Beranda / Semua / BAIT-BAIT CINTA SANG PEMBERONTAK / Chapter 8. Penolakan Tegas

Share

Chapter 8. Penolakan Tegas

Penulis: Bond Monosta
last update Terakhir Diperbarui: 2022-01-16 14:31:09

Saat pajar menggelar warna-warnanya dan burung-burung berkicau bersahutan mendengungkan nada-nada indah yang melukiskan aroma pagi telah datang. Gemuruh dedaunan yang tersentuh angin pengembara melenggak-lenggok bagai sang penari  yang menjadi ritual pagi menyambut sang mentari.

“Prok! Prok! Prok!”

Gemuruh hentakan suara sepatu jungle para tentara yang berjalan melewati sebuah tenda tempat Pak Musa dan keempat rekannya ditahan terdengar jelas. Sepatu para tentara itu sepertinya terbuat dari kulit asli pilihan dengan sol kembang cermai baja pilihan tapi ringan yang dibuat dengan penuh kecermatan tingkat tinggi hingga menghadirkan bunyi derap yang berbeda. Bunyi derap sepatu para tentara yang berbaris itu hinggap di telinga Pak Musa. Perlahan-lahan ia membuka matanya yang kemudian disusul oleh keempat rekannya. Dari luar tiba-tiba muncul beberapa orang lelaki dengan membawakan makanan dan yang lainnya membawa beberapa baskom yang berisi air hangat lengkap dengan beberapa handuk kecil untuk mencuci muka. Pak Musa mencuci mukannya yang kemudian disusul oleh keempat rekannya, mereka kemudian menikmati makanan yang sudah tersedia di meja.

“Kita harus bagaimana, Pak? Saya rasa, Pak Gamaliel akan terus memaksa kita agar mau bekerja sama dengan mereka?” kata Pak Wira membuka percakapan.

“Saya juga masih bingung bagaimana menghadapi orang seperti Gamaliel itu. Pak Wira juga mungkin masih ingat siapa Gamaliel itu. Dua belas tahun yang lalu, ketika ia menjabat sebagai wakil Gubernur, ia banyak memanipulasi dan menggelapkan uang rakyat. Bahkan, dengan segala akal liciknya, banyak perusahaan negara yang sahamnya ia jual ke perusahaan asing. Dan ketika kelakuan bejatnya itu ditentang oleh Pak Gubernur hingga ia pun akhirnya diberhentikan secara tidak hormat. Namun sayang, seminggu setelah pemecatannya itu, tiba-tiba Pak Gubernur dan seluruh keluarganya meninggal secara tragis. Dari dulu saya curiga, kalau dalang dari pembunuhan itu adalah dia. Karena kalau bukan dia, siapa lagi yang berani berbuat hal keji seperti itu. Dia akan melenyapkan siapa saja yang menentang pemikiran-pemikirannya, bahkan mungkin itu juga yang terjadi pada Pak Gubernur yang merupakan penentang terberatnya saat itu,” ujar Pak Musa menuturkan kenangan lama.

“Pak Ferdy, mengapa anda bisa tertangkap? Bukankah kemarin kita bersama-sama mengadakan rapat, dan anda masih berada di tempat itu ketika saya pergi,” tanya Pak Musa menatap pada Mayje Ferdy.

“Saya juga sama sekali tidak menduga, kalau orang-orang yang menyertai saya ternyata ada yang berhianat. Saat saya hendak kembali ke markas, ternyata saya dibawa ke sebuah tempat yang setibanya di sana, ternyata saya langsung dikepung oleh tentara pemberontak, enam pengawal setia saya ditembak mati, dan para penghianat bergabung dengan pasukan pemberontak,” sahut pak Fedy menuturkan.

“Sepertinya, kita harus melakukan pembersihan pada tentara kita, agar kita tidak kecolongan lagi,” timpal Pak Kamaludin. 

“Ya, kalau tidak ada orang dalam, mana mungkin mereka bisa menjalankan langkah mereka dengan mulus. Fawn Gamaliel adalah orang lama di pemerintahan, pemikirannya sangat liar dan licik. Namun, ia sangat pintar berdiplomasi. Jika yang dihadapinya orang yang tidak mengenal dirinya, maka akan mudah terbujuk,” ucap Pak Musa menambahkan.

Ketika mereka sedang berbincang-bincang, dari luar tenda terdengar langkah kaki sekelompok orang yang sedang berjalan menuju tenda mereka, dan sesaat kemudian terlihat Pak Gamaliel dan Pak Gandara masuk ke dalam tenda itu.

“Selamat pagi Bapak-bapak. Saya harap kalian suka dengan sajian menu sarapan paginya,” sapa Pak Gamaliel. Pak Musa dan keempat rekannya menghentikan aktivitas sarapan mereka.

“Bagaimana Pak Gubernur dan Bapak-bapak semua. Apakah kalian sudah mendapatkan kepututusan yang tepat? Saya harap. Keputusan kalian itu tidak mengecewakan kami dan juga tidak merugikan kalian,” ucap Pak Gamaliel sambil mengepulkan asap rokok dari mulurnya.

“Gamaliel. Saya mengenalmu bukan sehari dua hari. Saya tahu betul siapa kamu. Orang yang serakah dan tanpa moralitas serta tidak pernah berubah. Pigur  kepemimpinan dalam dirimu sedikit pun tidak ada. Kalaupun suatu masyarakat memilih kamu. Saya yakin, kamu hanya akan menjadi pemimpin yang korup saja,” sahut Pak Musa.

Pak Gamaliel terlihat menghisap rokoknya dengan santi.

“Musa, Musa. Sudah berada di kandang macan saja kamu masih banyak berkicau. Memangnya saya tidak mampu untuk memimpin mereka?” tatapan Mata Pak Gamaliel tajam pada Pak Musa.

“Ingat Gamaliel. Kepemimpinan itu membutuhkan kearifan yang akan menuntun pemimpin itu untuk mampu membedakan tindakan yang pantas, dan tidak pantas yang hasilnya adalah moralitas, etika dan keadilan. Selain itu, seorang pemimpin juga harus memiliki imajinasi positif yang tinggi sehingga akan memberikan cara pandang yang terbuka. Namun sayangnya, semua itu sedikit pun tidak pernah ada dalam dirimu Gamaliel. Imajinasi yang ada dalam benakmu hanya keuntungan semata tanpa mempedulikan rakyat yang menderita,” jawab Pak Musa dengan lantang dan perkataan Pak Musa itu bagi petir yang menyambar gendang telinga Pak Gamaliel.

“Cukup Musa! Saya tidak ingin mendengar ocehan-ocehanmu lagi. Saya hanya ingin kamu membacakan teks dalam kertas itu di depan kamera, dan menandatangani surat persetujuan di bawahnya. Setelah itu, biar kami yang bekerja. Simple kan! Karena kami membawamu ke sini bukan untuk menceramahiku!” Pak Gamaliel terlihat murka.

“Brak!” Pak Musa menggebrak meja makan dengan kepalan tangannya, “Sampai mati pun. Saya tidak akan pernah setuju dengan penawaranmu itu!” jawabnya tegas sambil menggertak.

 “Oke! Kita lihat saja nanti. Saya yakin, sebentar lagi kamu pasti akan setuju dengan penawaran saya ini,” ucapnya. Dan tanpa permisi, Pak Gamaliel dan Pak Gandara akhirnya keluar dari dalam tenda dan berjalan menuju tempat tenda mereka.

Di tenda lain yang letaknya agak jauh dari tempat Pak Gamaliel, terlihat Moza masih terbaring di dalam tendanya. Namun, suara berisik dari senapan yang ditembakan oleh beberapa tentara yang sedang berlatih seolah-olah memanggil dan menyeretnya dari alam mimpi. Dan dengan rasa malas, Moza membuka matanya kemudian duduk di atas tempat tidur yang terbuat dari bambu itu, tangannya memegang kedua lututnya. Dari pintu tenda, kedua orang rekannya yaitu Sembi dan Resta tiba-tiba muncul.

“Bagaimana kawan. Apakah kamu bermimpi indah hingga sesiang ini baru terjaga?” tanya Sembi sambil duduk di kursi.

“Entahlah, Sem. Meski raga ini letih, tapi tidak dengan pikiranku. Kegelisahan yang muncul secara tiba-tiba, seakan-akan melenyapakan semua keletihan yang hinggap di raga ini, hingga semalaman aku susah tidur,” ucap Moza seakan tidak sadar terhadap apa yang baru diucapkannya hingga membuat Sembi dan Resta saling melempar pandangan penuh keheranan.

“Maksud kamu?” tanya Sembi dan Resta saling bertatapan. Mereka terlihat bingung, sejak kapan sosok Moza yang keras dan tegas dalam bertindak tiba-tiba jadi seorang pujangga lebay.

 “Sudahlah! Bagaimana rencana hari ini? Dan bagaimana dengan para tahanan itu?” Moza balik bertanya.

“Makanya kami kemari. Kami diminta oleh paman Gandara agar memanggil kamu. Katanya, pak Gubernur dan rekan-rekannya tidak mau juga bekerjasama dengan kita, dan Pak Gamaliel sedang mencari cara bagaimana agar mereka setuju dan mau bekerjasama dengan kita.”

Mendengar perkataan Sembi itu. Moza hanya diam. Setelah beberapa saat memulihkan kesadaran, Moza akhirnya bangkit dari tempat tidurnya lalu keluar dari tenda dan mencuci mukanya. Sesaat kemudian ia kembali masuk ke dalam tenda.

 “Apa kita menemui paman Gandara sekarang?” tanya Moza pada kedua rekannya.

 “Lebih cepat lebih baik.”

Moza mengambil pistolnya dan meletakannya di pinggang. Moza melangkah keluar dari tenda diikuti oleh kedua rekannya. Ketiganya berjalan menuju sebuah tenda yang jaraknya agak jauh dari tempat Moza. Ketika mereka melintasi tenda tempat Pak Musa dan keempat rekannya ditawan, Moza dan kedua rekannya berhenti sejenak dan memperhatikan tempat itu, tenda besar itu terlihat sedang dijaga ketat oleh beberapa tentara mereka. Moza kemudian kembali melangkahkan kakinya menuju tenda pak Gamaliel. Setelah sampai, ketiganya lalu masuk ke dalam tenda itu.

“Silahkan duduk anak-anak,” perintah Pak Gandara mempersilahkan dan ketiganya lalu duduk di kursi yang telah tersedia. Terlihat Pak Gamaliel sedang duduk di depan rungan tenda itu, dan tanpak pula Pak Sugeng beserta rekan-rekannya.

“Rekan-rekan semua. Sebagaimana kita ketahui, Pak Gubernur itu ternyata tidak mau bekerjasama dengan kita, dan saya masih bingung. Cara halus apa lagi yang harus kita lakukan? Apakah kita harus melakukan tindakan intimidasi? Barangkali rekan-rekan semua mempunyai ide yang bagus untuk menyeleisaikan ini sebelum saya menggunakan cara terakhir saya,” uca Pak Gamaliel sambil menatap yang hadir di dalam tenda besar itu.

Mendengar kata-kata Pak Gamaliel itu, semua tanpak diam seperti sedang memikirkan sebuah ide. Pak Gandara melirik pada Moza

“Moza. Biasanya kamu mempunyai ide yang cemerlang. Mungkin kamu mempunyai ide yang bagus untuk menghadapi Pak Gubernur yang keras kepala itu.”

Mendapat permintaan dari Pak Gandara itu, Moza terdiam sejenak lalu perlahan mulai bicara.

“Kita lepaskan keempat rekan Pak Gubernur,”ucap Moza.

 “Apa kamu sudah gila?” sanggah Pak Sugeng yang duduk di samping Pak Gamaliel  sambil menatap tajam pada Moza.

“Dengarkan dulu kalau saya sedang bicara!” sahut Moza. Terlihat ketegasan terpancar dari wajahnya. Meskipun ia masih muda namun wataknya yang tegas dan pemberani meski sedikit bicara tapi mampu membuat yang lainnya merasa segan.

 “Awalnya. Kita lepaskan kedua rekan Pak Gubernur itu. Lalu setelah jauh, kita suruh tentara kita untuk memburunya. Anggap saja mereka itu sebagai rusa buruan. Dan saya yakin, Pak Gubernur tidak akan tega melihat rekan-rekannya mati seperti itu.”

Mendengar kata-kata Moza seperti itu, mereka semua tanpak diam. Karena dalam benak mereka, sedikit pun ide itu tak pernah terpikirkan termasuk Pak Gamaliel.

“Dan anggap saja itu sebagai sebuah latihan untuk tentara-tentara kita.”

“Latihan?! Apa kamu masih ragu dengan kemampuan tentara kita selama ini? Kamu meragukan kekuatan tentara kita? Lagipula, tentara kita cukup banyak untuk mengalahkan tentara di wilayah ini,” sanggah Pak Gamaliel sambil menatap tajam pada Moza.

 “Bukan begitu Pak. Memang jumlah tentara kita cukup memadai untuk sebuh pertempuran. Namun, saya tidak ingin tentara kita ini seperti buih di lautan yang jumlahnya banyak tapi sama sekali tidak berarti. Lagipula, kita perlu khawatir kalau tentara kita jarang berlatih, mereka akan lamban dalam bergerak. Dengan begitu, kita akan mudah untuk dikalahkan,” jawab Moza panjang lebar. Dan mendengar kata-kata Moza itu Pak Gamaliel terdiam.

“Saya kira, ide Moza ini ada bagusnya juga untuk kita coba,” timpal Pak Gandara.

Pak Gamaliel terdiam sejenak lalu menatap Moza. Memang ada baiknya juga kalau ia mencoba usulan Moza seperti itu. Meskipun ia kurang senang dengan sikap Moza yang selalu terlihat  menentang pemikiran-pemikirannya. Namun beruntung, hati Moza selalu bisa diluluhkan oleh nasihat ayah angkatnya yaitu pak Gandara.

“Ada saran lain?” tanya Pak Gamaliel melirik pada semua yang hadir dalam kumpulan itu namun hanya keheningan yang menjawab pertanyaannya.

 “Baiklah, Moza. Kita akan coba ikuti ide kamu itu.”

“Sembi. Siapkan pasukanmu untuk berburu,” pinta Pak Gamaliel pada Sembi.

“Siap, Pak!” jawab Sembi lantang. Ia selalu sigap dalam setiap tugas apa pun yang diberikan kepadanya. Ia adalah salah satu pengikut setia Pak Gamaliel. Karena dia telah menerima banyak doktrin dari Pak Gamaliel, sehingga apa pun yang Pak Gamaliel perintahkan selalu dianggap benar dalam benaknya. Sedangkan Moza, meskipun tegas dan penuh ide-ide cemerlang. Namun sebenarnya, ia masih bimbang dengan jalan yang selama ini ia tempuh. Hidup dalam perawatan Pak Gandara dengan doktrin-doktrin kemerdekaan yang terkadang membuatnya muak, karena kemerdekaan nyatanya tidak juga mereka raih, sedangkan kebebasan hidup mereka terasa terbatas. Namun, keputusannya untuk tetap setia di jalan itu, sesungguhnya hanyalah sebatas mengikuti dendam yang selama ini bergejolak di dalam dadanya. Dendam atas kematian keluargannya yang meninggal secara tragis di tangan para tentara yang belum jelas tentara mana yang sebenarnya telah membinasakan keluarganya itu. Dan Pak Gandara yang selama ini merawatnya sejak peristiwa itu mengatakan bahwa tentara republik lah yang telah membunuh keluargannya dengan dalih ayahnya adalah salah satu pelopor pergerakan kemerdekaan. Dan dengan doktrin itu, Moza yang masih belia dan rentan akan gejolak emosi mudanya pun percaya, hingga tanpa ragu ikut dalam pergerakan itu dengan tujuan ingin melampiaskan seluruh dendam yang selama ini membayang-bayangi benaknya. Namun saat ini ia sudah beranjak dewasa, dan keinginan untuk membalas dendam dengan caranya sendiri terus muncul dalam benaknya, tapi keinginannya selalu dihalangi oleh Pak Gandara selaku ayah angkatnya.

Bab terkait

  • BAIT-BAIT CINTA SANG PEMBERONTAK   Chapter 9. Dijadikan Rusa Buruan

    Di tenda yang ditempati Pak Musa dan rekan-rekannya, mereka terlihat sedang mencari solusi bagaimana menghadapi situasi itu.“Menurut Bapak. Kira-kira apa yang sedang mereka rencanakan?” tanya Mayjen Ferdy pada Pak Musa.“Entahlah. Yang pasti, mereka akan terus berusaha agar kita mau bekerjasama dengan mereka.”“Saya khawatir. Kalau mereka akan memaksa kita dengan cara-cara yang kasar. Dan lebih jauh lagi, mereka akan membinasakan kita.”“Bagaimana kalau kita kabur saja dari sini, Pak?” usul Pak kamaludin memberi saran.“Rasanya tidak mungkin. Lihat saja jumlah mereka, terlalu banyak untuk kita lewati, dan sedikit pun kita tidak bisa berpaling dari tatapan mata mereka yang selalu sigap memperhatikan gerak-gerik kita sebagai tawanannya,” sahut Pak Musa sambil merenung.Sesaat kemudian keheningan kembali menyelimuti mereka. Rasanya sangat sulit untuk menentukan

    Terakhir Diperbarui : 2022-02-02
  • BAIT-BAIT CINTA SANG PEMBERONTAK   Chapter 10. Kesedihan Zahra

    Ketika senja perlahan melangkah pulang dan sang malam mulai menebar kegelapannya. Seorang gadis tengah mengurung diri di dalam sebuah kamar. Yang dilakukannya hanya duduk dan memandangi pantulan kecantikannya dalam cermin besar yang dihias indah. Bola matanya terlihat berkaca-kaca pertanda sedang dirundung duka, duka yang amat mendalam dari hilangnya seorang insan.“Tok, tok, tok” terdengar suara pintu diketuk namun suara itu sedikit pun tidak mampu membangunkan dirinya dari lamun.“Tok, tok, tok.” pintu kamarnya kembali terdengar diketuk. Tapi gadis cantik itu masih asik dengan lamunannya. Pikiranya melayang jauh menembus waktu, masa lalu yang kini hanya akan menjadi kenangan tanpa harapan akan terulang. Tidak lama kemudian terdengar suara pintu dibuka.“Zahra,” sebuah suara memanggil namanya dan terlihat seorang perempuan berusia empat puluh lima tahunan masuk ke dalam kamar mendekati gadis itu. Perempuan itu lalu mend

    Terakhir Diperbarui : 2022-02-02
  • BAIT-BAIT CINTA SANG PEMBERONTAK   Chapter 11. Sebuah Siasat

    Ketika malam semakin larut terdengar berbagai bunyi hewan malam bersahutan dibalik-balik pohon dan semak-semak, serta bunyi gemuruh dedaunan yang tertiup angin, dan ranting-ranting kering yang patah terinjak hewan malam yang sedang mencari nafkah. Sesekali dari kejauhan samar-samar terdengar suara-suara anjing hutan melolong mewarnai suasana malam yang semakin mencekam, tak ketinggalan suara nyanyian jangkring yang tak pernah absen bergema bersahutan menggambarkan nyanyian malam di dalam hutan.“Sekarang, perkiraan jam berapa ya, Pak?” tanya Pak Ferdy. Pak Musa menyalakan handphonnya“Sekarang baru pukul 00.30,” sahut Pak Muza.“Pak. Kenapa Bapak tidak mengirim pesan saja pada keluarga atau tentara kita dan memberitahukan kalau kita ada di sini?” tanya Pak zainal pelan.“Pak Zaenal. Kalau di sini ada sinyal, tentu dari kemarin saya sudah mengirim pesan. Dan kita tidak tahu kita ini berada di hutan apa. Lagipula, k

    Terakhir Diperbarui : 2022-02-02
  • BAIT-BAIT CINTA SANG PEMBERONTAK   Chapter 12. Lepas dari Kematian

    Cahaya senter itu terlihat kian mendekat seiring suara langkah kaki segerombolan orang dengan napas lelah yang dibarengi beberapa obrolan ringan kini semakin terdengar jelas. Beberapa orang dari gerombolan tersebut terlihat sedang memikul beberapa peti kayu berukuran satu meter lebih dan sebagian lagi sibuk memegang senter serta senjata ditangan sebagai pengamanan. Ketika segerombolan orang itu sampai di jalan setapak yang tadi dilewati oleh Pak Ferdy, Pak Musa dan PakZaenal. Rombongan itu tiba-tiba berhenti.“Sem. Sepertinya, aku tadi melihat seberkas cahaya senter berhenti di sini.”“Mungkin itu hanya penglihatanmu saja, Moza. Bahkan, aku tidak melihat apa-apa selain jalan setapak yang disoroti cahaya senter.”“Yang memegang senter! Tolong soroti sekeliling! Sepertinya ada sesuatu yang mencurigakan.”Mendengar perintah dari Moza itu, semua yang membawa senter terlihat sibuk menyorotkan senter mereka ke sekelilin

    Terakhir Diperbarui : 2022-02-05
  • BAIT-BAIT CINTA SANG PEMBERONTAK   Chapter 13. Pengintaian

    Pagi itu sekitar jam 05:30, Pak Alex dan ketujuh rekannya sudah sampai di dekat barisan obor itu. Dan alangkah terkejutnya mereka ketika menyadari bahwa itu ternyata adalah sarangnya para pemberontak. Kedelapan orang itu terlihat berjalan mengendap-ngendap mendekati tempat itu. Mereka bersembunyi di antara semak belukar. Dari semak-semak tersebut beberapa tentara berseragam hitam-hitam mulai terlihat berlalu-lalang dengan senjata lengkap. Selain itu, disana juga terdapat sebuah helikoipter.“Sepertinya kita akan menghadapi pertempuran besar.”“Iya Pak. Jumlah mereka ternyata sangat banyak dan persenjataan mereka juga sepertinya sangat lengkap.”“Kopral Adi. Tolong hubungi Pak Rudy. Tanyakan, mereka sudah sampai dimana? Dan tolong kasih tahu lokasi kita.”“Baik, Pak.”“Kopral Adi lalu menghubungi pasukan Pak Rudi lewat PTX-SPM-622 Squad Power Protonex. Dan setelah berbincang-bincang sesaat ia kem

    Terakhir Diperbarui : 2022-02-05
  • BAIT-BAIT CINTA SANG PEMBERONTAK   Chapter 14. Hujan Peluru

    Pagi itu komandan Alexa dan rekan-rekannya terlihat sedang memperhatikan perbuatan kejam para pemberontak yang baru menembak mati dua anggotanya. Dari semak-semak itu dengan jelas mereka melihat tindakan kejam itu. Entah apa yang telah diperbuat dua anggota itu sehingga hukuman mati harus mereka terima.“Komandan. Sepertinya kita harus menjauh dari tempat ini. Saya khawatir mereka akan melihat kita. Apalagi matahari sudah mulai terlihat terang,” ucap salah satu anggotanya, dan Pak Alex terdiam sejenak“Baiklah. Ayo kita menjauh dari tempat ini, tapi hati-hati jangan sampai ketahuan.”Kedelapan tentara itu dengan perlahan-lahan berjalan sambil merunduk menjauhi tempat itu. Sayangnya, ranting-ranting mati yang terinjak oleh mereka seakan berteriak dan menimbulkan bunyi patahan, bunyi itu sepertinya hinggap di gendang telinga Moza meski tidak terlalu jelas namun membuat Moza membalikan badan dan menoleh pada suara itu.“Siapa di

    Terakhir Diperbarui : 2022-02-06
  • BAIT-BAIT CINTA SANG PEMBERONTAK   Chapter 15. Kabar Duka

    Di sebuah pesawahan yang terletak di pinggir hutan terlihat sepasang suami isteri dan seorang anak laki-laki muda tengah sibuk memanen padi mereka yang sudah menguning. Setelah terlalu lama membungkuk saat memotong padi, isteri pak tani terlihat berdiri lalu meregangkan otot-ototnya yang terasa pegal. Pandangannya tiba-tiba ia arahkan pada tiga orang laki-laki yang berpakaian mirip tentara keluar dari arah hutan. Sejenak ia terus memperhatikan langkah ketiga orang itu yang mulai mendekat.“Pak. Coba lihat ke belakang. Ada tiga orang keluar dari dalam hutan, dan sepertinya sedang menuju kemari,” kata perempuan itu pada suaminya, dan suaminya terlihat berdiri lalu melemparkan pandangannya ke arah tiga laki-laki yang sedang berjalan menuju tempat mereka.“Iya, Bu. Penampilan mereka terlihat seperti tentara.”Ketiga orang laki-laki itu tampak semakin jelas setelah berada di dekat mereka.“Permisi, Pak, Bu. Maaf kami m

    Terakhir Diperbarui : 2022-02-06
  • BAIT-BAIT CINTA SANG PEMBERONTAK   Chapter 16. Kembali Pulang

    Satu jam lamanya mereka menempuh perjalanan menggunakan ojek, turun naik bukit dan melewati hutan serta pesawahan, maklum saja perkampungan itu terletak di sebuah bukit dan dikelilingi oleh gunung-gunung yang jauh dari sentuhan perkotaan. Jalanan yang menurun dan curam terkadang pula menanjak dengan kondisi jalan yang sepenuhnya tidak diaspal hanya berlapiskan tanah merah dan bebatuan yang terkadang membuat ketiganya mengerang kesakitan saat roda motor menerjang bebatuan-bebatuan itu. Setelah melewati perjalanan yang melelahkan itu, mereka kini tiba di sebuah perkampungan lain namun beruntung, jalanan yang rusak penuh bebatuan itu tidak mereka temukan lagi. Aspal hitam yang terhampar di jalanan membuat perjalanan terasa nyaman, sehingga para pengendara ojek itu tidak ragu-ragu lagi untuk memacu kecepatan motor mereka.Mereka akhirnya tiba di sebuah terminal. Setelah memberikan sejumlah uang kepada ketiga pengendara ojek itu, mereka kemudian melangkahkan kakinya. Hingar-bingar

    Terakhir Diperbarui : 2022-02-07

Bab terbaru

  • BAIT-BAIT CINTA SANG PEMBERONTAK   Chapter 20. Bertindak Sendiri

    Sore itu Moza terlihat sedang termenung di atas tempat tidurnya. Bagaimana pun juga, dendam di dalam dadanya masih terus bergemuruh. Meskipun, ia sudah mulai nyaman dengan kehidupannya saat ini, tapi selama pembunuh orang tuanya belum ditemukan, dendam itu terus menantangnya untuk terus mencari tahu. “Aku tidak bisa menunggu lebih lama lagi, aku harus bergerak,” gumamnya dalam hati. Ia kemudian menghubungi Sembi, dan tidak perlu menunggu lama, terdengar Sembi mengangkat panggilannya. “Ada apa Moza?” “Sem. Kamu tahu, siapa komandan tentara kita yang di tugaskan di dalam kota?” Tanya Moza. “Iya, tahu. Namanya Reza. Nanti saya hubungkan dengan kamu. Tapi

  • BAIT-BAIT CINTA SANG PEMBERONTAK   Chapter 19. Satu Hari Bersama Lisa Hallay

    Setelah acara makan itu selesai, ketiganya terlihat meninggalkan restoran dan kembali ke kampus.“Moza. Berapa nomor handphon kamu?” tanya Pak Mario pada Moza sambil menyetir mobilnya.“Saya belum sempat membeli handphon, Pak?”“Terus. Komunikasi dengan Pak Gamaliel, bagaimana?”“Tenang saja, Pak. Saya sudah tahu bagaimana berkomunikasi dengan beliau secara aman,” sahut Moza.“Ya. Kalian memang orang-orang cerdas. Otak kalian seperti ikan salmon yang tidak pernah lupa jalan pulang menuju tempat kelahirannya,” jawab Pak Mario.Mendengar percakapan kedua orang itu Lisa hanya diam, ia benar-benar tidak mengerti tentang apa sebenarnya yang sedang dibicarakan namun itu tidak terlalu ia pikirkan. Mobil itu kini sudah sampai di halaman kampus dan mereka kemudian turun dari dalam mobil.“Moza. Ini kartu nama saya, kalau sudah beli handphon, secepatnya hubungi saya, ya. Da

  • BAIT-BAIT CINTA SANG PEMBERONTAK   Chapter 18. Tokoh Tersembunyi

    Pagi itu Moza, Sembi, Resta serta Pak Gandara dan Murry keluar dari sebuah perkampungan dengan mengendarai sebuah mobil warna silver. Setelah berada di jalan raya mobil yang dibawa Murry itu melaju dengan kencang.“Moza. Nanti kalau kamu sudah berada di kampus itu, kamu langsung temui Pak Mario, ia sudah tau akan kedatangan kamu dan kalau ada apa-apa, kamu tinggal bilang saja sama dia. Jangan khawatir, dia orang kita juga,” kata Pak Gandara.“Dan kamu Sembi. Kamu hubungi Master Chie-Tung, dia juga orang kita.”“Wah! Saya tidak menyangka, di universitas-universitas juga ternyata banyak orang-orang kita juga ya,” sahut Resta.“Ya. Kita sengaja menempatkan orang-orang kita di beberapa lembaga pendidikan dan pemerintahan, agar mereka bisa memasukan doktrin-doktrin kita pada para mahasiswa dalam pelajaran-pelajaran mereka. Karena selama ini, pemerintah hanya tahu kalau para pemberontak itu tempatnya di hutan-hutan rimb

  • BAIT-BAIT CINTA SANG PEMBERONTAK   Chapter 17. Menyusun Langkah Baru

    Tiga pekan sudah Moza, Pak Gamaliel dan yang lainya berada dalam pelarian. Berpindah-pindah dari satu tempat ke tempat lain yang dirasakan aman, karena mereka menyadari bahwa para tentara republik kini sedang gencar-gencarnya mencari dan menumpas para pemberontak yang telah banyak meresahkan masyarakat. Moza dan kedua rekanya Sembi dan Resta berada di sebuah kota, sedangkan Pak Gamaliel dan Pak Gandara, keduanya berada di sebuah daerah dekat perbatasan. Sedangkan Murry yang merupakan supir mereka bertugas menghubungkan satu dengan yang lainnya. Sesekali ia mengantarkan barang-barang yang mereka perlukan.Suatu pagi ketika mereka sedang berada di dalam sebuah rumah yang baru tiga hari mereka tinggali. Terlihat Moza dan Sembi sedang sibuk membersihkan beberapa handguns diantaranya Semi Otomatis seperti FN, Pistol Mesin seperti U21 , Revolver dan Deringer. Dari dalam sebuah ruangan Resta muncul dengan membawa dua senjata laras panjang atau Long Guns dan beberapa senapan serbu.

  • BAIT-BAIT CINTA SANG PEMBERONTAK   Chapter 16. Kembali Pulang

    Satu jam lamanya mereka menempuh perjalanan menggunakan ojek, turun naik bukit dan melewati hutan serta pesawahan, maklum saja perkampungan itu terletak di sebuah bukit dan dikelilingi oleh gunung-gunung yang jauh dari sentuhan perkotaan. Jalanan yang menurun dan curam terkadang pula menanjak dengan kondisi jalan yang sepenuhnya tidak diaspal hanya berlapiskan tanah merah dan bebatuan yang terkadang membuat ketiganya mengerang kesakitan saat roda motor menerjang bebatuan-bebatuan itu. Setelah melewati perjalanan yang melelahkan itu, mereka kini tiba di sebuah perkampungan lain namun beruntung, jalanan yang rusak penuh bebatuan itu tidak mereka temukan lagi. Aspal hitam yang terhampar di jalanan membuat perjalanan terasa nyaman, sehingga para pengendara ojek itu tidak ragu-ragu lagi untuk memacu kecepatan motor mereka.Mereka akhirnya tiba di sebuah terminal. Setelah memberikan sejumlah uang kepada ketiga pengendara ojek itu, mereka kemudian melangkahkan kakinya. Hingar-bingar

  • BAIT-BAIT CINTA SANG PEMBERONTAK   Chapter 15. Kabar Duka

    Di sebuah pesawahan yang terletak di pinggir hutan terlihat sepasang suami isteri dan seorang anak laki-laki muda tengah sibuk memanen padi mereka yang sudah menguning. Setelah terlalu lama membungkuk saat memotong padi, isteri pak tani terlihat berdiri lalu meregangkan otot-ototnya yang terasa pegal. Pandangannya tiba-tiba ia arahkan pada tiga orang laki-laki yang berpakaian mirip tentara keluar dari arah hutan. Sejenak ia terus memperhatikan langkah ketiga orang itu yang mulai mendekat.“Pak. Coba lihat ke belakang. Ada tiga orang keluar dari dalam hutan, dan sepertinya sedang menuju kemari,” kata perempuan itu pada suaminya, dan suaminya terlihat berdiri lalu melemparkan pandangannya ke arah tiga laki-laki yang sedang berjalan menuju tempat mereka.“Iya, Bu. Penampilan mereka terlihat seperti tentara.”Ketiga orang laki-laki itu tampak semakin jelas setelah berada di dekat mereka.“Permisi, Pak, Bu. Maaf kami m

  • BAIT-BAIT CINTA SANG PEMBERONTAK   Chapter 14. Hujan Peluru

    Pagi itu komandan Alexa dan rekan-rekannya terlihat sedang memperhatikan perbuatan kejam para pemberontak yang baru menembak mati dua anggotanya. Dari semak-semak itu dengan jelas mereka melihat tindakan kejam itu. Entah apa yang telah diperbuat dua anggota itu sehingga hukuman mati harus mereka terima.“Komandan. Sepertinya kita harus menjauh dari tempat ini. Saya khawatir mereka akan melihat kita. Apalagi matahari sudah mulai terlihat terang,” ucap salah satu anggotanya, dan Pak Alex terdiam sejenak“Baiklah. Ayo kita menjauh dari tempat ini, tapi hati-hati jangan sampai ketahuan.”Kedelapan tentara itu dengan perlahan-lahan berjalan sambil merunduk menjauhi tempat itu. Sayangnya, ranting-ranting mati yang terinjak oleh mereka seakan berteriak dan menimbulkan bunyi patahan, bunyi itu sepertinya hinggap di gendang telinga Moza meski tidak terlalu jelas namun membuat Moza membalikan badan dan menoleh pada suara itu.“Siapa di

  • BAIT-BAIT CINTA SANG PEMBERONTAK   Chapter 13. Pengintaian

    Pagi itu sekitar jam 05:30, Pak Alex dan ketujuh rekannya sudah sampai di dekat barisan obor itu. Dan alangkah terkejutnya mereka ketika menyadari bahwa itu ternyata adalah sarangnya para pemberontak. Kedelapan orang itu terlihat berjalan mengendap-ngendap mendekati tempat itu. Mereka bersembunyi di antara semak belukar. Dari semak-semak tersebut beberapa tentara berseragam hitam-hitam mulai terlihat berlalu-lalang dengan senjata lengkap. Selain itu, disana juga terdapat sebuah helikoipter.“Sepertinya kita akan menghadapi pertempuran besar.”“Iya Pak. Jumlah mereka ternyata sangat banyak dan persenjataan mereka juga sepertinya sangat lengkap.”“Kopral Adi. Tolong hubungi Pak Rudy. Tanyakan, mereka sudah sampai dimana? Dan tolong kasih tahu lokasi kita.”“Baik, Pak.”“Kopral Adi lalu menghubungi pasukan Pak Rudi lewat PTX-SPM-622 Squad Power Protonex. Dan setelah berbincang-bincang sesaat ia kem

  • BAIT-BAIT CINTA SANG PEMBERONTAK   Chapter 12. Lepas dari Kematian

    Cahaya senter itu terlihat kian mendekat seiring suara langkah kaki segerombolan orang dengan napas lelah yang dibarengi beberapa obrolan ringan kini semakin terdengar jelas. Beberapa orang dari gerombolan tersebut terlihat sedang memikul beberapa peti kayu berukuran satu meter lebih dan sebagian lagi sibuk memegang senter serta senjata ditangan sebagai pengamanan. Ketika segerombolan orang itu sampai di jalan setapak yang tadi dilewati oleh Pak Ferdy, Pak Musa dan PakZaenal. Rombongan itu tiba-tiba berhenti.“Sem. Sepertinya, aku tadi melihat seberkas cahaya senter berhenti di sini.”“Mungkin itu hanya penglihatanmu saja, Moza. Bahkan, aku tidak melihat apa-apa selain jalan setapak yang disoroti cahaya senter.”“Yang memegang senter! Tolong soroti sekeliling! Sepertinya ada sesuatu yang mencurigakan.”Mendengar perintah dari Moza itu, semua yang membawa senter terlihat sibuk menyorotkan senter mereka ke sekelilin

DMCA.com Protection Status