Home / All / BAIT-BAIT CINTA SANG PEMBERONTAK / Chapter 1. Bom di Siang Bolong

Share

BAIT-BAIT CINTA SANG PEMBERONTAK
BAIT-BAIT CINTA SANG PEMBERONTAK
Author: Bond Monosta

Chapter 1. Bom di Siang Bolong

Author: Bond Monosta
last update Last Updated: 2021-09-08 18:02:05

Siang itu suasana kota terlihat begitu ramai oleh hilir mudik orang-orang yang sibuk dengan berbagai aktivitasnya masing-masing. Tak ketinggalan pula sang mentari yang ikut berpartisipasi menerangi hari dengan sinarnya yang begitu terang. Dan ketika suasana semakin siang, sang raja hari itu seakan-akan ingin menampakan keperkasaannya dengan memancarkan sinar yang semakin menyengat hingga membuat orang-orang merasa enggan untuk keluar dari tempat mereka. Udara yang enggan mengembara membuat orang-orang yang beraktivitas di luar ruangan terlihat sibuk mengibas-ngibaskan kipas pada tubuh mereka berharap sedikit udara segar mampu menyejukan tubuh mereka. Suasana jalanan ibu kota provinsi yang macet menghadirkan antrian panjang kendaraan yang dibarengi oleh raungan-raungan keras yang keluar dari corong-corong klakson kendaraan mereka, suara-suara klakson itu melukiskan suasana hati sang pengendara yang tidak tahan lagi dengan keadaan tersebut, dan mereka yang berdesak-desakan di dalam angkutan umum menimbulkan berbagai kegaduhan tersendiri, sirkulasi udara yang kurang bagus dengan air conditioner yang mati pada angkutan umum itu membuat keadaan semakin tidak nyaman. Apalagi, keringat yang bercucuran membasahi tubuh mereka menimbulkan berbagai aroma tak sedap, dan itu terasa semakin menambah penderitaan mereka.

“Boom! Boom! Boom!

Secara tiba-tiba beberapa ledakan muncul dari sebuah pusat perbelanjaan yang berada tepat di pusat kota. Ledakan itu meluluh-lantahkan bangunan tersebut, banyak material keras yang berhamburan mengenai bangunan yang berada tepat di dekat mall itu. Wajah-wajah panik yang berhamburan menjauhi lokasi terjadinya ledakan terlihat begitu jelas serta teriakan histeris menggema silih berganti berbaur dengan asap tebal dari berbagai sisa ledakan. Dan ledakan berikutnya tiba-tiba muncul kembali yang membuat suasana terasa semakin mencekam.  Beberapa saat kemudian terdengar suara raungan sirine dari kendaraan petugas medis dan aparat yang berdatangan mendekati lokasi kejadian, mereka mencoba mengevakuasi orang-orang yang berada di dekat terjadinya ladakan. Namun, para aparat dan tim medis belum berani memasuki lokasi terjadinya ledakan, karena khawatir akan terjadi ledakan susulan. Sedangkan, dari balik reruntuhan terdengar jelas suara tangisan dan teriakan meminta tolong dari korban yang selamat namun dengan kondisi yang belum diketahui keadaannya. Setelah suasana dirasakan cukup aman,  barulah tim sar dan tim medis serta pihak aparat memasuki lokasi kejadian dan menyelamatkan korban di antara reruntuhan gedung itu. Para aparat terus berdatangan dan berbaur di lokasi kejadian layaknya sekelompok semut yang sedang mengerubuti gula. Mereka sibuk mengevakuasi para korban yang sebagian besar tidak tertolong dan yang selamat pun kondisinya sangat mengkhawatirkan. Warga yang sedang berada di dekat lokasi kejadian turut berdatangan ingin melihat keadaan hingga membuat beberapa aparat mencoba mengamankan suasana dengan membuat garis polisi.

Sungguh sebuah peristiwa yang sangat mengejutkan sekaligus menakutkan. Karena pada saat itu, suasana mall sedang ramai-ramainya dikunjungi sehingga jumlah korban pun tak terhingga banyaknya. Namun siapa yang menyangka, di antara raungan ambulance dan jerit tangis duka keluarga yang ditinggalkan, dari atas sebuah gedung apartemen, tiga pasang mata bahagia terlihat sedang memperhatikan suasana tersebut. Dengan senyuman menyeringai, ketiga pemuda itu saling melemparkan pandangan.

  “Ini hanyalah awal dari apa yang kita rencanakan. Masa depan kita, negara kita, hahaha.”

“Benar Sembi. Ini adalah awal lahirnya Negara kita. Kita akan tebarkan ketakutan di mana-mana. Dengan begitu, kepercayaan mereka pada pemerintah akan semakin luntur, karena mereka akan menganggap bahwa pemerintah sudah tidak becus untuk menyeleisaikan masalah ini. Dan pada saat itu lah, kesempatan kita untuk muncul dengan seolah-olah merangkul mereka. Karena semakin banyak wajah-wajah ketakutan, maka wajah-wajah itu akan cenderung untuk mencari perlindungan. Dan itu adalah kesempatan yang bagus untuk kelompok kita muncul dengan cara menarik simpati mereka,” sahut seorang pemuda berbadan tegap dengan wajah tampan sambil menatap Sembi.

“Tapi. Bagaimanakah cara meraih simpati mereka?” tanya seorang pemuda lainnya sambil menoleh.

“Kita akan rekrut beberapa orang baru. Kita ajarkan mereka merakit senjata, terutama bom dan cara menggunakannya. Setelah mereka bisa. Kita beri mereka beberapa bahan peledak, suruh mereka merangkainya. Dan pada saat itu lah, kita dokumentasikan kegiatan mereka itu. Setelah itu, kita serahkan mereka pada pemerintah pusat dengan sebelumnya kita ancam mereka agar mengaku bahwa mereka lah yang telah melakukan keonaran ini demi memperturutkan paham yang mereka anut. Jika mereka tidak mau mengaku, maka keluarganya tidak akan selamat. Kita sewa beberapa wartawan dan media bayaran untuk mempublikasikannya,” pemuda itu menuturkan.

“Apakah semudah itu masyarakat percaya, Moza?” laki-laki muda itu kembali bertanya pada pemuda yang bernama Moza.

“Tentu tidak. Tapi, kita punya seribu macam cara untuk meraih simpati masyarakat. Yang terpenting saat ini, kita terus tebarkan ketakutan di mana-mana.”  

“Tapi. Apakah pergerakan kita selama ini tidak diketahui oleh mereka?” laki-laki muda itu berkata penuh keraguan sambil menoleh ke bawah pada para Aparat yang sedang sibuk mengevakuasi korban.

 “Tenang Resta. Selama dinding di sekitar kita tetap diam, dan setia pada langkah-langkah kita. Kita tidak perlu risau,” timpal pemuda bernama Sembi mencoba meyakinkan.

 “Kau yakin? Sedangkan, jumlah tentara republik sangat banyak, dan mereka ada di mana-mana?”

 Moza menoleh pada Resta yang berbicara penuh pesimisme. Bola mata Moza membesar, tangan kirinya lalu menjambak kerah baju Resta seraya menodongkan pistol pada kening Resta.

“Dengar Resta! Meskipun cecunguk-cecunguk itu melebihi jumlah bintang di langit, aku sedikit pun tidak akan gentar. Dengar itu! Darah harus dibayar dengan darah!” gertak Moza lalu melepaskan tanganya dari kerah baju Resta. Mendapat perlakuan seperti itu Resta hanya diam. Karena ia tahu betul siapa yang dihadapinya. Meskipun Moza berwajah tampan dan cenderung pendiam. Namun siapa sangka, kalau Moza adalah seorang pembunuh berdarah dingin yang dengan tanpa ragu akan melepaskan timah panasnya pada siapa pun yang mencoba menentangnya. Dan ia pun tahu mengapa Moza dan sebagian teman-temannya menjadi liar seperti itu. Moza memiliki masa lalu yang kelam yang selalu menghantuinya. Moza pernah bercerita bahwa pada suatu malam rumahnya didatangi oleh sekelompok orang berseragam tentara republik, dan dengan tidak tahu pasti apa permasalahannya, para tentara itu menyiksa seluruh keluargan Moza,  dan setelah para tentara itu cukup puas menyiksa seluruh keluarganya, mereka pun akhirnya membunuh seluruh keluarga Moza, kecuali Moza yang saat itu bersembunyi di dalam sebuah lemari di kamarnya. Moza yang saat itu masih berusia sembilan tahun hanya bisa menangis menyaksikan peristiwa kelam itu dari celah lemarinya. Hingga kini, peristiwa itu masih membekas di kepala Moza dan menjadi mimpi buruk di setiap tidurnya. Dan dendam terhadap para tentara berseragam Republik, kini seakan sudah mendarah daging di tubuh Moza. Dan Resta pun tahu, kalau semua rekan-rekannya terlahir dari masa lalu yang hampir sama seperti Moza. Begitu pun dengan dirinya. Namun soal siapa sesungguhnya dibalik para tentara republik yang membunuh dan menyiksa keluarga mereka, hingga kini masih menjadi teka-teki dan misteri yang membingungkan benak mereka. Para pemimpin mereka mengatakan bahwa orang-orang republik lah yang telah melakukan perbuatan keji itu. Dan kini, benih-benih kebencian terhadap para tentara republik dan pemerintahannya telah menjalar di dalam sanubari mereka.  Dendam itu seakan terus mengalir dalam aliran darah dan hadir di setiap hembusan napas mereka, sehingga mereka pun tumbuh menjadi sekelompok pembunuh yang tanpa ampun.

“Ingat! Apa pun yang terjadi, misi adalah yang utama. Dan siapa pun yang keluar dari jalur misi kita! Aku tidak bisa menjamin, esok dia masih bisa menatap matahari,”ujar Moza sambil menyalakan sebatang roko.

Mendengar ucapan Moza seperti itu. Sembi dan Resta hanya mengangguk tanda setuju. Setelah mereka cukup puas menyaksikan suasana porak-poranda akibat bom yang mereka pasang itu, mereka akhirnya pergi meninggalkan atap gedung apartemen yang menjulang tinggi menantang langit.

Moza, Sembi dan Resta berjalan menuruni gedung melalui sebuah lift. Setelah berada di bawah, mereka akhirnya masuk ke dalam sebuah mobil dan menyimpan beberapa sisa bahan peledak yang mereka bawa dalam sebuah tas, tas itu kemudian mereka masukan kedalam sebuah koper yang sudah dilengkapi alat khusus agar tidak terdeteksi oleh para penjaga apartemen yang akan memeriksa mereka pada saat keluar nanti. Entah mengapa, penjagaan apartemen itu begitu ketat sehingga yang keluar pun harus diperiksa kembali bukan hanya yang masuk. Moza duduk di depan sambil mengemudi, dan sembi duduk di sampingnya, sedangkan Resta duduk di bangku belakang. Beberapa menit kemudian mobil itu melaju dengan perlahan, setelah sampai di tempat pemeriksaan, Moza menghentikan laju mobilnya. Terlihat dua orang petugas berseragam hitam-hitam menghampiri mobil yang dibawa Moza. Seorang petugas mengetuk kaca mobil depan dan Moza membukakan kaca mobilnya.

“Selamat siang,” seorang petugas menyapa.

 “Selamat siang,” jawab Moza dan Sembi. 

“Boleh kami periksa mobilnya?” tanya seorang petugas, dan Moza melirik pada Sembi

 “Oh. Silahkan, Pak,” sahut Sembi.

Kedua petugas itu terlihat mulai menelusuri bagian-bagian luar mobil dengan sebuah alat pendeteksi. Resta terlihat pucat ketika seorang petugas menatap koper yang ada di dekatnya. Sedangkan Sembi yang sedari tadi memperhatikan kedua petugas itu, secara tidak sadar mencabut sebuah pistol anti detector dari belakang bajunya. Sembi seperti bersiaga karena khawatir para petugas itu memeriksa isi kopernya. Moza yang melihat tingkah Sembi langsung memberi kode agar Sembi bersikap tenang dan menyimpan kembali pistolnya.

“Kalau boleh tahu, apa isi koper itu?” tanya salah seorang petugas.

“Hanya buku-buku kuliah dan beberapa alat penelitian biasa, Pak,” sahut Moza.

“Oh, begitu.Yasudah, terima kasih atas waktunya. Selamat siang.”

 “Selamat siang, Pak,” sahut Moza dan Sembi, dan mobil pun kembali melaju.

“Uh, akhirnya. Untung mereka tidak memeriksa koper ini,” ucap Resta bernapas lega.  

“Dalam menghadapi situasi seperti itu. Kita harus tenang. Meskipun sepele, tapi akibatnya bisa saja fatal,” Sahut Moza sambil menambah laju kecepatan mobilnya. Namun, baru saja beberapa puluh meter melaju, kemacetan sudah menyambut mereka. Selain itu, terlihat beberapa petugas keamanan sedang memeriksa kendaraan-kendaraan yang ada di depan mereka karena lokasi itu hanya beberapa ratus meter dari tempat terjadinya ledakan yang baru saja terjadi.

 “Sepertinya kita harus putar arah, Moza,” ucap Sembi memberi saran, dan Moza kemudian memutar arah mobilnya pada jalan awal menjauhi area kemacetan itu.

Related chapters

  • BAIT-BAIT CINTA SANG PEMBERONTAK   Chapter 2. Gejolak Dendam

    Sekitar pukul 15:00, mobil yang dibawa Moza sudah sampai di depan sebuah rumah mewah bertingkat. Sebelum memarkirkan mobilnya, Moza melirik pada Sembi.“Sem, kamu saja yang bicara pada pak Gamaliel. Aku sedikit malas berbicara dengan orang itu,” ucap Moza. Mendengar ucapan Moza itu, Sembi terlihat bingung.“Dari awal kita bertemu Pak Gamaliel. Sepertinya, kamu tidak pernah suka dengan orang itu. Padahal sudah jelas, kalau orang itu adalah pemimpin kita,” jawab Sembi.“Entahlah, Sem. Sepertinya, aku sudah mulai jenuh dengan langkah-langkah yang dia tempuh, strateginya yang lelet dan berbelit-belit membuat pergerakan kita begini-begini saja. Namun, ia juga tidak memberikan kesempatan untuk kita bertindak sesuai keinginan kita,” timpal Moza.Mendengar jawaban seperti itu, Sembi hanya diam. Ia seakan tidak punya pendapat untuk menjawab kata-kata Moza itu. Ketiganya lalu turun dari dalam mobil, dan Resta yang memikul k

    Last Updated : 2021-09-08
  • BAIT-BAIT CINTA SANG PEMBERONTAK   Chapter 3. Menyusun Rencana

    Memasuki pertengahan malam, Moza, Sembi, Resta dan Pak Gandara terlihat duduk melingkari sebuah meja panjang. Keempat orang itu tanpak berbicara dengan serius.“Tok, tok, tok,” suara pintu yang diketuk memecahkan obrolan mereka.“Permisi, Pak,” ucap sebuah suara dari balik pintu.“Silahkan masuk,” ujar Pak Gandara, dan beberapa orang terlihat berjalan memasuki ruangan itu. Mereka lalu duduk di atas kursi yang telah disediakan. Sejenak Pak Gandara melirik pada orang-orang yang hadir di ruangan itu lalu mulai membuka percakapan.“Rekan-rekan semua. Sebagaimana telah kita ketahui. Bahwa, pergerakan kita ini sudahberjalan hampir selama 14 tahun lebih. Saya rasa, sekarang hampir mendekati klimaksnya. Dan Pak Gamaliel sebagi pemimpin pergerakan, telah menyerahkan sepenuhnya kepada saya untuk memimpin misi kita selanjutnya. Dan sebagimana kita ketahu

    Last Updated : 2021-09-08
  • BAIT-BAIT CINTA SANG PEMBERONTAK   Chapter 4. Obrolan Keluarga Pak Gubernur

    Pagi itu disaat embun pagi berjatuhan terhempas sang raja hari yang mulai menampakan diri, dan jalanan yang terlihat mulai ramai dilalui kendaraan serta para pejalan kaki menandakan kota yang mulai menggeliat bangun dari tidurnya.Di sebuah rumah besar yang letaknya berada di perumahan dinas pemerintah mulai terlihat ramai oleh beberapa orang yang keluar masuk ke dalam rumah itu.“Kenapa, Bu. Kok kelihatannya gelisah gitu?” tanya seorang laki-laki yang sebagian rambutnya terlihat sudah mulai beruban sambil menatap istrinya yang sedang duduk di ruang tengah.”Entahlah, Yah. Tapi, perasaan ibu, kok, tidak enak banget ya pagi ini?” jawab perempuan itu memandang suaminya yang keluar dari pintu kamar.“Memangnya, Ibu mikirin apa sih? ” tanyanya lagi pada istrinya. Ibu Dewi bangkit dari kursinya lalu menghampiri suaminya yang sedang berdiri, ia kemudian membetulkan posisi dasi suaminya yang terlihat agak miring.

    Last Updated : 2021-09-08
  • BAIT-BAIT CINTA SANG PEMBERONTAK   Chapter 5. Penculikan Pak Gubernur

    Setelah beberapa jam berlalu, pertemuan di gedung itu pun akhirnya selesai dan Pak Gubernur beserta rombongannya terlihat mulai keluar meninggalkan ruangan rapat. Para wartawan yang sedari tadi menunggu cukup lama akhirnya kembali berebut mendekati Pak Gubernur dan kembali menghujaninya dengan beberapa pertanyaan.“Bagaimana, Pak. Apakah Bapak sudah mendapatkan solusinya dan bagaimana keputusannya?” tanya seorang wartawan sambil menyodorkan mikrofon pada Pak Musa.“Kita akan mencoba mengadakan perundingan dengan pihak-pihak yang dicurigai sebagai pemberontak dan juga yang dicurigai telah menebar teror atas dasar paham radikal mereka,” jawab Pak Musa.“Apakah cara ini akan berhasil, Pak?”“Kita lihat saja nanti, ya. Mudah-mudahan cara ini berhasil.”“Kenapa kita tidak langsung menumpas mereka saja, Pak. Bukankah jumlah mereka lebih sedikit dibandingkan dengan kita?” seoran

    Last Updated : 2021-09-08
  • BAIT-BAIT CINTA SANG PEMBERONTAK   Chapter 6. Suasana di Markas Pemberontak

    Sebuah sentuhan lembut pada rambut kepalannya mulai terasa seiring suara panggilan sendu dibarengi isak tangis perlahan hinggap di telinga seorang gadis muda yang mulai tersadar.“Sayang, bangun, Nak,” ucapnya pelan sambil menangis di samping gadis muda yang terbaring lemas. Perlahan gadis muda itu mulai terlihat membuka mata.“Bu. Ayah mana, Bu. Kak Indra mana, Bu?” tanya gadis itu yang tiada lain adalah Zahra. Bu Dewi hanya menangis saat mendengar pertanyaan anaknya itu.“Bu. Kak Indra mana?” tanyanya lagi yang belum sepenuhnya sadar.“Tenang sayang, kamu istirahat saja, ya,” sahut seorang perempuan sambil membelai lembut rambut Zahra.“Tante. Kok, tante ada di sini?” Zahra perlahan bangkit lalu duduk. Ia terlihat melirik ke sekeliling ruangan yang sudah ramai dipenuhi orang-orang, dan ketika pandangannya melirik ke sebuah sudut ruangan, Zahra melihat sebuah peti yang dihiasi karan

    Last Updated : 2021-09-09
  • BAIT-BAIT CINTA SANG PEMBERONTAK   Chapter 7. Sosok Presiden

    Malam semakin larut, suasan hutan pun terasa semakin mencekam. Suara anjing hutan yang melolong terdengar bersahutan dengan suara-suara binatang malam lainnya. Cahaya obor yang dipasang di depan tenda-tenda penginapan terlihat menari-nari terhempas angin mencoba memecah kegelapan malam. Di luar sebuah tenda, tampak Pak Gamaliel dan Pak Gandara serta rekannya yang lain sedang berbincang-bincang.“Apakah semua target sudah didapatkan?” tanya Pak Gamaliel.“Sudah, Pak. Semua sudah berada di tenda utama,” jawab Sembi.Pak Gamaliel lalu berjalan menuju tenda besar yang sedang dijaga ketat oleh beberapa tentaranya. Langkahnya diikuti oleh Pak Gandara dan Pak Sugeng beserta tiga orang tentaranya dengan bersenjata lengkap. Setelah berada di depan tenda, Pak Gamaliel membuka pintu tenda itu dengan perlahan.Melihat beberapa orang muncul dari pintu tenda, Pak Musa dan keempat rekannya serempak melirik, dan tampaklah siapa sosok Presiden yang

    Last Updated : 2022-01-16
  • BAIT-BAIT CINTA SANG PEMBERONTAK   Chapter 8. Penolakan Tegas

    Saat pajar menggelar warna-warnanya dan burung-burung berkicau bersahutan mendengungkan nada-nada indah yang melukiskan aroma pagi telah datang. Gemuruh dedaunan yang tersentuh angin pengembara melenggak-lenggok bagai sang penari yang menjadi ritual pagi menyambut sang mentari.“Prok! Prok! Prok!”Gemuruh hentakan suara sepatu jungle para tentara yang berjalan melewati sebuah tenda tempat Pak Musa dan keempat rekannya ditahan terdengar jelas. Sepatu para tentara itu sepertinya terbuat dari kulit asli pilihan dengan sol kembang cermai baja pilihan tapi ringan yang dibuat dengan penuh kecermatan tingkat tinggi hingga menghadirkan bunyi derap yang berbeda. Bunyi derap sepatu para tentara yang berbaris itu hinggap di telinga Pak Musa. Perlahan-lahan ia membuka matanya yang kemudian disusul oleh keempat rekannya. Dari luar tiba-tiba muncul beberapa orang lelaki dengan membawakan makanan dan yang lainnya membawa beberapa baskom yang berisi air hangat lengka

    Last Updated : 2022-01-16
  • BAIT-BAIT CINTA SANG PEMBERONTAK   Chapter 9. Dijadikan Rusa Buruan

    Di tenda yang ditempati Pak Musa dan rekan-rekannya, mereka terlihat sedang mencari solusi bagaimana menghadapi situasi itu.“Menurut Bapak. Kira-kira apa yang sedang mereka rencanakan?” tanya Mayjen Ferdy pada Pak Musa.“Entahlah. Yang pasti, mereka akan terus berusaha agar kita mau bekerjasama dengan mereka.”“Saya khawatir. Kalau mereka akan memaksa kita dengan cara-cara yang kasar. Dan lebih jauh lagi, mereka akan membinasakan kita.”“Bagaimana kalau kita kabur saja dari sini, Pak?” usul Pak kamaludin memberi saran.“Rasanya tidak mungkin. Lihat saja jumlah mereka, terlalu banyak untuk kita lewati, dan sedikit pun kita tidak bisa berpaling dari tatapan mata mereka yang selalu sigap memperhatikan gerak-gerik kita sebagai tawanannya,” sahut Pak Musa sambil merenung.Sesaat kemudian keheningan kembali menyelimuti mereka. Rasanya sangat sulit untuk menentukan

    Last Updated : 2022-02-02

Latest chapter

  • BAIT-BAIT CINTA SANG PEMBERONTAK   Chapter 20. Bertindak Sendiri

    Sore itu Moza terlihat sedang termenung di atas tempat tidurnya. Bagaimana pun juga, dendam di dalam dadanya masih terus bergemuruh. Meskipun, ia sudah mulai nyaman dengan kehidupannya saat ini, tapi selama pembunuh orang tuanya belum ditemukan, dendam itu terus menantangnya untuk terus mencari tahu. “Aku tidak bisa menunggu lebih lama lagi, aku harus bergerak,” gumamnya dalam hati. Ia kemudian menghubungi Sembi, dan tidak perlu menunggu lama, terdengar Sembi mengangkat panggilannya. “Ada apa Moza?” “Sem. Kamu tahu, siapa komandan tentara kita yang di tugaskan di dalam kota?” Tanya Moza. “Iya, tahu. Namanya Reza. Nanti saya hubungkan dengan kamu. Tapi

  • BAIT-BAIT CINTA SANG PEMBERONTAK   Chapter 19. Satu Hari Bersama Lisa Hallay

    Setelah acara makan itu selesai, ketiganya terlihat meninggalkan restoran dan kembali ke kampus.“Moza. Berapa nomor handphon kamu?” tanya Pak Mario pada Moza sambil menyetir mobilnya.“Saya belum sempat membeli handphon, Pak?”“Terus. Komunikasi dengan Pak Gamaliel, bagaimana?”“Tenang saja, Pak. Saya sudah tahu bagaimana berkomunikasi dengan beliau secara aman,” sahut Moza.“Ya. Kalian memang orang-orang cerdas. Otak kalian seperti ikan salmon yang tidak pernah lupa jalan pulang menuju tempat kelahirannya,” jawab Pak Mario.Mendengar percakapan kedua orang itu Lisa hanya diam, ia benar-benar tidak mengerti tentang apa sebenarnya yang sedang dibicarakan namun itu tidak terlalu ia pikirkan. Mobil itu kini sudah sampai di halaman kampus dan mereka kemudian turun dari dalam mobil.“Moza. Ini kartu nama saya, kalau sudah beli handphon, secepatnya hubungi saya, ya. Da

  • BAIT-BAIT CINTA SANG PEMBERONTAK   Chapter 18. Tokoh Tersembunyi

    Pagi itu Moza, Sembi, Resta serta Pak Gandara dan Murry keluar dari sebuah perkampungan dengan mengendarai sebuah mobil warna silver. Setelah berada di jalan raya mobil yang dibawa Murry itu melaju dengan kencang.“Moza. Nanti kalau kamu sudah berada di kampus itu, kamu langsung temui Pak Mario, ia sudah tau akan kedatangan kamu dan kalau ada apa-apa, kamu tinggal bilang saja sama dia. Jangan khawatir, dia orang kita juga,” kata Pak Gandara.“Dan kamu Sembi. Kamu hubungi Master Chie-Tung, dia juga orang kita.”“Wah! Saya tidak menyangka, di universitas-universitas juga ternyata banyak orang-orang kita juga ya,” sahut Resta.“Ya. Kita sengaja menempatkan orang-orang kita di beberapa lembaga pendidikan dan pemerintahan, agar mereka bisa memasukan doktrin-doktrin kita pada para mahasiswa dalam pelajaran-pelajaran mereka. Karena selama ini, pemerintah hanya tahu kalau para pemberontak itu tempatnya di hutan-hutan rimb

  • BAIT-BAIT CINTA SANG PEMBERONTAK   Chapter 17. Menyusun Langkah Baru

    Tiga pekan sudah Moza, Pak Gamaliel dan yang lainya berada dalam pelarian. Berpindah-pindah dari satu tempat ke tempat lain yang dirasakan aman, karena mereka menyadari bahwa para tentara republik kini sedang gencar-gencarnya mencari dan menumpas para pemberontak yang telah banyak meresahkan masyarakat. Moza dan kedua rekanya Sembi dan Resta berada di sebuah kota, sedangkan Pak Gamaliel dan Pak Gandara, keduanya berada di sebuah daerah dekat perbatasan. Sedangkan Murry yang merupakan supir mereka bertugas menghubungkan satu dengan yang lainnya. Sesekali ia mengantarkan barang-barang yang mereka perlukan.Suatu pagi ketika mereka sedang berada di dalam sebuah rumah yang baru tiga hari mereka tinggali. Terlihat Moza dan Sembi sedang sibuk membersihkan beberapa handguns diantaranya Semi Otomatis seperti FN, Pistol Mesin seperti U21 , Revolver dan Deringer. Dari dalam sebuah ruangan Resta muncul dengan membawa dua senjata laras panjang atau Long Guns dan beberapa senapan serbu.

  • BAIT-BAIT CINTA SANG PEMBERONTAK   Chapter 16. Kembali Pulang

    Satu jam lamanya mereka menempuh perjalanan menggunakan ojek, turun naik bukit dan melewati hutan serta pesawahan, maklum saja perkampungan itu terletak di sebuah bukit dan dikelilingi oleh gunung-gunung yang jauh dari sentuhan perkotaan. Jalanan yang menurun dan curam terkadang pula menanjak dengan kondisi jalan yang sepenuhnya tidak diaspal hanya berlapiskan tanah merah dan bebatuan yang terkadang membuat ketiganya mengerang kesakitan saat roda motor menerjang bebatuan-bebatuan itu. Setelah melewati perjalanan yang melelahkan itu, mereka kini tiba di sebuah perkampungan lain namun beruntung, jalanan yang rusak penuh bebatuan itu tidak mereka temukan lagi. Aspal hitam yang terhampar di jalanan membuat perjalanan terasa nyaman, sehingga para pengendara ojek itu tidak ragu-ragu lagi untuk memacu kecepatan motor mereka.Mereka akhirnya tiba di sebuah terminal. Setelah memberikan sejumlah uang kepada ketiga pengendara ojek itu, mereka kemudian melangkahkan kakinya. Hingar-bingar

  • BAIT-BAIT CINTA SANG PEMBERONTAK   Chapter 15. Kabar Duka

    Di sebuah pesawahan yang terletak di pinggir hutan terlihat sepasang suami isteri dan seorang anak laki-laki muda tengah sibuk memanen padi mereka yang sudah menguning. Setelah terlalu lama membungkuk saat memotong padi, isteri pak tani terlihat berdiri lalu meregangkan otot-ototnya yang terasa pegal. Pandangannya tiba-tiba ia arahkan pada tiga orang laki-laki yang berpakaian mirip tentara keluar dari arah hutan. Sejenak ia terus memperhatikan langkah ketiga orang itu yang mulai mendekat.“Pak. Coba lihat ke belakang. Ada tiga orang keluar dari dalam hutan, dan sepertinya sedang menuju kemari,” kata perempuan itu pada suaminya, dan suaminya terlihat berdiri lalu melemparkan pandangannya ke arah tiga laki-laki yang sedang berjalan menuju tempat mereka.“Iya, Bu. Penampilan mereka terlihat seperti tentara.”Ketiga orang laki-laki itu tampak semakin jelas setelah berada di dekat mereka.“Permisi, Pak, Bu. Maaf kami m

  • BAIT-BAIT CINTA SANG PEMBERONTAK   Chapter 14. Hujan Peluru

    Pagi itu komandan Alexa dan rekan-rekannya terlihat sedang memperhatikan perbuatan kejam para pemberontak yang baru menembak mati dua anggotanya. Dari semak-semak itu dengan jelas mereka melihat tindakan kejam itu. Entah apa yang telah diperbuat dua anggota itu sehingga hukuman mati harus mereka terima.“Komandan. Sepertinya kita harus menjauh dari tempat ini. Saya khawatir mereka akan melihat kita. Apalagi matahari sudah mulai terlihat terang,” ucap salah satu anggotanya, dan Pak Alex terdiam sejenak“Baiklah. Ayo kita menjauh dari tempat ini, tapi hati-hati jangan sampai ketahuan.”Kedelapan tentara itu dengan perlahan-lahan berjalan sambil merunduk menjauhi tempat itu. Sayangnya, ranting-ranting mati yang terinjak oleh mereka seakan berteriak dan menimbulkan bunyi patahan, bunyi itu sepertinya hinggap di gendang telinga Moza meski tidak terlalu jelas namun membuat Moza membalikan badan dan menoleh pada suara itu.“Siapa di

  • BAIT-BAIT CINTA SANG PEMBERONTAK   Chapter 13. Pengintaian

    Pagi itu sekitar jam 05:30, Pak Alex dan ketujuh rekannya sudah sampai di dekat barisan obor itu. Dan alangkah terkejutnya mereka ketika menyadari bahwa itu ternyata adalah sarangnya para pemberontak. Kedelapan orang itu terlihat berjalan mengendap-ngendap mendekati tempat itu. Mereka bersembunyi di antara semak belukar. Dari semak-semak tersebut beberapa tentara berseragam hitam-hitam mulai terlihat berlalu-lalang dengan senjata lengkap. Selain itu, disana juga terdapat sebuah helikoipter.“Sepertinya kita akan menghadapi pertempuran besar.”“Iya Pak. Jumlah mereka ternyata sangat banyak dan persenjataan mereka juga sepertinya sangat lengkap.”“Kopral Adi. Tolong hubungi Pak Rudy. Tanyakan, mereka sudah sampai dimana? Dan tolong kasih tahu lokasi kita.”“Baik, Pak.”“Kopral Adi lalu menghubungi pasukan Pak Rudi lewat PTX-SPM-622 Squad Power Protonex. Dan setelah berbincang-bincang sesaat ia kem

  • BAIT-BAIT CINTA SANG PEMBERONTAK   Chapter 12. Lepas dari Kematian

    Cahaya senter itu terlihat kian mendekat seiring suara langkah kaki segerombolan orang dengan napas lelah yang dibarengi beberapa obrolan ringan kini semakin terdengar jelas. Beberapa orang dari gerombolan tersebut terlihat sedang memikul beberapa peti kayu berukuran satu meter lebih dan sebagian lagi sibuk memegang senter serta senjata ditangan sebagai pengamanan. Ketika segerombolan orang itu sampai di jalan setapak yang tadi dilewati oleh Pak Ferdy, Pak Musa dan PakZaenal. Rombongan itu tiba-tiba berhenti.“Sem. Sepertinya, aku tadi melihat seberkas cahaya senter berhenti di sini.”“Mungkin itu hanya penglihatanmu saja, Moza. Bahkan, aku tidak melihat apa-apa selain jalan setapak yang disoroti cahaya senter.”“Yang memegang senter! Tolong soroti sekeliling! Sepertinya ada sesuatu yang mencurigakan.”Mendengar perintah dari Moza itu, semua yang membawa senter terlihat sibuk menyorotkan senter mereka ke sekelilin

DMCA.com Protection Status