****Mentari sudah mulai naik dan tak malu-malu lagi menampakkan sinarnya yang terasa menghangat. Namun, Dinda masih bergelung dengan selimut yang cukup tebal.Tok, tok, tok!"Masuk," sahut Dinda. Ia masih terbaring di atas ranjang. Bahkan, tak biasanya ia membiarkan gorden kamar itu menghalangi sinar mentari masuk ke dalam kamarnya."Non, ini sarapannya saya bawa ke kamar saja, soalnya Non Dinda nggak keluar kamar dari tadi." Mbak Sri meletakkan bubur dan teh manis di atas nakas."Iya, kepalaku masih terasa pusing dan berat.""Apa sebaiknya kita ke dokter saja, Non?" "Nanti saja, Mbak!""Baiklah. Non bisa makan sendiri?" "Bisa, Mbak tenang saja! Aku minta ambilkan obat pereda demam dan tolong bukakan gordennya, ya, Mbak!""Siap, Non."Dinda beranjak dari ranjangnya, ia tertatih-tatih untuk pergi ke kamar mandi. Ketika ia m
****"Aduh, Bram anak-anak kamu itu nakalnya minta ampun. Baru meleng dikit aja sudah kabur. Ini lagi sopir kamu bodoh banget bisanya di kibulin bocah-bocah ingusan. Harusnya dia tanya kamu dulu, kan?" cerosos wulan ketika Bram sampai di rumahnya."Tapi Hanif nggak suka ada oma di sini!" teriak Hanif."Aku juga!" pekik Laura.Wulan matanya membulat mendengar Laura dan Hanif mulai ngadu. Hatinya tiba-tiba saja gelisah tak karuan."Laura, tolong, jangan ajarkan adikmu seperti itu. Ayo, minta maaf sama Oma!" sentak Bram pada Laura, lalu menatap anak keduanya."Tapi kami nggak salah, Pa. Oma marah-marah terus. dia bilang Laura anak haram. Apa iya Laura anak haram?" rengek gadis berusia sebelas tahun itu, sedih.Degh."Laura," gumam Bram."Jawab, Pa! Apa iya Laura anak haramnya Papa? Apa yang dikatakan Oma itu benar? Jawab, pa?""Mama!" pek
****"Kamu sudah sadar, Din?" tanya Samudra ketika Dinda perlahan mengerjap-ngerjapkan matanya."Aku di mana?" Dinda seperti kebingungan mendapati ruangan yang serba putih."Kamu di rumah sakit, Din. Aku yang membawamu ke sini karena aku sangat khawatir dengan keadaanmu. Demammu sangat tinggi--""Kamu yang membawaku?" potong Dinda cepat."Ya."Dinda terdiam."Kenapa?" tanya Samudra lagi."Tidak ada apa-apa, Sam.""Apa kamu berharap lelaki itu yang membawamu ke sini?" Tebakan Samudra membuat Dinda salah tingkah di depan teman lelakinya itu."E-enggak begitu, Sam. Aku hanya kaget saja kamu yang membawaku. Padahal, yang aku tahu kamu tak sedang ada di sana." "Iya, aku datang untuk meminta maaf atas perbuatan mamaku. Akan tetapi ketika sampai, aku melihatmu pingsan di sofa dan lelaki bodoh itu hanya menatapmu tanpa menolongmu, Din."
****Satu Jam, dua jam, bahkan tiga jam sudah berlalu. Namun, rasa sakit itu terus Helmi rasakan tanpa henti. Lalu ia memutuskan untuk membuat janji dengan Dokter spesialis lewat online."Mau kemana Hel?" tanya Wulan. ia jelas sangat penasaran sebab raut wajah anaknya terlihat sedang tidak baik-baik saja."Keluar, Ma." jawab Helmi pelan. Wajahnya ia buat seperti baik-baik saja, padahal wulan sudah curiga sejak tadi."Apa kamu sakit, Hel?" tanya Wulan lagi semakin curiga."Enggak, Ma. Ya sudah aku pamit dulu, ya!" ucap Helmi. Andai mamanya bisa menjadi teman berbicara, mungkin Helmi akan dengan senang hati berbagi dengannya. Akan tetapi, melihat sikap mamanya yang selalu memperburuk keadaan, ia tak berani ambil resiko yang akan membuatnya semakin lebih terpuruk lagi."Hati-hati, Hel!" Itu yang terucap dari bibir Wulan. Meskipun sebenarnya ia sangat yakin kalau H
****"Dinda, maafkan aku. Aku terlambat membuka pesan dari kamu. Aku sangat sibuk dan lupa mencharger ponsel ...."Tatapan Samudra beralih pada perempuan yang duduk tak jauh dari Dinda. Tatapan itu terus berlanjut sampai Samudra tak sadar buliran bening jatuh di kedua matanya."Ka--kamu--""Kamu kenapa, Sam?" potong Dinda cepat. Ia berdiri dari duduknya, ikut panik dengan Samudra yang tiba-tiba menangis seperti itu.Samudra bergeming."Sam, kamu sedang ngeprank kami, hah? Nggak lucu tahu, Sam!" gerutu Dinda dengan ketus.Samudra perlahan mendekat, Ia berjalan melewati Dinda begitu saja, membuat Dinda semakin tak mengerti dengan tingkah Samudra kali ini. Samudra menghambur memeluk Amel. Sedangkan Amel hanya tertunduk, dengan air mata yang sudah menganak sungai di pipinya.'Ada apa ini?'"Samudra, apa yang kamu lakukan? Lepaskan Amel, S
****Dulu Helmi merasa kuat, dengan gagah ia mengikuti hawa nafsunya. Tetapi tidak untuk sekarang, mau ke kamar mandi saja ia harus berjalan pelan-pelan sambil meringis menahan sakit yang luar biasa. Apalagi, jika sedang di depan mamanya, ia harus berakting baik-baik saja dan itu sangat menyiksa.'Apa ini karma yang harus aku jalani di sisa hidupku?'"Ah, tidak, jangan sampai pikiran buruk ini membuat tubuhku semakin drop. Aku akan sembuh!" gumam Helmi, ketika karma sempat melintas di pikirannya.Pagi itu, Helmi bersiap harus kembali ke rumah sakit untuk mengambil hasil pemeriksaan. Namun, Helmi tak memberitahu mamanya tentang tujuannya ke rumah sakit untuk apa."Hel, kamu itu kenapa, sih? Kalau ada apa-apa itu cerita sama Mama, bukan langsung pergi-pergi seperti ini!" ketus Wulan sambil cemberut."Ma, Helmi baik-baik saja, kok. Jangan khawatir!""Tapi Mama sering lihat kamu m
****Kesehatan Dinda yang belum betul-betul pulih tak menyurutkan niatnya untuk bertemu dengan Adam. Kerinduan pada anak pertamanya mampu mengalahkan rasa pusing di kepalanya."Pak, aku mau ke pesantren hari ini, Bapak bisa antarkan ke sana?" tanya Dinda penuh harap ketika panggilan teleponnya tersambung dengan Pak Dahlan. Sopir keluarganya. "Loh, Non Dinda nggak bilang dari semalam. Saya masih di rumah, gimana, dong?" sahut Pak Dahlan terdengar bingung."Gini, deh. Maaf banget sebelumnya mengganggu jatah liburnya, tapi nanti saya kasih tips dua kali lipat. Mau, ya?" rayu Dinda."Kalau masalah itu saya nggak pa-pa, Non. Tetapi, masalahnya saya masih di rumah. Apa tidak apa-apa, Non Dinda menunggu?""Enggak pa-pa aku nunggu aja. Terimakasih banyak, Pak!" Tut.Dinda mengakhiri sambungan telepon. Kemudian ia bergegas untuk sarapan terlebih dahulu. "
****Kadang kumasih tak percayaKau pergi dan takkan kembaliBayangmu masih selalu menghantuiSeakan kau nyata dalam khayalkuSelamat tinggal kekasih, damailah dalam tidurmuBiarkan kisah kita menjadi kenanganDi sini aku sendiri tanpa hadirmu lagiMencoba bertahan mengenang dirimuSelamat tinggal kekasih, damailah dalam tidurmuBiarkan kisah kita menjadi kenanganDi sini aku sendiri tanpa hadirmu lagiMencoba bertahan mengenang dirimu yang telah pergi.****Lagu lawas milik Caramel dengan judul mengenangmu, mengalun lembut di telinga dan memenuhi ruangan mobil yang di kendarai oleh Bram. Bram tampak gelisah lalu menganti lagu itu dengan lagu yang lebih santai namun bukan untuk mengenang masa-masa menyedihkan."Kenapa di ganti? Kamu belum bisa mengikhlaskan kepergiannya Mbak Galuh, Bram?" tanya Dinda.