benar-benar terlihat seperti Maleficent. Lebih baik dia memasang wajah tegas daripa
“Let’s play with me,” bisik Anna. Entah Marvin menyadarinya atau tidak, bibirnya kini mengering dan matanya mendadak perih. Serta membutuhkan waktu yang lama untuk menyeret alam bawah sadarnya kembali ke daratan sehingga ia bisa mengembuskan napas panjang dan menyahut dengan nada lirih, “Tidak.” Anna mengerutkan keningnya. Belum ingin menyerah, ia pun mendekat. Menempatkan bibir merahnya tepat satu inci di depan bibir Marvin. Sengaja membuat celah kecil ketika dilihatnya Marvin tengah mematri tatapan pada bibir sensualnya. “Yakin?” Lelaki itu mengerjap, mengembalikan instingnya dan ia pun memberanikan diri, menatap wanita di depannya. “Ya!” jawab Marvin dengan tegas. Lelaki itu meraih kedua tangan Anna dari atas pundaknya kemudian melepasnya begitu saja. “Aku harus kembali bekerja.” Dengan wajah tegas, pucat tak berekspresi, Marvin melangkah meninggalkan kamarnya. Bergegas menaiki anak tangga menuju lantai dua dan ia kembali ke kursi k
Marvin masih mencoba mengumpulkan kesadarannya. Namun ia tidak sadar jika sekarang kecepatan napasnya melebihi perpindahan detik, membuat dadanya naik turun.Sementara di ujung kakinya, berdiri seorang wanita dengan alis yang menukik tajam, tampak menghakimi. Wanita dalam balutan bathrobes dress merah itu berkacak pinggang. Dia tak kalah mendengkus.“Aku hanya keluar sebentar dan kau sudah bermalas-malasan di tempat tidur?!”Suara itu melengking hingga memekkan telinga. Marvin menundukkan kepala, lantas melepaskan desahan panjang. Untuk sekelebat lelaki itu berdiam diri. Memijat dahi dengan jempol dan jari tengahnya.“Maaf,” gumam Marvin. Akhirnya lelaki itu mengangkat pandangannya. “kepalaku pening dan aku tidak bisa berkonsentrasi, ja-&ldq
Aku seperti ngengat yang mengejar api. Dan kupikir aku telah gila karena mulai menyukai bagaimana caranya membakar diriku sehingga, untuk menjerit pun rasanya terlalu nikmat.[Marvin POV]___________Aku merasakan kedinginan menghujam ubun-ubun, hingga kupikir kedinginan itu mulai merasuk ke dalam tubuh dan membuat otakku membeku.Kupikir inilah cara terbaik untuk membuat pikiranku berhenti untuk memikirkan pesona wanita bernama Anna Smith itu. Wanita yang punya napas mint yang candu. Wanita yang gemar melepaskan kalimat sarkasme, wanita yang terlalu sering menatapku dengan tatapan dingin.Wanita yang punya otoriter yang besar dan mampu membuatku tunduk dan takluk. Aku tida
“Hahh ….”Embusan napas panjang dan berat itu telah memecah keheningan selama satu jam berlalu. Demi Tuhan, Marvin tak bisa membuat otaknya berkonsentrasi pada drawing tablet, dan monitor di depannya. Sementara matanya tak bisa berhenti bergerak untuk tidak menatap visual menggoda dan mengintimidasi di belakang layar laptopnya.Sehingga Marvin hanya bisa melepaskan desahan panjang dari mulut sambil melayangkan tangan kanannya yang memegang pen tablet ke udara. Wanita yang sejak tadi berdiam diri di kursi kerjanya itu kini mengerutkan dahi.“What the hell wrong with you.” Suara serak-serak basah itu membuat Marvin menatapnya.Melihat raut wajah Marvin yang menggeruskan kekesalan di sana malah membuat Anna tersenyum di dalam hatinya. Tidak ad
Matahari yang terbit menandakan hari baru, sejatinya sanggup membangunkan semangat semua orang, tetapi tidak dengan Marvin Aditya Wijaya. Ketika sinar mentari menelusup dari celah gorden yang tidak tertutup sempurna, membuat lelaki itu malah menggeram.Mungkin baru beberapa jam ia memejamkan mata. Ya. Marvin ingat betul. Setelah drama yang dibuat oleh Anna membuat Marvin terus mengumpat sepanjang malam. Ingin rasanya pria itu pergi dari kota ini. Membatalkan semua kontrak yang telah ia tandatangani. Andai saja ia bisa. Andai saja Marvin punya cukup kekuatan untuk bisa melawan Anna Smith, tentu saja Marvin akan melakukannya. Persetan jika ia miskin. Itu lebih baik daripada terjebak situasi gila seperti ini.Namun, pria itu sadar seratus persen kalau dirinya benar-benar telah menancapkan kepala pada liang bahaya dan sulit untuk keluar dari sana hidup-hidup. Marvi
“Kalau begitu … kalau begitu kau cari sendiri caranya,” ucap Anna.Dengan gampang dia melangkah. Melewati tubuh Marvin dan bersiap menuju ke lantai dua, akan tetapi langkahnya terhenti saat mendengar sesuatu. Gadis itu pun berhenti. Ia menggerakkan kepalanya. Menoleh kecil ke belakang. Seringaian kembali muncul di wajah Anna saat melihat apa yang dilakukan Marvin.Pria itu menelan harga dirinya dengan berlutut. Kepalanya tertunduk, selain rungunya yang dibiarkan tetap peka menangkap bunyi sepasang sepatu hak tinggi yang kini bergerak menghampirinya.Semilir angin yang bertiup ke tengkuknya, membuat tubuh Marvin bergidik. Alam bawah sadarnya telah menangkap teror besar yang mendekat dan sekarang tepat berada di depannya. Bulu roma Marvin berdiri sewaktu merasakan tekanan udara, seperti menyambar wajahnya.Dengan kepala yang masih terunduk itu, Marvin bisa melihat sepasang sepatu hak tinggi berwarna merah metalik tepat berada di depan lut
“Diam dan jangan bergerak.”Marvin terbelalak saat mendengar suara serak-serak basah itu berada tepat di depan tengkuknya. Suara tersebut sanggup membuat tubuhnya membeku. Pria itu menutup mata. Membiarkan tubuhnya bergetar sewaktu Anna memutar tubuhnya. Wangi parfum milik Anna Smith menyatu dengan angin. Seketika merasuk ke dalam penciuman Marvin. Membuatnya tak rela membuka kedua mata bahkan untuk sedetik. Naluri menginginkan Marvin untuk membiarkan parfum dengan wangi menyihir itu merasuk lebih jauh ke dalam penciuman hingga membekukan otaknya, akan tetapi sejurus kemudian matanya kembali terbelalak saat merasakan sesuatu menyerangnya tiba-tiba.HEKSeketika Marvin kehilangan napasnya sewaktu Anna menggenggam dirinya di bawah sana. Entah mengapa sentuhan itu sanggup membunuh seluruh kekuatan Marvin. Membuatnya lemah tak berdaya dan hanya bisa membeku di tempat.Dalam keadaan tak berdaya seperti sekarang ini, Marvin bisa merasakan senyum Ann