Seminggu lebih kami menikah, lima hari bulan madu kami menjalani rutinitas yang nyaman, berwisata romantis sambil makan siang di restoran ,bercerita di tempat tidur mengenang masa lalu yang indah di apartemen dan masa depan yang akan kami hadapi, mandi bersama, tidur sambil berpelukan dan di malam hari tidak dilewatkan bercinta.Kami habis mandi, aku sedang menyikat rambutku di depan meja rias, suamiku berhenti di sampingku menyandarkan pinggulnya di meja rias, aku mendongak , menatapnya. Suamiku menyentuh tangan ya ng memegang sikat rambut.“Aku suka melihat kamu menyikat rambutmu,”ucapnya.“Bisakah aku menyikat rambutmu?” tanyanya .Aku memberikan sikat rambut ke suamiku yang langsung menyikat rambutku. Aku mencermati wajah suamiku yang selalu menatapku dengan tatapan cinta di matanya, tangannya membelai helai-helai rambutku.“Aku merindukan Adhi,” kataku.“Hum, aku juga. Bulan madu kita segera akan berakhir. Lusa kita kembali ke Surabaya, jemput Adhi. Besoknya kita kembali ke Jakar
“Well,” kata suamiku sambil menatapku lekat-lekat,”Kau menelponnya?”“Ya.”“Apakah dia marah mendengar kamu akan menikah denganku?”“Tidak. Dia malah mendoakan agar aku bahagia. Malah dia memberikan nasehat padaku makna pernikahan, mengukuhkan hubungan dua orang yang saling mencintai. Peliharalah cinta kalian, penuhilah kebutuhan suamimu baik jasmani maupun rohani. Kata-katanya seperti pendeta saja.”“Aku kira dia marah karena berharap kamu akan kembali padanya.”“Waktu kami berpisah , kami berpisaha baik-baik. Aku kembalikan cincin berlian yang diberikan kepadaku sebagai relationship yang mengikat kita. Aku katakan aku tidak berhak memakainya lagi. ”Kataku.“Dia menerimanya?”“No! Dia marah, mengembalikan cincin itu kepadaku. Aku masih memakainya ketika kami bersama. Setelah kamu melamarku aku copot cincinnya dan kusimpan di laci kamarku.”“Mum…”Aku melihat suamiku seakan meragukannya dan itu membuatku kesal. Mungkin dia ragu apakah aku betul-betul melupakan profesor Black. Hampir
Bulan madu berakhir, kami kembali ke Surabaya menjemput Adhi. Semalam di Surabaya kami kembali ke Jakarta , kembali ke dunia nyata sebagai isteri dan ibu.Saya harus banyak belajar menjadi ibu dengan menggunakan naluriku dan bagaimana menjadi ibu rumah tangga yang sesungguhnya.Kami tinggal di apartemen Bougenville 2 yang sepi dari keramaianan, apartemen ekslusif, hunian yang dihuni oleh sekelompok orang dengan kelas sosial tinggi.Aku tidak suka masuk dalam lingkaran sosial tinggi yang eklusif aku tidak pernah bergaul dengan mereka , lebih banyak tinggal di apartemen bermain dengan Adhi atau keluar jalan-jalan di sekitar apartemen ada taman bermain yang kebanyakan dipenuhi suster atau baby sister bersama anak asuh mereka. Dari situ aku mendengar gosip-gosip para penghuni yang digosipin sesama suster atau baby sister.Melihatku , mereka kira profesiku sama dengan mereka, mereka menanyakan siapa majikanku, berapa gajiku, di tingkat berapa aku tinggal. Akhirnya mereka tahu bahwa aku bukan
Rumah tanggaku yang aku bina bersama suamiku berjalan dengan cepat seiring perubahan hidup yang kualami dari seorang yang bebas bersikap dan berkelakuan sesuai keinginanku harus kulepaskan karena aku sekarang tidak sendiri ,ada suami dan anak dalam kehidupanku sekarang.Kami saling memahami satu sama lain, kami berusaha untuk mengubah hal-hal yang tidak kusukai dan tidak disukai suamiku, memang tidak bisa secara drastis, aku tahu suatu saat tanpa kami sadari akan berubah sendiri.Satu hal yang sangat kusukai dari suamiku sebagai pribadi yang santun, berdedikasi tinggi terhadap ide, serta pemikiran ke depan, tidak saja untuk masa depan kami juga masa depan perusahaan. Hal yang dimilikinya itu telah membuat perusahaan yang dipimpinnya berkembang menjadi perusahaan swasta yang terkemuka dan disegani karenanya banyak perusahaan tertarik untuk menjadi mitra usaha patungan.Aku menatap suamiku yang keluar dari apartemen, membawa tas kerja berisi beberapa dokumen. Di depan oom Herkules dan
Aku bangkit dari tempat tidur menyambut suamiku yang keluar dari kamar mandi hanya memakai handuk dengan rambut yang masih basah.“Sini mam keringkan rambutmu,” kataku, mengambil handuk yang menutupi auratnya.“Aku dipangku?” tanya.“Hum.”Aku mengeringkan rambut suamiku dengan handuk, “Tolong ambil hairdryer di laci meja rias.”Kataku.“Ogah, sudah enak duduk di sini, empuk dan mulus. Apalagi yang ini merayuku untuk meremas dirinya.”Katanya meremas kedua payudaraku.Aku terkikik-kikik dengan suara sengaja dibuat manja dan agak senonoh. Aku tidak malu-malu melakukan rayuan seksual terhadap suamiku bahkan semasa aku menjadi sugar babynya aku sering melakukannya karenanya aku tahu bagaimana membuat suamiku semakin bergairah.Aku berhasil membangkitkan gairah suamiku yang segera menyambut kehangatan yang aku tawarkan.“Apa cara lain yang tadi kau katakan,” tanya suamiku menatapku lekat.Aku berbisik di telinganya. Suamiku tersenyum ,mengecup bahu dan leherku, tanganku bergerak membelai ra
Suamiku menyerahkan foto copy kepemilikan perusahaan versi saudara tirinya dan ibu tirinya. Dikatakan bahwa kepemilikan perusahaan PT.Mercu Buana Persada dan PT Mercu Coal Persada , adalah milik Soeparman Hadipranoto .“Jelas ini palsu, pada waktu perusahaan didirikan papa belum menikah dengan mama Soraya.Papa waktu itu kerja di perusahaan opa sebagai akuntan.Menurut cerita mama, melihat kejujuran dan keuletan papa, opa lalu menjodohkan mama dengan papa. Ketika opa menderita stroke, papa kemudian dipercayakan memegang perusahaan. Mereka generasiku hanya tahu bahwa papa itu pemilik perusahaan, demikian juga dengan pelacur tua itu.”“Pap akan mengambil surat aslinya di villa?” tanyaku.“Tidak sekarang! Kalau mereka tidak mau dengan cara non ligitasi, seperti yang pap lakukan, mediasi dengan mereka, melalui perundingan agar terjadi kesepakatan. Pap melakukannya agar tidak terekspose keluar. Tapi mereka menghendaki cara lain. Mereka kira surat kepemilikan yang mereka pegang kuat hukumny
Sudah seminggu suamiku disibukkan dengan masalah kepemilikan perusahaan kami tidak bertemu , demi keamanan dan agar suamiku bisa fokus menyelesaikan masalahnya, aku dan Adhi diungsikan ke villa di puncak.Kami hanya berbicara melalui telepon, itupun hanya sekedar say hello dan menanyakan kesehatanku, baik fisik maupun mental.“Aku baik-baik saja.”Kataku agar suamiku di Jakarta tidak merasa cemas.“Aku di sini juga baik-baik, baik fisik maupun mental. Mereka tidak bisa mengalahkanku.Ternyata mereka tidak bisa menunjukkan surat kepemilikan yang asli, katanya yang asli hilang yang ada hanya salinannya.Mereka mengubah surat kepemilikan menjadi lain dari isinya yang asli. Foto yang dipajang adalah foto papa. Tanda tangan pada surat kepemilikan itu tanda tangan papa, setelah aku telusuri ke pihak bank.”“Pap,pemalsuan yang mereka lakukan adalah tindak pidana, mengapa pap tidak melaporkan saja ke polisi agar mereka dipidanakan?” tanyaku.“Mam, kalau sudah masuk ranah polisi, di polisi banyak
Suamiku tidak ingin kehamilanku diketahui orang lain, termasuk oom Herkules.“Ibu Astuti tahu kehamilanku.Aku sih minta dia merahasiakan kehamilanku .”“Hum, baiklah. Sementara ini jangan dulu orang lain tahu sebelum kita mendapat kepastian dari dokter,” kata suamiku.“Semoga Tuhanmemberi aku kesempatan untuk hamil lagi,”kataku.Setelah sarapan, tanpa disopiri oom Herkules kami berangkat ke Bogor, menuju praktek dokter kandungan. Rupanya suamiku sudah membuat janji dengan dokter Ravina. Sampai di tempat praktek, dokter Ravina menyambut suamiku dengan ramah, suami dokter Ravina dengan suamiku teman SMA di Bandung.“ Isteri saya terlambat haid, dia mencoba mengecek apakah hamil dan hasil test packnya menunjukkan hasil positif, saya ingin memastikan kembali dari hasil test packnya.”Kata suamiku.“Saya akanmelakukan beberapa pemeriksaan untuk memastikan apakah isteri bapak hamil dan bagaimana kondisi kandungannya pada tahap awal kehamilan.” Ujarnya sambil tersenyum padaku.“Nyonya, ap