****Setelah Mariah di jemput polisi, hal yang paling Helmi sukai adalah bediam diri di dalam kamar. Wulan mengetuk pintu kamarnya bermaksud untuk mengajaknya bicara dengan alasan sarapan bersama."Hel, ayo kita sarapan!" bujuk Wulan lembut di depan pintu kamar Helmi."Aku belum mau sarapan, Ma. Mama duluan saja!" balas Helmi dari dalam."Mama nggak bisa sarapan sendiri, biasanya Mariah yang akan menemani Mama." "Berhentilah bicara tentang perempuan itu." Helmi tiba-tiba membuka pintu kamarnya, ia berjalan ke dapur lalu duduk dengan manis. Helmi menelan salivanya ketika melihat makanan kesukaannya terhidang di hadapannya. Nasi goreng putih.Dulu, ia sering meminta Wulan untuk di buatkan nasi goreng tanpa kecap dan ia akan menyebutnya nasi goreng putih."Beberapa hari ini, aku tak pernah melihat Bibi, dia ngambil cuti lagi, Ma?""Sudah Mama berhentikan.
****Setibanya di Jakarta, Helmi memasuki rumah kontrakannya dengan hampa. Sebelumnya ia berencana untuk mengajak Mariah tinggal di rumah ini, memulai rumah tangganya yang baru saja seumur jagung, juga membesarkan anaknya dengan perempuan muda itu. Namun, takdir berkata lain, ketika mantan istrinya benar-benar membawa kasus itu ke pihak yang berwajib.Helmi kelimpungan, baru saja ia akan memulai semuanya, badai itu kembali datang, hingga ucapan talak ia ucapkan untuk perempuan yang kini tengah mengandung anaknya.'Apa aku keliru dengan langkah yang sudah kuambil? Aku mengucapkan talak di saat dia sedang dalam masalah. Bagaimana kalau dia nekat bunuh diri atau melakukan hal yang membahayakan kandungannya?'"Argh!" Hingga malam berganti pagi, Helmi tak sedetik pun bisa memejamkan matanya. Rasa bersalah itu sukses merenggut rasa kantuknya.Helmi memutuskan untuk segera membersihkan dirinya, lalu m
****Amel menepati janjinya untuk mengenalkan Dinda kepada putrinya, Adinda. Mereka sepakat bertemu di sebuah taman Kota pagi ini. Perasaan Dinda tak bisa di gambarkan oleh kata-kata. Ia merasakan degup jantungnya lebih cepat padahal ia tidak sedang jatuh cinta.Dinda dan Alif sampai di taman kota, lalu segera memarkirkan mobilnya. Ia mengambil ponselnya dan segera menghubungi Amel, namun nomor Amel tidak bisa di hubungi.Dari kejauhan, Dinda melihat Amel berjalan ke arahnya dan melambaikan tangannya. Dinda terdiam ketika melihat wajah itu memang benar-benar mirip dengan Alif. Matanya coklat, serta lesung pipit di kedua pipinya.'Ah, hampir tak ada beda!'Ketika gadis kecil itu mendekat, Dinda menurunkan tubuhnya hingga setengah berjongkok untuk mensejajarkan tubuhnya dengan gadis itu. Kedua tangannya membingkai wajah mungilnya yang menggemaskan. Gadis itu sedikit mundur, mungkin ia tak ny
****Kelabu yang kemarin menghampiri, hari ini seakan beranjak pergi. Dinda nggak tahu kelanjutan bagaimana dengan Mariah atau Galuh, yang ia tahu hanya kerja dan keluarga. Lagipula, Dinda sudah membayar pengacara untuk memperkuat tuntutannya. Amel sudah kembali bekerja, dan tidak mempersoalkan kejadian waktu itu, ia percaya kalau kedatangan Helmi memang benar-benar kebetulan.Dengan percaya diri Dinda melangkah memasuki area pertokoan, ia tak sadar ketika seseorang mengikutinya dari belakang."Masih sibuk?" tanya lelaki itu."Tidak begitu.""Tapi aku kesulitan untuk bertemu kamu jika tak lewat Pak Nurdin.""Ah, kamu bisa saja. Setiap hari aku datang ke sini." "Oya?""Ya. Memangnya kenapa?" "Mungkin sebaiknya kita bicara di kafe sana, kebetulan aku tahu kamu perempuan pecinta kopi. Apa salahnya kita ngobrol sambil menikma
****"Amel, jujur sama aku! Siapa Ayah dari anak kamu?" tanya Helmi tiba-tiba. Pertanyaan itu memang telah bersarang cukup lama di kepalanya dan menyebabkan rasa sakit yang luar biasa karena memikirkannya. Kali ini, ia tak ingin membuang-buang waktu lagi, berharap mendapat jawaban langsung dari Amel."Maksud, Pak Helmi?""Jangan berpura-pura lagi, Amel! Aku tahu kamu bukan perempuan selugu itu.""Tentu saja Adinda anakku dengan suamiku. Memang Pak Helmi pikir Adinda terlahir tanpa Ayah?" sengit Amel."Namanya Adinda?" ulang Helmi setengah bergumam. Ia tertegun dengan nama yang di ucapkannya barusan."Iya, Pak.""Bagaimana bisa kamu melahirkan anak yang mirip dengan anakku? Apa jangan-jangan itu adalah anakku?" tanya Helmi lagi."Bapak jangan bercanda! Mungkin saja hanya kebetulan." "Hah, kebetulan. Tidak mungkin! Kalau di lihat-lihat anak
****Amel tertunduk ketika Dinda pelan-pelan menjelaskan tentang keadaan Adinda pada Helmi. Namun, tatapan mata Helmi pada Amel seolah-olah meminta penjelasan yang lebih lagi dari penjelasan yang Dinda sampaikan."Mas, tolong lakukan sekarang, sebelum semuanya terlambat dan kamu akan menyesal!" ucap Dinda penuh penekanan."Tidak. Aku tidak mau, maaf!" tolak Helmi dengan cepat."Mas," mohon Dinda. ia tak menyangka dengan keputusan Helmi."Kasih aku satu alasan kenapa aku harus mendonorkan darahku untuk anak itu?" desak Helmi."Mas, untuk itu kita bicarakan nanti saja, ini darurat, Adinda sangat membutuhkan darah itu." Dinda menyayangkan sikap keduanya yang sama-sama keras kepala."Aku tidak mau!" Helmi tetap kukuh dengan pendiriannya."Pak Helmi, dia putrimu." Amel berkata lirih, menahan tangis yang hampir pecah.Helmi terkesiap ketika mendengar
****Sebuah mobil berhenti tepat di depan rumahnya. Dinda tersenyum kala melihat siapa yang turun dari mobil dengan kursi rodanya."Mbak Galuh," gumam Dinda.Dinda segera keluar dan berniat membantu mendorong kursi roda mantan ipar sekaligus sahabat dekatnya itu. Namun, alih-alih tersenyum, Galuh dengan kasar menepis tangan Dinda."Mbak Galuh." Dinda terperanjat dengan sikapnya."Dinda, aku tekankan sekali lagi sama kamu, berhenti untuk berhubungan dengan suamiku!" teriak Galuh tak terduga."Maksudnya apa, ya, Mbak? Aku tak pernah berhubungan dengan Bram sama sekali! Kenapa, Mbak Galuh terus menuduhku, Padahal aku tidak pernah melakukannya sama sekali?""Jangan pura-pura lagi! Nggak mungkin jika kalian tak berhubungan, Mas Bram bisa-bisanya salah sebut nama di depanku." Galuh kembali berteriak."Lah, itu bukan kuasaku, Mbak. Tanyakan saja sama suamimu!" ucap Dind
****Rasa lemas yang Helmi rasakan setelah berhasil mendonorkan darah untuk putrinya, tiba-tiba sirna ketika ia melihat mamanya sedang menonton televisi. Bahkan, ia sampai lupa mengucapkan salam ketika akan memasuki rumah."Ma, aku punya kabar baik untuk Mama." Helmi tampak semringah. Binar matanya memperlihatkan ia sedang bahagia lalu ia duduk di samping mamanya.Wulan tak menoleh sama sekali, matanya tetap fokus menonton sinetron ikan terbang faporitnya sejak dulu."Ma, coba Mama matikan dulu televisinya!""Alah, tibang mau bicara saja Mama harus matikan televisi segala. Kamu bicara saja, Mama pasti dengerin. Mama lagi sibuk mempelajari bagaimana cara membuat menantu-menantu durhaka menjadi lebih baik dan berbakti pada mertua.""Ma, ini penting. Ini masalah cucu perempuan Mama.""Hah, Mariah kenapa? Mariah baik-baik saja di dalam penjara sana 'kan, Hel?"'Dia l
****"Mariah, kamukah itu?" Dinda mengernyitkan keningnya, melihat Mariah yang berdiri di depannya, jelas banyak berubah dengan Mariah yang di kenalnya selama ini."Iya, ini aku, Mbak!" ucap Mariah sambil tersenyum.Dinda terdiam. Ia khawatir Mariah akan melakukan hal yang membahayakannya seperti dulu."Mbak jangan takut, aku sengaja datang ke sini untuk meminta maaf sama Mbak Dinda!" ucapnya lagi.Dinda masih bergeming. Mariah menurunkan anak kecil itu dari gendongannya hingga anak itu duduk beralaskan rumput taman. Kemudian Mariah menurunkan tubuhnya sampai berjongkok. Tidak sampai di situ, Mariah seperti hendak bersujud tepat di kakipermpuan yang dulu telah di sakitinya."Mar, Bangun, Mar! Kamu mau ngapain, Mar?" teriak Dinda. Ia mundur beberapa langkah demi menghindari Mariah yang masih bersimpuh."Mbak Dinda, Maafkan aku! Aku memang salah sudah merebu
****"Dua minggu lagi aku akan menikahi Dinda, Ma. Aku harap, Mama bisa menerima keputusan ini dengan hati yang lapang!" ucap Bram. "Hm, apa kamu sudah pikirkan baik-baik? Masalahnya, Helmi mengidap penyakit kelam*in. Ada kemungkinan Dinda juga sudah tertular, Bram!" sahut Wulan."Beberapa hari lalu, Dinda sudah melakukan cek darah di sebuah klinik. Alhamdulilah, hasilnya negatif.""Apa? Jadi Dinda baik-baik saja?" seru Helmi. Ia baru saja datang dan ikut bergabung dengan Wulan dan Bram."Ya, Dinda negatif, Hel!""Lalu, dari mana sumber penyakit ini? Karena akhir-akhir ini aku tidak pernah melakukan hubungan itu dengan perempuan manapun!" umpat Helmi kesal."Coba kamu ingat-ingat lagi! Mungkin kamu pernah transfusi darah atau menggunakan jarum suntik yang tidak steril? Karena penularan penyakit itu tidak melulu dari hubungan badan saja, Hel!""Aku bukan pem
****"Bram, silakan duduk!" sambut Abi Ahmad terdengar ramah.Bram mengangguk dan mengikuti perintah Abi Ahmad. Ia sedikit demi sedikit berusaha mengurai kegugupannya di depan orang tuanya Dinda.Bibi datang dengan nampan berisi minuman di tangannya. Dinda dengan cekatan membantu pekerjaan ART-nya.'Sungguh, calon istri idaman!' puji Bram dalam hati."Maksud kedatangan Nak Bram sudah kami dengar dari Dinda. Namun, kali ini kami ingin mendengarnya langsung dari Nak Bram. Apa keberatan?" Pertanyaan Abi Ahmad mampu meluluh lantakkan pertahanan Bram untuk tetap tenang di depan orang tua kekasihnya. Namun, detik kemudian Bram berhasil menguasai dirinya kembali."Bismillahirrohmanirrohim, saya datang kesini karena saya ingin meminta restu dari Abi dan Umi. Saya mencintai Adinda dan berniat menikahinya dalam waktu dekat. Itupun jika Abi dan Umi memberikan restu."Singkat, padat dan j
****Samudra bertamu dengan membawa kabar baik untuk Dinda, ia akan melakukan pernikahan dengan Amel dalam waktu dekat ini."Selamat, ya, Sam. Akhirnya kamu menemukan cinta sejatimu di rumahku!" kelakar Dinda setelah memberi ucapan selamat untuk Samudra."Haha, kamu bisa aja, Din! Tapi ... Maaf,nih, mungkin setelah aku menikahi Amel, Amel akan berhenti bekerja sebagi baby sitternya Alif. Kamu nggak pa-pa, kan?" tanya Samudra ragu-ragu."Nggak pa-pa, Sam. Lagipula, aku sudah memprediksikan ini. Mana mungkin istri seorang pengusaha masih bekerja jadi baby sitter di rumahku?" sahut Dinda."Makasih, untuk pengertiannya, Din. Kamu memang sahabat terbaikku!""Sama-sama, tapi jangan lupa kamu harus jaga Amel layaknya berlian!" tegas Dinda."Siap!"Dinda semringah melihat lembaran undangan berwarna cream di tangannya. Nama Amelia dan Samudra tertulis di sana dengan indah. Ia jadi membayangkan bagaimana pernikahannya nanti dengan Samudra? Apa harus meriah atau han
****"Hai, Om Bram!" Alif menyambut Bram dengan sangat ramah. Bahkan, kadang-kadang ia tak akan sungkan untuk memeluk lelaki dewasa itu."Apa kabarmu? Bagaimana sekolahmu?" tanya Bram pada bocah itu."Kabarku baik dan sekolahku sangat menyenangkan. Aku sudah bilang pada teman-temanku, kalau Om Bram sebentar lagi menjadi papaku!" Dengan polosnya Alif bercerita."Wow! Alif di ajarin siapa cerita-cerita begitu?" Dinda tampak bertanduk mendengar cerita dua lelaki beda usia di depannya."Memangnya nggak boleh, ya, Bunda?" Alif balik bertanya, tatapannya berubah menjadi sendu."Sutt!" Bram memberi kode isyarat."Em, boleh. Tapi cuma ke teman dekat saja ,ya!" jawab Dinda sedikit terpaksa karena kode dari Bram."Siapa teman dekatnya Alif?" Bram menyela pembicaraan antara Dinda dan Alif."Itu, anaknya Bu RT. Namanya Salwa, Om."
****"Pak, bangun, Pak! Ini sudah siang, Pak Helmi sudah melewatkan sarapan dan minum obat setengah jam yang lalu." Rena memberanikan diri untuk membangunkan Helmi."Hoam!" Helmi menguap sambil menggeliat. Entah kenapa akhir-akhir ini ia sering mengantuk padahal semalam tidurnya sangat nyenyak."Ini sarapan dan obatnya saya taruh di sini, ya!" ucap Rena lagi. Lalu, ia kembali keluar kamar karena ada pekerjaan yang harus di selesaikannya.Helmi berjalan tertatih, tangannya bertumpu pada tembok. Ia melakukan terapi sendirian. Dari tempat tidur ke kamar mandi saja, Helmi membutuhkan waktu yang lumayan lama, karena kakinya terasa sangat lemas."Argh, andai saja aku tak ceroboh,tak mungkin aku akan menderita seperti ini!" gerutu Helmi. Dengan penuh perjuangan, akhirnya ia sampai juga di kamar mandi.Di dapur Rena berpapasan dengan Wulan, jangankan menyapa dengan ramah, sekadar senyum pun tidak.
****Seminggu kemudian dari kejadian Bram mengenalkan Dinda sebagai calon istrinya, kesehatan Helmi kembali menurun. Kepalanya yang sering tiba-tiba sakit dan demam tinggi sering menyerangnya malam-malam. Beruntung ia sudah mendapatkan orang yang bersedia untuk merawat serta mengurus semua keperluannya. Dari mulai makan, menyiapkan pakaian, juga hal-hal kecil lainnya."Hel, apa kamu yakin ingin mengurus Amera sedangkan kondisi kamu saja seperti ini?" tanya Wulan. Ia tiba-tiba masuk kamar dengan wajah yang kusut. Pasti gara-gara belum di kasih jatah bulanan."Terus kalau bukan kita yang urus, mau siapa lagi, Ma?" Helmi balik menatap mamanya."Ya, misal di titip di panti asuhan. Kita bisa menjenguknya kapanpun kita mau. Iya, kan?" ucap Wulan sambil menunduk.Sebenarnya ia tak enak memberi ide seperti ini kepada Helmi. Apalagi, dulu ia sangat menginginkan cucu perempuan dari Helmi. Tetapi ketika Helmi
*****Sore hari, Helmi pulang ke rumah. Baru saja ia sampai di ruang tamu, Wulan menyambutnya dengan bibir yang mengerucut."Hel, bagaimana kabar si Amera? Apa sudah ada kemajuan hari ini?" tanya Wulan dengan mata yang sedikit mendelik."Belum, Ma.""Harus berapa lama lagi dia di rawat di NICU? Lama-lama bisa tekor persediaan uang kita, tabungan Mama sudah mulai berkurang, loh!" sungut Wulan, tampak sedikit kesal."Sabar, ya,Ma. Kita berdo'a untuk Amera agar berat badannya cepat stabil dan bisa di rawat di rumah saja.""Pasti," sahut Wulan datar."Aku mandi dulu, ya, Ma.""Hm!"Helmi mengayuh roda kursi yang ia duduki dengan dua tangannya. Ia harus belajar mandiri, apalagi nanti kalau Amera sudah pulang ke rumah, ia harus bisa mengurus diri sendiri dan mengasuh Amera sekaligus.Helmi mengguyur tubuhnya yang terasa lengket dengan air hangat. Aroma sabun mandi yang menyegarkan menguar dari t
****Bram tampak segar sore ini, setelah mandi dan bersiap-siap ia segera melangkah ke kamar putrinya dengan cepat."Kamu sudah siap, Laura?" teriak Bram sambil mengetuk pintu kamar putrinya yang mulai beranjak remaja."Sedikit lagi, Pa!" teriaknya dari dalam tanpa membukakan pintu untuk papanya."Huh, perempuan sama saja! Masih bocah atau dewasa sama saja, sama-sama suka lama kalau dandan!" gerutu Bram di depan pintu kamar anaknya."Papa tunggu di depan saja, ya!" "Iya, Pa."Bram berjalan ke depan dengan gontai sambil bersiul-siul. Wajahnya kali ini tampak riang tak sekusut sebelumnya, berharap apa yang telah di susun rapi dengan putrinya berjalan sesuai dengan keinginannya.Setengah jam kemudian, Laura menghampirinya sambil senyum-senyum. Dandanan Laura kali ini bikin sakit mata. Bagaimana tidak? Dia memakai rok selutut warna kuning, di padukan dengan atasan k