****Dinda sudah mengatur pertemuan Amel dengan Samudra, kali ini tidak di rumahnya. Akan tetapi, Dinda sudah menyiapkan tempat yang romantis untuk mereka berdua. Gamis cantik yang belum sempat Dinda pakai, ia berikan pada Amel dan memintanya untuk memakai gamis itu saat pertemuan nanti. Bahkan, Dinda lah yang mengantar Amel ke tempat yang telah di tentukan olehnya."Tapi, Bu, ini terlalu mewah untukku. Aku merasa tak pantas memakai ini semua!" Amel menolak. Ia merasa mau di pakaikan baju sebagus apapun tetap saja ia perempuan yang berlumur dosa. Melahirkan seorang anak tanpa status pernikahan."Mbak Amel, kamu cantik, kamu pantas untuk bahagia." Dinda terus mencoba meyakinkan Amel. Walau bagaimanapun Amel adalah korban dari mantan suaminya. Setidaknya, ia harus membantu mengembalikan kepercayaan diri Amel, sampai ia benar-benar menemukan kebahagiaannya."Ayo, lekas pakai bajunya, aku
****Helmi di antar beberapa warga ke rumahnya dalam keadaan pingsan. "Loh, loh, ini anak saya kenapa?" Wulan kaget bukan kepalang ketika mendapatkan anaknya tak sadarkan diri dalam keadaan babak belur, sampai-sampai ia hampir tak mengenalinya."Saya tidak tahu, Bu. Saya dan yang lainnya menemukan Pak Helmi sudah begini. Mobilnya ada di tempat kejadian," jelas salah satu warga."Dimana tempat kejadiannya?" tanya Wulan lagi."Itu di tanah kosong yang dekat dari sini, Bu.""Astaga, Helmi," gumam Wulan sambil menangis.Sepuluh menit kemudian, Helmi tak kunjung siuman. Ketakutan akan kehilangan Helmi semakin menjadi-jadi ketika anak lelakinya itu tak sadar-sadar."Bagaimana kalau di bawa ke rumah sakit saja, sepertinya Pak Helmi keadaannya parah banget." Warga lainnya mengusulkan."Kalau begitu, tolong pesankan taksi online untuk membawa anakku ke ruma
****Tahlilan hari ke-40 meninggalnya Galuh berjalan dengan lancar. Saudara dan tetangga banyak yang hadir untuk ikut mendo'akan almarhumah, Helmi dan Wulan juga ikut serta mekipun hubungan Bram dan Wulan sedang tidak baik."Hel, kamu sakit? Kenapa memakai kursi roda?" tegur Bram pada Helmi. "Iya, kakiku keseleo, Bram." Helmi berbohong."Oh, sudah di urut atau di bawa ke Dokter?""Sudah, ini lagi nunggu pemulihannya saja.""Semoga cepat sembuh!""Makasih, Bram.""Bram, kamu ini sama mertua nggak ada perhatiannya sama sekali, mentang-mentang anakku sudah meninggal. Pesankan taksi online, dong!" Wulan sedikit menggerutu."Loh, nggak bawa mobil?""Mobilku di j--" "Maksudnya mobil Helmi di bengkel, Bram. Lagipula kaki Helmi, kan sedang sakit, Bram. Gimana, sih, kamu ini?" Wulan memotong ucapan Helmi yang hendak bilang kalau
****"Pak, tunggu di sini saja, Ibu Mariah sedang di tangani oleh Dokter bersalin!" "Saya suaminya, saya ingin menemaninya melahirkan, Pak. Tolong!" Tentu saja Helmi mengaku masih suaminya Mariah, agar di izinkan menemani perjuangan Mariah melahirkan putri perempuannya."Maaf, tidak bisa, Pak. Tunggu pihak Dokter saja yang memanggil Bapak!" Petugas itu tetap menolak."Ya sudah, tunggu di sini saja. Dulu saja kamu tak pernah menemani Dinda saat melahirkan anak-anakmu, kan?" sela Wulan, mencoba menenangkan Helmi.Helmi malas berdebat. Ia memilih diam tak menanggapi ucapan mamanya. Ia merapalkan do'a dalam hati untuk keselamatan bayi yang masih dalam kandungan Mariah.Satu jam berlalu. Namun, tak kunjung terdengar suara tangisan bayi dari dalam ruangan. Helmi panik pikirannya melanglang jauh entah kemana. Apalagi, akhir-akhir ini ia sering mencari informasi di situs google terk
****pasca beberapa jam operasi Mariah langsung di ajarkan untuk belajar miring kiri, miring kanan dan sekarang sudah mulai belajar bangun. Sungguh perkembangan yang sangat bagus!"Sust, dimana anak saya? Saya ingin sekali melihatnya." Mariah mencoba menanyakan keberadaan anaknya pada Perawat yang mengantarkan makanan untuknya."Mohon maaf, Ibu, bayinya sedang di rawat di NICU. Bayi Ibu, kan terlahir prematur jadi harus mendapatkan perawatan insentif agar berat badannya normal dan paru-parunya berkembang dengan baik.""Saya ingin melihatnya," ulang Mariah sedih."Nanti, ya, Bu. Kalau keadaan Ibu sudah mulai membaik. Habis sarapan Ibu bisa belajar berjalan, agar Ibu bisa cepat bertemu dengan bayi Ibu.""Baik, Sust." Sekarang, yang menjadi penyemangatnya bukan Helmi lagi, tapi bayi yang beberapa jam lalu ia lahirkan dengan perjuangan yang luar biasa. Ia melewati pendarahan
****Kabar Mariah melahirkan sudah sampai ke telinga Bram. Tentu saja Wulan yang mengabarinya, sekaligus meminta sejumlah uang dalam bentuk sumbangan untuk biaya perawatan cucunya yang prematur."Selamat, Hel. Akhirnya, kamu kesampaian juga punya anak perempuan," ucap Bram saat menjenguk anggota baru di keluarga Helmi."Ya, meskipun pada akhirnya aku bercerai juga dari perempuan itu.""Bisa begitu? Dulu kamu mengkhianati Dinda gara-gara dia. Seharusnya, kedudukannya akan lebih tinggi dari Dinda. Minimal kamu bisa bertahan dengannya hingga 20 tahun pernikahan.""Aku tidak ingin membahas masa lalu. Namun kalau bisa, aku ingin kembali dengan Dinda dan membesarkan anak-anakku, Bram." Degh!'Apa dia bilang?'Bram terkekeh mendengar ucapan Helmi."By the way, itu kaki masih belum sembuh? Berobat ke Dokter saja, sepet lihatnya duduk di kursi roda mul
****Bram tampak segar sore ini, setelah mandi dan bersiap-siap ia segera melangkah ke kamar putrinya dengan cepat."Kamu sudah siap, Laura?" teriak Bram sambil mengetuk pintu kamar putrinya yang mulai beranjak remaja."Sedikit lagi, Pa!" teriaknya dari dalam tanpa membukakan pintu untuk papanya."Huh, perempuan sama saja! Masih bocah atau dewasa sama saja, sama-sama suka lama kalau dandan!" gerutu Bram di depan pintu kamar anaknya."Papa tunggu di depan saja, ya!" "Iya, Pa."Bram berjalan ke depan dengan gontai sambil bersiul-siul. Wajahnya kali ini tampak riang tak sekusut sebelumnya, berharap apa yang telah di susun rapi dengan putrinya berjalan sesuai dengan keinginannya.Setengah jam kemudian, Laura menghampirinya sambil senyum-senyum. Dandanan Laura kali ini bikin sakit mata. Bagaimana tidak? Dia memakai rok selutut warna kuning, di padukan dengan atasan k
*****Sore hari, Helmi pulang ke rumah. Baru saja ia sampai di ruang tamu, Wulan menyambutnya dengan bibir yang mengerucut."Hel, bagaimana kabar si Amera? Apa sudah ada kemajuan hari ini?" tanya Wulan dengan mata yang sedikit mendelik."Belum, Ma.""Harus berapa lama lagi dia di rawat di NICU? Lama-lama bisa tekor persediaan uang kita, tabungan Mama sudah mulai berkurang, loh!" sungut Wulan, tampak sedikit kesal."Sabar, ya,Ma. Kita berdo'a untuk Amera agar berat badannya cepat stabil dan bisa di rawat di rumah saja.""Pasti," sahut Wulan datar."Aku mandi dulu, ya, Ma.""Hm!"Helmi mengayuh roda kursi yang ia duduki dengan dua tangannya. Ia harus belajar mandiri, apalagi nanti kalau Amera sudah pulang ke rumah, ia harus bisa mengurus diri sendiri dan mengasuh Amera sekaligus.Helmi mengguyur tubuhnya yang terasa lengket dengan air hangat. Aroma sabun mandi yang menyegarkan menguar dari t
****"Mariah, kamukah itu?" Dinda mengernyitkan keningnya, melihat Mariah yang berdiri di depannya, jelas banyak berubah dengan Mariah yang di kenalnya selama ini."Iya, ini aku, Mbak!" ucap Mariah sambil tersenyum.Dinda terdiam. Ia khawatir Mariah akan melakukan hal yang membahayakannya seperti dulu."Mbak jangan takut, aku sengaja datang ke sini untuk meminta maaf sama Mbak Dinda!" ucapnya lagi.Dinda masih bergeming. Mariah menurunkan anak kecil itu dari gendongannya hingga anak itu duduk beralaskan rumput taman. Kemudian Mariah menurunkan tubuhnya sampai berjongkok. Tidak sampai di situ, Mariah seperti hendak bersujud tepat di kakipermpuan yang dulu telah di sakitinya."Mar, Bangun, Mar! Kamu mau ngapain, Mar?" teriak Dinda. Ia mundur beberapa langkah demi menghindari Mariah yang masih bersimpuh."Mbak Dinda, Maafkan aku! Aku memang salah sudah merebu
****"Dua minggu lagi aku akan menikahi Dinda, Ma. Aku harap, Mama bisa menerima keputusan ini dengan hati yang lapang!" ucap Bram. "Hm, apa kamu sudah pikirkan baik-baik? Masalahnya, Helmi mengidap penyakit kelam*in. Ada kemungkinan Dinda juga sudah tertular, Bram!" sahut Wulan."Beberapa hari lalu, Dinda sudah melakukan cek darah di sebuah klinik. Alhamdulilah, hasilnya negatif.""Apa? Jadi Dinda baik-baik saja?" seru Helmi. Ia baru saja datang dan ikut bergabung dengan Wulan dan Bram."Ya, Dinda negatif, Hel!""Lalu, dari mana sumber penyakit ini? Karena akhir-akhir ini aku tidak pernah melakukan hubungan itu dengan perempuan manapun!" umpat Helmi kesal."Coba kamu ingat-ingat lagi! Mungkin kamu pernah transfusi darah atau menggunakan jarum suntik yang tidak steril? Karena penularan penyakit itu tidak melulu dari hubungan badan saja, Hel!""Aku bukan pem
****"Bram, silakan duduk!" sambut Abi Ahmad terdengar ramah.Bram mengangguk dan mengikuti perintah Abi Ahmad. Ia sedikit demi sedikit berusaha mengurai kegugupannya di depan orang tuanya Dinda.Bibi datang dengan nampan berisi minuman di tangannya. Dinda dengan cekatan membantu pekerjaan ART-nya.'Sungguh, calon istri idaman!' puji Bram dalam hati."Maksud kedatangan Nak Bram sudah kami dengar dari Dinda. Namun, kali ini kami ingin mendengarnya langsung dari Nak Bram. Apa keberatan?" Pertanyaan Abi Ahmad mampu meluluh lantakkan pertahanan Bram untuk tetap tenang di depan orang tua kekasihnya. Namun, detik kemudian Bram berhasil menguasai dirinya kembali."Bismillahirrohmanirrohim, saya datang kesini karena saya ingin meminta restu dari Abi dan Umi. Saya mencintai Adinda dan berniat menikahinya dalam waktu dekat. Itupun jika Abi dan Umi memberikan restu."Singkat, padat dan j
****Samudra bertamu dengan membawa kabar baik untuk Dinda, ia akan melakukan pernikahan dengan Amel dalam waktu dekat ini."Selamat, ya, Sam. Akhirnya kamu menemukan cinta sejatimu di rumahku!" kelakar Dinda setelah memberi ucapan selamat untuk Samudra."Haha, kamu bisa aja, Din! Tapi ... Maaf,nih, mungkin setelah aku menikahi Amel, Amel akan berhenti bekerja sebagi baby sitternya Alif. Kamu nggak pa-pa, kan?" tanya Samudra ragu-ragu."Nggak pa-pa, Sam. Lagipula, aku sudah memprediksikan ini. Mana mungkin istri seorang pengusaha masih bekerja jadi baby sitter di rumahku?" sahut Dinda."Makasih, untuk pengertiannya, Din. Kamu memang sahabat terbaikku!""Sama-sama, tapi jangan lupa kamu harus jaga Amel layaknya berlian!" tegas Dinda."Siap!"Dinda semringah melihat lembaran undangan berwarna cream di tangannya. Nama Amelia dan Samudra tertulis di sana dengan indah. Ia jadi membayangkan bagaimana pernikahannya nanti dengan Samudra? Apa harus meriah atau han
****"Hai, Om Bram!" Alif menyambut Bram dengan sangat ramah. Bahkan, kadang-kadang ia tak akan sungkan untuk memeluk lelaki dewasa itu."Apa kabarmu? Bagaimana sekolahmu?" tanya Bram pada bocah itu."Kabarku baik dan sekolahku sangat menyenangkan. Aku sudah bilang pada teman-temanku, kalau Om Bram sebentar lagi menjadi papaku!" Dengan polosnya Alif bercerita."Wow! Alif di ajarin siapa cerita-cerita begitu?" Dinda tampak bertanduk mendengar cerita dua lelaki beda usia di depannya."Memangnya nggak boleh, ya, Bunda?" Alif balik bertanya, tatapannya berubah menjadi sendu."Sutt!" Bram memberi kode isyarat."Em, boleh. Tapi cuma ke teman dekat saja ,ya!" jawab Dinda sedikit terpaksa karena kode dari Bram."Siapa teman dekatnya Alif?" Bram menyela pembicaraan antara Dinda dan Alif."Itu, anaknya Bu RT. Namanya Salwa, Om."
****"Pak, bangun, Pak! Ini sudah siang, Pak Helmi sudah melewatkan sarapan dan minum obat setengah jam yang lalu." Rena memberanikan diri untuk membangunkan Helmi."Hoam!" Helmi menguap sambil menggeliat. Entah kenapa akhir-akhir ini ia sering mengantuk padahal semalam tidurnya sangat nyenyak."Ini sarapan dan obatnya saya taruh di sini, ya!" ucap Rena lagi. Lalu, ia kembali keluar kamar karena ada pekerjaan yang harus di selesaikannya.Helmi berjalan tertatih, tangannya bertumpu pada tembok. Ia melakukan terapi sendirian. Dari tempat tidur ke kamar mandi saja, Helmi membutuhkan waktu yang lumayan lama, karena kakinya terasa sangat lemas."Argh, andai saja aku tak ceroboh,tak mungkin aku akan menderita seperti ini!" gerutu Helmi. Dengan penuh perjuangan, akhirnya ia sampai juga di kamar mandi.Di dapur Rena berpapasan dengan Wulan, jangankan menyapa dengan ramah, sekadar senyum pun tidak.
****Seminggu kemudian dari kejadian Bram mengenalkan Dinda sebagai calon istrinya, kesehatan Helmi kembali menurun. Kepalanya yang sering tiba-tiba sakit dan demam tinggi sering menyerangnya malam-malam. Beruntung ia sudah mendapatkan orang yang bersedia untuk merawat serta mengurus semua keperluannya. Dari mulai makan, menyiapkan pakaian, juga hal-hal kecil lainnya."Hel, apa kamu yakin ingin mengurus Amera sedangkan kondisi kamu saja seperti ini?" tanya Wulan. Ia tiba-tiba masuk kamar dengan wajah yang kusut. Pasti gara-gara belum di kasih jatah bulanan."Terus kalau bukan kita yang urus, mau siapa lagi, Ma?" Helmi balik menatap mamanya."Ya, misal di titip di panti asuhan. Kita bisa menjenguknya kapanpun kita mau. Iya, kan?" ucap Wulan sambil menunduk.Sebenarnya ia tak enak memberi ide seperti ini kepada Helmi. Apalagi, dulu ia sangat menginginkan cucu perempuan dari Helmi. Tetapi ketika Helmi
*****Sore hari, Helmi pulang ke rumah. Baru saja ia sampai di ruang tamu, Wulan menyambutnya dengan bibir yang mengerucut."Hel, bagaimana kabar si Amera? Apa sudah ada kemajuan hari ini?" tanya Wulan dengan mata yang sedikit mendelik."Belum, Ma.""Harus berapa lama lagi dia di rawat di NICU? Lama-lama bisa tekor persediaan uang kita, tabungan Mama sudah mulai berkurang, loh!" sungut Wulan, tampak sedikit kesal."Sabar, ya,Ma. Kita berdo'a untuk Amera agar berat badannya cepat stabil dan bisa di rawat di rumah saja.""Pasti," sahut Wulan datar."Aku mandi dulu, ya, Ma.""Hm!"Helmi mengayuh roda kursi yang ia duduki dengan dua tangannya. Ia harus belajar mandiri, apalagi nanti kalau Amera sudah pulang ke rumah, ia harus bisa mengurus diri sendiri dan mengasuh Amera sekaligus.Helmi mengguyur tubuhnya yang terasa lengket dengan air hangat. Aroma sabun mandi yang menyegarkan menguar dari t
****Bram tampak segar sore ini, setelah mandi dan bersiap-siap ia segera melangkah ke kamar putrinya dengan cepat."Kamu sudah siap, Laura?" teriak Bram sambil mengetuk pintu kamar putrinya yang mulai beranjak remaja."Sedikit lagi, Pa!" teriaknya dari dalam tanpa membukakan pintu untuk papanya."Huh, perempuan sama saja! Masih bocah atau dewasa sama saja, sama-sama suka lama kalau dandan!" gerutu Bram di depan pintu kamar anaknya."Papa tunggu di depan saja, ya!" "Iya, Pa."Bram berjalan ke depan dengan gontai sambil bersiul-siul. Wajahnya kali ini tampak riang tak sekusut sebelumnya, berharap apa yang telah di susun rapi dengan putrinya berjalan sesuai dengan keinginannya.Setengah jam kemudian, Laura menghampirinya sambil senyum-senyum. Dandanan Laura kali ini bikin sakit mata. Bagaimana tidak? Dia memakai rok selutut warna kuning, di padukan dengan atasan k