Hari ini aku berjumpa Bayu di rumah makan Padang. Rasa itu kembali terusik dalam ingatan ini. Ingin ku teriak dan mengatakan aku begitu menyayangi dan mencintai kamu, Bayu. Tetepi aku tidak berani apalagi saat ini ada seorang wanita yang sangat beruntung telah mendampinginya. Bukan ... bukan aku tidak berani. Jika hanya kami bertiga disitu, akan aku buat wanita itu pergi meninggalkan Bayu. Tapi ini masalahnya, pengunjung rumah makan sedang ramai. Masak iya aku menggoda laki orang di depan khalayak ramai? Malu dong. Pasti mereka mengira aku wanita kurang waras karena menggoda suami orang. Sebenarnya tidak ada yang salah kan mencintai suami orang? Namanya juga manusia. Punya hati dan punya rasa. Kita juga tidak bisa memilih rasa itu jatuh dimana. Pada lajang atau suami orang. "Ratih, kamu ngapain disini?" tanya Haris. Haris merupakan sepupu jauhku. Sekarang sudah tidak lagi menjadi saudara ipar Bayu. Dari dia aku mengetahui keberadaan cintaku. Makanya aku pindah ke desa ini, supaya a
Gak nyangka aja Ratih bisa seperti itu. Entah setan apa yang telah merasukinya. Hanya gara - gara cinta bisa membuat dia gelap mata. Cinta? Aku kok ragu jika dia mencintaiku. Halah ... bagi aku cinta itu tidak pernah ada. Yang ada hanya rasa sayang dan jika sudah menjadi milik orang lain masak tidak bisa kita buang jauh-jauh rasa itu? Kurasa Ratih ada suatu kelainan sehingga bisa senekat itu. Egois mau menang sendiri. Biarlah nanti pihak keamanan yang akan mengungkapkan ini semua. Apakah dia ada kelainan jiwa atau hanya karena sensasi belaka. Hari ini merupakan hari yang amat berat dalam hidupku. Menghadapi tetangga yang baru pindah itu. Dulu dikampung disaat masih belum menikahi Naya, aku lumayan akrab dengan Ratih. Dia merupakan sepupu jauh dari Haris. Apa dia suruhan Haris ya? Untuk menghancurkan hidupku dan rumah tanggaku? Herannya. Kenapa dia bisa jadi tetanggaku padahal sebelumnya dia tingal dipulau Jawa. Angin apa yang membuat dia pindah ke Sumatera ini dan menjadi tetanggak
"Aldo mau tante Melly saja yang baca dongeng. Bukan nenek!" Aldo terus saja menangis seakan dia telah kehilangan mainan kesayangannya. "Ya udah, ayo kita ke rumah tante Melly, ya? Tapi anak ayah janji dulu gak nangis lagi. Ayah gak bisa melihat malaikat kecil Ayah ini bersedih hati," ujarku seraya berusaha menenangkan jagoanku. Sebenarnya dia itu sudah tidur tadi, kupikir besok pagi baru bangun eh ternyata jam segini sudah bangun. Mungkin dia ketakutan karena tidur sendirian. Padahal ada neneknya yang menemani tetapi dia gak mau katanya neneknya bau balsem. Dasar Aldo. "Kamu yakin mau ke rumah Melly, Abdi? Sudah malam loh. Gak enak mengganggu orang malam - malam begini. Kamu tau sendiri 'kan, jika Melly itu janda dan kamu duda. Apa kata orang nantinya?" nasehat ibu. Beliau sangat khawatir aku akan di gosipin orang. "Memang benar yang ibu katakan. Tetapi mau bagaimana lagi. Abdi gak tega melihat Aldo menangis terus. Rasanya dada ini teriris mendengar tangisannya. Jadis biarlah ora
Pov Melly "Tante ... buka pintu. Aldi tidur sama tante aja." Baru saja mata ini hendak terpejam, aku dikagetkan dengan suara teriakan bocah laki-laki dari luar kamar seraya menggedor-gedor pintu. Jantung ini seakan berhenti berdetak mendengar suara gedoran yang begitu kerasnya. Anak siapa sih, tengah malam begini dibiarkan bertamu ke rumah orang. Aku beranjak dari tempat tidur dengan malas dan membuka pintu. Ceklek "Oh ada Aldo ... ada apa Sayang. Kenapa belum tidur sudah jam segini?" tanyaku sambil mengusap lembut pucuk kepalanya. Melihat anak piatu itu, hati ini tidak jadi marah. Kasihan dia masih terlalu kecil sudah kehilangan ibunya. "Gak bisa tidur, Tante. Aldo tidur sama tante saja ya? Dirumah gak ada yang baca dogeng sebelum tidur. Ayah gak sempat baca dongeng katanya sibuk. Sementara nenek tiap hari baca cerita kacang ajaib," Aldo mendengkus kesal dengan wajah cemberut. Sungguh lucu dan menggemaskan. "Ya udah, masuk sini. Kita baca dongeng ya sayang. Boleh bobok sama ta
"Loh apa ini main peluk-pelukan. Pake tangis-tangisan. Kayak anak kecil!" Tiba - tiba saja Bayu sudah berdiri di pintu bersama pak Abdi. Bikin aku malu dan tidak tahu mau dimana menyembunyikan muka ini. "Gini, Mas." Ujar Naya seraya mengubah tempat duduknya. Sementara Bayu dan juga pak Abdi belum beranjak dari tempat mereka berdiri. "Hmm." Bayu mendengar dengan serius apa yang hendak dikatakan oleh istrinya. Mereka pasangan yang baik hati. Makanya tidak heran banyak yang menyayanginya dan rejekinya pun tidak pernah putus. Ada saja orang yang membantunya. "Kak Melly akan saya serahkan toko pertanian untuk dikelola sendiri. Kita tidak ikut campur. Maksudnya uang masuk dan keluar biar kak Melly yang kelola. Anggap saja memberikan modal dalam bentuk barang," ujar Naya. "Boleh juga ide kamu, Dek. Mas mendukung. Ya kan pak Abdi." Bayu mengalihkan pandangan kearah pak Abdi. Nampaknya beliau pun sudah ngantuk berat sehingga tidak banyak berbicara. "Nanti saya aja yang tunjukin sama kak M
"Daffa enak ya! Punya ibu. Sementara aku gak punya ibu. Gak ada tempat bermanja dan bersayang-sayangan. Siapa ya yang akan mau menyayangi anak seperti aku?" Tanya Aldo dengan wajah tertunduk lesu. Air mata sudah mulai merembes membasahi pipinya. "Kenapa Tuhan mengambil ibuku, Nek? Kenapa Tuhan tidak adil?" ujarnya tergugu. Rasa sayangku terhadap lelaki kecil itu sembakin besar. "Aldo gak boleh ngomong begitu ya sayang. Aldo 'kan ada nenek, tante Melly, nenek Lastri dan juga ada tante Naya. Kami semua sayang sama kamu, Nak. Aldo banyak saudara. Nah apa lagi kurangnya? Gak ada kan?" Seru bu Sumi yang merupakan nenek Aldo dengan tatapan sendu. Beliau nampaknya sangat menyayangi cucunya. Terlihat kristal bening menggenang dipelupuk matanya. Mereka menangis berdua sambil berpelukan. "Gak enak. Gak sama kayak Daffa. Kenapa ayah gak mau menikah saja dengan tante Melly, biar aku juga punya ibu kayak Daffa? Nek, bilang sama ayah, menikah aja dengan tante Melly biar kita bisa tidur bertiga d
Hari ini seharian Aldo tidak mau berbicara denganku. Jika aku bertanya dia juga tidak mau menjawabnya. Marahlah ceritanya. Kadang aku tertawa melihat tingkah anak pak Abdi yang satu ini. Suka memaksakan kehendak dan selalu mau menang sendiri. Dia tidak pernah mau tahu bagaimana perasaan ayahnya terhadap aku. Kenapa pula dia marah, seharusnya ayahnya lah yang dimarahi karena tidak pernah mengajak aku untuk menikah dengannya. 'Lho kok aku pula yang ngebet sama duda ganteng itu. Waduh bahaya ini." "Mel, nanti kawani ibu belanja ke pasar ya. Stok bahan makanan di dapur sudah menipis. Kemaren ibu ajak kamu gak mau." titah wanita yang telah melahirkanku ke dunia ini. "Bukan gak mau, Bu. Kemaren Melly capek seharian mengantar anak-anak sekolah. Belum lagi pulangnya mengurus toko jadi, rasanya tubuh ini perlu istirahat sebentar," jawabku berusaha membela diri. "Ah kau, Mel. Masih muda saja sudah lemah dan lesu begitu. Bagaimana jika seumuran ibu? Bisa-bisa tiduran saja kamu seharian. Lema
"Mas, hati-hati." Teriak aku ketika sebuah mobil jeep berkecepatan tinggi hampir saja menyerempet sepeda motor yang sedang dikenderai mas Bayu. Jantung rasanya mau lepas saja dari tubuh ini. Aku sangat bersyukur karena Allah masih melindungi kami. Padahal jika bergoyang sedikit saja mungkin tubuh kami sudah masuk ke dalam kolong mobil jeep tadi. "Woi. Pelan-pelan," hardik mas Bayu. Belum pernah aku melihat lelakiku semarah itu. Wajar mas Bayu marah karena nyawa kami tidak pernah dihargai oleh supir jeep tersebut. "Ya Allah. Hampir saja kita kesenggol mobil jeep ya Mas. Gemetar membayangkannya," ujarku. Dari tadi aku tutup mata rapat - rapat dan berusaha memeluk mas Bayu kuat-kuat dan tidak aku lepaskan sedetikpun. Tak sanggup rasanya membayangkan jika seandainya itu terjadi. Bagaimana nasib anakku. Sesampai di toko pak Sembiring aku hanya duduk dikursi malas untuk menenangkan pikiran. Biar saja mas Bayu yang berbicara dengan pak Sembiring mengenai berapa kira-kira biaya yang akan