****Helmi memenuhi janjinya untuk menjenguk Mariah setiap minggu. Ia membawa beberapa menu makanan kesukaannya demi menjaga nutrisi untuk bayi yang ada dalam kandungan Mariah."Mas," gumam Mariah. Matanya yang bulat tampak berbinar melihat siapa yang sudah menunggunya. Meskipun talak sudah terucap dari bibir lelaki itu, namun ia yakin Helmi mau rujuk dengannya."Mar, ini aku bawakan makanan untuk kamu." Helmi menyodorkan rantang berisi makanan ke hadapannya."Terimakasih, Mas. Apa kabar?" tanya Mariah. Sudut matanya menelisik wajah lelaki yang tampak lebih muda dengan senyum yang terus mengembang di bibirnya."Baik, alhamdulilah, Mar. Kamu bagaimana di sini?""Aku, aku sudah mulai betah, aku juga sudah punya teman di sini, lain kali aku akan mengenalkannya padamu, Mas." "Syukurlah. Aku tidak bisa berlama-lama di sini, aku harus segera ke rumah sakit sekarang,
****Dinda cukup tenang ketika Galuh dan Bram pergi ke Magelang. Setidaknya, Dinda merasa tak harus melulu kepikiran dengan tuduhan-tuduhan yang memang nggak masuk akalnya.Namun, pagi itu Dinda cukup terkejut ketika melihat story whatsapp milik Helmi. Di sana menunjukkan Galuh sedang terbaring di rumah sakit dengan caption "Syafakillah, Mbak!"Dengan buru-buru Dinda mengomentari postingan Helmi. Sungguh kepeduliannya mengalahkan rasa sakit hati atas sikapnya di beberapa bulan ini.[Mas, Mbak Galuh sakit apa?]Tidak harus menunggu lama pesan balasan dari Helmi masuk.[Mbak Galuh Drop setelah sampai di Magelang, Din. Tolong, do'akan mbakku, ya!]'Ya Allah, rasanya baru kemarin dia memaki-makiku dengan kata-kata kasar, sekarang dia malah sakit seperti ini. Angkatlah sakitnya, Ya Allah,' do'anya dalam hati."Bunda!""Bunda!" "Ah, Bunda m
****"Sam," panggil Dinda Pelan.'Apa ini mimpi? Bagaimana mungkin perempuan yang berdiri di hadapanku adalah perempuan yang sama dengan kutemui tadi siang?' batin Dinda. Seketika saja ucapan dan sumpah serapah terngiang-ngiang di telinganya.Samudra menoleh ke arah Dinda. Ia benar-benar tak mengerti kenapa mamanya bisa sehisteris ini? Tanpa ia minta, bayangan itu terasa nyata menari-nari di depan matanya. Akankah kisah lima tahun silam itu terulang lagi?"Sam, aku minta maaf. Aku tak bermaksud menyakiti mamamu," ucap Dinda."Aku percaya sama kamu, Dinda.""Terimakasih, aku sebaiknya pulang sekarang saja, Sam.""Ayo, kuantar!" tawar Samudra."Tidak, tidak perlu. Aku bisa pulang sendiri, lebih baik kamu tenangkan mamamu saja, Sam!""Baiklah, hati-hati!"Di sepanjang perjalanan ke rumahnya, Dinda tak henti memikirkan kejadian yang di alaminya barusan. Apa setelah ini Samudra akan berhenti m
****Dinda memijit keningnya yang terasa begitu sakit. Niatnya mau istirahat sebentar malah ketiduran. Ia mencari-cari keberadaan ponselnya, namun ia tak menemukan benda itu di atas ranjang. Seingatnya, ketika ia dalam keadaan setengah terlelap ada panggilan masuk ke ponselnya, namun sengaja ia matikan begitu saja lalu kembali menaruhnya di atas nakas.'Tapi, kok, bisa nggak ada, ya?'Dinda kembali mencari benda itu di atas ranjang, menyibakkan selimut, bantal, juga seprai tak luput menjadi korban sifat pelupanya. Padahal, usianya masih terbilang muda."Astaga," gumamnya.Benda yang Dinda cari tenyata tergeletak begitu saja di lantai tepat di bawah nakas. Mungkin, semalam ketika ia berniat menyimpannya kembali, benda itu terjatuh.Beberapa panggilan tak terjawab dari Helmi menghiasi layar ponselnya ketika sudah di aktifkan kembali. Namun, ia merasa malas jika harus balik menghubunginya.
****"Pak, tolong tambah kecepatan, ya!""Baik, Non."Perjalanan Dinda menuju rumah Galuh terasa sangat lambat, padahal ia sudah meminta Pak Dahlan untuk menambah kecepatan laju mobil yang di kendarainya.Perasaan Dinda semakin nggak karuan. Antara sedih, menyesal dan tak percaya berkecamuk dalam hatinya saat itu. 'Kenapa hatiku begitu keras? Hanya sekadar untuk mengangkat telepon dari Bram saja aku tak mau.' Dinda terus mengutuk dirinya sendiri.Rumah Galuh masih sepi, hanya terlihat ada dua bendera kuning yang terpasang di pintu gerbang. Itu meyakinkan dirinya kalau memang benar-benar ada kematian di rumah ini.Ibu-Ibu berkerudung hitam tampak sibuk menggelar karpet di ruang keluarga. Ia mempersilakan Dinda duduk dengan ramah."Jenazah Mbak Galuh sedang di perjalanan, silakan duduk dulu saja, Bu!" titah perempuan itu."Iya, Bu."Din
****Mentari sudah mulai naik dan tak malu-malu lagi menampakkan sinarnya yang terasa menghangat. Namun, Dinda masih bergelung dengan selimut yang cukup tebal.Tok, tok, tok!"Masuk," sahut Dinda. Ia masih terbaring di atas ranjang. Bahkan, tak biasanya ia membiarkan gorden kamar itu menghalangi sinar mentari masuk ke dalam kamarnya."Non, ini sarapannya saya bawa ke kamar saja, soalnya Non Dinda nggak keluar kamar dari tadi." Mbak Sri meletakkan bubur dan teh manis di atas nakas."Iya, kepalaku masih terasa pusing dan berat.""Apa sebaiknya kita ke dokter saja, Non?" "Nanti saja, Mbak!""Baiklah. Non bisa makan sendiri?" "Bisa, Mbak tenang saja! Aku minta ambilkan obat pereda demam dan tolong bukakan gordennya, ya, Mbak!""Siap, Non."Dinda beranjak dari ranjangnya, ia tertatih-tatih untuk pergi ke kamar mandi. Ketika ia m
****"Aduh, Bram anak-anak kamu itu nakalnya minta ampun. Baru meleng dikit aja sudah kabur. Ini lagi sopir kamu bodoh banget bisanya di kibulin bocah-bocah ingusan. Harusnya dia tanya kamu dulu, kan?" cerosos wulan ketika Bram sampai di rumahnya."Tapi Hanif nggak suka ada oma di sini!" teriak Hanif."Aku juga!" pekik Laura.Wulan matanya membulat mendengar Laura dan Hanif mulai ngadu. Hatinya tiba-tiba saja gelisah tak karuan."Laura, tolong, jangan ajarkan adikmu seperti itu. Ayo, minta maaf sama Oma!" sentak Bram pada Laura, lalu menatap anak keduanya."Tapi kami nggak salah, Pa. Oma marah-marah terus. dia bilang Laura anak haram. Apa iya Laura anak haram?" rengek gadis berusia sebelas tahun itu, sedih.Degh."Laura," gumam Bram."Jawab, Pa! Apa iya Laura anak haramnya Papa? Apa yang dikatakan Oma itu benar? Jawab, pa?""Mama!" pek
****"Kamu sudah sadar, Din?" tanya Samudra ketika Dinda perlahan mengerjap-ngerjapkan matanya."Aku di mana?" Dinda seperti kebingungan mendapati ruangan yang serba putih."Kamu di rumah sakit, Din. Aku yang membawamu ke sini karena aku sangat khawatir dengan keadaanmu. Demammu sangat tinggi--""Kamu yang membawaku?" potong Dinda cepat."Ya."Dinda terdiam."Kenapa?" tanya Samudra lagi."Tidak ada apa-apa, Sam.""Apa kamu berharap lelaki itu yang membawamu ke sini?" Tebakan Samudra membuat Dinda salah tingkah di depan teman lelakinya itu."E-enggak begitu, Sam. Aku hanya kaget saja kamu yang membawaku. Padahal, yang aku tahu kamu tak sedang ada di sana." "Iya, aku datang untuk meminta maaf atas perbuatan mamaku. Akan tetapi ketika sampai, aku melihatmu pingsan di sofa dan lelaki bodoh itu hanya menatapmu tanpa menolongmu, Din."
****"Mariah, kamukah itu?" Dinda mengernyitkan keningnya, melihat Mariah yang berdiri di depannya, jelas banyak berubah dengan Mariah yang di kenalnya selama ini."Iya, ini aku, Mbak!" ucap Mariah sambil tersenyum.Dinda terdiam. Ia khawatir Mariah akan melakukan hal yang membahayakannya seperti dulu."Mbak jangan takut, aku sengaja datang ke sini untuk meminta maaf sama Mbak Dinda!" ucapnya lagi.Dinda masih bergeming. Mariah menurunkan anak kecil itu dari gendongannya hingga anak itu duduk beralaskan rumput taman. Kemudian Mariah menurunkan tubuhnya sampai berjongkok. Tidak sampai di situ, Mariah seperti hendak bersujud tepat di kakipermpuan yang dulu telah di sakitinya."Mar, Bangun, Mar! Kamu mau ngapain, Mar?" teriak Dinda. Ia mundur beberapa langkah demi menghindari Mariah yang masih bersimpuh."Mbak Dinda, Maafkan aku! Aku memang salah sudah merebu
****"Dua minggu lagi aku akan menikahi Dinda, Ma. Aku harap, Mama bisa menerima keputusan ini dengan hati yang lapang!" ucap Bram. "Hm, apa kamu sudah pikirkan baik-baik? Masalahnya, Helmi mengidap penyakit kelam*in. Ada kemungkinan Dinda juga sudah tertular, Bram!" sahut Wulan."Beberapa hari lalu, Dinda sudah melakukan cek darah di sebuah klinik. Alhamdulilah, hasilnya negatif.""Apa? Jadi Dinda baik-baik saja?" seru Helmi. Ia baru saja datang dan ikut bergabung dengan Wulan dan Bram."Ya, Dinda negatif, Hel!""Lalu, dari mana sumber penyakit ini? Karena akhir-akhir ini aku tidak pernah melakukan hubungan itu dengan perempuan manapun!" umpat Helmi kesal."Coba kamu ingat-ingat lagi! Mungkin kamu pernah transfusi darah atau menggunakan jarum suntik yang tidak steril? Karena penularan penyakit itu tidak melulu dari hubungan badan saja, Hel!""Aku bukan pem
****"Bram, silakan duduk!" sambut Abi Ahmad terdengar ramah.Bram mengangguk dan mengikuti perintah Abi Ahmad. Ia sedikit demi sedikit berusaha mengurai kegugupannya di depan orang tuanya Dinda.Bibi datang dengan nampan berisi minuman di tangannya. Dinda dengan cekatan membantu pekerjaan ART-nya.'Sungguh, calon istri idaman!' puji Bram dalam hati."Maksud kedatangan Nak Bram sudah kami dengar dari Dinda. Namun, kali ini kami ingin mendengarnya langsung dari Nak Bram. Apa keberatan?" Pertanyaan Abi Ahmad mampu meluluh lantakkan pertahanan Bram untuk tetap tenang di depan orang tua kekasihnya. Namun, detik kemudian Bram berhasil menguasai dirinya kembali."Bismillahirrohmanirrohim, saya datang kesini karena saya ingin meminta restu dari Abi dan Umi. Saya mencintai Adinda dan berniat menikahinya dalam waktu dekat. Itupun jika Abi dan Umi memberikan restu."Singkat, padat dan j
****Samudra bertamu dengan membawa kabar baik untuk Dinda, ia akan melakukan pernikahan dengan Amel dalam waktu dekat ini."Selamat, ya, Sam. Akhirnya kamu menemukan cinta sejatimu di rumahku!" kelakar Dinda setelah memberi ucapan selamat untuk Samudra."Haha, kamu bisa aja, Din! Tapi ... Maaf,nih, mungkin setelah aku menikahi Amel, Amel akan berhenti bekerja sebagi baby sitternya Alif. Kamu nggak pa-pa, kan?" tanya Samudra ragu-ragu."Nggak pa-pa, Sam. Lagipula, aku sudah memprediksikan ini. Mana mungkin istri seorang pengusaha masih bekerja jadi baby sitter di rumahku?" sahut Dinda."Makasih, untuk pengertiannya, Din. Kamu memang sahabat terbaikku!""Sama-sama, tapi jangan lupa kamu harus jaga Amel layaknya berlian!" tegas Dinda."Siap!"Dinda semringah melihat lembaran undangan berwarna cream di tangannya. Nama Amelia dan Samudra tertulis di sana dengan indah. Ia jadi membayangkan bagaimana pernikahannya nanti dengan Samudra? Apa harus meriah atau han
****"Hai, Om Bram!" Alif menyambut Bram dengan sangat ramah. Bahkan, kadang-kadang ia tak akan sungkan untuk memeluk lelaki dewasa itu."Apa kabarmu? Bagaimana sekolahmu?" tanya Bram pada bocah itu."Kabarku baik dan sekolahku sangat menyenangkan. Aku sudah bilang pada teman-temanku, kalau Om Bram sebentar lagi menjadi papaku!" Dengan polosnya Alif bercerita."Wow! Alif di ajarin siapa cerita-cerita begitu?" Dinda tampak bertanduk mendengar cerita dua lelaki beda usia di depannya."Memangnya nggak boleh, ya, Bunda?" Alif balik bertanya, tatapannya berubah menjadi sendu."Sutt!" Bram memberi kode isyarat."Em, boleh. Tapi cuma ke teman dekat saja ,ya!" jawab Dinda sedikit terpaksa karena kode dari Bram."Siapa teman dekatnya Alif?" Bram menyela pembicaraan antara Dinda dan Alif."Itu, anaknya Bu RT. Namanya Salwa, Om."
****"Pak, bangun, Pak! Ini sudah siang, Pak Helmi sudah melewatkan sarapan dan minum obat setengah jam yang lalu." Rena memberanikan diri untuk membangunkan Helmi."Hoam!" Helmi menguap sambil menggeliat. Entah kenapa akhir-akhir ini ia sering mengantuk padahal semalam tidurnya sangat nyenyak."Ini sarapan dan obatnya saya taruh di sini, ya!" ucap Rena lagi. Lalu, ia kembali keluar kamar karena ada pekerjaan yang harus di selesaikannya.Helmi berjalan tertatih, tangannya bertumpu pada tembok. Ia melakukan terapi sendirian. Dari tempat tidur ke kamar mandi saja, Helmi membutuhkan waktu yang lumayan lama, karena kakinya terasa sangat lemas."Argh, andai saja aku tak ceroboh,tak mungkin aku akan menderita seperti ini!" gerutu Helmi. Dengan penuh perjuangan, akhirnya ia sampai juga di kamar mandi.Di dapur Rena berpapasan dengan Wulan, jangankan menyapa dengan ramah, sekadar senyum pun tidak.
****Seminggu kemudian dari kejadian Bram mengenalkan Dinda sebagai calon istrinya, kesehatan Helmi kembali menurun. Kepalanya yang sering tiba-tiba sakit dan demam tinggi sering menyerangnya malam-malam. Beruntung ia sudah mendapatkan orang yang bersedia untuk merawat serta mengurus semua keperluannya. Dari mulai makan, menyiapkan pakaian, juga hal-hal kecil lainnya."Hel, apa kamu yakin ingin mengurus Amera sedangkan kondisi kamu saja seperti ini?" tanya Wulan. Ia tiba-tiba masuk kamar dengan wajah yang kusut. Pasti gara-gara belum di kasih jatah bulanan."Terus kalau bukan kita yang urus, mau siapa lagi, Ma?" Helmi balik menatap mamanya."Ya, misal di titip di panti asuhan. Kita bisa menjenguknya kapanpun kita mau. Iya, kan?" ucap Wulan sambil menunduk.Sebenarnya ia tak enak memberi ide seperti ini kepada Helmi. Apalagi, dulu ia sangat menginginkan cucu perempuan dari Helmi. Tetapi ketika Helmi
*****Sore hari, Helmi pulang ke rumah. Baru saja ia sampai di ruang tamu, Wulan menyambutnya dengan bibir yang mengerucut."Hel, bagaimana kabar si Amera? Apa sudah ada kemajuan hari ini?" tanya Wulan dengan mata yang sedikit mendelik."Belum, Ma.""Harus berapa lama lagi dia di rawat di NICU? Lama-lama bisa tekor persediaan uang kita, tabungan Mama sudah mulai berkurang, loh!" sungut Wulan, tampak sedikit kesal."Sabar, ya,Ma. Kita berdo'a untuk Amera agar berat badannya cepat stabil dan bisa di rawat di rumah saja.""Pasti," sahut Wulan datar."Aku mandi dulu, ya, Ma.""Hm!"Helmi mengayuh roda kursi yang ia duduki dengan dua tangannya. Ia harus belajar mandiri, apalagi nanti kalau Amera sudah pulang ke rumah, ia harus bisa mengurus diri sendiri dan mengasuh Amera sekaligus.Helmi mengguyur tubuhnya yang terasa lengket dengan air hangat. Aroma sabun mandi yang menyegarkan menguar dari t
****Bram tampak segar sore ini, setelah mandi dan bersiap-siap ia segera melangkah ke kamar putrinya dengan cepat."Kamu sudah siap, Laura?" teriak Bram sambil mengetuk pintu kamar putrinya yang mulai beranjak remaja."Sedikit lagi, Pa!" teriaknya dari dalam tanpa membukakan pintu untuk papanya."Huh, perempuan sama saja! Masih bocah atau dewasa sama saja, sama-sama suka lama kalau dandan!" gerutu Bram di depan pintu kamar anaknya."Papa tunggu di depan saja, ya!" "Iya, Pa."Bram berjalan ke depan dengan gontai sambil bersiul-siul. Wajahnya kali ini tampak riang tak sekusut sebelumnya, berharap apa yang telah di susun rapi dengan putrinya berjalan sesuai dengan keinginannya.Setengah jam kemudian, Laura menghampirinya sambil senyum-senyum. Dandanan Laura kali ini bikin sakit mata. Bagaimana tidak? Dia memakai rok selutut warna kuning, di padukan dengan atasan k