Home / All / BAIT-BAIT CINTA SANG PEMBERONTAK / Chapter 3. Menyusun Rencana

Share

Chapter 3. Menyusun Rencana

Author: Bond Monosta
last update Last Updated: 2021-09-08 18:20:25

Memasuki pertengahan malam, Moza, Sembi, Resta dan Pak Gandara terlihat duduk melingkari sebuah meja panjang. Keempat orang itu tanpak berbicara dengan serius.

Tok, tok, tok,” suara pintu yang diketuk memecahkan obrolan mereka.

“Permisi,  Pak,” ucap sebuah suara dari balik pintu.

“Silahkan masuk,” ujar Pak Gandara, dan beberapa orang terlihat berjalan memasuki ruangan itu. Mereka lalu duduk di atas kursi yang telah disediakan. Sejenak Pak Gandara melirik pada orang-orang yang hadir di ruangan itu lalu mulai membuka percakapan.

 “Rekan-rekan semua. Sebagaimana telah kita ketahui. Bahwa, pergerakan kita ini sudah berjalan hampir selama 14 tahun lebih. Saya rasa, sekarang hampir mendekati klimaksnya. Dan Pak Gamaliel sebagi pemimpin pergerakan, telah menyerahkan sepenuhnya kepada saya untuk memimpin misi kita selanjutnya. Dan sebagimana kita ketahui, ternyata pemerintah tidak juga menyerahkan kemerdekaan wilayah yang telah kita perjuangkan ini. Berbagai cara halus sudah kita tempuh, dan cara kasar pun sudah kita lalui, tapi hasilnya tetap saja nihil,” ucap Gandara.

 “Lalu. Apa tindakan kita selanjutnya? Rasanya, kesabaran saya sudah habis,” ujar laki-laki yang bernama Sugeng yang telah mengangkat dirinya secara tidak resmi sebagai jenderal.

“Saya punya rencana. Kita culik orang-orang yang berpengaruh di wilayah ini, termasuk Pak Gubernur. Kita ajak mereka berunding secara paksa. Dengan begitu, mereka pasti mau bekerja sama dengan kita untuk melepaskan wilayah ini dari cengkraman orang Republik. Kita bikin Pak Gubernur dan orang-orang itu membuat pernyataan bahwa mereka mendukung pergerakan kita. Lalu, kita menyiarkannya di media masa, dan media sosial lainnya. Karena selama ini, mereka lah yang selalu menghalang-halangi pergerakan kita ini, mereka adalah boneka orang Republik,” ucap Pak Gandara.

“Kapan rencana ini dilaksanakan, Paman?” tanya Sembi sambil menatap Pak Gandara.

“Secepatnya. Tapi, kita harus menyusun rencana ini matang-matang, karena sedikit saja kita melakukan kesalahan, maka akibatnya akan fatal. Kita sudah jenuh dengan pergerakan kita yang belum juga ada hasilnya, dan sepertinya mereka juga sudah jenuh dengan keberadaan kita. Ingat, aksi kita harus berhasil. Kalau tidak, maka kita akan ditumpas habis oleh mereka,” ujar Pak Gandara menegaskan.

Semua terlihat mengangguk tanda mengerti. Pak Gandara mengambil beberapa lembar poto dari dalam lacinya.

“Ini. Kelima orang ini akan kita culik, lalu kita bawa ke hutan tempat persembunyian kita”.

“Lalu. Siapa saja yang akan melaksanakan tugas ini?” tanya Pak Sugeng.

“Kalian semua lah yang akan melaksanakan tugas ini. Makanya saya memanggil kalin semua ke ruangan ini. Sugeng dan kamu Moza, kalin bertugas membawa Pak Gubernur. Kebetulan pada tanggal 12 nanti, Pak Gubernur akan mengadakan rapat dengan para pejabat lainnya di balai kota. Setelah acara tersebut selesai, Pak Gubernur dan rombongannya dijadwalkan akan mengadakan kunjungan ke sebuah wilayah di selatan, kita gunakan kesempatan itu sebaik mungkin. Di jalan yang melintasi hutan bambu, kita cegat rombongan Pak Gubernur. Selain tempatnya sepi, di sana juga jauh dari keramain. Dan Sembi, Kamu yang membawa Pemilik media ternama di wilayah kita. Kebetulan, pemilik media tersebut juga merupakan salah satu ketua dewan. Yang lain, menculik sisanya. Setelah Pak Gubernur dan yang lainnya membuat pernyataan, kita langsung kirimkan video rekaman mereka pada media tersebut. Dibawah perintah Pak dewan yang kita ancam, media tersebut pasti akan menyiarkannya. Dan untuk mejalankan misi ini, saya menugaskan 250 tentara kita, yang masing-masing akan dibagi kedalam lima kelompok dengan persenjataan yang lengkap. Masing-masing akan membawa 50 tentara, dan saya rasa itu cukup,” ucap Pak Gandara menjelaskan.

Moza yang sedari tadi diam mulai angkat bicara.

“Tapi, Paman. Apakah ini tidak akan mencurigakan pihak pemerintah pusat?” tanya Moza dan terlihat yang lainnya pun menoleh pada Pak Gandara.

“Asalkan kalian melaksanakannya dengan rapi, tentu tidak akan mencurigakan mereka, dan menghambat pergerakan cepat mereka. Ingat, kita berseragam seperti orang biasa saja, tidak perlu memakai seragam kebesaran tentara kita. Ada lagi pertanyaan atau usulan dari rekan-rekan semua?” ucap Pak Gandara sambil melirik pada yang hadir. Moza terlihat melirik dan mulai berbicara.

“Begini, Paman. Saya hanya mengusulkan. Untuk mengalihkan perhatian dan menghambat penyebaran informasi, bagaimana kalau kita ledakan saja beberapa pembangkit listrik di wilayah ini. Untuk waktu peledakannya, berbarengan setelah target utama kita dapatkan, dengan begitu perhatian masyarakat akan sedikit teralihkan dan menghambat penyebaran berita. Dengan begitu, akan banyak ruang untuk kita bergerak,” usul Moza. Mendengar usulan Moza itu, Pak Gandara terlihat manggut-manggut.

“Ya, bagus juga ide kamu, Moza” Pak Gandara lalu melirik pada Sembi “Sembi, tolong setelah ini kamu hubungi Reza, dia pemimpin pasukan kita yang ada di kota. Perintahkan dia sesuai ide Moza tadi,” pinta Pak Gandara pada Sembi.

“Baik Paman,” jawab sembi.

“Adalagi pertanyaan?” tanya Pak Gandara sambil melirik pada yang hadir.

“Paman. Bagaimana kalau pak Gubernur dan orang-orangnya tetap tidak mau bekerjasama dengan kita?” tanya Sembi.

 “Kita lihat saja nanti. Kita pasti punya seribu cara untuk meruntuhkan keteguhan hati mereka. Oke. Saya rasa, untuk pertemun saat ini kita cukupkan sampai di sini. Malam ini, kita istirahat sejenak. Besok pagi, kita berangkat ke markas dan kita matangkan rencana kita di sana. Sembi, jangan lupa hubungi Reza, sampaikan apa yang tadi Moza usulkan,” ujar Pak Gandara sambil mengakhiri pertemuan malam itu dan Sembi mengiyakan. Yang hadir terlihat mengangguk tanda setuju, dan satu-persatu dari mereka telihat  meninggalkan ruangan kecuali Moza.

 “Ada apa Moza? Apakah belum jelas?” tanya Pak Gandara pada Moza yang terlihat seperti sedang memikikan sesuatu.

“Begini Paman. Kalau seandainya Pak Gubernur tetap tidak mau bekerja sama dengan kita. Lalu, apa tindakan kita selanjutnya? Karena kita tidak mungkin membunuh Pak Gubernur. Bisa-bisa, seluruh masyarakat akan mengecam habis-habisan pergerakan kita ini, termasuk sebagian masyarakat yang sudah mendukung kita,” tanya Moza pada Pak Gandara.

 “Ya. Inilah yang sedang saya pikirkan. Tapi, sudahlah. Untuk selanjutnya, kita lihat saja nanti. Yang terpenting saat ini, kita jalankan rencana yang sudah kita buat, semoga saja berjalan dengan lancar,” jawab Pak Gandara.

“Oh, ya, Moza. Sebelum pemberangkatan nanti, kamu cek amunisi dan perbekalan para tentara kita. Jangan sampai hal sepele menghambat pergerakan mereka,” ujar Pak Gandara menambahkan.

“Siap, Paman.”

“Oh, iya, Paman. Sepertinya, kita juga perlu menempatkan beberapa orang di beberapa titik pusat keamanan para tentara republik dan jalan masuk provinsi. Sehingga, jika ada pergerakan atau pengejaran dari mereka, maka kita akan mengetahuinya.” Moza mengusulkan.

“Ya, saya rasa masukan kamu sangat berguna sekali. Kalau perlu, kita suruh juga beberapa orang untuk meledakan beberapa pusat perbelanjaan atau pusat keramaian. Dengan begitu, perhatian pemerintah republik akan teralihkan dari peristiwa penculikan yang kita lakukan.”

Setelah obrolan itu dirasakan cukup, Moza akhirnya berjalan keluar meninggalkan ruangan menuju kamarnya untuk beristirahat.

Related chapters

  • BAIT-BAIT CINTA SANG PEMBERONTAK   Chapter 4. Obrolan Keluarga Pak Gubernur

    Pagi itu disaat embun pagi berjatuhan terhempas sang raja hari yang mulai menampakan diri, dan jalanan yang terlihat mulai ramai dilalui kendaraan serta para pejalan kaki menandakan kota yang mulai menggeliat bangun dari tidurnya.Di sebuah rumah besar yang letaknya berada di perumahan dinas pemerintah mulai terlihat ramai oleh beberapa orang yang keluar masuk ke dalam rumah itu.“Kenapa, Bu. Kok kelihatannya gelisah gitu?” tanya seorang laki-laki yang sebagian rambutnya terlihat sudah mulai beruban sambil menatap istrinya yang sedang duduk di ruang tengah.”Entahlah, Yah. Tapi, perasaan ibu, kok, tidak enak banget ya pagi ini?” jawab perempuan itu memandang suaminya yang keluar dari pintu kamar.“Memangnya, Ibu mikirin apa sih? ” tanyanya lagi pada istrinya. Ibu Dewi bangkit dari kursinya lalu menghampiri suaminya yang sedang berdiri, ia kemudian membetulkan posisi dasi suaminya yang terlihat agak miring.

    Last Updated : 2021-09-08
  • BAIT-BAIT CINTA SANG PEMBERONTAK   Chapter 5. Penculikan Pak Gubernur

    Setelah beberapa jam berlalu, pertemuan di gedung itu pun akhirnya selesai dan Pak Gubernur beserta rombongannya terlihat mulai keluar meninggalkan ruangan rapat. Para wartawan yang sedari tadi menunggu cukup lama akhirnya kembali berebut mendekati Pak Gubernur dan kembali menghujaninya dengan beberapa pertanyaan.“Bagaimana, Pak. Apakah Bapak sudah mendapatkan solusinya dan bagaimana keputusannya?” tanya seorang wartawan sambil menyodorkan mikrofon pada Pak Musa.“Kita akan mencoba mengadakan perundingan dengan pihak-pihak yang dicurigai sebagai pemberontak dan juga yang dicurigai telah menebar teror atas dasar paham radikal mereka,” jawab Pak Musa.“Apakah cara ini akan berhasil, Pak?”“Kita lihat saja nanti, ya. Mudah-mudahan cara ini berhasil.”“Kenapa kita tidak langsung menumpas mereka saja, Pak. Bukankah jumlah mereka lebih sedikit dibandingkan dengan kita?” seoran

    Last Updated : 2021-09-08
  • BAIT-BAIT CINTA SANG PEMBERONTAK   Chapter 6. Suasana di Markas Pemberontak

    Sebuah sentuhan lembut pada rambut kepalannya mulai terasa seiring suara panggilan sendu dibarengi isak tangis perlahan hinggap di telinga seorang gadis muda yang mulai tersadar.“Sayang, bangun, Nak,” ucapnya pelan sambil menangis di samping gadis muda yang terbaring lemas. Perlahan gadis muda itu mulai terlihat membuka mata.“Bu. Ayah mana, Bu. Kak Indra mana, Bu?” tanya gadis itu yang tiada lain adalah Zahra. Bu Dewi hanya menangis saat mendengar pertanyaan anaknya itu.“Bu. Kak Indra mana?” tanyanya lagi yang belum sepenuhnya sadar.“Tenang sayang, kamu istirahat saja, ya,” sahut seorang perempuan sambil membelai lembut rambut Zahra.“Tante. Kok, tante ada di sini?” Zahra perlahan bangkit lalu duduk. Ia terlihat melirik ke sekeliling ruangan yang sudah ramai dipenuhi orang-orang, dan ketika pandangannya melirik ke sebuah sudut ruangan, Zahra melihat sebuah peti yang dihiasi karan

    Last Updated : 2021-09-09
  • BAIT-BAIT CINTA SANG PEMBERONTAK   Chapter 7. Sosok Presiden

    Malam semakin larut, suasan hutan pun terasa semakin mencekam. Suara anjing hutan yang melolong terdengar bersahutan dengan suara-suara binatang malam lainnya. Cahaya obor yang dipasang di depan tenda-tenda penginapan terlihat menari-nari terhempas angin mencoba memecah kegelapan malam. Di luar sebuah tenda, tampak Pak Gamaliel dan Pak Gandara serta rekannya yang lain sedang berbincang-bincang.“Apakah semua target sudah didapatkan?” tanya Pak Gamaliel.“Sudah, Pak. Semua sudah berada di tenda utama,” jawab Sembi.Pak Gamaliel lalu berjalan menuju tenda besar yang sedang dijaga ketat oleh beberapa tentaranya. Langkahnya diikuti oleh Pak Gandara dan Pak Sugeng beserta tiga orang tentaranya dengan bersenjata lengkap. Setelah berada di depan tenda, Pak Gamaliel membuka pintu tenda itu dengan perlahan.Melihat beberapa orang muncul dari pintu tenda, Pak Musa dan keempat rekannya serempak melirik, dan tampaklah siapa sosok Presiden yang

    Last Updated : 2022-01-16
  • BAIT-BAIT CINTA SANG PEMBERONTAK   Chapter 8. Penolakan Tegas

    Saat pajar menggelar warna-warnanya dan burung-burung berkicau bersahutan mendengungkan nada-nada indah yang melukiskan aroma pagi telah datang. Gemuruh dedaunan yang tersentuh angin pengembara melenggak-lenggok bagai sang penari yang menjadi ritual pagi menyambut sang mentari.“Prok! Prok! Prok!”Gemuruh hentakan suara sepatu jungle para tentara yang berjalan melewati sebuah tenda tempat Pak Musa dan keempat rekannya ditahan terdengar jelas. Sepatu para tentara itu sepertinya terbuat dari kulit asli pilihan dengan sol kembang cermai baja pilihan tapi ringan yang dibuat dengan penuh kecermatan tingkat tinggi hingga menghadirkan bunyi derap yang berbeda. Bunyi derap sepatu para tentara yang berbaris itu hinggap di telinga Pak Musa. Perlahan-lahan ia membuka matanya yang kemudian disusul oleh keempat rekannya. Dari luar tiba-tiba muncul beberapa orang lelaki dengan membawakan makanan dan yang lainnya membawa beberapa baskom yang berisi air hangat lengka

    Last Updated : 2022-01-16
  • BAIT-BAIT CINTA SANG PEMBERONTAK   Chapter 9. Dijadikan Rusa Buruan

    Di tenda yang ditempati Pak Musa dan rekan-rekannya, mereka terlihat sedang mencari solusi bagaimana menghadapi situasi itu.“Menurut Bapak. Kira-kira apa yang sedang mereka rencanakan?” tanya Mayjen Ferdy pada Pak Musa.“Entahlah. Yang pasti, mereka akan terus berusaha agar kita mau bekerjasama dengan mereka.”“Saya khawatir. Kalau mereka akan memaksa kita dengan cara-cara yang kasar. Dan lebih jauh lagi, mereka akan membinasakan kita.”“Bagaimana kalau kita kabur saja dari sini, Pak?” usul Pak kamaludin memberi saran.“Rasanya tidak mungkin. Lihat saja jumlah mereka, terlalu banyak untuk kita lewati, dan sedikit pun kita tidak bisa berpaling dari tatapan mata mereka yang selalu sigap memperhatikan gerak-gerik kita sebagai tawanannya,” sahut Pak Musa sambil merenung.Sesaat kemudian keheningan kembali menyelimuti mereka. Rasanya sangat sulit untuk menentukan

    Last Updated : 2022-02-02
  • BAIT-BAIT CINTA SANG PEMBERONTAK   Chapter 10. Kesedihan Zahra

    Ketika senja perlahan melangkah pulang dan sang malam mulai menebar kegelapannya. Seorang gadis tengah mengurung diri di dalam sebuah kamar. Yang dilakukannya hanya duduk dan memandangi pantulan kecantikannya dalam cermin besar yang dihias indah. Bola matanya terlihat berkaca-kaca pertanda sedang dirundung duka, duka yang amat mendalam dari hilangnya seorang insan.“Tok, tok, tok” terdengar suara pintu diketuk namun suara itu sedikit pun tidak mampu membangunkan dirinya dari lamun.“Tok, tok, tok.” pintu kamarnya kembali terdengar diketuk. Tapi gadis cantik itu masih asik dengan lamunannya. Pikiranya melayang jauh menembus waktu, masa lalu yang kini hanya akan menjadi kenangan tanpa harapan akan terulang. Tidak lama kemudian terdengar suara pintu dibuka.“Zahra,” sebuah suara memanggil namanya dan terlihat seorang perempuan berusia empat puluh lima tahunan masuk ke dalam kamar mendekati gadis itu. Perempuan itu lalu mend

    Last Updated : 2022-02-02
  • BAIT-BAIT CINTA SANG PEMBERONTAK   Chapter 11. Sebuah Siasat

    Ketika malam semakin larut terdengar berbagai bunyi hewan malam bersahutan dibalik-balik pohon dan semak-semak, serta bunyi gemuruh dedaunan yang tertiup angin, dan ranting-ranting kering yang patah terinjak hewan malam yang sedang mencari nafkah. Sesekali dari kejauhan samar-samar terdengar suara-suara anjing hutan melolong mewarnai suasana malam yang semakin mencekam, tak ketinggalan suara nyanyian jangkring yang tak pernah absen bergema bersahutan menggambarkan nyanyian malam di dalam hutan.“Sekarang, perkiraan jam berapa ya, Pak?” tanya Pak Ferdy. Pak Musa menyalakan handphonnya“Sekarang baru pukul 00.30,” sahut Pak Muza.“Pak. Kenapa Bapak tidak mengirim pesan saja pada keluarga atau tentara kita dan memberitahukan kalau kita ada di sini?” tanya Pak zainal pelan.“Pak Zaenal. Kalau di sini ada sinyal, tentu dari kemarin saya sudah mengirim pesan. Dan kita tidak tahu kita ini berada di hutan apa. Lagipula, k

    Last Updated : 2022-02-02

Latest chapter

  • BAIT-BAIT CINTA SANG PEMBERONTAK   Chapter 20. Bertindak Sendiri

    Sore itu Moza terlihat sedang termenung di atas tempat tidurnya. Bagaimana pun juga, dendam di dalam dadanya masih terus bergemuruh. Meskipun, ia sudah mulai nyaman dengan kehidupannya saat ini, tapi selama pembunuh orang tuanya belum ditemukan, dendam itu terus menantangnya untuk terus mencari tahu. “Aku tidak bisa menunggu lebih lama lagi, aku harus bergerak,” gumamnya dalam hati. Ia kemudian menghubungi Sembi, dan tidak perlu menunggu lama, terdengar Sembi mengangkat panggilannya. “Ada apa Moza?” “Sem. Kamu tahu, siapa komandan tentara kita yang di tugaskan di dalam kota?” Tanya Moza. “Iya, tahu. Namanya Reza. Nanti saya hubungkan dengan kamu. Tapi

  • BAIT-BAIT CINTA SANG PEMBERONTAK   Chapter 19. Satu Hari Bersama Lisa Hallay

    Setelah acara makan itu selesai, ketiganya terlihat meninggalkan restoran dan kembali ke kampus.“Moza. Berapa nomor handphon kamu?” tanya Pak Mario pada Moza sambil menyetir mobilnya.“Saya belum sempat membeli handphon, Pak?”“Terus. Komunikasi dengan Pak Gamaliel, bagaimana?”“Tenang saja, Pak. Saya sudah tahu bagaimana berkomunikasi dengan beliau secara aman,” sahut Moza.“Ya. Kalian memang orang-orang cerdas. Otak kalian seperti ikan salmon yang tidak pernah lupa jalan pulang menuju tempat kelahirannya,” jawab Pak Mario.Mendengar percakapan kedua orang itu Lisa hanya diam, ia benar-benar tidak mengerti tentang apa sebenarnya yang sedang dibicarakan namun itu tidak terlalu ia pikirkan. Mobil itu kini sudah sampai di halaman kampus dan mereka kemudian turun dari dalam mobil.“Moza. Ini kartu nama saya, kalau sudah beli handphon, secepatnya hubungi saya, ya. Da

  • BAIT-BAIT CINTA SANG PEMBERONTAK   Chapter 18. Tokoh Tersembunyi

    Pagi itu Moza, Sembi, Resta serta Pak Gandara dan Murry keluar dari sebuah perkampungan dengan mengendarai sebuah mobil warna silver. Setelah berada di jalan raya mobil yang dibawa Murry itu melaju dengan kencang.“Moza. Nanti kalau kamu sudah berada di kampus itu, kamu langsung temui Pak Mario, ia sudah tau akan kedatangan kamu dan kalau ada apa-apa, kamu tinggal bilang saja sama dia. Jangan khawatir, dia orang kita juga,” kata Pak Gandara.“Dan kamu Sembi. Kamu hubungi Master Chie-Tung, dia juga orang kita.”“Wah! Saya tidak menyangka, di universitas-universitas juga ternyata banyak orang-orang kita juga ya,” sahut Resta.“Ya. Kita sengaja menempatkan orang-orang kita di beberapa lembaga pendidikan dan pemerintahan, agar mereka bisa memasukan doktrin-doktrin kita pada para mahasiswa dalam pelajaran-pelajaran mereka. Karena selama ini, pemerintah hanya tahu kalau para pemberontak itu tempatnya di hutan-hutan rimb

  • BAIT-BAIT CINTA SANG PEMBERONTAK   Chapter 17. Menyusun Langkah Baru

    Tiga pekan sudah Moza, Pak Gamaliel dan yang lainya berada dalam pelarian. Berpindah-pindah dari satu tempat ke tempat lain yang dirasakan aman, karena mereka menyadari bahwa para tentara republik kini sedang gencar-gencarnya mencari dan menumpas para pemberontak yang telah banyak meresahkan masyarakat. Moza dan kedua rekanya Sembi dan Resta berada di sebuah kota, sedangkan Pak Gamaliel dan Pak Gandara, keduanya berada di sebuah daerah dekat perbatasan. Sedangkan Murry yang merupakan supir mereka bertugas menghubungkan satu dengan yang lainnya. Sesekali ia mengantarkan barang-barang yang mereka perlukan.Suatu pagi ketika mereka sedang berada di dalam sebuah rumah yang baru tiga hari mereka tinggali. Terlihat Moza dan Sembi sedang sibuk membersihkan beberapa handguns diantaranya Semi Otomatis seperti FN, Pistol Mesin seperti U21 , Revolver dan Deringer. Dari dalam sebuah ruangan Resta muncul dengan membawa dua senjata laras panjang atau Long Guns dan beberapa senapan serbu.

  • BAIT-BAIT CINTA SANG PEMBERONTAK   Chapter 16. Kembali Pulang

    Satu jam lamanya mereka menempuh perjalanan menggunakan ojek, turun naik bukit dan melewati hutan serta pesawahan, maklum saja perkampungan itu terletak di sebuah bukit dan dikelilingi oleh gunung-gunung yang jauh dari sentuhan perkotaan. Jalanan yang menurun dan curam terkadang pula menanjak dengan kondisi jalan yang sepenuhnya tidak diaspal hanya berlapiskan tanah merah dan bebatuan yang terkadang membuat ketiganya mengerang kesakitan saat roda motor menerjang bebatuan-bebatuan itu. Setelah melewati perjalanan yang melelahkan itu, mereka kini tiba di sebuah perkampungan lain namun beruntung, jalanan yang rusak penuh bebatuan itu tidak mereka temukan lagi. Aspal hitam yang terhampar di jalanan membuat perjalanan terasa nyaman, sehingga para pengendara ojek itu tidak ragu-ragu lagi untuk memacu kecepatan motor mereka.Mereka akhirnya tiba di sebuah terminal. Setelah memberikan sejumlah uang kepada ketiga pengendara ojek itu, mereka kemudian melangkahkan kakinya. Hingar-bingar

  • BAIT-BAIT CINTA SANG PEMBERONTAK   Chapter 15. Kabar Duka

    Di sebuah pesawahan yang terletak di pinggir hutan terlihat sepasang suami isteri dan seorang anak laki-laki muda tengah sibuk memanen padi mereka yang sudah menguning. Setelah terlalu lama membungkuk saat memotong padi, isteri pak tani terlihat berdiri lalu meregangkan otot-ototnya yang terasa pegal. Pandangannya tiba-tiba ia arahkan pada tiga orang laki-laki yang berpakaian mirip tentara keluar dari arah hutan. Sejenak ia terus memperhatikan langkah ketiga orang itu yang mulai mendekat.“Pak. Coba lihat ke belakang. Ada tiga orang keluar dari dalam hutan, dan sepertinya sedang menuju kemari,” kata perempuan itu pada suaminya, dan suaminya terlihat berdiri lalu melemparkan pandangannya ke arah tiga laki-laki yang sedang berjalan menuju tempat mereka.“Iya, Bu. Penampilan mereka terlihat seperti tentara.”Ketiga orang laki-laki itu tampak semakin jelas setelah berada di dekat mereka.“Permisi, Pak, Bu. Maaf kami m

  • BAIT-BAIT CINTA SANG PEMBERONTAK   Chapter 14. Hujan Peluru

    Pagi itu komandan Alexa dan rekan-rekannya terlihat sedang memperhatikan perbuatan kejam para pemberontak yang baru menembak mati dua anggotanya. Dari semak-semak itu dengan jelas mereka melihat tindakan kejam itu. Entah apa yang telah diperbuat dua anggota itu sehingga hukuman mati harus mereka terima.“Komandan. Sepertinya kita harus menjauh dari tempat ini. Saya khawatir mereka akan melihat kita. Apalagi matahari sudah mulai terlihat terang,” ucap salah satu anggotanya, dan Pak Alex terdiam sejenak“Baiklah. Ayo kita menjauh dari tempat ini, tapi hati-hati jangan sampai ketahuan.”Kedelapan tentara itu dengan perlahan-lahan berjalan sambil merunduk menjauhi tempat itu. Sayangnya, ranting-ranting mati yang terinjak oleh mereka seakan berteriak dan menimbulkan bunyi patahan, bunyi itu sepertinya hinggap di gendang telinga Moza meski tidak terlalu jelas namun membuat Moza membalikan badan dan menoleh pada suara itu.“Siapa di

  • BAIT-BAIT CINTA SANG PEMBERONTAK   Chapter 13. Pengintaian

    Pagi itu sekitar jam 05:30, Pak Alex dan ketujuh rekannya sudah sampai di dekat barisan obor itu. Dan alangkah terkejutnya mereka ketika menyadari bahwa itu ternyata adalah sarangnya para pemberontak. Kedelapan orang itu terlihat berjalan mengendap-ngendap mendekati tempat itu. Mereka bersembunyi di antara semak belukar. Dari semak-semak tersebut beberapa tentara berseragam hitam-hitam mulai terlihat berlalu-lalang dengan senjata lengkap. Selain itu, disana juga terdapat sebuah helikoipter.“Sepertinya kita akan menghadapi pertempuran besar.”“Iya Pak. Jumlah mereka ternyata sangat banyak dan persenjataan mereka juga sepertinya sangat lengkap.”“Kopral Adi. Tolong hubungi Pak Rudy. Tanyakan, mereka sudah sampai dimana? Dan tolong kasih tahu lokasi kita.”“Baik, Pak.”“Kopral Adi lalu menghubungi pasukan Pak Rudi lewat PTX-SPM-622 Squad Power Protonex. Dan setelah berbincang-bincang sesaat ia kem

  • BAIT-BAIT CINTA SANG PEMBERONTAK   Chapter 12. Lepas dari Kematian

    Cahaya senter itu terlihat kian mendekat seiring suara langkah kaki segerombolan orang dengan napas lelah yang dibarengi beberapa obrolan ringan kini semakin terdengar jelas. Beberapa orang dari gerombolan tersebut terlihat sedang memikul beberapa peti kayu berukuran satu meter lebih dan sebagian lagi sibuk memegang senter serta senjata ditangan sebagai pengamanan. Ketika segerombolan orang itu sampai di jalan setapak yang tadi dilewati oleh Pak Ferdy, Pak Musa dan PakZaenal. Rombongan itu tiba-tiba berhenti.“Sem. Sepertinya, aku tadi melihat seberkas cahaya senter berhenti di sini.”“Mungkin itu hanya penglihatanmu saja, Moza. Bahkan, aku tidak melihat apa-apa selain jalan setapak yang disoroti cahaya senter.”“Yang memegang senter! Tolong soroti sekeliling! Sepertinya ada sesuatu yang mencurigakan.”Mendengar perintah dari Moza itu, semua yang membawa senter terlihat sibuk menyorotkan senter mereka ke sekelilin

DMCA.com Protection Status