****Kadang kumasih tak percayaKau pergi dan takkan kembaliBayangmu masih selalu menghantuiSeakan kau nyata dalam khayalkuSelamat tinggal kekasih, damailah dalam tidurmuBiarkan kisah kita menjadi kenanganDi sini aku sendiri tanpa hadirmu lagiMencoba bertahan mengenang dirimuSelamat tinggal kekasih, damailah dalam tidurmuBiarkan kisah kita menjadi kenanganDi sini aku sendiri tanpa hadirmu lagiMencoba bertahan mengenang dirimu yang telah pergi.****Lagu lawas milik Caramel dengan judul mengenangmu, mengalun lembut di telinga dan memenuhi ruangan mobil yang di kendarai oleh Bram. Bram tampak gelisah lalu menganti lagu itu dengan lagu yang lebih santai namun bukan untuk mengenang masa-masa menyedihkan."Kenapa di ganti? Kamu belum bisa mengikhlaskan kepergiannya Mbak Galuh, Bram?" tanya Dinda.
****Dinda sudah mengatur pertemuan Amel dengan Samudra, kali ini tidak di rumahnya. Akan tetapi, Dinda sudah menyiapkan tempat yang romantis untuk mereka berdua. Gamis cantik yang belum sempat Dinda pakai, ia berikan pada Amel dan memintanya untuk memakai gamis itu saat pertemuan nanti. Bahkan, Dinda lah yang mengantar Amel ke tempat yang telah di tentukan olehnya."Tapi, Bu, ini terlalu mewah untukku. Aku merasa tak pantas memakai ini semua!" Amel menolak. Ia merasa mau di pakaikan baju sebagus apapun tetap saja ia perempuan yang berlumur dosa. Melahirkan seorang anak tanpa status pernikahan."Mbak Amel, kamu cantik, kamu pantas untuk bahagia." Dinda terus mencoba meyakinkan Amel. Walau bagaimanapun Amel adalah korban dari mantan suaminya. Setidaknya, ia harus membantu mengembalikan kepercayaan diri Amel, sampai ia benar-benar menemukan kebahagiaannya."Ayo, lekas pakai bajunya, aku
****Helmi di antar beberapa warga ke rumahnya dalam keadaan pingsan. "Loh, loh, ini anak saya kenapa?" Wulan kaget bukan kepalang ketika mendapatkan anaknya tak sadarkan diri dalam keadaan babak belur, sampai-sampai ia hampir tak mengenalinya."Saya tidak tahu, Bu. Saya dan yang lainnya menemukan Pak Helmi sudah begini. Mobilnya ada di tempat kejadian," jelas salah satu warga."Dimana tempat kejadiannya?" tanya Wulan lagi."Itu di tanah kosong yang dekat dari sini, Bu.""Astaga, Helmi," gumam Wulan sambil menangis.Sepuluh menit kemudian, Helmi tak kunjung siuman. Ketakutan akan kehilangan Helmi semakin menjadi-jadi ketika anak lelakinya itu tak sadar-sadar."Bagaimana kalau di bawa ke rumah sakit saja, sepertinya Pak Helmi keadaannya parah banget." Warga lainnya mengusulkan."Kalau begitu, tolong pesankan taksi online untuk membawa anakku ke ruma
****Tahlilan hari ke-40 meninggalnya Galuh berjalan dengan lancar. Saudara dan tetangga banyak yang hadir untuk ikut mendo'akan almarhumah, Helmi dan Wulan juga ikut serta mekipun hubungan Bram dan Wulan sedang tidak baik."Hel, kamu sakit? Kenapa memakai kursi roda?" tegur Bram pada Helmi. "Iya, kakiku keseleo, Bram." Helmi berbohong."Oh, sudah di urut atau di bawa ke Dokter?""Sudah, ini lagi nunggu pemulihannya saja.""Semoga cepat sembuh!""Makasih, Bram.""Bram, kamu ini sama mertua nggak ada perhatiannya sama sekali, mentang-mentang anakku sudah meninggal. Pesankan taksi online, dong!" Wulan sedikit menggerutu."Loh, nggak bawa mobil?""Mobilku di j--" "Maksudnya mobil Helmi di bengkel, Bram. Lagipula kaki Helmi, kan sedang sakit, Bram. Gimana, sih, kamu ini?" Wulan memotong ucapan Helmi yang hendak bilang kalau
****"Pak, tunggu di sini saja, Ibu Mariah sedang di tangani oleh Dokter bersalin!" "Saya suaminya, saya ingin menemaninya melahirkan, Pak. Tolong!" Tentu saja Helmi mengaku masih suaminya Mariah, agar di izinkan menemani perjuangan Mariah melahirkan putri perempuannya."Maaf, tidak bisa, Pak. Tunggu pihak Dokter saja yang memanggil Bapak!" Petugas itu tetap menolak."Ya sudah, tunggu di sini saja. Dulu saja kamu tak pernah menemani Dinda saat melahirkan anak-anakmu, kan?" sela Wulan, mencoba menenangkan Helmi.Helmi malas berdebat. Ia memilih diam tak menanggapi ucapan mamanya. Ia merapalkan do'a dalam hati untuk keselamatan bayi yang masih dalam kandungan Mariah.Satu jam berlalu. Namun, tak kunjung terdengar suara tangisan bayi dari dalam ruangan. Helmi panik pikirannya melanglang jauh entah kemana. Apalagi, akhir-akhir ini ia sering mencari informasi di situs google terk
****pasca beberapa jam operasi Mariah langsung di ajarkan untuk belajar miring kiri, miring kanan dan sekarang sudah mulai belajar bangun. Sungguh perkembangan yang sangat bagus!"Sust, dimana anak saya? Saya ingin sekali melihatnya." Mariah mencoba menanyakan keberadaan anaknya pada Perawat yang mengantarkan makanan untuknya."Mohon maaf, Ibu, bayinya sedang di rawat di NICU. Bayi Ibu, kan terlahir prematur jadi harus mendapatkan perawatan insentif agar berat badannya normal dan paru-parunya berkembang dengan baik.""Saya ingin melihatnya," ulang Mariah sedih."Nanti, ya, Bu. Kalau keadaan Ibu sudah mulai membaik. Habis sarapan Ibu bisa belajar berjalan, agar Ibu bisa cepat bertemu dengan bayi Ibu.""Baik, Sust." Sekarang, yang menjadi penyemangatnya bukan Helmi lagi, tapi bayi yang beberapa jam lalu ia lahirkan dengan perjuangan yang luar biasa. Ia melewati pendarahan
****Kabar Mariah melahirkan sudah sampai ke telinga Bram. Tentu saja Wulan yang mengabarinya, sekaligus meminta sejumlah uang dalam bentuk sumbangan untuk biaya perawatan cucunya yang prematur."Selamat, Hel. Akhirnya, kamu kesampaian juga punya anak perempuan," ucap Bram saat menjenguk anggota baru di keluarga Helmi."Ya, meskipun pada akhirnya aku bercerai juga dari perempuan itu.""Bisa begitu? Dulu kamu mengkhianati Dinda gara-gara dia. Seharusnya, kedudukannya akan lebih tinggi dari Dinda. Minimal kamu bisa bertahan dengannya hingga 20 tahun pernikahan.""Aku tidak ingin membahas masa lalu. Namun kalau bisa, aku ingin kembali dengan Dinda dan membesarkan anak-anakku, Bram." Degh!'Apa dia bilang?'Bram terkekeh mendengar ucapan Helmi."By the way, itu kaki masih belum sembuh? Berobat ke Dokter saja, sepet lihatnya duduk di kursi roda mul
****Bram tampak segar sore ini, setelah mandi dan bersiap-siap ia segera melangkah ke kamar putrinya dengan cepat."Kamu sudah siap, Laura?" teriak Bram sambil mengetuk pintu kamar putrinya yang mulai beranjak remaja."Sedikit lagi, Pa!" teriaknya dari dalam tanpa membukakan pintu untuk papanya."Huh, perempuan sama saja! Masih bocah atau dewasa sama saja, sama-sama suka lama kalau dandan!" gerutu Bram di depan pintu kamar anaknya."Papa tunggu di depan saja, ya!" "Iya, Pa."Bram berjalan ke depan dengan gontai sambil bersiul-siul. Wajahnya kali ini tampak riang tak sekusut sebelumnya, berharap apa yang telah di susun rapi dengan putrinya berjalan sesuai dengan keinginannya.Setengah jam kemudian, Laura menghampirinya sambil senyum-senyum. Dandanan Laura kali ini bikin sakit mata. Bagaimana tidak? Dia memakai rok selutut warna kuning, di padukan dengan atasan k