****"Sam," panggil Dinda Pelan.'Apa ini mimpi? Bagaimana mungkin perempuan yang berdiri di hadapanku adalah perempuan yang sama dengan kutemui tadi siang?' batin Dinda. Seketika saja ucapan dan sumpah serapah terngiang-ngiang di telinganya.Samudra menoleh ke arah Dinda. Ia benar-benar tak mengerti kenapa mamanya bisa sehisteris ini? Tanpa ia minta, bayangan itu terasa nyata menari-nari di depan matanya. Akankah kisah lima tahun silam itu terulang lagi?"Sam, aku minta maaf. Aku tak bermaksud menyakiti mamamu," ucap Dinda."Aku percaya sama kamu, Dinda.""Terimakasih, aku sebaiknya pulang sekarang saja, Sam.""Ayo, kuantar!" tawar Samudra."Tidak, tidak perlu. Aku bisa pulang sendiri, lebih baik kamu tenangkan mamamu saja, Sam!""Baiklah, hati-hati!"Di sepanjang perjalanan ke rumahnya, Dinda tak henti memikirkan kejadian yang di alaminya barusan. Apa setelah ini Samudra akan berhenti m
****Dinda memijit keningnya yang terasa begitu sakit. Niatnya mau istirahat sebentar malah ketiduran. Ia mencari-cari keberadaan ponselnya, namun ia tak menemukan benda itu di atas ranjang. Seingatnya, ketika ia dalam keadaan setengah terlelap ada panggilan masuk ke ponselnya, namun sengaja ia matikan begitu saja lalu kembali menaruhnya di atas nakas.'Tapi, kok, bisa nggak ada, ya?'Dinda kembali mencari benda itu di atas ranjang, menyibakkan selimut, bantal, juga seprai tak luput menjadi korban sifat pelupanya. Padahal, usianya masih terbilang muda."Astaga," gumamnya.Benda yang Dinda cari tenyata tergeletak begitu saja di lantai tepat di bawah nakas. Mungkin, semalam ketika ia berniat menyimpannya kembali, benda itu terjatuh.Beberapa panggilan tak terjawab dari Helmi menghiasi layar ponselnya ketika sudah di aktifkan kembali. Namun, ia merasa malas jika harus balik menghubunginya.
****"Pak, tolong tambah kecepatan, ya!""Baik, Non."Perjalanan Dinda menuju rumah Galuh terasa sangat lambat, padahal ia sudah meminta Pak Dahlan untuk menambah kecepatan laju mobil yang di kendarainya.Perasaan Dinda semakin nggak karuan. Antara sedih, menyesal dan tak percaya berkecamuk dalam hatinya saat itu. 'Kenapa hatiku begitu keras? Hanya sekadar untuk mengangkat telepon dari Bram saja aku tak mau.' Dinda terus mengutuk dirinya sendiri.Rumah Galuh masih sepi, hanya terlihat ada dua bendera kuning yang terpasang di pintu gerbang. Itu meyakinkan dirinya kalau memang benar-benar ada kematian di rumah ini.Ibu-Ibu berkerudung hitam tampak sibuk menggelar karpet di ruang keluarga. Ia mempersilakan Dinda duduk dengan ramah."Jenazah Mbak Galuh sedang di perjalanan, silakan duduk dulu saja, Bu!" titah perempuan itu."Iya, Bu."Din
****Mentari sudah mulai naik dan tak malu-malu lagi menampakkan sinarnya yang terasa menghangat. Namun, Dinda masih bergelung dengan selimut yang cukup tebal.Tok, tok, tok!"Masuk," sahut Dinda. Ia masih terbaring di atas ranjang. Bahkan, tak biasanya ia membiarkan gorden kamar itu menghalangi sinar mentari masuk ke dalam kamarnya."Non, ini sarapannya saya bawa ke kamar saja, soalnya Non Dinda nggak keluar kamar dari tadi." Mbak Sri meletakkan bubur dan teh manis di atas nakas."Iya, kepalaku masih terasa pusing dan berat.""Apa sebaiknya kita ke dokter saja, Non?" "Nanti saja, Mbak!""Baiklah. Non bisa makan sendiri?" "Bisa, Mbak tenang saja! Aku minta ambilkan obat pereda demam dan tolong bukakan gordennya, ya, Mbak!""Siap, Non."Dinda beranjak dari ranjangnya, ia tertatih-tatih untuk pergi ke kamar mandi. Ketika ia m
****"Aduh, Bram anak-anak kamu itu nakalnya minta ampun. Baru meleng dikit aja sudah kabur. Ini lagi sopir kamu bodoh banget bisanya di kibulin bocah-bocah ingusan. Harusnya dia tanya kamu dulu, kan?" cerosos wulan ketika Bram sampai di rumahnya."Tapi Hanif nggak suka ada oma di sini!" teriak Hanif."Aku juga!" pekik Laura.Wulan matanya membulat mendengar Laura dan Hanif mulai ngadu. Hatinya tiba-tiba saja gelisah tak karuan."Laura, tolong, jangan ajarkan adikmu seperti itu. Ayo, minta maaf sama Oma!" sentak Bram pada Laura, lalu menatap anak keduanya."Tapi kami nggak salah, Pa. Oma marah-marah terus. dia bilang Laura anak haram. Apa iya Laura anak haram?" rengek gadis berusia sebelas tahun itu, sedih.Degh."Laura," gumam Bram."Jawab, Pa! Apa iya Laura anak haramnya Papa? Apa yang dikatakan Oma itu benar? Jawab, pa?""Mama!" pek
****"Kamu sudah sadar, Din?" tanya Samudra ketika Dinda perlahan mengerjap-ngerjapkan matanya."Aku di mana?" Dinda seperti kebingungan mendapati ruangan yang serba putih."Kamu di rumah sakit, Din. Aku yang membawamu ke sini karena aku sangat khawatir dengan keadaanmu. Demammu sangat tinggi--""Kamu yang membawaku?" potong Dinda cepat."Ya."Dinda terdiam."Kenapa?" tanya Samudra lagi."Tidak ada apa-apa, Sam.""Apa kamu berharap lelaki itu yang membawamu ke sini?" Tebakan Samudra membuat Dinda salah tingkah di depan teman lelakinya itu."E-enggak begitu, Sam. Aku hanya kaget saja kamu yang membawaku. Padahal, yang aku tahu kamu tak sedang ada di sana." "Iya, aku datang untuk meminta maaf atas perbuatan mamaku. Akan tetapi ketika sampai, aku melihatmu pingsan di sofa dan lelaki bodoh itu hanya menatapmu tanpa menolongmu, Din."
****Satu Jam, dua jam, bahkan tiga jam sudah berlalu. Namun, rasa sakit itu terus Helmi rasakan tanpa henti. Lalu ia memutuskan untuk membuat janji dengan Dokter spesialis lewat online."Mau kemana Hel?" tanya Wulan. ia jelas sangat penasaran sebab raut wajah anaknya terlihat sedang tidak baik-baik saja."Keluar, Ma." jawab Helmi pelan. Wajahnya ia buat seperti baik-baik saja, padahal wulan sudah curiga sejak tadi."Apa kamu sakit, Hel?" tanya Wulan lagi semakin curiga."Enggak, Ma. Ya sudah aku pamit dulu, ya!" ucap Helmi. Andai mamanya bisa menjadi teman berbicara, mungkin Helmi akan dengan senang hati berbagi dengannya. Akan tetapi, melihat sikap mamanya yang selalu memperburuk keadaan, ia tak berani ambil resiko yang akan membuatnya semakin lebih terpuruk lagi."Hati-hati, Hel!" Itu yang terucap dari bibir Wulan. Meskipun sebenarnya ia sangat yakin kalau H
****"Dinda, maafkan aku. Aku terlambat membuka pesan dari kamu. Aku sangat sibuk dan lupa mencharger ponsel ...."Tatapan Samudra beralih pada perempuan yang duduk tak jauh dari Dinda. Tatapan itu terus berlanjut sampai Samudra tak sadar buliran bening jatuh di kedua matanya."Ka--kamu--""Kamu kenapa, Sam?" potong Dinda cepat. Ia berdiri dari duduknya, ikut panik dengan Samudra yang tiba-tiba menangis seperti itu.Samudra bergeming."Sam, kamu sedang ngeprank kami, hah? Nggak lucu tahu, Sam!" gerutu Dinda dengan ketus.Samudra perlahan mendekat, Ia berjalan melewati Dinda begitu saja, membuat Dinda semakin tak mengerti dengan tingkah Samudra kali ini. Samudra menghambur memeluk Amel. Sedangkan Amel hanya tertunduk, dengan air mata yang sudah menganak sungai di pipinya.'Ada apa ini?'"Samudra, apa yang kamu lakukan? Lepaskan Amel, S