****
"Kamu sudah sadar, Din?" tanya Samudra ketika Dinda perlahan mengerjap-ngerjapkan matanya."Aku di mana?" Dinda seperti kebingungan mendapati ruangan yang serba putih."Kamu di rumah sakit, Din. Aku yang membawamu ke sini karena aku sangat khawatir dengan keadaanmu. Demammu sangat tinggi--""Kamu yang membawaku?" potong Dinda cepat."Ya."Dinda terdiam."Kenapa?" tanya Samudra lagi."Tidak ada apa-apa, Sam.""Apa kamu berharap lelaki itu yang membawamu ke sini?" Tebakan Samudra membuat Dinda salah tingkah di depan teman lelakinya itu."E-enggak begitu, Sam. Aku hanya kaget saja kamu yang membawaku. Padahal, yang aku tahu kamu tak sedang ada di sana.""Iya, aku datang untuk meminta maaf atas perbuatan mamaku. Akan tetapi ketika sampai, aku melihatmu pingsan di sofa dan lelaki bodoh itu hanya menatapmu tanpa menolongmu, Din."****Satu Jam, dua jam, bahkan tiga jam sudah berlalu. Namun, rasa sakit itu terus Helmi rasakan tanpa henti. Lalu ia memutuskan untuk membuat janji dengan Dokter spesialis lewat online."Mau kemana Hel?" tanya Wulan. ia jelas sangat penasaran sebab raut wajah anaknya terlihat sedang tidak baik-baik saja."Keluar, Ma." jawab Helmi pelan. Wajahnya ia buat seperti baik-baik saja, padahal wulan sudah curiga sejak tadi."Apa kamu sakit, Hel?" tanya Wulan lagi semakin curiga."Enggak, Ma. Ya sudah aku pamit dulu, ya!" ucap Helmi. Andai mamanya bisa menjadi teman berbicara, mungkin Helmi akan dengan senang hati berbagi dengannya. Akan tetapi, melihat sikap mamanya yang selalu memperburuk keadaan, ia tak berani ambil resiko yang akan membuatnya semakin lebih terpuruk lagi."Hati-hati, Hel!" Itu yang terucap dari bibir Wulan. Meskipun sebenarnya ia sangat yakin kalau H
****"Dinda, maafkan aku. Aku terlambat membuka pesan dari kamu. Aku sangat sibuk dan lupa mencharger ponsel ...."Tatapan Samudra beralih pada perempuan yang duduk tak jauh dari Dinda. Tatapan itu terus berlanjut sampai Samudra tak sadar buliran bening jatuh di kedua matanya."Ka--kamu--""Kamu kenapa, Sam?" potong Dinda cepat. Ia berdiri dari duduknya, ikut panik dengan Samudra yang tiba-tiba menangis seperti itu.Samudra bergeming."Sam, kamu sedang ngeprank kami, hah? Nggak lucu tahu, Sam!" gerutu Dinda dengan ketus.Samudra perlahan mendekat, Ia berjalan melewati Dinda begitu saja, membuat Dinda semakin tak mengerti dengan tingkah Samudra kali ini. Samudra menghambur memeluk Amel. Sedangkan Amel hanya tertunduk, dengan air mata yang sudah menganak sungai di pipinya.'Ada apa ini?'"Samudra, apa yang kamu lakukan? Lepaskan Amel, S
****Dulu Helmi merasa kuat, dengan gagah ia mengikuti hawa nafsunya. Tetapi tidak untuk sekarang, mau ke kamar mandi saja ia harus berjalan pelan-pelan sambil meringis menahan sakit yang luar biasa. Apalagi, jika sedang di depan mamanya, ia harus berakting baik-baik saja dan itu sangat menyiksa.'Apa ini karma yang harus aku jalani di sisa hidupku?'"Ah, tidak, jangan sampai pikiran buruk ini membuat tubuhku semakin drop. Aku akan sembuh!" gumam Helmi, ketika karma sempat melintas di pikirannya.Pagi itu, Helmi bersiap harus kembali ke rumah sakit untuk mengambil hasil pemeriksaan. Namun, Helmi tak memberitahu mamanya tentang tujuannya ke rumah sakit untuk apa."Hel, kamu itu kenapa, sih? Kalau ada apa-apa itu cerita sama Mama, bukan langsung pergi-pergi seperti ini!" ketus Wulan sambil cemberut."Ma, Helmi baik-baik saja, kok. Jangan khawatir!""Tapi Mama sering lihat kamu m
****Kesehatan Dinda yang belum betul-betul pulih tak menyurutkan niatnya untuk bertemu dengan Adam. Kerinduan pada anak pertamanya mampu mengalahkan rasa pusing di kepalanya."Pak, aku mau ke pesantren hari ini, Bapak bisa antarkan ke sana?" tanya Dinda penuh harap ketika panggilan teleponnya tersambung dengan Pak Dahlan. Sopir keluarganya. "Loh, Non Dinda nggak bilang dari semalam. Saya masih di rumah, gimana, dong?" sahut Pak Dahlan terdengar bingung."Gini, deh. Maaf banget sebelumnya mengganggu jatah liburnya, tapi nanti saya kasih tips dua kali lipat. Mau, ya?" rayu Dinda."Kalau masalah itu saya nggak pa-pa, Non. Tetapi, masalahnya saya masih di rumah. Apa tidak apa-apa, Non Dinda menunggu?""Enggak pa-pa aku nunggu aja. Terimakasih banyak, Pak!" Tut.Dinda mengakhiri sambungan telepon. Kemudian ia bergegas untuk sarapan terlebih dahulu. "
****Kadang kumasih tak percayaKau pergi dan takkan kembaliBayangmu masih selalu menghantuiSeakan kau nyata dalam khayalkuSelamat tinggal kekasih, damailah dalam tidurmuBiarkan kisah kita menjadi kenanganDi sini aku sendiri tanpa hadirmu lagiMencoba bertahan mengenang dirimuSelamat tinggal kekasih, damailah dalam tidurmuBiarkan kisah kita menjadi kenanganDi sini aku sendiri tanpa hadirmu lagiMencoba bertahan mengenang dirimu yang telah pergi.****Lagu lawas milik Caramel dengan judul mengenangmu, mengalun lembut di telinga dan memenuhi ruangan mobil yang di kendarai oleh Bram. Bram tampak gelisah lalu menganti lagu itu dengan lagu yang lebih santai namun bukan untuk mengenang masa-masa menyedihkan."Kenapa di ganti? Kamu belum bisa mengikhlaskan kepergiannya Mbak Galuh, Bram?" tanya Dinda.
****Dinda sudah mengatur pertemuan Amel dengan Samudra, kali ini tidak di rumahnya. Akan tetapi, Dinda sudah menyiapkan tempat yang romantis untuk mereka berdua. Gamis cantik yang belum sempat Dinda pakai, ia berikan pada Amel dan memintanya untuk memakai gamis itu saat pertemuan nanti. Bahkan, Dinda lah yang mengantar Amel ke tempat yang telah di tentukan olehnya."Tapi, Bu, ini terlalu mewah untukku. Aku merasa tak pantas memakai ini semua!" Amel menolak. Ia merasa mau di pakaikan baju sebagus apapun tetap saja ia perempuan yang berlumur dosa. Melahirkan seorang anak tanpa status pernikahan."Mbak Amel, kamu cantik, kamu pantas untuk bahagia." Dinda terus mencoba meyakinkan Amel. Walau bagaimanapun Amel adalah korban dari mantan suaminya. Setidaknya, ia harus membantu mengembalikan kepercayaan diri Amel, sampai ia benar-benar menemukan kebahagiaannya."Ayo, lekas pakai bajunya, aku
****Helmi di antar beberapa warga ke rumahnya dalam keadaan pingsan. "Loh, loh, ini anak saya kenapa?" Wulan kaget bukan kepalang ketika mendapatkan anaknya tak sadarkan diri dalam keadaan babak belur, sampai-sampai ia hampir tak mengenalinya."Saya tidak tahu, Bu. Saya dan yang lainnya menemukan Pak Helmi sudah begini. Mobilnya ada di tempat kejadian," jelas salah satu warga."Dimana tempat kejadiannya?" tanya Wulan lagi."Itu di tanah kosong yang dekat dari sini, Bu.""Astaga, Helmi," gumam Wulan sambil menangis.Sepuluh menit kemudian, Helmi tak kunjung siuman. Ketakutan akan kehilangan Helmi semakin menjadi-jadi ketika anak lelakinya itu tak sadar-sadar."Bagaimana kalau di bawa ke rumah sakit saja, sepertinya Pak Helmi keadaannya parah banget." Warga lainnya mengusulkan."Kalau begitu, tolong pesankan taksi online untuk membawa anakku ke ruma
****Tahlilan hari ke-40 meninggalnya Galuh berjalan dengan lancar. Saudara dan tetangga banyak yang hadir untuk ikut mendo'akan almarhumah, Helmi dan Wulan juga ikut serta mekipun hubungan Bram dan Wulan sedang tidak baik."Hel, kamu sakit? Kenapa memakai kursi roda?" tegur Bram pada Helmi. "Iya, kakiku keseleo, Bram." Helmi berbohong."Oh, sudah di urut atau di bawa ke Dokter?""Sudah, ini lagi nunggu pemulihannya saja.""Semoga cepat sembuh!""Makasih, Bram.""Bram, kamu ini sama mertua nggak ada perhatiannya sama sekali, mentang-mentang anakku sudah meninggal. Pesankan taksi online, dong!" Wulan sedikit menggerutu."Loh, nggak bawa mobil?""Mobilku di j--" "Maksudnya mobil Helmi di bengkel, Bram. Lagipula kaki Helmi, kan sedang sakit, Bram. Gimana, sih, kamu ini?" Wulan memotong ucapan Helmi yang hendak bilang kalau