Home / All / BAIT-BAIT CINTA SANG PEMBERONTAK / Chapter 9. Dijadikan Rusa Buruan

Share

Chapter 9. Dijadikan Rusa Buruan

Author: Bond Monosta
last update Last Updated: 2022-02-02 19:09:15

Di tenda yang ditempati Pak Musa dan rekan-rekannya, mereka terlihat sedang mencari solusi bagaimana menghadapi situasi itu.

“Menurut Bapak. Kira-kira apa yang sedang mereka rencanakan?” tanya Mayjen Ferdy pada Pak Musa.

 “Entahlah. Yang pasti, mereka akan terus berusaha agar kita mau bekerjasama dengan mereka.”

 “Saya khawatir. Kalau mereka akan memaksa kita dengan cara-cara yang kasar. Dan lebih jauh lagi, mereka akan membinasakan kita.”

 “Bagaimana kalau kita kabur saja dari sini, Pak?” usul Pak kamaludin memberi saran.

“Rasanya tidak mungkin. Lihat saja jumlah mereka, terlalu banyak untuk kita lewati,  dan sedikit pun kita tidak bisa berpaling dari tatapan mata mereka yang selalu sigap memperhatikan gerak-gerik kita sebagai tawanannya,” sahut Pak Musa sambil merenung.

Sesaat kemudian keheningan kembali menyelimuti mereka. Rasanya sangat sulit untuk menentukan pilihan di dalam sarang macan yang setiap saat bisa saja menerkam mereka.

Di tenda Pak Gamaliel, tanpak mereka sedang mematangkan rencana, dan setelah merasa cukup mereka semua terlihat berdiri dan keluar meninggalkan tenda lalu berjalan menuju sebuah tempat yang sedikit luas, tempat para tentara mereka berlatih perang. Sedangkan Sembi dengan dibarengi sepuluh tentara lainnya berjalan menuju tempat Pak Musa dan keempat rekannya ditahan. Tidak berapa lama mereka sudah sampai di depan tenda itu, Sembi kemudian masuk ke dalam tenda.

“Maaf, Pak Gubernur. Kalin ditunggu Pak Presiden di luar,” ucap Sembi sambil menodongkan senjatanya.

“Apalagi yang kalian rencanakan?” tanya Pak Musa.

“Kalian tidak perlu banyak bicara. Ayo  jalan!” jawab seorang tentara. Pak Musa dan keempat rekannya kemudian digiring oleh Sembi dan beberapa tentara menuju tempat Pak Gamaliel berada.

“Bagaimana Pak Gubernur? Apakah sudah dipikirkan? Apa kau setuju dengan tawaranku?” tiga pertanyaan sekaligus keluar dari mulut Pak Gamaliel pada Pak Musa yang sudah hadir di hadapannya.

“Apa pun yang akan kau lakukan, itu tidak akan mengubah pendirianku,   Gamaliel,” jawab Pak Musa tegas, dan mendapat jawaban seperti itu, Pak Gamaliel tertawa lebar lalu menghisap rokoknya.

 “Hahahaha. Kita lihat saja nanti. Seberapa gigih kah kau mempertahankan pendirianmu. Dan saya yakin, jika kamu sayang terhadap rekan-rekanmu,  maka kamu akan setuju dengan penawaranku.”

“Maksud kamu apa Gamaliel?”.

 “Sembi. Bawa dua orang itu kemari.” Perintah Pak Gamaliel pada Sembi sambil menatap tajam pada Pak Kamaludin dan Pak Wira. Dan Sembi pun mendorong kedua orang itu dengan senapannya.

“Apa yang akan kau lakukan, Gamaliel?” tanya Pak Wira.

“Bapak-bapak. Saya sudah berpikir untuk berbaik hati melepaskan kalin berdua. Lagipula, kalian hanya mengurangi jatah pasokan makan kami saja. Oleh karena itu, saya persilahkan kalian untuk pergi dari sini, dan larilah sejauuuuuh yang kalian bisa,” ucap Pak Gamaliel sambil tersenyum dengan kata-kata bernada mendayu namun terlihat sebuah kengerian dari tatapan matanya.

Pak Wira dan Pak Kamaludin saling bertatapan, keduanya terlihat bingung dengan ucapan Pak Gamaliel itu.

“Dalam hitungan tiga, saya sudah tidak mau lagi melihat batang hidung kalian. Dan jika tidak ... ” Pak Gamaliel lalu mengambil pistol dari pinggangnya.

“Maka timah panas ini, akan bersarang di kepala kalian!” gertak Pak Gamaliel. Pak Wira dan Pak Kamaludin saling bertatapan lalu memandang Pak Gubernur Musa,  sedangkan Pak Gamaliel mengangkat senjatanya ke atas dan memulai hitungannya.

“Satu! ... Dua! ... ”

“Maafkan kami, Pak,” ucap Pak Wira dan Pak Kamaludin. Mereka kemudian pergi setengah berlari meninggalkan tempat itu. Pak Musa dan kedua rekannya hanya menatap Pak Wira dan Pak kamaludin yang sedang berlari menjauh lalu hilang ditelan rimbunnya hutan.

“Apa maksudmu membebaskan mereka, Gamaliel?” tanya Pak Musa yang khawatir terhadap kedua rekannya itu karena harus berlari di dalam hutan entah berantah.

“Hahaha. Sebenarnya, saya ingin benar-benar berbaik hati untuk membebaskan mereka. Kalau saja, Pak Gubernur mau menerima tawaran saya, dan mau bekerjasama dengan kami. Tapi sayang, rupanya Pak Gubernur lebih sayang dengan pendirian Pak Gubernur daripada kedua rekan Bapak itu,” ucapnya dengan senyum licik.

 “Sembi! Siapkan pasukanmu untuk berburu!” perintah Pak Gamaliel pada Sembi.

“Siap! Pak!”jawab Sembi. Dan tanpa menunggu lama lima puluh tentara yang dipimpin Sembi berlari mengejar Pak Wira dan Pak Kamaludin yang sedari tadi sudah berlari menjauhi tempat itu memasuki hutan.

“Kurang ajar kau Gamaliel! Dasar biadab!” gertak Pak Musa lalu merebut senjata salah satu tentara pemberontak dan hendak menembak Pak Gamaliel namun Pak Gandara dengan sigap memukulkan gagang pistolnya tepat di kepala Pak Musa. Pak Ferdy dan Pak Zainal hendak membela namun segera ditahan bahkan mereka mendapatkan pukulan dari tentara pemberontak. Pak Musa hendak terjatuh namun ditahan oleh beberapa tentara pemberontak.

Di dalam hutan, Pak Wira dan Pak kamaludin terlihat sedang berlari menembus semak-semak di antara rimbunnya hutan dan pohon yang menjulang, yang mereka sendiri tidak tahu kemana arah menuju jalan keluar dari hutan itu.

“Huh, huh, huh!” deru napas tua Pak Wira terdengar.

“Pak Kamal. Rasanya, saya sudah tidak kuat lagi!” ucap Pak Wira pada Pak Kamaludin yang berlari di depannya, dan Pak Wira lalu berhenti sambil membungkukan badannya mencoba mengatur napasnya yang terengah-engah.

“Cepat Pak Wira. Kita harus cepat-cepat meninggalkan tempat ini,” jawab Pak Kamaludin.

“Tapi. Mereka tidak mengejar kita, kan?”

“Jangan bodoh Pak Wira. Saya merasa mereka punya rencana lain, dan tidak mungkin membiarkan kita pergi begitu saja.” 

Mereka lalu terdiam sejenak mencoba memulihkan tenaga yang mulai habis.

“Pak Wira. Coba dengarkan baik-baik. Sepertinya, sekelompok orang sedang berlari, dan mereka semakin dekat,” ucap Pak kamaludin. Pak Wira menoleh ke belakang.

“Pak Wira, cepat!” ajak Pak Kamaludin sambil menarik tangan Pak Wira ketika menyadari bahwa sekelompok orang terlihat sedang berlari mengejar mereka dengan senjata yang siap ditembakan, dan mereka pun kembali berlari menjauhi para pemberontak  yang makin mendekati mereka. “Bruk.!” tiba-tiba Pak Wira terjatuh, lelaki itu tersandung sebuah akar kayu yang menonjol ke permukaan tanah.

“Pak Kamal! Tolong saya!” Pak Kamaludin yang mendengar teriakan Pak Wira lalu menoleh dan mencoba menolong laki-laki tua itu.

“Dor! Dor! Dor!” tiba-tiba beberapa tembakan mengarah pada mereka.

 “Pak Wira cepat!”

Pak Kamaludin kembali menarik lengan Pak Wira dan mencoba mengangkat tubuh  itu. Namun, baru saja Pak kamaludin mengangkat tubuh Pak Wira.

“Dor! ” sebuah tembakan tiba-tiba mengenai punggung Pak Wira. “Bruk!” lutut Pak Wira jatuh ke tanah. Pak Kamaludin mencoba menahan tubuh itu agar tidak jatuh.

“Pak Wira! Bertahanlah!” pinta Pak kamaludin dengan tubuh gemetar.

 “Pak Kamal. Larilah, selamatkan dirimu!” ujar Pak Wira yang sudah pasrah.

“Tapi, Pak?”

“Larilah!”

“Dor!” sebuah tembakan kembali mengenai punggung Pak Wira. Dan dengan berat hati, Pak Kamaludin akhirnya melepaskan tubuh tua itu dan kembali berlari meninggalkan Pak Wira yang mulai terjatuh ke rerumputan.

Beberapa detik kemudian Sembi dan para tentaranya tiba di dekat tubuh Pak Wira yang mulai kejang-kejang menahan sakit.

 “Lihatlah! Satu rusa buruan kita sudah terkapar, tinggal satu rusa lagi,” ucap   seorang tentara. Sembi membalikan tubuh Pak Wira dengan kakinya seakan ingin menatap jelas wajah lelaki setengah abad itu. Terlihat wajah Pak Wira mulai pucat dengan mulut menganga menahan rasa sakit. Sembi mengambil kecamata tebal yang setia menempel di mata Pak Wira dan melemparkanya ke semak-semak. Ia lalu menodongkan pistolnya tepat di tubuh Pak wira.

 Go to hell, old man!” ucap Sembi.

“Dor! Dor! Dor!” Beberapa butir peluru Sembi tembakan pada tubuh tua itu, dan Pak Wira akhinya menggelepar tak bernyawa.

“Kalian berdua. Jaga tubuh orang ini jangan sampai binatang liar menyantapnya. Dan yang lain. Ayo kita berburu rusa satunya!” perintah Sembi pada para tentaranya dan mereka pun kembali berlari mengejar Pak Kamaludin yang lari tergopoh-gopoh.

“Huh! Huh! Huh!” deru napas Pak kamaludin dengan langkah kakinya yang semakin melambat.

“Rasanya, aku sudah tak sanggup lagi berlari. Ya tuhan, tolong saya,” ucap Pak Kamaludin dalam hati mencoba memohon pertolongan pada yang maha kuasa sambil mengatur napasnya yang terengah-engah.

“Dor!” tiba-tiba sebuah tembakan mengenai betis kakinya, “Bruk!” Pak Kamaludin jatuh ke tanah namun dengan sekuat tenaga ia kembali bangkit sambil menahan rasa sakit di kakinya dan kembali berlari meski tertatih-tatih menerjang semak-semak di antara pohon-pohon besar. Namun dengan tanpa ia sadari, darah yang menetes dari kakinya meninggalkan jejak-jejak pelariannya. Dalam pelariannya itu, Pak Kamaludin menemukan sebuah lubang yang agak tertutup oleh dedaunan di bawah sebuah pohon besar, dan tanpa berpikir panjang akan bahaya dalam lubang itu, ia kemudian berjongkok dan masuk ke dalam lubang itu.

“Tuhan tolong selamatkan saya,” rintih Pak Kamaludin mengiba sambil melihat sekitar lubang gelap yang tak terjamah cahaya.

“Kita kehilangan jejak komandan!” kata seorang tentara pada Sembi.

“Bego! Cari terus! Saya yakin dia tidak jauh dari sini,” perintah Sembi, dan para tentara itu pun kembali sibuk mencari jejak-jejak Pak Kamaludin yang menghilang dari pandangan mereka. Dan setelah beberapa lama, seorang tentara mendekati Sembi.

“Komandan. Kita benar-benar kehilangan orang itu,” ucapnya, dan sembi terlihat marah.

“Bodoh kalin semua!” hardik Sembi sambil menendang tentara yang melapor itu.

“Cari orang itu sampai dapat!” perintah Sembi penuh amarah.

“Baik komandan!” Mereka pun kembali sibuk mencari Pak Kamaludin di antara semak belukar  dan dibalik barisan pepohonan yang menjulang tinggi.

Ketika Pak Kamaludin sedang duduk bersandar pada dinding lubang sambil menahan rasa sakit di kakinya yang dipenuhi darah dari luka tembak tadi, tanpa ia sadari seekor ular kobra mendekatinya.

“Sssss! Ssss!” terdengar suara ular itu mendesis. Mendengar suara itu, Pak Kamaludin menoleh dan alangkah kagetnya ia saat melihat seekor ular kobra sudah berada di dekatnya, ia pun kalap dan tanpa berpikir panjang, ia lalu keluar dari dalam lubang itu, ia lupa kalau di luar lubang itu lima puluh pucuk senjata sedang menunggu kehadiranya.

 “Itu, dia!” teriak seorang tentara yang melihat Pak Kamaludin keluar dari dalam persembunyiannya.

“Dor! Dor! Dor!” Beberapa tembakan mengarah pada Pak Kamaludin, dan Pak Kamaludin mencoba berlari menghindar namun baru saja beberapa meter, sebuah peluru sudah mengenai punggungnya. “Bruk!” Pak Kamaludin terjatuh, tubuhnya mengenai ranting-ranting mati di tanah dan dengan sekuat tenaga Pak Kamaludin mencoba merangkak. Namun sayangnya, ketika Pak Kamaldin sedang merangkak, para tentara itu sudah mengelilinginya dan menodongkan senjatan pada Pak Kamaludin. Seorang tentara membalikan tubuh Pak Kamaludin dengan kakinya.

 “Biadab! Kalin semua!” hardik Pak Kamaludin sambil menatap para tentara yang semuanya memakai topeng hitam. Sembi mendekati tubuh Pak Kamaludin.

“Rupanya, Anda lincah juga tuan. Namun sayang, nyawa tuan harus berakhir di sini. Padahal, Presiden kami sudah berbaik hati menyuruh Anda lari. Sayangnya, tuan lebih memilih mati daripada lari,” ucap Sembi sambil menyalakan sebatang roko dan kemudian dia menodongkan pistolnya pada Pak Kamaludin yang terbaring di tanah sambil meringis menahan sakit.

“Ucapkan selamat tinggal pada dunia, tuan.”

“Dor! Dor!” Sembi menembakan dua butir peluru pada tubuh Pak Kamaludin dan Pak Kamaludin pun akhirnya meregang nyawa dengan kondisi yang mengenaskan.

“Bawa mayat orang ini!” perintah Sembi pada beberapa tentaranya dan mereka kemudian kembali munuju tenda dengan menyeret mayat Pak Kamaludin dan Pak Wira.

“Rupanya rusa-rusa itu lincah juga,” Gumam Pak Gamaliel.

“Kau benar-benar biadab! Gamaliel! Mengapa kau tidak menembak mati saja mereka daripada harus jadi buruan?” ucap Pak Musa sambil meringis menahan sakit di kepalanya.

“Hahaha ... terlalu mudah bagi ku untuk melakukan itu. Anggap saja, ini sebuah latihan kecil bagi tentara kami. Lihatlah! Rupanya para pemburuku telah berhasil menangkap kedua rusa itu,” ucap Pak Gamaliel yang terlihat puas ketika melihat Sembi dan tentaranya telah kembali membawa kedua mayat Pak Wira dan Pak Kamaludin.

Merah padam bercampur amarah muka Pak Musa ketika melihat para tentara itu menyeret tubuh kedua rekannya dengan tidak berpri kemanusiaan. Tubuh Pak Wira dan Pak Kamaludin kondisinya sudah tidak benyawa lagi.

 “Biadab kau! Gamaliel! Kau akan membayar mahal untuk semua ini!” ancam Pak Musa.

“Baiklah, Pak Gubernur. Semoga setelah peristiwa ini, kau akan memikirkannya baik-baik tawaranku. Atau, kau mau kedua rekan-rekanmu ini mati juga seperti kedua rekanmu itu?” ucap Pak Gamaliel sambil menatap Pak Ferdy dan Pak Zaenal.

“Saya akan berbaik hati untuk memberi kesempatan pada Pak Gubernur untuk memikirkannya satu malam lagi. Dan jika Pak Gubernur masih bersikeras tidak mau bekerjasama. Maka Pak Gubernur harus kembali mengiklaskan kedua orang kepercayaan Pak Gubernur untuk jadi rusa buruan tentara kami berikutnya. Hahaha. Moza! Bawa ketiga orang ini kembali ke tenda, dan kamu Sembi, buang kedua mayat tak berguna itu ke jurang!” ucap Pak Gamaliel.

“Biadab! Ingat Gamaliel, kau akan membayar mahal untuk semua ini!” ancam Pak Musa yang sedang digiring kembali ke tenda.

Moza dan beberapa tentara terus menggiring Pak Musa dan kedua rekannya kembali ke dalam tenda besar tempat ketiganya ditahan, sedangkan Sembi dan beberapa tentaranya menyeret tubuh Pak Wira dan Pak Kamaludin menuju sebuah jurang, dan dengan tanpa rasa iba, kedua tubuh tak bernyawa itu mereka lemparkan ke dalam jurang.

Di dalam tenda Pak Musa dan kedua rekannya hanya terdiam membisu, masing-masing seperti sedang berpikir. Perasaan sedih dan amarah berbaur menjadi satu di dalam benak mereka.

“Kita harus keluar dari tempat ini,” Pak Ferdy mulai memecah keheningan.

‘’Tapi, bagaimana caranya?  Penjagaan begitu ketat,” sahut Pak Musa sambil memandang Pak Ferdy. Wajah pak Musa terlihat penuh amarah.

”Begini. Nanti malam, secara diam-diam, kita panggil salah satu penjaga itu. Lalu kita sergap, kemudian pakaian mereka kita tukar dengan pakaian kita. Dan setelah itu, kita bereskan pengawal kedua, ketiga dan keempat. Lagipula, mereka semua memakai topeng. Dengan begitu, penyamaran kita tidak akan ketahuan. Tapi, kita harus benar-benar waspada, jangan sampai ketahuan. Dan tentara yang kita sergap, usahakan jangan sampai mengeluarkan suara,” usul Pak Ferdy.

“Apa itu tidak terlalu beresiko?” tanya Pak Zaenal.

“Semua perbuatan mengandung resiko, Pak. Tergantung dari kitanya. Yang penting. kita menjalankannya dengan rapi.”

Pak Musa dan Pak zaenal terdiam ketika mendengar usulan Pak Ferdy itu.

“Baiklah, Pak Ferdy. Malam ini juga kita akan coba lakukan rencanamu. Semoga Allah melindungi kita,” ucap Pak Musa.

“Aamiin,” sahut Pak Ferdy dan Pak Zaenal mengamini kata-kata Pak Musa.

Related chapters

  • BAIT-BAIT CINTA SANG PEMBERONTAK   Chapter 10. Kesedihan Zahra

    Ketika senja perlahan melangkah pulang dan sang malam mulai menebar kegelapannya. Seorang gadis tengah mengurung diri di dalam sebuah kamar. Yang dilakukannya hanya duduk dan memandangi pantulan kecantikannya dalam cermin besar yang dihias indah. Bola matanya terlihat berkaca-kaca pertanda sedang dirundung duka, duka yang amat mendalam dari hilangnya seorang insan.“Tok, tok, tok” terdengar suara pintu diketuk namun suara itu sedikit pun tidak mampu membangunkan dirinya dari lamun.“Tok, tok, tok.” pintu kamarnya kembali terdengar diketuk. Tapi gadis cantik itu masih asik dengan lamunannya. Pikiranya melayang jauh menembus waktu, masa lalu yang kini hanya akan menjadi kenangan tanpa harapan akan terulang. Tidak lama kemudian terdengar suara pintu dibuka.“Zahra,” sebuah suara memanggil namanya dan terlihat seorang perempuan berusia empat puluh lima tahunan masuk ke dalam kamar mendekati gadis itu. Perempuan itu lalu mend

    Last Updated : 2022-02-02
  • BAIT-BAIT CINTA SANG PEMBERONTAK   Chapter 11. Sebuah Siasat

    Ketika malam semakin larut terdengar berbagai bunyi hewan malam bersahutan dibalik-balik pohon dan semak-semak, serta bunyi gemuruh dedaunan yang tertiup angin, dan ranting-ranting kering yang patah terinjak hewan malam yang sedang mencari nafkah. Sesekali dari kejauhan samar-samar terdengar suara-suara anjing hutan melolong mewarnai suasana malam yang semakin mencekam, tak ketinggalan suara nyanyian jangkring yang tak pernah absen bergema bersahutan menggambarkan nyanyian malam di dalam hutan.“Sekarang, perkiraan jam berapa ya, Pak?” tanya Pak Ferdy. Pak Musa menyalakan handphonnya“Sekarang baru pukul 00.30,” sahut Pak Muza.“Pak. Kenapa Bapak tidak mengirim pesan saja pada keluarga atau tentara kita dan memberitahukan kalau kita ada di sini?” tanya Pak zainal pelan.“Pak Zaenal. Kalau di sini ada sinyal, tentu dari kemarin saya sudah mengirim pesan. Dan kita tidak tahu kita ini berada di hutan apa. Lagipula, k

    Last Updated : 2022-02-02
  • BAIT-BAIT CINTA SANG PEMBERONTAK   Chapter 12. Lepas dari Kematian

    Cahaya senter itu terlihat kian mendekat seiring suara langkah kaki segerombolan orang dengan napas lelah yang dibarengi beberapa obrolan ringan kini semakin terdengar jelas. Beberapa orang dari gerombolan tersebut terlihat sedang memikul beberapa peti kayu berukuran satu meter lebih dan sebagian lagi sibuk memegang senter serta senjata ditangan sebagai pengamanan. Ketika segerombolan orang itu sampai di jalan setapak yang tadi dilewati oleh Pak Ferdy, Pak Musa dan PakZaenal. Rombongan itu tiba-tiba berhenti.“Sem. Sepertinya, aku tadi melihat seberkas cahaya senter berhenti di sini.”“Mungkin itu hanya penglihatanmu saja, Moza. Bahkan, aku tidak melihat apa-apa selain jalan setapak yang disoroti cahaya senter.”“Yang memegang senter! Tolong soroti sekeliling! Sepertinya ada sesuatu yang mencurigakan.”Mendengar perintah dari Moza itu, semua yang membawa senter terlihat sibuk menyorotkan senter mereka ke sekelilin

    Last Updated : 2022-02-05
  • BAIT-BAIT CINTA SANG PEMBERONTAK   Chapter 13. Pengintaian

    Pagi itu sekitar jam 05:30, Pak Alex dan ketujuh rekannya sudah sampai di dekat barisan obor itu. Dan alangkah terkejutnya mereka ketika menyadari bahwa itu ternyata adalah sarangnya para pemberontak. Kedelapan orang itu terlihat berjalan mengendap-ngendap mendekati tempat itu. Mereka bersembunyi di antara semak belukar. Dari semak-semak tersebut beberapa tentara berseragam hitam-hitam mulai terlihat berlalu-lalang dengan senjata lengkap. Selain itu, disana juga terdapat sebuah helikoipter.“Sepertinya kita akan menghadapi pertempuran besar.”“Iya Pak. Jumlah mereka ternyata sangat banyak dan persenjataan mereka juga sepertinya sangat lengkap.”“Kopral Adi. Tolong hubungi Pak Rudy. Tanyakan, mereka sudah sampai dimana? Dan tolong kasih tahu lokasi kita.”“Baik, Pak.”“Kopral Adi lalu menghubungi pasukan Pak Rudi lewat PTX-SPM-622 Squad Power Protonex. Dan setelah berbincang-bincang sesaat ia kem

    Last Updated : 2022-02-05
  • BAIT-BAIT CINTA SANG PEMBERONTAK   Chapter 14. Hujan Peluru

    Pagi itu komandan Alexa dan rekan-rekannya terlihat sedang memperhatikan perbuatan kejam para pemberontak yang baru menembak mati dua anggotanya. Dari semak-semak itu dengan jelas mereka melihat tindakan kejam itu. Entah apa yang telah diperbuat dua anggota itu sehingga hukuman mati harus mereka terima.“Komandan. Sepertinya kita harus menjauh dari tempat ini. Saya khawatir mereka akan melihat kita. Apalagi matahari sudah mulai terlihat terang,” ucap salah satu anggotanya, dan Pak Alex terdiam sejenak“Baiklah. Ayo kita menjauh dari tempat ini, tapi hati-hati jangan sampai ketahuan.”Kedelapan tentara itu dengan perlahan-lahan berjalan sambil merunduk menjauhi tempat itu. Sayangnya, ranting-ranting mati yang terinjak oleh mereka seakan berteriak dan menimbulkan bunyi patahan, bunyi itu sepertinya hinggap di gendang telinga Moza meski tidak terlalu jelas namun membuat Moza membalikan badan dan menoleh pada suara itu.“Siapa di

    Last Updated : 2022-02-06
  • BAIT-BAIT CINTA SANG PEMBERONTAK   Chapter 15. Kabar Duka

    Di sebuah pesawahan yang terletak di pinggir hutan terlihat sepasang suami isteri dan seorang anak laki-laki muda tengah sibuk memanen padi mereka yang sudah menguning. Setelah terlalu lama membungkuk saat memotong padi, isteri pak tani terlihat berdiri lalu meregangkan otot-ototnya yang terasa pegal. Pandangannya tiba-tiba ia arahkan pada tiga orang laki-laki yang berpakaian mirip tentara keluar dari arah hutan. Sejenak ia terus memperhatikan langkah ketiga orang itu yang mulai mendekat.“Pak. Coba lihat ke belakang. Ada tiga orang keluar dari dalam hutan, dan sepertinya sedang menuju kemari,” kata perempuan itu pada suaminya, dan suaminya terlihat berdiri lalu melemparkan pandangannya ke arah tiga laki-laki yang sedang berjalan menuju tempat mereka.“Iya, Bu. Penampilan mereka terlihat seperti tentara.”Ketiga orang laki-laki itu tampak semakin jelas setelah berada di dekat mereka.“Permisi, Pak, Bu. Maaf kami m

    Last Updated : 2022-02-06
  • BAIT-BAIT CINTA SANG PEMBERONTAK   Chapter 16. Kembali Pulang

    Satu jam lamanya mereka menempuh perjalanan menggunakan ojek, turun naik bukit dan melewati hutan serta pesawahan, maklum saja perkampungan itu terletak di sebuah bukit dan dikelilingi oleh gunung-gunung yang jauh dari sentuhan perkotaan. Jalanan yang menurun dan curam terkadang pula menanjak dengan kondisi jalan yang sepenuhnya tidak diaspal hanya berlapiskan tanah merah dan bebatuan yang terkadang membuat ketiganya mengerang kesakitan saat roda motor menerjang bebatuan-bebatuan itu. Setelah melewati perjalanan yang melelahkan itu, mereka kini tiba di sebuah perkampungan lain namun beruntung, jalanan yang rusak penuh bebatuan itu tidak mereka temukan lagi. Aspal hitam yang terhampar di jalanan membuat perjalanan terasa nyaman, sehingga para pengendara ojek itu tidak ragu-ragu lagi untuk memacu kecepatan motor mereka.Mereka akhirnya tiba di sebuah terminal. Setelah memberikan sejumlah uang kepada ketiga pengendara ojek itu, mereka kemudian melangkahkan kakinya. Hingar-bingar

    Last Updated : 2022-02-07
  • BAIT-BAIT CINTA SANG PEMBERONTAK   Chapter 17. Menyusun Langkah Baru

    Tiga pekan sudah Moza, Pak Gamaliel dan yang lainya berada dalam pelarian. Berpindah-pindah dari satu tempat ke tempat lain yang dirasakan aman, karena mereka menyadari bahwa para tentara republik kini sedang gencar-gencarnya mencari dan menumpas para pemberontak yang telah banyak meresahkan masyarakat. Moza dan kedua rekanya Sembi dan Resta berada di sebuah kota, sedangkan Pak Gamaliel dan Pak Gandara, keduanya berada di sebuah daerah dekat perbatasan. Sedangkan Murry yang merupakan supir mereka bertugas menghubungkan satu dengan yang lainnya. Sesekali ia mengantarkan barang-barang yang mereka perlukan.Suatu pagi ketika mereka sedang berada di dalam sebuah rumah yang baru tiga hari mereka tinggali. Terlihat Moza dan Sembi sedang sibuk membersihkan beberapa handguns diantaranya Semi Otomatis seperti FN, Pistol Mesin seperti U21 , Revolver dan Deringer. Dari dalam sebuah ruangan Resta muncul dengan membawa dua senjata laras panjang atau Long Guns dan beberapa senapan serbu.

    Last Updated : 2022-02-10

Latest chapter

  • BAIT-BAIT CINTA SANG PEMBERONTAK   Chapter 20. Bertindak Sendiri

    Sore itu Moza terlihat sedang termenung di atas tempat tidurnya. Bagaimana pun juga, dendam di dalam dadanya masih terus bergemuruh. Meskipun, ia sudah mulai nyaman dengan kehidupannya saat ini, tapi selama pembunuh orang tuanya belum ditemukan, dendam itu terus menantangnya untuk terus mencari tahu. “Aku tidak bisa menunggu lebih lama lagi, aku harus bergerak,” gumamnya dalam hati. Ia kemudian menghubungi Sembi, dan tidak perlu menunggu lama, terdengar Sembi mengangkat panggilannya. “Ada apa Moza?” “Sem. Kamu tahu, siapa komandan tentara kita yang di tugaskan di dalam kota?” Tanya Moza. “Iya, tahu. Namanya Reza. Nanti saya hubungkan dengan kamu. Tapi

  • BAIT-BAIT CINTA SANG PEMBERONTAK   Chapter 19. Satu Hari Bersama Lisa Hallay

    Setelah acara makan itu selesai, ketiganya terlihat meninggalkan restoran dan kembali ke kampus.“Moza. Berapa nomor handphon kamu?” tanya Pak Mario pada Moza sambil menyetir mobilnya.“Saya belum sempat membeli handphon, Pak?”“Terus. Komunikasi dengan Pak Gamaliel, bagaimana?”“Tenang saja, Pak. Saya sudah tahu bagaimana berkomunikasi dengan beliau secara aman,” sahut Moza.“Ya. Kalian memang orang-orang cerdas. Otak kalian seperti ikan salmon yang tidak pernah lupa jalan pulang menuju tempat kelahirannya,” jawab Pak Mario.Mendengar percakapan kedua orang itu Lisa hanya diam, ia benar-benar tidak mengerti tentang apa sebenarnya yang sedang dibicarakan namun itu tidak terlalu ia pikirkan. Mobil itu kini sudah sampai di halaman kampus dan mereka kemudian turun dari dalam mobil.“Moza. Ini kartu nama saya, kalau sudah beli handphon, secepatnya hubungi saya, ya. Da

  • BAIT-BAIT CINTA SANG PEMBERONTAK   Chapter 18. Tokoh Tersembunyi

    Pagi itu Moza, Sembi, Resta serta Pak Gandara dan Murry keluar dari sebuah perkampungan dengan mengendarai sebuah mobil warna silver. Setelah berada di jalan raya mobil yang dibawa Murry itu melaju dengan kencang.“Moza. Nanti kalau kamu sudah berada di kampus itu, kamu langsung temui Pak Mario, ia sudah tau akan kedatangan kamu dan kalau ada apa-apa, kamu tinggal bilang saja sama dia. Jangan khawatir, dia orang kita juga,” kata Pak Gandara.“Dan kamu Sembi. Kamu hubungi Master Chie-Tung, dia juga orang kita.”“Wah! Saya tidak menyangka, di universitas-universitas juga ternyata banyak orang-orang kita juga ya,” sahut Resta.“Ya. Kita sengaja menempatkan orang-orang kita di beberapa lembaga pendidikan dan pemerintahan, agar mereka bisa memasukan doktrin-doktrin kita pada para mahasiswa dalam pelajaran-pelajaran mereka. Karena selama ini, pemerintah hanya tahu kalau para pemberontak itu tempatnya di hutan-hutan rimb

  • BAIT-BAIT CINTA SANG PEMBERONTAK   Chapter 17. Menyusun Langkah Baru

    Tiga pekan sudah Moza, Pak Gamaliel dan yang lainya berada dalam pelarian. Berpindah-pindah dari satu tempat ke tempat lain yang dirasakan aman, karena mereka menyadari bahwa para tentara republik kini sedang gencar-gencarnya mencari dan menumpas para pemberontak yang telah banyak meresahkan masyarakat. Moza dan kedua rekanya Sembi dan Resta berada di sebuah kota, sedangkan Pak Gamaliel dan Pak Gandara, keduanya berada di sebuah daerah dekat perbatasan. Sedangkan Murry yang merupakan supir mereka bertugas menghubungkan satu dengan yang lainnya. Sesekali ia mengantarkan barang-barang yang mereka perlukan.Suatu pagi ketika mereka sedang berada di dalam sebuah rumah yang baru tiga hari mereka tinggali. Terlihat Moza dan Sembi sedang sibuk membersihkan beberapa handguns diantaranya Semi Otomatis seperti FN, Pistol Mesin seperti U21 , Revolver dan Deringer. Dari dalam sebuah ruangan Resta muncul dengan membawa dua senjata laras panjang atau Long Guns dan beberapa senapan serbu.

  • BAIT-BAIT CINTA SANG PEMBERONTAK   Chapter 16. Kembali Pulang

    Satu jam lamanya mereka menempuh perjalanan menggunakan ojek, turun naik bukit dan melewati hutan serta pesawahan, maklum saja perkampungan itu terletak di sebuah bukit dan dikelilingi oleh gunung-gunung yang jauh dari sentuhan perkotaan. Jalanan yang menurun dan curam terkadang pula menanjak dengan kondisi jalan yang sepenuhnya tidak diaspal hanya berlapiskan tanah merah dan bebatuan yang terkadang membuat ketiganya mengerang kesakitan saat roda motor menerjang bebatuan-bebatuan itu. Setelah melewati perjalanan yang melelahkan itu, mereka kini tiba di sebuah perkampungan lain namun beruntung, jalanan yang rusak penuh bebatuan itu tidak mereka temukan lagi. Aspal hitam yang terhampar di jalanan membuat perjalanan terasa nyaman, sehingga para pengendara ojek itu tidak ragu-ragu lagi untuk memacu kecepatan motor mereka.Mereka akhirnya tiba di sebuah terminal. Setelah memberikan sejumlah uang kepada ketiga pengendara ojek itu, mereka kemudian melangkahkan kakinya. Hingar-bingar

  • BAIT-BAIT CINTA SANG PEMBERONTAK   Chapter 15. Kabar Duka

    Di sebuah pesawahan yang terletak di pinggir hutan terlihat sepasang suami isteri dan seorang anak laki-laki muda tengah sibuk memanen padi mereka yang sudah menguning. Setelah terlalu lama membungkuk saat memotong padi, isteri pak tani terlihat berdiri lalu meregangkan otot-ototnya yang terasa pegal. Pandangannya tiba-tiba ia arahkan pada tiga orang laki-laki yang berpakaian mirip tentara keluar dari arah hutan. Sejenak ia terus memperhatikan langkah ketiga orang itu yang mulai mendekat.“Pak. Coba lihat ke belakang. Ada tiga orang keluar dari dalam hutan, dan sepertinya sedang menuju kemari,” kata perempuan itu pada suaminya, dan suaminya terlihat berdiri lalu melemparkan pandangannya ke arah tiga laki-laki yang sedang berjalan menuju tempat mereka.“Iya, Bu. Penampilan mereka terlihat seperti tentara.”Ketiga orang laki-laki itu tampak semakin jelas setelah berada di dekat mereka.“Permisi, Pak, Bu. Maaf kami m

  • BAIT-BAIT CINTA SANG PEMBERONTAK   Chapter 14. Hujan Peluru

    Pagi itu komandan Alexa dan rekan-rekannya terlihat sedang memperhatikan perbuatan kejam para pemberontak yang baru menembak mati dua anggotanya. Dari semak-semak itu dengan jelas mereka melihat tindakan kejam itu. Entah apa yang telah diperbuat dua anggota itu sehingga hukuman mati harus mereka terima.“Komandan. Sepertinya kita harus menjauh dari tempat ini. Saya khawatir mereka akan melihat kita. Apalagi matahari sudah mulai terlihat terang,” ucap salah satu anggotanya, dan Pak Alex terdiam sejenak“Baiklah. Ayo kita menjauh dari tempat ini, tapi hati-hati jangan sampai ketahuan.”Kedelapan tentara itu dengan perlahan-lahan berjalan sambil merunduk menjauhi tempat itu. Sayangnya, ranting-ranting mati yang terinjak oleh mereka seakan berteriak dan menimbulkan bunyi patahan, bunyi itu sepertinya hinggap di gendang telinga Moza meski tidak terlalu jelas namun membuat Moza membalikan badan dan menoleh pada suara itu.“Siapa di

  • BAIT-BAIT CINTA SANG PEMBERONTAK   Chapter 13. Pengintaian

    Pagi itu sekitar jam 05:30, Pak Alex dan ketujuh rekannya sudah sampai di dekat barisan obor itu. Dan alangkah terkejutnya mereka ketika menyadari bahwa itu ternyata adalah sarangnya para pemberontak. Kedelapan orang itu terlihat berjalan mengendap-ngendap mendekati tempat itu. Mereka bersembunyi di antara semak belukar. Dari semak-semak tersebut beberapa tentara berseragam hitam-hitam mulai terlihat berlalu-lalang dengan senjata lengkap. Selain itu, disana juga terdapat sebuah helikoipter.“Sepertinya kita akan menghadapi pertempuran besar.”“Iya Pak. Jumlah mereka ternyata sangat banyak dan persenjataan mereka juga sepertinya sangat lengkap.”“Kopral Adi. Tolong hubungi Pak Rudy. Tanyakan, mereka sudah sampai dimana? Dan tolong kasih tahu lokasi kita.”“Baik, Pak.”“Kopral Adi lalu menghubungi pasukan Pak Rudi lewat PTX-SPM-622 Squad Power Protonex. Dan setelah berbincang-bincang sesaat ia kem

  • BAIT-BAIT CINTA SANG PEMBERONTAK   Chapter 12. Lepas dari Kematian

    Cahaya senter itu terlihat kian mendekat seiring suara langkah kaki segerombolan orang dengan napas lelah yang dibarengi beberapa obrolan ringan kini semakin terdengar jelas. Beberapa orang dari gerombolan tersebut terlihat sedang memikul beberapa peti kayu berukuran satu meter lebih dan sebagian lagi sibuk memegang senter serta senjata ditangan sebagai pengamanan. Ketika segerombolan orang itu sampai di jalan setapak yang tadi dilewati oleh Pak Ferdy, Pak Musa dan PakZaenal. Rombongan itu tiba-tiba berhenti.“Sem. Sepertinya, aku tadi melihat seberkas cahaya senter berhenti di sini.”“Mungkin itu hanya penglihatanmu saja, Moza. Bahkan, aku tidak melihat apa-apa selain jalan setapak yang disoroti cahaya senter.”“Yang memegang senter! Tolong soroti sekeliling! Sepertinya ada sesuatu yang mencurigakan.”Mendengar perintah dari Moza itu, semua yang membawa senter terlihat sibuk menyorotkan senter mereka ke sekelilin

DMCA.com Protection Status