****"Aduh, Bram anak-anak kamu itu nakalnya minta ampun. Baru meleng dikit aja sudah kabur. Ini lagi sopir kamu bodoh banget bisanya di kibulin bocah-bocah ingusan. Harusnya dia tanya kamu dulu, kan?" cerosos wulan ketika Bram sampai di rumahnya."Tapi Hanif nggak suka ada oma di sini!" teriak Hanif."Aku juga!" pekik Laura.Wulan matanya membulat mendengar Laura dan Hanif mulai ngadu. Hatinya tiba-tiba saja gelisah tak karuan."Laura, tolong, jangan ajarkan adikmu seperti itu. Ayo, minta maaf sama Oma!" sentak Bram pada Laura, lalu menatap anak keduanya."Tapi kami nggak salah, Pa. Oma marah-marah terus. dia bilang Laura anak haram. Apa iya Laura anak haram?" rengek gadis berusia sebelas tahun itu, sedih.Degh."Laura," gumam Bram."Jawab, Pa! Apa iya Laura anak haramnya Papa? Apa yang dikatakan Oma itu benar? Jawab, pa?""Mama!" pek
****"Kamu sudah sadar, Din?" tanya Samudra ketika Dinda perlahan mengerjap-ngerjapkan matanya."Aku di mana?" Dinda seperti kebingungan mendapati ruangan yang serba putih."Kamu di rumah sakit, Din. Aku yang membawamu ke sini karena aku sangat khawatir dengan keadaanmu. Demammu sangat tinggi--""Kamu yang membawaku?" potong Dinda cepat."Ya."Dinda terdiam."Kenapa?" tanya Samudra lagi."Tidak ada apa-apa, Sam.""Apa kamu berharap lelaki itu yang membawamu ke sini?" Tebakan Samudra membuat Dinda salah tingkah di depan teman lelakinya itu."E-enggak begitu, Sam. Aku hanya kaget saja kamu yang membawaku. Padahal, yang aku tahu kamu tak sedang ada di sana." "Iya, aku datang untuk meminta maaf atas perbuatan mamaku. Akan tetapi ketika sampai, aku melihatmu pingsan di sofa dan lelaki bodoh itu hanya menatapmu tanpa menolongmu, Din."
****Satu Jam, dua jam, bahkan tiga jam sudah berlalu. Namun, rasa sakit itu terus Helmi rasakan tanpa henti. Lalu ia memutuskan untuk membuat janji dengan Dokter spesialis lewat online."Mau kemana Hel?" tanya Wulan. ia jelas sangat penasaran sebab raut wajah anaknya terlihat sedang tidak baik-baik saja."Keluar, Ma." jawab Helmi pelan. Wajahnya ia buat seperti baik-baik saja, padahal wulan sudah curiga sejak tadi."Apa kamu sakit, Hel?" tanya Wulan lagi semakin curiga."Enggak, Ma. Ya sudah aku pamit dulu, ya!" ucap Helmi. Andai mamanya bisa menjadi teman berbicara, mungkin Helmi akan dengan senang hati berbagi dengannya. Akan tetapi, melihat sikap mamanya yang selalu memperburuk keadaan, ia tak berani ambil resiko yang akan membuatnya semakin lebih terpuruk lagi."Hati-hati, Hel!" Itu yang terucap dari bibir Wulan. Meskipun sebenarnya ia sangat yakin kalau H
****"Dinda, maafkan aku. Aku terlambat membuka pesan dari kamu. Aku sangat sibuk dan lupa mencharger ponsel ...."Tatapan Samudra beralih pada perempuan yang duduk tak jauh dari Dinda. Tatapan itu terus berlanjut sampai Samudra tak sadar buliran bening jatuh di kedua matanya."Ka--kamu--""Kamu kenapa, Sam?" potong Dinda cepat. Ia berdiri dari duduknya, ikut panik dengan Samudra yang tiba-tiba menangis seperti itu.Samudra bergeming."Sam, kamu sedang ngeprank kami, hah? Nggak lucu tahu, Sam!" gerutu Dinda dengan ketus.Samudra perlahan mendekat, Ia berjalan melewati Dinda begitu saja, membuat Dinda semakin tak mengerti dengan tingkah Samudra kali ini. Samudra menghambur memeluk Amel. Sedangkan Amel hanya tertunduk, dengan air mata yang sudah menganak sungai di pipinya.'Ada apa ini?'"Samudra, apa yang kamu lakukan? Lepaskan Amel, S
****Dulu Helmi merasa kuat, dengan gagah ia mengikuti hawa nafsunya. Tetapi tidak untuk sekarang, mau ke kamar mandi saja ia harus berjalan pelan-pelan sambil meringis menahan sakit yang luar biasa. Apalagi, jika sedang di depan mamanya, ia harus berakting baik-baik saja dan itu sangat menyiksa.'Apa ini karma yang harus aku jalani di sisa hidupku?'"Ah, tidak, jangan sampai pikiran buruk ini membuat tubuhku semakin drop. Aku akan sembuh!" gumam Helmi, ketika karma sempat melintas di pikirannya.Pagi itu, Helmi bersiap harus kembali ke rumah sakit untuk mengambil hasil pemeriksaan. Namun, Helmi tak memberitahu mamanya tentang tujuannya ke rumah sakit untuk apa."Hel, kamu itu kenapa, sih? Kalau ada apa-apa itu cerita sama Mama, bukan langsung pergi-pergi seperti ini!" ketus Wulan sambil cemberut."Ma, Helmi baik-baik saja, kok. Jangan khawatir!""Tapi Mama sering lihat kamu m
****Kesehatan Dinda yang belum betul-betul pulih tak menyurutkan niatnya untuk bertemu dengan Adam. Kerinduan pada anak pertamanya mampu mengalahkan rasa pusing di kepalanya."Pak, aku mau ke pesantren hari ini, Bapak bisa antarkan ke sana?" tanya Dinda penuh harap ketika panggilan teleponnya tersambung dengan Pak Dahlan. Sopir keluarganya. "Loh, Non Dinda nggak bilang dari semalam. Saya masih di rumah, gimana, dong?" sahut Pak Dahlan terdengar bingung."Gini, deh. Maaf banget sebelumnya mengganggu jatah liburnya, tapi nanti saya kasih tips dua kali lipat. Mau, ya?" rayu Dinda."Kalau masalah itu saya nggak pa-pa, Non. Tetapi, masalahnya saya masih di rumah. Apa tidak apa-apa, Non Dinda menunggu?""Enggak pa-pa aku nunggu aja. Terimakasih banyak, Pak!" Tut.Dinda mengakhiri sambungan telepon. Kemudian ia bergegas untuk sarapan terlebih dahulu. "
****Kadang kumasih tak percayaKau pergi dan takkan kembaliBayangmu masih selalu menghantuiSeakan kau nyata dalam khayalkuSelamat tinggal kekasih, damailah dalam tidurmuBiarkan kisah kita menjadi kenanganDi sini aku sendiri tanpa hadirmu lagiMencoba bertahan mengenang dirimuSelamat tinggal kekasih, damailah dalam tidurmuBiarkan kisah kita menjadi kenanganDi sini aku sendiri tanpa hadirmu lagiMencoba bertahan mengenang dirimu yang telah pergi.****Lagu lawas milik Caramel dengan judul mengenangmu, mengalun lembut di telinga dan memenuhi ruangan mobil yang di kendarai oleh Bram. Bram tampak gelisah lalu menganti lagu itu dengan lagu yang lebih santai namun bukan untuk mengenang masa-masa menyedihkan."Kenapa di ganti? Kamu belum bisa mengikhlaskan kepergiannya Mbak Galuh, Bram?" tanya Dinda.
****Dinda sudah mengatur pertemuan Amel dengan Samudra, kali ini tidak di rumahnya. Akan tetapi, Dinda sudah menyiapkan tempat yang romantis untuk mereka berdua. Gamis cantik yang belum sempat Dinda pakai, ia berikan pada Amel dan memintanya untuk memakai gamis itu saat pertemuan nanti. Bahkan, Dinda lah yang mengantar Amel ke tempat yang telah di tentukan olehnya."Tapi, Bu, ini terlalu mewah untukku. Aku merasa tak pantas memakai ini semua!" Amel menolak. Ia merasa mau di pakaikan baju sebagus apapun tetap saja ia perempuan yang berlumur dosa. Melahirkan seorang anak tanpa status pernikahan."Mbak Amel, kamu cantik, kamu pantas untuk bahagia." Dinda terus mencoba meyakinkan Amel. Walau bagaimanapun Amel adalah korban dari mantan suaminya. Setidaknya, ia harus membantu mengembalikan kepercayaan diri Amel, sampai ia benar-benar menemukan kebahagiaannya."Ayo, lekas pakai bajunya, aku
****"Mariah, kamukah itu?" Dinda mengernyitkan keningnya, melihat Mariah yang berdiri di depannya, jelas banyak berubah dengan Mariah yang di kenalnya selama ini."Iya, ini aku, Mbak!" ucap Mariah sambil tersenyum.Dinda terdiam. Ia khawatir Mariah akan melakukan hal yang membahayakannya seperti dulu."Mbak jangan takut, aku sengaja datang ke sini untuk meminta maaf sama Mbak Dinda!" ucapnya lagi.Dinda masih bergeming. Mariah menurunkan anak kecil itu dari gendongannya hingga anak itu duduk beralaskan rumput taman. Kemudian Mariah menurunkan tubuhnya sampai berjongkok. Tidak sampai di situ, Mariah seperti hendak bersujud tepat di kakipermpuan yang dulu telah di sakitinya."Mar, Bangun, Mar! Kamu mau ngapain, Mar?" teriak Dinda. Ia mundur beberapa langkah demi menghindari Mariah yang masih bersimpuh."Mbak Dinda, Maafkan aku! Aku memang salah sudah merebu
****"Dua minggu lagi aku akan menikahi Dinda, Ma. Aku harap, Mama bisa menerima keputusan ini dengan hati yang lapang!" ucap Bram. "Hm, apa kamu sudah pikirkan baik-baik? Masalahnya, Helmi mengidap penyakit kelam*in. Ada kemungkinan Dinda juga sudah tertular, Bram!" sahut Wulan."Beberapa hari lalu, Dinda sudah melakukan cek darah di sebuah klinik. Alhamdulilah, hasilnya negatif.""Apa? Jadi Dinda baik-baik saja?" seru Helmi. Ia baru saja datang dan ikut bergabung dengan Wulan dan Bram."Ya, Dinda negatif, Hel!""Lalu, dari mana sumber penyakit ini? Karena akhir-akhir ini aku tidak pernah melakukan hubungan itu dengan perempuan manapun!" umpat Helmi kesal."Coba kamu ingat-ingat lagi! Mungkin kamu pernah transfusi darah atau menggunakan jarum suntik yang tidak steril? Karena penularan penyakit itu tidak melulu dari hubungan badan saja, Hel!""Aku bukan pem
****"Bram, silakan duduk!" sambut Abi Ahmad terdengar ramah.Bram mengangguk dan mengikuti perintah Abi Ahmad. Ia sedikit demi sedikit berusaha mengurai kegugupannya di depan orang tuanya Dinda.Bibi datang dengan nampan berisi minuman di tangannya. Dinda dengan cekatan membantu pekerjaan ART-nya.'Sungguh, calon istri idaman!' puji Bram dalam hati."Maksud kedatangan Nak Bram sudah kami dengar dari Dinda. Namun, kali ini kami ingin mendengarnya langsung dari Nak Bram. Apa keberatan?" Pertanyaan Abi Ahmad mampu meluluh lantakkan pertahanan Bram untuk tetap tenang di depan orang tua kekasihnya. Namun, detik kemudian Bram berhasil menguasai dirinya kembali."Bismillahirrohmanirrohim, saya datang kesini karena saya ingin meminta restu dari Abi dan Umi. Saya mencintai Adinda dan berniat menikahinya dalam waktu dekat. Itupun jika Abi dan Umi memberikan restu."Singkat, padat dan j
****Samudra bertamu dengan membawa kabar baik untuk Dinda, ia akan melakukan pernikahan dengan Amel dalam waktu dekat ini."Selamat, ya, Sam. Akhirnya kamu menemukan cinta sejatimu di rumahku!" kelakar Dinda setelah memberi ucapan selamat untuk Samudra."Haha, kamu bisa aja, Din! Tapi ... Maaf,nih, mungkin setelah aku menikahi Amel, Amel akan berhenti bekerja sebagi baby sitternya Alif. Kamu nggak pa-pa, kan?" tanya Samudra ragu-ragu."Nggak pa-pa, Sam. Lagipula, aku sudah memprediksikan ini. Mana mungkin istri seorang pengusaha masih bekerja jadi baby sitter di rumahku?" sahut Dinda."Makasih, untuk pengertiannya, Din. Kamu memang sahabat terbaikku!""Sama-sama, tapi jangan lupa kamu harus jaga Amel layaknya berlian!" tegas Dinda."Siap!"Dinda semringah melihat lembaran undangan berwarna cream di tangannya. Nama Amelia dan Samudra tertulis di sana dengan indah. Ia jadi membayangkan bagaimana pernikahannya nanti dengan Samudra? Apa harus meriah atau han
****"Hai, Om Bram!" Alif menyambut Bram dengan sangat ramah. Bahkan, kadang-kadang ia tak akan sungkan untuk memeluk lelaki dewasa itu."Apa kabarmu? Bagaimana sekolahmu?" tanya Bram pada bocah itu."Kabarku baik dan sekolahku sangat menyenangkan. Aku sudah bilang pada teman-temanku, kalau Om Bram sebentar lagi menjadi papaku!" Dengan polosnya Alif bercerita."Wow! Alif di ajarin siapa cerita-cerita begitu?" Dinda tampak bertanduk mendengar cerita dua lelaki beda usia di depannya."Memangnya nggak boleh, ya, Bunda?" Alif balik bertanya, tatapannya berubah menjadi sendu."Sutt!" Bram memberi kode isyarat."Em, boleh. Tapi cuma ke teman dekat saja ,ya!" jawab Dinda sedikit terpaksa karena kode dari Bram."Siapa teman dekatnya Alif?" Bram menyela pembicaraan antara Dinda dan Alif."Itu, anaknya Bu RT. Namanya Salwa, Om."
****"Pak, bangun, Pak! Ini sudah siang, Pak Helmi sudah melewatkan sarapan dan minum obat setengah jam yang lalu." Rena memberanikan diri untuk membangunkan Helmi."Hoam!" Helmi menguap sambil menggeliat. Entah kenapa akhir-akhir ini ia sering mengantuk padahal semalam tidurnya sangat nyenyak."Ini sarapan dan obatnya saya taruh di sini, ya!" ucap Rena lagi. Lalu, ia kembali keluar kamar karena ada pekerjaan yang harus di selesaikannya.Helmi berjalan tertatih, tangannya bertumpu pada tembok. Ia melakukan terapi sendirian. Dari tempat tidur ke kamar mandi saja, Helmi membutuhkan waktu yang lumayan lama, karena kakinya terasa sangat lemas."Argh, andai saja aku tak ceroboh,tak mungkin aku akan menderita seperti ini!" gerutu Helmi. Dengan penuh perjuangan, akhirnya ia sampai juga di kamar mandi.Di dapur Rena berpapasan dengan Wulan, jangankan menyapa dengan ramah, sekadar senyum pun tidak.
****Seminggu kemudian dari kejadian Bram mengenalkan Dinda sebagai calon istrinya, kesehatan Helmi kembali menurun. Kepalanya yang sering tiba-tiba sakit dan demam tinggi sering menyerangnya malam-malam. Beruntung ia sudah mendapatkan orang yang bersedia untuk merawat serta mengurus semua keperluannya. Dari mulai makan, menyiapkan pakaian, juga hal-hal kecil lainnya."Hel, apa kamu yakin ingin mengurus Amera sedangkan kondisi kamu saja seperti ini?" tanya Wulan. Ia tiba-tiba masuk kamar dengan wajah yang kusut. Pasti gara-gara belum di kasih jatah bulanan."Terus kalau bukan kita yang urus, mau siapa lagi, Ma?" Helmi balik menatap mamanya."Ya, misal di titip di panti asuhan. Kita bisa menjenguknya kapanpun kita mau. Iya, kan?" ucap Wulan sambil menunduk.Sebenarnya ia tak enak memberi ide seperti ini kepada Helmi. Apalagi, dulu ia sangat menginginkan cucu perempuan dari Helmi. Tetapi ketika Helmi
*****Sore hari, Helmi pulang ke rumah. Baru saja ia sampai di ruang tamu, Wulan menyambutnya dengan bibir yang mengerucut."Hel, bagaimana kabar si Amera? Apa sudah ada kemajuan hari ini?" tanya Wulan dengan mata yang sedikit mendelik."Belum, Ma.""Harus berapa lama lagi dia di rawat di NICU? Lama-lama bisa tekor persediaan uang kita, tabungan Mama sudah mulai berkurang, loh!" sungut Wulan, tampak sedikit kesal."Sabar, ya,Ma. Kita berdo'a untuk Amera agar berat badannya cepat stabil dan bisa di rawat di rumah saja.""Pasti," sahut Wulan datar."Aku mandi dulu, ya, Ma.""Hm!"Helmi mengayuh roda kursi yang ia duduki dengan dua tangannya. Ia harus belajar mandiri, apalagi nanti kalau Amera sudah pulang ke rumah, ia harus bisa mengurus diri sendiri dan mengasuh Amera sekaligus.Helmi mengguyur tubuhnya yang terasa lengket dengan air hangat. Aroma sabun mandi yang menyegarkan menguar dari t
****Bram tampak segar sore ini, setelah mandi dan bersiap-siap ia segera melangkah ke kamar putrinya dengan cepat."Kamu sudah siap, Laura?" teriak Bram sambil mengetuk pintu kamar putrinya yang mulai beranjak remaja."Sedikit lagi, Pa!" teriaknya dari dalam tanpa membukakan pintu untuk papanya."Huh, perempuan sama saja! Masih bocah atau dewasa sama saja, sama-sama suka lama kalau dandan!" gerutu Bram di depan pintu kamar anaknya."Papa tunggu di depan saja, ya!" "Iya, Pa."Bram berjalan ke depan dengan gontai sambil bersiul-siul. Wajahnya kali ini tampak riang tak sekusut sebelumnya, berharap apa yang telah di susun rapi dengan putrinya berjalan sesuai dengan keinginannya.Setengah jam kemudian, Laura menghampirinya sambil senyum-senyum. Dandanan Laura kali ini bikin sakit mata. Bagaimana tidak? Dia memakai rok selutut warna kuning, di padukan dengan atasan k