****"Pak, tunggu di sini saja, Ibu Mariah sedang di tangani oleh Dokter bersalin!" "Saya suaminya, saya ingin menemaninya melahirkan, Pak. Tolong!" Tentu saja Helmi mengaku masih suaminya Mariah, agar di izinkan menemani perjuangan Mariah melahirkan putri perempuannya."Maaf, tidak bisa, Pak. Tunggu pihak Dokter saja yang memanggil Bapak!" Petugas itu tetap menolak."Ya sudah, tunggu di sini saja. Dulu saja kamu tak pernah menemani Dinda saat melahirkan anak-anakmu, kan?" sela Wulan, mencoba menenangkan Helmi.Helmi malas berdebat. Ia memilih diam tak menanggapi ucapan mamanya. Ia merapalkan do'a dalam hati untuk keselamatan bayi yang masih dalam kandungan Mariah.Satu jam berlalu. Namun, tak kunjung terdengar suara tangisan bayi dari dalam ruangan. Helmi panik pikirannya melanglang jauh entah kemana. Apalagi, akhir-akhir ini ia sering mencari informasi di situs google terk
****pasca beberapa jam operasi Mariah langsung di ajarkan untuk belajar miring kiri, miring kanan dan sekarang sudah mulai belajar bangun. Sungguh perkembangan yang sangat bagus!"Sust, dimana anak saya? Saya ingin sekali melihatnya." Mariah mencoba menanyakan keberadaan anaknya pada Perawat yang mengantarkan makanan untuknya."Mohon maaf, Ibu, bayinya sedang di rawat di NICU. Bayi Ibu, kan terlahir prematur jadi harus mendapatkan perawatan insentif agar berat badannya normal dan paru-parunya berkembang dengan baik.""Saya ingin melihatnya," ulang Mariah sedih."Nanti, ya, Bu. Kalau keadaan Ibu sudah mulai membaik. Habis sarapan Ibu bisa belajar berjalan, agar Ibu bisa cepat bertemu dengan bayi Ibu.""Baik, Sust." Sekarang, yang menjadi penyemangatnya bukan Helmi lagi, tapi bayi yang beberapa jam lalu ia lahirkan dengan perjuangan yang luar biasa. Ia melewati pendarahan
****Kabar Mariah melahirkan sudah sampai ke telinga Bram. Tentu saja Wulan yang mengabarinya, sekaligus meminta sejumlah uang dalam bentuk sumbangan untuk biaya perawatan cucunya yang prematur."Selamat, Hel. Akhirnya, kamu kesampaian juga punya anak perempuan," ucap Bram saat menjenguk anggota baru di keluarga Helmi."Ya, meskipun pada akhirnya aku bercerai juga dari perempuan itu.""Bisa begitu? Dulu kamu mengkhianati Dinda gara-gara dia. Seharusnya, kedudukannya akan lebih tinggi dari Dinda. Minimal kamu bisa bertahan dengannya hingga 20 tahun pernikahan.""Aku tidak ingin membahas masa lalu. Namun kalau bisa, aku ingin kembali dengan Dinda dan membesarkan anak-anakku, Bram." Degh!'Apa dia bilang?'Bram terkekeh mendengar ucapan Helmi."By the way, itu kaki masih belum sembuh? Berobat ke Dokter saja, sepet lihatnya duduk di kursi roda mul
****Bram tampak segar sore ini, setelah mandi dan bersiap-siap ia segera melangkah ke kamar putrinya dengan cepat."Kamu sudah siap, Laura?" teriak Bram sambil mengetuk pintu kamar putrinya yang mulai beranjak remaja."Sedikit lagi, Pa!" teriaknya dari dalam tanpa membukakan pintu untuk papanya."Huh, perempuan sama saja! Masih bocah atau dewasa sama saja, sama-sama suka lama kalau dandan!" gerutu Bram di depan pintu kamar anaknya."Papa tunggu di depan saja, ya!" "Iya, Pa."Bram berjalan ke depan dengan gontai sambil bersiul-siul. Wajahnya kali ini tampak riang tak sekusut sebelumnya, berharap apa yang telah di susun rapi dengan putrinya berjalan sesuai dengan keinginannya.Setengah jam kemudian, Laura menghampirinya sambil senyum-senyum. Dandanan Laura kali ini bikin sakit mata. Bagaimana tidak? Dia memakai rok selutut warna kuning, di padukan dengan atasan k
*****Sore hari, Helmi pulang ke rumah. Baru saja ia sampai di ruang tamu, Wulan menyambutnya dengan bibir yang mengerucut."Hel, bagaimana kabar si Amera? Apa sudah ada kemajuan hari ini?" tanya Wulan dengan mata yang sedikit mendelik."Belum, Ma.""Harus berapa lama lagi dia di rawat di NICU? Lama-lama bisa tekor persediaan uang kita, tabungan Mama sudah mulai berkurang, loh!" sungut Wulan, tampak sedikit kesal."Sabar, ya,Ma. Kita berdo'a untuk Amera agar berat badannya cepat stabil dan bisa di rawat di rumah saja.""Pasti," sahut Wulan datar."Aku mandi dulu, ya, Ma.""Hm!"Helmi mengayuh roda kursi yang ia duduki dengan dua tangannya. Ia harus belajar mandiri, apalagi nanti kalau Amera sudah pulang ke rumah, ia harus bisa mengurus diri sendiri dan mengasuh Amera sekaligus.Helmi mengguyur tubuhnya yang terasa lengket dengan air hangat. Aroma sabun mandi yang menyegarkan menguar dari t
****Seminggu kemudian dari kejadian Bram mengenalkan Dinda sebagai calon istrinya, kesehatan Helmi kembali menurun. Kepalanya yang sering tiba-tiba sakit dan demam tinggi sering menyerangnya malam-malam. Beruntung ia sudah mendapatkan orang yang bersedia untuk merawat serta mengurus semua keperluannya. Dari mulai makan, menyiapkan pakaian, juga hal-hal kecil lainnya."Hel, apa kamu yakin ingin mengurus Amera sedangkan kondisi kamu saja seperti ini?" tanya Wulan. Ia tiba-tiba masuk kamar dengan wajah yang kusut. Pasti gara-gara belum di kasih jatah bulanan."Terus kalau bukan kita yang urus, mau siapa lagi, Ma?" Helmi balik menatap mamanya."Ya, misal di titip di panti asuhan. Kita bisa menjenguknya kapanpun kita mau. Iya, kan?" ucap Wulan sambil menunduk.Sebenarnya ia tak enak memberi ide seperti ini kepada Helmi. Apalagi, dulu ia sangat menginginkan cucu perempuan dari Helmi. Tetapi ketika Helmi
****"Pak, bangun, Pak! Ini sudah siang, Pak Helmi sudah melewatkan sarapan dan minum obat setengah jam yang lalu." Rena memberanikan diri untuk membangunkan Helmi."Hoam!" Helmi menguap sambil menggeliat. Entah kenapa akhir-akhir ini ia sering mengantuk padahal semalam tidurnya sangat nyenyak."Ini sarapan dan obatnya saya taruh di sini, ya!" ucap Rena lagi. Lalu, ia kembali keluar kamar karena ada pekerjaan yang harus di selesaikannya.Helmi berjalan tertatih, tangannya bertumpu pada tembok. Ia melakukan terapi sendirian. Dari tempat tidur ke kamar mandi saja, Helmi membutuhkan waktu yang lumayan lama, karena kakinya terasa sangat lemas."Argh, andai saja aku tak ceroboh,tak mungkin aku akan menderita seperti ini!" gerutu Helmi. Dengan penuh perjuangan, akhirnya ia sampai juga di kamar mandi.Di dapur Rena berpapasan dengan Wulan, jangankan menyapa dengan ramah, sekadar senyum pun tidak.
****"Hai, Om Bram!" Alif menyambut Bram dengan sangat ramah. Bahkan, kadang-kadang ia tak akan sungkan untuk memeluk lelaki dewasa itu."Apa kabarmu? Bagaimana sekolahmu?" tanya Bram pada bocah itu."Kabarku baik dan sekolahku sangat menyenangkan. Aku sudah bilang pada teman-temanku, kalau Om Bram sebentar lagi menjadi papaku!" Dengan polosnya Alif bercerita."Wow! Alif di ajarin siapa cerita-cerita begitu?" Dinda tampak bertanduk mendengar cerita dua lelaki beda usia di depannya."Memangnya nggak boleh, ya, Bunda?" Alif balik bertanya, tatapannya berubah menjadi sendu."Sutt!" Bram memberi kode isyarat."Em, boleh. Tapi cuma ke teman dekat saja ,ya!" jawab Dinda sedikit terpaksa karena kode dari Bram."Siapa teman dekatnya Alif?" Bram menyela pembicaraan antara Dinda dan Alif."Itu, anaknya Bu RT. Namanya Salwa, Om."