Minggu sore, jika sesuai jadwal saat berpamitan waktu itu, Mas Arman seharusnya sudah pulang. Tapi ini sudah lewat dari jam 9 malam, dan Mas Arman belum juga muncul di hadapanku.Berkali-kali kucoba menghubungi ponselnya namun tak diangkat. Ah, mungkin masih di jalan, pikirku. Karena Mas Arman selalu kuwanti-wanti agar tidak menjawab telpon saat sedang naik motor.Sepuluh, dua puluh, tiga puluh, 90 menit berlalu tapi belum juga ada tanda-tanda suamiku itu akan pulang. Aku biasanya akan tahu saat motornya sudah mulai memasuki kompleks perumahan kami. Entah kenapa, tapi memang selalu begitu. Suara kendaraannya yang pasaran itu, bagi aku istrinya, tetap bisa membedakan apakah itu suara motor Mas Arman atau bukan. Mungkin karena sudah sangat terbiasa dengan cara berkendaranya yang sama selama bertahun-tahun.Sepertinya aku tertidur di kursi ruang tengah untuk beberapa s
Entah sudah berapa lama aku tak pernah lagi membuka akun facebook-ku. Sejak hidupku disibukkan dengan Keanu, anak lelaki pertamaku dengan Mas Arman, seolah aku hanya cukup bermain bersamanya saja. Jarang sekali aku berselancar di akun-akun sosmed yang aku punya seperti pada saat sebelum menikah dulu.Satu atau dua kali dalam seminggu mungkin pernah, tapi memperhatikan secara detail akun-akunku tidak pernah lagi aku lakukan. Hingga hari ini aku tergelitik untuk memeriksanya.Dulu saat pacaran, akun facebook-ku terhubung dengan milik Mas Arman dengan status 'berpacaran'. Lalu saat kami menikah, aku menggantinya dengan status hubungan 'menikah'. Dan itu sepertinya terakhir kalinya aku membuat status di aplikasi biruku itu. Berarti sudah sekitar 3 tahunan aku tak pernah lagi membuat status di sana. Selama ini lebih banyak kugunakan whatsapp untuk terhubung dengan orang-orang disekitarku dibanding aplikasi biru itu.&
Aku sedang menyuapi Keanu sore itu saat kudengar sebuah mobil berhenti di depan rumah. Beberapa saat kemudian pintu depan terdengar seperti dibuka agak kasar.Bergegas ku menuju ke ruang depan setelah menggendong anakku di pinggang."Mas, sudah pulang?" tanyaku saat melihat Mas Arman ternyata sudah duduk di kursi ruang tamu sambil melepas sepatunya.Namun dia tak menyahut. Saat kuulurkan tanganku untuk menciumnya pun dia tidak menyambutnya."Ada apa, Mas?" Aku keheranan."Minggu kemarin Kamu ke tempat Mirna?"Oops! Wah, teman Mas Arman itu ternyata sudah memberitahu suamiku tentang kedatanganku ke rumahnya."Iya, Mas. Memangnya ada apa?" Sudah terlanjur tahu, ya sudah lah mau gimana lagi."Kamu nanya apa sama dia? Aneh-aneh saja
"Sebenernya kita nih ngapain sih Ray disini? Yuk pulang yuk, gerah tauk siang-siang pake beginian."Mbak Luna mulai ngomel. Tadi memang aku memaksanya untuk mengantarku karena kebetulan dia sedang ada di tempat orang tua kami untuk berkunjung.Setelah menitipkan Keanu ke ibu, aku langsung mengirim pesan ke Mas Arman.[Hari ini pulang jam berapa, Mas?][Biasa Ray, jam 5, kenapa?][Nggak papa. Cuma tanya kok.]Dan aku harus sampai di sana sebelum Mas Arman pulang. Kuseret Mbak Luna untuk memboncengkanku motor ke kantor Mas Arman, bahkan aku pun belum sempat memberitahunya apa yang akan kami lakukan disana.Sesampainya di dekat kantor Mas Arman, aku mengajak Mbak Luna nongkrong di depan minimarket yang kebetulan berada tak jauh dari kantor suamiku itu. Sengaja aku me
"Ray, bisa ke tempat bapak sekarang nggak?" suara Mbak Luna dari seberang telepon."Ada apa Mbak? Bapak sama ibu nggak kenapa-napa kan?" tanyaku cemas."Nggaak! Udah Kamu kesini aja, aku mau ngajak Kamu ke suatu tempat. Cepet ya? Aku tunggu."Dan sebentar kemudian aku pun sudah siap dengan motor melaju ke rumah orang tuaku.Sesampainya disana, Mbak Luna sudah menungguku di teras rumah, duduk santai bersama ibu."Kalian berdua ini mau kemana sih? Kok tumben kompak banget. Kemarin pergi berdua, sekarang berdua," tanya ibu penasaran."Ada deh Bu, bisnis penting," sahut Mbak Luna santai. "Yuk, langsung cabut, Ray. Aku nggak bisa sore-sore pulangnya. Mas Denny nanti nyariin aku," katanya lagi. Aku mengangguk tanpa banyak bicara. Meskipun sebenarnnya aku bingung kemana kakak perempuanku
[Ini Raya?]Sebuah pesan masuk ke aplikasi hijauku saat aku baru selesai menidurkan Keanu siang itu. Sebuah nomer tidak dikenal.[Siapa ya?][Gilang, teman Luna.][Oh, Mas Gilang. Ada apa, Mas?][Aku ada info buat Kamu, Raya. Tadinya mau aku kirimkan ke kakakmu tapi dia bilang suruh hubungi Kamu langsung.][Ooh gitu. Iya Mas Gilang, nggak papa. Ada apa, Mas?][Aku kirimin sesuatu ya, buat info aja. Katanya kemarin kalian nyari info kan?][Oh iya, Mas. Makasih sebelumnya.]Tak lama kemudian Mas Gilang mengirimiku beberapa pesan berupa video.Dengan hati berdegup, aku membuka video yang dia kirimkan itu satu persatu. Dan hatiku hancur saat kulihat video pertama, Mas Arman sedang bergand
Siang itu tepat jam makan siang, tak seperti biasanya, Mas Arman justru pulang ke rumah mengendarai mobil yang akhirnya aku tahu bukan fasilitas dari kantornya, melainkan dari atasannya yang bernama Anggita itu.Saat mobilnya berhenti tepat di depan rumah kami, sebuah mobil lainnya ikut berhenti di belakangnya. Sebuah mobil yang sedikit lebih bagus dari yang di kendarainya saat ini. Lalu sejurus kemudian masing masing pengendarainya turun. Mas Arman dan wanita itu, mereka berjalan beriringan menuju rumah.Jantungku berdetak cepat melihat prmandangan itu dari balik gordyn ruang tamu. Berani sekali wanita itu kemari. Dan Mas Arman, apa yang sedang dia lakukan ini? Membawa gund*knya ke rumah kami? Jadi ini yang dia maksud kemarin, menyuruhku menunggu untuk tidak pergi? Untuk melihat semuanya ini?Sebelum aku sempat menata hati yang tak karuan, pintu depan terdengar sudah diketuk.
"Gimana, Ray?"Untuk ke sekian kali Mas Arman bertanya."Kamu ingin jawabanku sekarang juga, Mas?" Aku menoleh ke arahnya."Aku ingin yang terbaik untuk Kamu dan Keanu, Ray. Aku ingin kalian hidup tanpa kekurangan," dalihnya. Aku menanggapi ucapannya dengan senyum kecut."Oke, baiklah. Aku akan menjawabnya sekarang juga. Sekarang kalian berdua silahkan dengarkan." Aku menarik nafas panjang, mencoba menata kalimat demi kalimat yang akan kusampaikan.Dalam kondisi seperti ini, jika aku melawan dengan cara kasar, alangkah tidak bermartabatnya aku, tak jauh dengan orang bar-bar. Meskipun Mas Rman adalah suami sahku, tapi aku akui cara wanita ini meminta suamiku dariku sungguh sangat berkelas. Jadi betapa menyedihkannya jika aku membalasnya dengan cara-cara yang kasar."Kamu menyukainya, Mas?" tanyaku pada suamiku