Oom Bulus menatapku sesaat. Ingin mengetahui apakah yang keluar dari mulutku sepadan dengan kata hatiku. Dia tahu aku sangat tergila-gila padanya.“Kau kecewa padaku?”Aku mengangguk.“Kamu membenci diriku?”Aku sekali lagi mengangguk. Oom Bulus mengepalkan tangannya, di pukulnya meja tamu di teras membuat buku-buku jarinya memerah.Tanpa berkata sepatah katapun dia melenggang keluar dari teras.“Aku ingin melihat anakku.” Kataku.Oom Bulus tidak mendengar kata-kataku, terus melangkah keluar menuju ke pintu gerbang.“Oom, aku ingin bertemu dengan anakku.” Kataku lebih keras.Oom Bulus berhenti sejenak, “0813 4249 5555.” Katanya.Aku langsung masukkan dalam kontak, menyimpan dan mengirim dia suara panggilan, “ Ini nomorku.”“Pantas tidaki bisa dihubungi, kau ganti nomor ponselmu. Mengapa kamu tidak menelponku. Bukankah nomorku tidak berubah?” tanyanya.“Nomor lamaku mati.” Bisikku.“Kalau ingin bertemu denganku jangan di apartemen, telepon aku nanti kita tentukan dimana kita bertemu.” Bi
Aku tahu bahwa melakukan kebohongan itu dosa.Tapi aku membuat white lies demi kebaikan untuk diri sendiri karena aku tahu bahwa Pop yang kritis pasti bertanya apa sebabnya,mengapa demikian dan bagaimana sampai terjadi. Kalau aku mengatakan bahwa sudah bertemu dengan daddy, atau oom Bulus tidak langsung bertindak mengambil anakku, pasti Pop bertanya mengapa kamu tidak mengambil atau menuntut anakmu, bagaimana pandangan orang bahwa kamu memang tidak menginginkan anakmu? Mungkin bagi Pop tindakanku terlihat bahwa aku tidak serius.Sejak bertemu dengan oom Bulus ada kemarahan, dendam pada diriku tapi ada sedikit penyesalan dalam diriku setelah mengetahui dari mama bahwa dia mencariku. Aku juga semakin tenang ketika mama mengatakan bahwa sudah dua tahun dia tidak mencariku, mungkin sudah rujuk dengan isterinya. Ternyata asumsiku tidak sesuai dengan kenyataan. Oom Bulus tidak datang menemui mama karena dia masuk penjara . Ada keenganannya menemui mama karena tuduhan korupsi. Pasti
Setelah mandi, aku ke ruang makan untuk sarapan. Ada pisang rebus dan kopi instan . Biarkan oom Herkules menunggu, batinku. Aku tidak ingin maagku kumat karena belum diisi. Selesai sarapan aku pamit ke bibi Saijah kemudian mengambil tas selempang menuju ke ruang tamu.“Mbak tidak bawa tas untuk baju, kami akan menginap untuk beberapa hari ?”“Beberapa hari? Tidak PP?” tanyaku.“Kata bapak mbak dan den Adhi perlu pendekatan.”Terdengar dering telepon, aku mengira ponselku yang berbunyi ternyata ponselnya oom Herkules.“Masih di tempat kostnya mbak Jessika. Mbak Jessika tanya berapa hari di Puncak…..Baik pak..,Mbak , bapak mau bicara.”“Kamu perlu berapa hari kita nginap di Puncak ?” tanya oom Bulus.“Perlukah menginap?” tanyaku.“Bisakah kamu merasakan keinginan anak kita jika hanya beberapa jam?Melihat anak kita kamu pasti merasakan apa keinginannya, merasakan sebelum terasa.”“Aku tidak paham apa yang kau katakan. Aku akan melihat situasinya, jika perlu menginap, aku akan menginap, j
Bertiga, kami menuju arena rollercoaster. Ternyata tinggi badan dan usia Adhikara tdiak diperkenankan naik rollecoaster. Ada kekecewaan di wajahnya.“Kita mencari wahana permainan yang lain,” kata oom Bulus.“Tidak seru!” cetus Adhikara.“Bagaimana komidi putar?” tanyaku.“Ih, tante itu mah mainan anak bayi.” Protesnya.Aku menggaruk kepalaku yang tidak gatal.“Kita naik giant swing, itu ayunan berputar raksasa.” Kataku menunjuk ke arah wahana itu.“Apakah seasyik rollecoaster?” tanya Adhi.“Iya,menyenangkan dan menegangkan.” Kataku.“Tante pernah naik?”“Pernah waktu di LA.”“Ayo kita naik.”“Sayang, janganlah naik mainan itu,papa takut ketinggian.”“Ih, papa kok lebay sih.”“Bagaimana kalau kita jalan-jalan sambil minum ice cream?” tanya Oom Bulus.“Akhirnya ice cream .”“Mom suka ice cream.” kataku.“Saya suka ice cream coklat, vanilla dan strawberry.” Ujar Adhi.“Wah, sama seperti mom. Ayo kita cari gerai icecream.Siapa tahu ada mainan yang bisa Adhi naik sendiri tanpa papa,” katak
Aku memeluk dan mencium leher bagian belakang Adhi yang tidur lelap . Badannya miring menghadap dinding, aroma sabun mandi dan shampoo anti septik membelai hidungku. Aku membelai lengannya, halus sehalus sutera, putih tanpa cela. Selama ini dia dirawat dengan baik dan penuh kasih sayang.Aku belum mendengar cerita masa kecilnya bersama Herlina, apakah Herlina mencintainya dan merawatnya seperti anaknya sendiri? Batinku, mengalihkan tanganku ke kepalanya membelai rambutnya yang ikal.Merasakan belaianku, Adhi membalik membuka matanya lalu memejamkannya kembali. Aku perhatikan gestur wajahnya, baik pinang dibelah dua seperti ayahnya. Tidak heran kalau opanya, ayah oom Bulus menyayanginya dan berkeinginan menjadikannya pewaris utama.“Nak, kamu akan menjadi mangsa mereka yang haus akan harta. Oom mu si bangsat dan keluarga lainnya tentu sangat ingin menjadi pewaris utama.Mama tidak ikhlas, lebih baik kita melepaskannya daripada kamu harus menjadi tumbal papamu.” Bisikku lirih.Karena lel
Aku merenggangkan badanku di tempat tidur, rasa lelah karena perjalanan dari Jakarta ke Bogor, kemudian ke villa dan perbincangan dengan oom Bulus yang masih menyimpan kemisteriusan bagiku.Tawarannya jika aku menikan dengannya, aku langsung sebagai ibu biologis Adhi, kemudian dia menceraikanku dan aku boleh kembali ke LA membawa Adhi.Menurutku tawarannya sangat tidak masuk akal, menikah dengannya lalu menceraikanku.Apakah dia merencanakan sesuatu dibalik ketidak tahuanku? Benaknya psarat dengan pertanyaan yang tidak bisa dijawab, hanya oom Bulus yang bisa menjawabnya.“Mungkin besok pagi aku tanyakan padanya apa yang berkelebat dalam benakku. Ada rasa penasaran.” Kataku bermonolog sendiri.Aku kemudian menarik selimut ketika merasakan udara dari sejuk berubah menjadi dingin, mematikan AC , memejamkan mataku untuk memaksakan agar diriku tertidur. Aku terbangun dari tidur ketika mendengar suara di halaman. Oom Herkules dan oom Bulus sedang membicarakan sesuatu.Terdengar kegelisahan dala
Kata-kata Oom Bulus yang menggerutu ketika melenggang keluar , memikirkan sebab dan akibat yang ada pada keluarganya meninggalkanku begitu saja seolah-olah sekedar menginformasikan kepadaku yang sebenarnya tidak kumengerti maksud dibalik kata-katanya.Apakah ada hubungannya dengan tawarannya? Batinku.Aku mengacuhkan apa yang terpikir, aku mencari Adhi yang sedang menangis dibujuk oleh ibu pengurus villa.Aku memandang ibu pengurus yang sedang membujuk dan menenangkan Adhi. Aku memandang lurus ke arah ibu pengurus villa yang berjongkok di depan Adhi yang sedang duduk di kursi taman. Jarak mereka denganku agak dekat tapi aku berlindung di balik pilar sehingga mereka tidak tahu keberadaanku.“Papamu tidak bisa membawa den Bagus, papa harus ngurus penguburan bapak tua.”“Adhi ingin melihat opa, kapan lagi Adhi bisa melihat opa?” .“Bukankah den Bagus sudah melihat bapak tua sebelum berangkat ke villa?” tanya ibu pengurus villa.“Iya waktu itu opa masih hidup kasih Adhi uang, sekarang opa
“Selamat pagi mama,”sapa Adhi yang melihatku ke luar dari kamar tidur menuju ruang makan.“Selamat pagi sayang,” sapaku juga.Oom Bulus menatap kami bergantian,”Mama?” tanyanya.“Mama itu keren lho, Adhi ajar main games, cepat sekali mama ngerti. Juga mama pandai cerita dongeng sebelum tidur.”“Oh, ya. Siapa yang lebih keren papa atau mama?” tanya oom Bulus memancing persaingan antara dia dan aku.“Dua-duanya keren! “ kata Adhi lalu mengajakku duduk di sampingnya.Oom Bulus menyandarkan tubuhnya pada bahu kursi menatapku, “ Aku hanya mengajarkan dia tentang menghargai orang lain, meluangkan dari waktu yang tinggal sedikit bermain games dengannya dan menemani makan malam jika tidak ada makan malam bisnis dan menemaninya tidur. Sejak keluar dari rumah prodeo waktuku lebih banyak dengannya. Itulah dia selalu mengatakan papaku keren.”“Mama juga keren, kata mama dia tidak akan tinggalkan Adhi dan papa. Mama bilang cinta suami isteri bisa hilang, cinta ayah dan ibu pada anaknya tidak bisa h