"Ini mobil aku pake, Mas. Biarkan Fatin naik kendaraan umum. Manja! Baru aja masuk kuliah sudah ngelunjak, apalagi kalau sudah kerja."
"Kamu bisa naik kendaraan umum dulu untuk sementara, Ma." "Tidak! Aku tidak mau!" Herin berusaha mengambil kunci yang sudah dipegang suaminya. "Fatin sudah menunggu di luar." "Fatin! Fatin! Fatin terus! Kenapa sih kamu selalu manjain dia. Dia masih punya ibu, Mas! Kalau dia kamu berikan mobil, Haifa juga belikan." "Haifa kan bisa aku antar setiap hari, Ma." "Begini yang aku nggak suka dari kamu, Mas. Kamu harus adil dong. Kalau kamu berikan mobil untuk Fatin, artinya kamu juga harus belikan untuk Haifa!" "Adil katamu?" "Ya!" Herin menyilangkan tangannya di dada dan mengangkat dagu tinggi. "Aku sudah membiayai anakmu dari SD hingga tamat SMA dan sekarang dia aku sekolahkah di Universitas ternama. Aku mengantarnya ke sekolah setiap hari. Sedangkan, Fatin, aku biarkan tinggal bersama ibunya, aku bahkan tidak pernah memberinya uang hanya karena kamu selalu mempermasalahkannya seperti ini. Dan, sekarang dia meminta mobil yang sejak bertahun-tahun kamu sudah kenyang memakainya, kamu bilang aku harus adil?" "Benar, Herin. Aku memang sudah tidak adil, selama ini. Aku bahkan menyia-nyiakan anakku sendiri dan malah menyayangi anakmu!" Farhan merampas kunci yang sudah digenggam erat istrinya. Ia menatapnya nanar. Wanita yang sudah dinikahinya hampir 8 tahun itu tetap tidak pernah suka saat ia memberikan perhatian untuk putrinya sendiri. "Mas!" teriak Herin. Farhan menutup pintu, ia berdiri sejenak dan menarik napas. Berjalan mendatangi putrinya yang berdiri sedikit lebih jauh dari rumah yang ditinggalinya bersama istri kedua. "Maaf, Pa." fatin menautkan kedua tangannya dan menunduk. Farhan bisa pastikan kalau putrinya mungkin mendengar pertengkaran mereka. "Tidak apa-apa." Farhan mengelus pundak putrinya sebelum memberikan kunci itu. "Hati-hati mengendarainya!" "Iya, Pa. Fatin pulang, dulu." Gadis berusia 20 tahun itu mengangguk sebelum mundur dan pergi. Ia menekan remot kunci dan mengemudikan mobil itu menjauh dari rumah mereka dulu bersama keluarganya. Papa dan Mama yang sangat mencintainya, sebelum semuanya rusak. Farhan berdiri memandanginya sebentar sebelum anak gadis yang tidak ia besarkan itu menjauh. Pria itu merasa waktu berlari begitu cepat, hingga putri yang dibawa ibunya keluar dari rumah saat itu, kini sudah beranjak remaja dan sebentar lagi dewasa. "Lanita pasti yang mengompori Fatin untuk meminta mobil itu padamu, Mas!" ucap Herin dengan wajah yang terbuang ke sudut dinding saat suaminya mendorong pintu, masuk. Farhan memilih tetap melanjutkan langkah. Rasanya ia lelah, jika masih harus memperdebatkan soal mobil itu. Padahal, sebelumnya ia sudah meminta izin secara baik-baik untuk memberikannya pada Fatin. "Wanita itu memang tidak ada habis-habisnya mengganggu pernikahan kita, Mas. Alasan anak! Apa-apa anak! Apa dia tidak laku lagi untuk menikah dan menghidupi anaknya tanpa harus membebankannya padamu!" Mulut Herin masih penuh dengan kekesalan dan sangat ingin meluapkan semuanya. Ia terus menjelek-jelekkan mantan istri dari suaminya itu. Farhan mengambil tas dan beberapa benda penting miliknya. Ia lantas berbalik dari kamar dan kembali ke pintu keluar. Suara istrinya masih tidak berhenti. Penat sekali pikirannya, saat ini. "Mau kemana kamu, Mas?" Herin berdiri saat melihat suaminya malah pergi saat dia masih ingin menumpahkan kekesalan. Dia masih tidak terima suaminya memberikan mobil milik mereka yang sering ia pakai untuk pergi dan berbelanja. "Aku mual mendengar ocehanmu dari kemarin, Herin!" Farhan membanting pintu dan keluar. "Arrrgggh!" Herin mendorong pot keramik hingga berserakan. Ia benar-benar kesal karena tidak bisa menghentikkan suaminya untuk tidak memberikan mobil mereka pada putri tirinya itu. "Benar-benar wanita dan anak yang menyebalkan!" gerutunya. Bersambung ....Herin mondar-mandir di ruang tamu. Ia sudah mendorong dan memecahkan banyak barang. Kekesalannya masih belum reda. Wanita itu tidak terima saat suaminya harus membagi uang dan kekayaan milik mereka pada anak tirinya."Ada apa ini, Ma?" Haifa membuka headset dan mengerutkan alisnya, lalu melangkahi pecahan beling dari benda yang berserakan."Kakak." Seorang anak laki-laki merengek ketakutan di sudut pintu.Haifa hanya melirik dan enggan menghampiri. "Tidur! Ngapain kamu diam di situ!" ucapnya pada adik lelakinya itu. Damar menutup pintu kamarnya perlahan, anak berusia 7 tahun itu ketakutan karena mendengar suara-suara keras dari barang-barang yang ibunya pecahkan.Herin mengambil ponsel dan mencoba menghubungi suaminya lagi. Kekesalannya tidak akan mereda sampai mobil itu kembali, atau ia dan putrinya pun dibelikan mobil baru.'Nomor yang Anda tuju sedang berada di luar area. Silahkan ----'"Kemana dia?" Napas Herin semakin memburu saat ponsel suaminya malah tidak aktif. Ia mengambil
"Pagi, Mas." Herin menyapa suaminya yang sudah bersiap berangkat kerja. Rumah yang berserakan sudah tertata rapi kembali. Ia sengaja bangun pagi dan menyiapkan banyak makanan untuk sarapan, pagi ini.Farhan melewatinya yang tengah menata piring. Pria itu mengambil segelas air minum."Aku sudah menyiapkan makan kesukaanmu, Mas." Herin tersenyum mencegatnya. "Maafkan aku, kemarin," ucapnya lagi. Lalu, ia menarik satu kursi untuk tempat suaminya duduk.Farhan bahkan tidak melirik hidangan yang ada di meja, ia meninggalkannya begitu saja. Hayfa yang baru saja turun dari tangga melihat ayah sambungnya akan langsung berangkat langsung menyusul."Aku terburu-buru. Naik mobil umum saja," ujar Farhan saat menyadari putri tirinya mengikuti.Hayfa menengadahkan tangan. Meminta uang saku. Farhan melihatnya sejenak. "Minta pada ibumu!" ujarnya lagi sembari masuk ke dalam mobil. Hayfa melihat perbedaan sikap ayah tirinya. Ia menoleh dan melihat ibunya berdiri memperhatikan mereka."Ada apa dengan,
Herin yang baru saja bersantai setelah mendapat respons dari suaminya, duduk sembari menikmati cemilan. Ia mencoba mengalihkan rasa kesalnya pada beberapa tayangan televisi. Herin sadar kalau sikapnya terus-terusan seperti itu malah akan membuat hubungannya dengan Farhan merenggang.Wanita itu melirik ponsel di atas meja saat berbunyi nyaring. Hayfa menghubunginya. [Ada apa?][Ma, kenapa mobil kita ada di kampus. Mama ke kampus aku?] tanyanya.[Tidak. Aku sedang menonton tv.][Terus, mobil ini? Aku yakin ini mobil kita.][Fatin yang pake.] [Fatin? Kok, bisa?][Papa memberikannya?][Apa?! Kenapa cuma Fatin yang diberikan mobil, sedangkan aku harus naik angkutan umum, Ma?][Mama juga tidak tahu.][Ma! Aku nggak mau! Enak aja. Kenapa justru dia yang diberikan mobil ini dan bukan aku. Bertahun-tahun mobil itu berada di rumah kita, mama selalu nggak boleh aku pake mobil itu dengan alasan aku masih remaja. Sekarang, apa? Mama sama papa malah memberikannya pada Fatin!][Bukan aku yang memb
[Bagaimana, Ma?] Herin mendapat panggilan dari putrinya. Ia mengangkatnya dengan kesal.[Kamu kalau kerja tuh bisa benar nggak sih?][Aku sudah melakukan apa yang mama suruh. Mengempeskan ban mobilnya.][Tapi, tidak sampai harus menabrak rumah orang dan aku harus ikut ganti rugi!][Apa? Dia menabrak rumah orang?][Sudahlah! Aku masih di jalan.] Herin masih berjalan untuk menghentikkan taksi. Otaknya dipenuhi dengan kekesalan hingga ia tidak bisa berpikir dengan jernih. Pikirannya kalut. Bisa-bisanya hanya dalam waktu 2 hari saja ia kehilangan mobil dan uang tabungan senilai 10 juta. "Apes!" umpatnya berkali-kali.Herin langsung pulang dan menunggu suaminya. Ia harus pastikan kalau pria itu tidak datang terlambat setelah mengantarkan anak tirinya. Matanya tidak lepas dari detik jam yang terasa lambat berpindah di layar ponsel. "Ini sudah hampir satu jam." Herin tidak lagi bisa menahan jari untuk menghubungi suaminya.[Kamu di mana, Mas?][Aku baru saja sampai.][Kamu tidak sedang m
Herin merasa lelah, usahanya untuk kembali mengambil simpati dari suaminya hanya sia-sia. Buktinya, Farhan masih tidur membelakangi. Sejak malam, ia bahkan tidak menyapa. Wanita itu hanya membuat sarapan sederhana, itu pun belum disentuh suaminya. Ia duduk berselonjor sembari membaca majalah. Hanya terlihat dari luar, jujur pikirannya penat sekali memikirkan bagaimana cara mengambil mobil yang sudah terlanjur diberikan Farhan kepada anak tirinya.Herin melirik, Farhan baru keluar dari kamar. Wajahnya terlihat muram."Di mana Hayfa?" tanyanya."Hayfa?" Herin langsung berdiri, nada suara suaminya sudah berbeda. Ini memang hari minggu anak-anaknya tidak sekolah."Haifa!" panggil Farhan. Herin semakin cemas, jelas sekali nadanya sangat berbeda dengan biasanya. Suaminya terlihat marah."Hayfa! Apa kamu tidak dengar aku memanggilmu!" teriak Farhan lagi."Biar aku yang menyusulnya, Mas," ujar Herin."Tidak perlu! Apa yang dia kerjakan di atas sampai tidak menyahut panggilan orang tua sendir
Farhan langsung beranjak dan keluar kamar. Herin masih sibuk menata jantungnya saat suara pria itu sudah terdengar di ruang tamu."Duduk, Herlan!" ucap Farhan. "Ma, ada tamu!" panggilnya pada Herin. Ia hanya berpura-pura semuanya baik-baik saja."Iya, Mas." Herin muncul dari kamar. Ia menengok sebentar pada mantan suaminya itu. "Aku siapkan minum, dulu." Buru-buru wanita itu pergi ke dapur dan meninggalkan dua pria yang pernah sama-sama bertahta dalam hatinya, berbicara."Ada apa? Tumben sekali kamu memintaku datang." Herlan mengangkat satu kakinya dan melebarkan jas. Dari penampilannya ia pun adalah pekerja kantoran dengan jabatan tinggi, tapi sekali pun tidak pernah memberikan putrinya uang saku. Setidaknya, itulah yang diadukan Herin hingga Farhan merasa kasihan."Sudah 8 tahun Hayfa tinggal di sini. Apa kamu tidak merindukannya? Herin bilang kamu bahkan tidak pernah menanyakan kabarnya.""Eum ...." Herlan membuang tawa. "Aku sudah coba beberapa kali. Herin bilang ia sudah bahagia
Farhan langsung beranjak dan keluar kamar. Herin masih sibuk menata jantungnya saat suara pria itu sudah terdengar di ruang tamu."Duduk, Herlan!" ucap Farhan. "Ma, ada tamu!" panggilnya pada Herin. Ia hanya berpura-pura semuanya baik-baik saja."Iya, Mas." Herin muncul dari kamar. Ia menengok sebentar pada mantan suaminya itu. "Aku siapkan minum, dulu." Buru-buru wanita itu pergi ke dapur dan meninggalkan dua pria yang pernah sama-sama bertahta dalam hatinya, berbicara."Ada apa? Tumben sekali kamu memintaku datang." Herlan mengangkat satu kakinya dan melebarkan jas. Dari penampilannya ia pun adalah pekerja kantoran dengan jabatan tinggi, tapi sekali pun tidak pernah memberikan putrinya uang saku. Setidaknya, itulah yang diadukan Herin hingga Farhan merasa kasihan."Sudah 8 tahun Hayfa tinggal di sini. Apa kamu tidak merindukannya? Herin bilang kamu bahkan tidak pernah menanyakan kabarnya.""Eum ...." Herlan membuang tawa. "Aku sudah coba beberapa kali. Herin bilang ia sudah bahagia
Farhan langsung beranjak dan keluar kamar. Herin masih sibuk menata jantungnya saat suara pria itu sudah terdengar di ruang tamu."Duduk, Herlan!" ucap Farhan. "Ma, ada tamu!" panggilnya pada Herin. Ia hanya berpura-pura semuanya baik-baik saja."Iya, Mas." Herin muncul dari kamar. Ia menengok sebentar pada mantan suaminya itu. "Aku siapkan minum, dulu." Buru-buru wanita itu pergi ke dapur dan meninggalkan dua pria yang pernah sama-sama bertahta dalam hatinya, berbicara."Ada apa? Tumben sekali kamu memintaku datang." Herlan mengangkat satu kakinya dan melebarkan jas. Dari penampilannya ia pun adalah pekerja kantoran dengan jabatan tinggi, tapi sekali pun tidak pernah memberikan putrinya uang saku. Setidaknya, itulah yang diadukan Herin hingga Farhan merasa kasihan."Sudah 8 tahun Hayfa tinggal di sini. Apa kamu tidak merindukannya? Herin bilang kamu bahkan tidak pernah menanyakan kabarnya.""Eum ...." Herlan membuang tawa. "Aku sudah coba beberapa kali. Herin bilang ia sudah bahagia