"Astaghfirullah, itu siapa, Mas?" tanyaku tiba-tiba saking kagetnya.Mataku sampai terbuka lebar saat mendadak kulihat satu bayangan mencengangkan di cermin yang berada tepat di belakang Mas Arman, tempat dia melakukan video callnya denganku pagi ini.Gambar itu memang tidak terlihat terlalu besar, tapi sangat jelas sekali di penglihatanku bahwa itu adalah sosok wanita yang sedang berganti pakaian.Mas Arman, suamiku, yang saat ini katanya sedang ada tugas dinas di luar kota dan bilang sedang menginap di sebuah hotel di Surabaya ternyata bersama dengan seorang wanita di dalam sebuah kamar? Apa yang pria dan wanita lakukan di dalam satu kamar seperti itu?Sangat tidak mungkin jika kantor membiarkan karyawannya yang bukan suami istri untuk tinggal dalam satu kamar. Lagipula, mataku belum rabun. Jelas-jelas itu adalah seorang wanita yang sedang melakukan kegiatan
"Assalamu'alaikum ...." kuketuk pintu rumah di sebuah gang yang masih tertutup rapat itu dengan pelan setelah memarkirkan motorku di jalan depannya yang lumayan sempit.Hari minggu, biasanya aku hanya berdiam diri di rumah saja, apalagi jika Mas Arman kebetulan sedang ada acara keluar. Selama ini aku tak terbiasa pergi tanpa ijinnya. Namun kali ini, rasa keingin-tahuanku sangat besar, hingga aku nekat menitipkan Keanu ke rumah orang tuaku hanya agar bisa bepergian sejauh 25 km dari rumahku demi mendapatkan informasi tentang suamiku.Aku tidak terlalu mengenal teman-teman kerja suamiku. Hanya tahu beberapa diantaranya dari foto-foto yang terkadang dia tunjukkan saat sedang bercerita tentang mereka. Atau terkadang jika ada yang sedang datang ke rumah untuk suatu keperluan. Itupun hanya sebatas tahu saja, tidak mengenal secara pribadi karena memang yang pernah datang ke rumah adalah teman-teman lelakinya.&nbs
Minggu sore, jika sesuai jadwal saat berpamitan waktu itu, Mas Arman seharusnya sudah pulang. Tapi ini sudah lewat dari jam 9 malam, dan Mas Arman belum juga muncul di hadapanku.Berkali-kali kucoba menghubungi ponselnya namun tak diangkat. Ah, mungkin masih di jalan, pikirku. Karena Mas Arman selalu kuwanti-wanti agar tidak menjawab telpon saat sedang naik motor.Sepuluh, dua puluh, tiga puluh, 90 menit berlalu tapi belum juga ada tanda-tanda suamiku itu akan pulang. Aku biasanya akan tahu saat motornya sudah mulai memasuki kompleks perumahan kami. Entah kenapa, tapi memang selalu begitu. Suara kendaraannya yang pasaran itu, bagi aku istrinya, tetap bisa membedakan apakah itu suara motor Mas Arman atau bukan. Mungkin karena sudah sangat terbiasa dengan cara berkendaranya yang sama selama bertahun-tahun.Sepertinya aku tertidur di kursi ruang tengah untuk beberapa s
Entah sudah berapa lama aku tak pernah lagi membuka akun facebook-ku. Sejak hidupku disibukkan dengan Keanu, anak lelaki pertamaku dengan Mas Arman, seolah aku hanya cukup bermain bersamanya saja. Jarang sekali aku berselancar di akun-akun sosmed yang aku punya seperti pada saat sebelum menikah dulu.Satu atau dua kali dalam seminggu mungkin pernah, tapi memperhatikan secara detail akun-akunku tidak pernah lagi aku lakukan. Hingga hari ini aku tergelitik untuk memeriksanya.Dulu saat pacaran, akun facebook-ku terhubung dengan milik Mas Arman dengan status 'berpacaran'. Lalu saat kami menikah, aku menggantinya dengan status hubungan 'menikah'. Dan itu sepertinya terakhir kalinya aku membuat status di aplikasi biruku itu. Berarti sudah sekitar 3 tahunan aku tak pernah lagi membuat status di sana. Selama ini lebih banyak kugunakan whatsapp untuk terhubung dengan orang-orang disekitarku dibanding aplikasi biru itu.&
Aku sedang menyuapi Keanu sore itu saat kudengar sebuah mobil berhenti di depan rumah. Beberapa saat kemudian pintu depan terdengar seperti dibuka agak kasar.Bergegas ku menuju ke ruang depan setelah menggendong anakku di pinggang."Mas, sudah pulang?" tanyaku saat melihat Mas Arman ternyata sudah duduk di kursi ruang tamu sambil melepas sepatunya.Namun dia tak menyahut. Saat kuulurkan tanganku untuk menciumnya pun dia tidak menyambutnya."Ada apa, Mas?" Aku keheranan."Minggu kemarin Kamu ke tempat Mirna?"Oops! Wah, teman Mas Arman itu ternyata sudah memberitahu suamiku tentang kedatanganku ke rumahnya."Iya, Mas. Memangnya ada apa?" Sudah terlanjur tahu, ya sudah lah mau gimana lagi."Kamu nanya apa sama dia? Aneh-aneh saja
"Sebenernya kita nih ngapain sih Ray disini? Yuk pulang yuk, gerah tauk siang-siang pake beginian."Mbak Luna mulai ngomel. Tadi memang aku memaksanya untuk mengantarku karena kebetulan dia sedang ada di tempat orang tua kami untuk berkunjung.Setelah menitipkan Keanu ke ibu, aku langsung mengirim pesan ke Mas Arman.[Hari ini pulang jam berapa, Mas?][Biasa Ray, jam 5, kenapa?][Nggak papa. Cuma tanya kok.]Dan aku harus sampai di sana sebelum Mas Arman pulang. Kuseret Mbak Luna untuk memboncengkanku motor ke kantor Mas Arman, bahkan aku pun belum sempat memberitahunya apa yang akan kami lakukan disana.Sesampainya di dekat kantor Mas Arman, aku mengajak Mbak Luna nongkrong di depan minimarket yang kebetulan berada tak jauh dari kantor suamiku itu. Sengaja aku me
"Ray, bisa ke tempat bapak sekarang nggak?" suara Mbak Luna dari seberang telepon."Ada apa Mbak? Bapak sama ibu nggak kenapa-napa kan?" tanyaku cemas."Nggaak! Udah Kamu kesini aja, aku mau ngajak Kamu ke suatu tempat. Cepet ya? Aku tunggu."Dan sebentar kemudian aku pun sudah siap dengan motor melaju ke rumah orang tuaku.Sesampainya disana, Mbak Luna sudah menungguku di teras rumah, duduk santai bersama ibu."Kalian berdua ini mau kemana sih? Kok tumben kompak banget. Kemarin pergi berdua, sekarang berdua," tanya ibu penasaran."Ada deh Bu, bisnis penting," sahut Mbak Luna santai. "Yuk, langsung cabut, Ray. Aku nggak bisa sore-sore pulangnya. Mas Denny nanti nyariin aku," katanya lagi. Aku mengangguk tanpa banyak bicara. Meskipun sebenarnnya aku bingung kemana kakak perempuanku
[Ini Raya?]Sebuah pesan masuk ke aplikasi hijauku saat aku baru selesai menidurkan Keanu siang itu. Sebuah nomer tidak dikenal.[Siapa ya?][Gilang, teman Luna.][Oh, Mas Gilang. Ada apa, Mas?][Aku ada info buat Kamu, Raya. Tadinya mau aku kirimkan ke kakakmu tapi dia bilang suruh hubungi Kamu langsung.][Ooh gitu. Iya Mas Gilang, nggak papa. Ada apa, Mas?][Aku kirimin sesuatu ya, buat info aja. Katanya kemarin kalian nyari info kan?][Oh iya, Mas. Makasih sebelumnya.]Tak lama kemudian Mas Gilang mengirimiku beberapa pesan berupa video.Dengan hati berdegup, aku membuka video yang dia kirimkan itu satu persatu. Dan hatiku hancur saat kulihat video pertama, Mas Arman sedang bergand
Bagai mimpi yang menjadi nyata, Raya yang telah hampir sebulan menjadi istri seorang Galih Rengga Atmaja akhirnya merasakan juga membuka mata dalam pelukan lelaki yang beberapa waktu lamanya hanya ada di alam mimpinya itu.Rasanya bahkan wanita itu enggan beranjak dari tempat tidur agar bisa tetap menikmati wajah suaminya yang indah itu dalam lelap tidur.Galih yang tertidur pulas di depannya bagai malaikat tak berdosa yang jauh dari sifat sombong, angkuh, dan arogan yang selama ini ditunjukkannya pada Raya.Namun hari sudah beranjak siang, dan Raya tidak ingin terus terusan tidur di siang bolong seperti ini."Mas," panggilnya lirih sambil mengusap lembut pipi sang suami.Galih yang merasakan sentuhan tangan Raya membuka matanya dan melebarkan senyum pada wanita yang akhirnya bisa dia nikmati setelah dinikahinya hampir s
"Mas, sebenarnya kita ngapain sih di sini?" Raya mendekati Galih yang baru saja mendudukkan dirinya dengan nyaman di sofa menghadapi layar TV setelah mengambil sekaleng minuman dingin dari minibar di kamar itu.Galih menoleh ke arah istrinya dengan senyuman remehnya seperti biasa."Menurut Kamu ngapain?""Nggak tau," Raya mengedikkan bahunya. Dia memang benar-benar nggak paham apa yang dilakukan Galih di tempat itu."Sekali kali Kamu tenang saja di dekatku, nggak usah banyak tanya, nurut aja, bisa kan?" tanya Galih kemudian. Kali ini wajahnya dihiasi senyum manis. Namun hanya sepersekian detik saja, pandangannya sudah beralih kembali menatap ke layar televisi datar di depannya.Raya yang menyadari usahanya bertanya hanya akan sia-sia saja, akhirnya hanya bisa diam di samping suaminya. Matanya dengan terpaksa ikut m
"Rayaaa!!!" teriak Galih menggelegar dari lantai atas.Pak Farhan yang sedang berbicara dengan Mbok Yem di dapur pun sampai kaget dibuatnya. Apalagi Raya yang pagi itu sengaja menemui Gilang untuk mengambil masakan titipan Mbak Luna untuk Raya yang di titipkan padanya.Gilang nampak tersenyum lucu saat melihat wajah Raya yang tegang karena mendengar teriakan suaminya yang sangat keras tadi, yang menggegerkan seisi rumah."Ya, Mas!" sahut Raya menjawab teriakan suaminya itu. Lalu cepat-cepat mengembalikan rantang ke tangan Gilang."Mas, tolong Mas bawain ke dapur dulu ya?" kata Raya cepat, lalu buru-buru berlari menaiki tangga rumah. Gilang terpingkal menyaksikan kekonyolan sepasang suami istri itu."Ada apa sih, Lang?" tanya Pak Farhan yang masih keheranan berjalan dari arah dapur mendekati Gilang.
"Kalian ini benar-benar manusia-manusia menjijikkan!!"Aku kaget saat mendengar Mas Galih berbicara sangat keras."Kalian semua dipecat!!" lanjutnya kemudian, membuat semua orang yang berada di ruangan itu membelalak. Tak terkecuali tiga orang tersangka kekacauan yang tadi hanya duduk sambil menundukkan wajah di depanku dan Mas Galih."Pak, tapi bukan saya yang salah, Pak Galih. Dia yang menyerang saya lebih dulu." Lagi-lagi Anggita membela dirinya menunjuk ke arah Mirna.Belum sempat kudengar apa yang akan dikatakan suamiku untuk menjawab pembelaan Anggita, tiba-tiba wanita bernama Mirna itu bangkit dan dengan gerakan cepat menghambur ke arahku, bersimpuh di depan kakiku. Aku yang kaget sontak beringsut lebih mendekat ke Mas Galih yang juga kulihat sama kagetnya denganku."Mbak, Mbak Raya, tolong Mbak, jelaskan pada Pak
"Kenapa Kamu? Bosan?" Mas Galih menatapku jengah dari kursi kerjanya. Mungkin dia risih melihatku dari tadi menggeser-geser dudukku di sofa dengan tak beraturan.Saat aku balik menatapnya dan menggeleng, dia pun segera kembali ke pekerjaannya menekuri laptop di depannya. Aku yang bingung harus melakukan apa dari tadi memang hanya duduk bersandar men-scroll layar ponselku naik turun nggak jelas dari tadi. Mungkin raut kebosanan terlihat sangat jelas di wajahku hingga membuatnya terganggu."Tidur saja kalau ngantuk. Nanti aku bangunkan kalau aku sudah selesai," katanya.Kenapa orang ini tiba-tiba jadi ribet begini? Harusnya tadi dia biarkan saja aku pulang bersama Mas Gilang. Jadi dia bisa fokus bekerja dan aku bisa tenang menunggunya di rumah. Kalau seperti ini kan justru jadi tidak nyaman buat kami berdua?"Tidur?" Keningku berkerut memandang sekeliling.
"Mau kemana, Raya?"Kudengar suara Papa Farhan dari arah serambi saat aku sedang melangkah tergesa melewati ruang tengah. Saat aku menoleh, kulihat papa mertuaku itu sedang berbincang dengan Mas Gilang di kursi serambi. Lalu kusempatkan diri untuk menghampiri mereka sebentar."Kok buru-buru mau kemana?" tanya orang tua itu lagi saat aku sampai di tempat mereka."Ini Pa, mau ke kantor," ucapku sambil menunjukkan lunch bag yang sedang kutenteng."Apa itu?" Lelaki tua itu membulatkan mata ke arahku."Makan siang buat Mas Galih, Pa," kataku malu-malu. Terdengar Papa Farhan terkekeh, sementara Mas Gilang menutupi mulut menyembunyikan senyumannya."Kenapa? Apa tidak boleh mengantarkan makanan ke kantor ya, Pa?" tanyaku keheranan. Melihatku kebingungan papa pun menghentikan tawanya. 
Seperti biasa, lelaki gagah dengan garis wajah tegas dan berwibawa yang mewarisi rupa sang ayah itu sibuk di ruang kerjanya malam ini. Tak beda dengan malam-malam sebelumnya, sejak menyandang lagi status sebagai seorang suami, Galih Rengga Atmaja lebih banyak menghabiskan waktunya di ruang kerja saat malam tiba. Dia akan memperkirakan saat istrinya sudah terlelap tidur, baru kemudian dia akan membaringkan diri di ranjang mereka yang besar dan nyaman itu.Hanya itu saja yang dia lakukan selama semingguan lebih ini. Memandangi sejenak wajah istrinya yang sudah terlelap dari sisi tempat tidur sebelum akhirnya dia pun terbang ke alam mimpi.Sebagai lelaki, tentu saja Galih sangat ingin menyentuhnya. Naluri kelelakiannya tak bisa memungkiri bahwa lelaki itu begitu menginginkan kehangatan bersama seorang wanita saat malam tiba. Namun, sifat egonya yang tinggi dan trauma mendalam mengalahkan itu semua. Galih adalah lel
Sepanjang perjalanan pulang, aku terus saja bertanya-tanya dalam hati, bagaimana mungkin Mas Galih seperti bisa tahu segala hal tentang masa laluku? Sampai dengan detail dia bisa melakukan apapun pada siapa yang telah menyakitiku. Apakah Mas Gilang yang memberitahukan semua padanya?"Mas." Aku mencoba untuk mengajaknya bicara saat kami sudah sampai di rumah. Aku sengaja mengikutinya masuk ke kamar tanpa peduli apakah dia suka atau tidak. Karena biasanya dia akan selalu menghindari untuk berada di dalam kamar berdua denganku kecuali saat malam tiba. Mendengar panggilanku dia nampak menghentikan langkah, dan berbalik badan. Dari raut mukanya, sepertinya dia kaget aku sudah berada di belakangnya."Ada apa?" katanya memicingkan mata ke arahku."Boleh aku tanya sesuatu?" pintaku dengan hati-hati."Tentang apa?""Mas Galih tau
Wajah pucat dua manusia itu nampak saling berpandangan di depan toilet lantai 5 gedung kantornya."Apa tadi itu benar Raya?" Arman bertanya seperti bergumam pada diri sendiri."Iya, memang itu mantan istri Kamu. Aku kan sudah pernah bilang waktu itu. Aku pernah bertemu dengannya di mall bersama Pak Galih. Tapi Kamu nggak percaya, Man," kata Anggi mengingatkan."Ya nggak mungkin percaya lah, Raya nggak mungkin kenal sama Pak Galih. Pak Galih itu kan anaknya pemilik perusahaan ini, Gi.""Tapi gimana kenyataannya? Dia disini kan sekarang? Kalau bukan karena Pak Galih yang bawa dia kesini, siapa lagi?""Raya simpanannya Pak Galih. Pasti itu," kata Arman bersungut."Simpanan? Simpanan apa, Man? Pak Galih itu sudah cerai lama. Dia nggak punya istri. Mantan istrimu itu calon istrinya dia? Ngerti nggak sih