Beranda / Semua / BAIT-BAIT CINTA SANG PEMBERONTAK / Chapter 7. Sosok Presiden

Share

Chapter 7. Sosok Presiden

Penulis: Bond Monosta
last update Terakhir Diperbarui: 2022-01-16 14:19:49

Malam semakin larut, suasan hutan pun terasa semakin mencekam. Suara anjing hutan yang melolong terdengar bersahutan dengan suara-suara binatang malam lainnya. Cahaya obor yang dipasang di depan tenda-tenda penginapan terlihat menari-nari terhempas angin mencoba memecah kegelapan malam. Di luar sebuah tenda, tampak Pak Gamaliel dan Pak Gandara serta rekannya yang lain sedang berbincang-bincang.

“Apakah semua target sudah didapatkan?” tanya Pak Gamaliel.

“Sudah, Pak. Semua sudah berada di tenda utama,” jawab Sembi.

Pak Gamaliel lalu berjalan menuju tenda besar yang sedang dijaga ketat oleh beberapa tentaranya. Langkahnya diikuti oleh Pak Gandara dan Pak Sugeng beserta tiga orang tentaranya dengan bersenjata lengkap. Setelah berada di depan tenda, Pak Gamaliel membuka pintu tenda itu dengan perlahan.

Melihat beberapa orang muncul dari pintu tenda, Pak Musa dan keempat rekannya serempak melirik, dan tampaklah siapa sosok Presiden yang mereka pertanyakan.

“Oh! Rupannya kamu dalang dari semua ini Fawn Gamaliel?!” ucap Pak Musa dengan suara agak tinggi.  

“Hahaha. Pak Gubernur dan rekan-rekan semua apa kabar? Saya harap kalian baik-baik saja. Sebelumnya saya minta maaf, atas kelancangan dan ketidak sopanan kami membawa Bapak-bapak sekalian dengan sedikit paksaan. Tapi Bapak-bapak semua tidak usah khawatir, kami tidak bermaksud jahat. Dan Bapak-bapak semua jangan sungkan-sungkan, anggap saja tempat ini sebagai rumah kalian sendiri,” ucap Pak Gamaliel sedikit basa-basi.

“Tidak perlu basa-basi Gamaliel. Apa sebenarnya maksud dari semua ini?!” Pak Musa kembali bertanya, dan dengan gaya santainya, Pak Gamaliel terlihat menyalakan sebatang rokok. Ia hisap dalam-dalam dan mengepulkan asapnya pada langit-langit tenda.

“Musa. Bukankah saya pernah bilang delapan tahun yang lalu, disaat saya memberikan ucapan selamat atas kemenanganmu pada pemilihan itu. Bahwa saya, tidak akan pernah menyerah. Meskipun, empat kali dalam pemilihan gubernur saya selalu kalah. Bahkan saya mempunyai impian yang lebih besar,” jawab Pak Gamaliel.

“Hmm! Rupannya ini salah satu luapan dari kekalahanmu, Gamaliel. Harusnya kamu sadar diri, orang licik sepertimu tidak akan pernah bisa menjadi seorang pemimpin. Orang yang tidak mau mendengarkan rakyatnya, ia sama sekali tidak pantas untuk mendapatkan kesempatan menjadi seorang pemimpin!” sahut Pak Musa.

“Hahaha. Saya sadar, bahkan sesadar-sadarnya! Mengapa rakyat tidak memilih saya? Karena mereka semua bodoh! Dan buta! Sehingga mereka tidak bisa melihat dan membedakan antara pemimpin yang pintar dan yang bodoh sepertimu!” ujar Pak Gamaliel dengan nada suara yang agak meninggi. Mendengar ucapan Pak Gamaliel seperti itu, Pak Musa terlihat geram.

“Kalau saya bodoh. Mengapa mereka memilihku? Jelas, aku lebih baik darimu,  Gamaliel!”

“Hah! Apa kamu tidak tahu Musa? Dengar, ya, Musa! Jika suatu masyarakat bodoh, tentu akan melahirkan pemimpin yang bodoh pula. Dan sebaliknya, kalau mereka pintar, maka akan melahirkan pemimpin yang pintar pula seperti aku ini. Masyarakat yang pintar tentu akan memilih pemimpin yang pintar. Namun sebaliknya, masyarakat yang dongo, pasti akan memilih pemimpin yang dongo pula sepertimu. Dulu saya mengira, bahwa saya ini sama dengan mereka. Tapi akhirnya saya menyadari, bahwa saya ini berbeda dari mereka. Dan sebagai manusia yang masih mencintai masyarakatnya, saya terketuk untuk menyadarkan mereka dari buaian-buaian mimpi para penguasa sepertimu yang hanya mampu memberikan janji-janji tanpa ada bukti, yang hanya mampu menina bobokan mereka. Sedangkan impian indah yang mereka tunggu-tunggu selama ini sebenarnya tidak akan pernah tercapai. Mereka sebenarnya kecewa, tapi mereka tidak tahu apa yang mesti mereka lakukan, mereka memimpikan sebuah kemajuan untuk kehidupan mereka yang lebih baik. Tapi, sekeras apapun mereka berpikir, mereka tidak akan pernah menemukan jalannya. Oleh karenanya, mereka hanya menunggu implementasi dari janji pemimpin mereka yang sebenarnya tidak akan pernah terwujud. Karena mereka tidak sadar kalau pemimpin mereka sebenarnya tidak ada bedannya dengan mereka, sama-sama tololnya, bin dongo!” hardik Pak Gamaliel panjang lebar.

Mendengar kata-kata kasar seperti itu dari Pak Gamaliel. Pak Musa dan rekan-rekannya terlihat bangkit dari kursi mereka, meskipun hanya diterangi lampu lentera, namun ekpresi wajah marah mereka terlihat.

“Kurang ajar kau Gamaliel!” gertak Pak Musa. Pak Gandara dan tiga orang tentara yang dari tadi diam, terlihat menodongkan pistol mereka pada Pak Musa dan rekan-rekannya.

“Dengar Musa! Saya hanya ingin mengajak kerjasama denganmu, demi kemajuan dan kepentingan masyarakat kita, dan negara kita yang sebentar lagi akan kita dirikan di tanah kita yang subur ini,” ungkap Pak Gamaliel.

 “Kepentingan masyarakat atau dirimu?!”

“Musa. Tanah kita ini sangat kaya dengan sumber daya alamnya dibandingkan dengan wilayah lain, dan pemerintah pusat mengeruknya habis-habisan hingga di beberapa titik menyisakan lingkungan yang rusak tanpa ada upaya memperbaiki, dan yang lebih parahnya, masyarakat kita hanya disisakan sampahnya saja, sumber daya alam yang berasal dari wilayah kita mereka ambil lalu diolah, dan setelah jadi dikembalikan ke masyarakat kita dengan harga yang sangat mahal. Lalu, apa keuntungan kita, hanya sepahnya saja. Selain itu, pemerintah pusat juga memungut pajak besar-besaran pada perusahaan-perusahaan di wilayah kita, karena kita memiliki omset yang begitu besar yang notabene hasilnya akan diberikan pada wilayah lain yang miskin akan sumber daya alam demi sebuah pemerataan. Padahal, pada kenyataannya hanya untuk memperkaya pihak-pihak individu pemerintah sendiri. Sedangkan wilayah yang miskin tetap saja miskin. Katanya uangnya untuk daerah-daerah tertinggal. Tapi mana? Semua penghasilan dari wilayah kita kebanyakan untuk kepentingan para pejabatnya sendiri. Kalau tidak! Pasti masuk ke perusahaan-perusahaan mereka. Iya kan?! Coba kamu pikirkan secara jernih, Musa. Pikirkan baik-baik. Kalau seandainnya kekayaan alam kita ini kita kelola sendiri, tentu wilayah kita akan makmur. Apalagi kalau sudah lepas dari republik ini dan mendirkan Negara baru. Kita tidak akan repot-repot ikut memikirkan krisis di wilayah-wilayah lain yang sebenarnya dibuat oleh pemerintahan mereka sendiri sebagai alasan. Oleh karna itu, saya hanya butuh kerjasamanya saja Musa. Kau dan teman-temanmu hanya cukup membacakan isi tulisan ini di depan kamera, dan nanti seluruh masyarakat akan tahu bahwa Gubernur mereka telah setuju untuk mendirikan negara baru.  Bagaimana?” ucap Pak Gamaliel panjang lebar sambil meletakan beberapa lembar kertas yang disana tertulis pernyataan bahwa gubernur menyetujui berdirinya negara baru dan mendukung segala proses administratif pendirian negara baru itu.

“Hmm. Pintar sekali kau membuat alasan. Saya lebih tahu kebusukanmu. Mengatas namakan kepentingan rakyat. Padahal itu semua hanyalah akal busukmu saja, Gamaliel. Dan saya tidak akan pernah setuju dengan niatmu itu,” jawab Pak Musa tegas.

“Oke. Oke. Mungkin karena keadaan fisikmu yang masih lelah hingga tidak bisa berpikir jernih, tapi besok, saya yakin, kamu akan setuju dengan tawaran saya ini. Saya akan beri kesempatan pada kalian untuk memikirkannya. Baiklah Bapak-bapak, mungkin untuk malam ini, itu saja yang saya sampaikan. Dan saya harap, kalian mau mempertimbangkan penawaran saya ini. Selamat beristirahat,” ucap Pak Gamaliel lalu keluar dari dalam tenda dan diikut oleh Pak Gandara.

Selepas kepergian pak Gamaliel, kelima orang itu hanya terdiam mematung, mereka terlihat sibuk dengan pikirannya masing-masing hingga salah seorang memecah kesunyian.

“Kalau sudah begini, apa langkah yang harus kita ambil, Pak?” tanya Mayjen Ferdy membuka percakapan sambil menatap Pak Musa. Terlihat Pak Musa menarik napas panjang, tergambar jelas raut wajahnya yang lelah dan kebingungan.

“Entahlah, Pak Ferdy. Saya masih bingung, harus bagaimana. Tapi, untuk sementara waktu, kita beristirahat saja untuk memulihkan energy dan pikiran kita. Semoga esok hari, Gamaliel dan orang-orangnya bisa kita ajak berunding secara baik-baik,” ucap Pak Musa. Mereka pun mengangguk dan satu persatu bangkit dari kursinya lalu melangkah menuju bale-bale bambu kemudian merebahkan badan mereka dan menutup tubuh mereka dengan selimut yang disediakan.

Bab terkait

  • BAIT-BAIT CINTA SANG PEMBERONTAK   Chapter 8. Penolakan Tegas

    Saat pajar menggelar warna-warnanya dan burung-burung berkicau bersahutan mendengungkan nada-nada indah yang melukiskan aroma pagi telah datang. Gemuruh dedaunan yang tersentuh angin pengembara melenggak-lenggok bagai sang penari yang menjadi ritual pagi menyambut sang mentari.“Prok! Prok! Prok!”Gemuruh hentakan suara sepatu jungle para tentara yang berjalan melewati sebuah tenda tempat Pak Musa dan keempat rekannya ditahan terdengar jelas. Sepatu para tentara itu sepertinya terbuat dari kulit asli pilihan dengan sol kembang cermai baja pilihan tapi ringan yang dibuat dengan penuh kecermatan tingkat tinggi hingga menghadirkan bunyi derap yang berbeda. Bunyi derap sepatu para tentara yang berbaris itu hinggap di telinga Pak Musa. Perlahan-lahan ia membuka matanya yang kemudian disusul oleh keempat rekannya. Dari luar tiba-tiba muncul beberapa orang lelaki dengan membawakan makanan dan yang lainnya membawa beberapa baskom yang berisi air hangat lengka

    Terakhir Diperbarui : 2022-01-16
  • BAIT-BAIT CINTA SANG PEMBERONTAK   Chapter 9. Dijadikan Rusa Buruan

    Di tenda yang ditempati Pak Musa dan rekan-rekannya, mereka terlihat sedang mencari solusi bagaimana menghadapi situasi itu.“Menurut Bapak. Kira-kira apa yang sedang mereka rencanakan?” tanya Mayjen Ferdy pada Pak Musa.“Entahlah. Yang pasti, mereka akan terus berusaha agar kita mau bekerjasama dengan mereka.”“Saya khawatir. Kalau mereka akan memaksa kita dengan cara-cara yang kasar. Dan lebih jauh lagi, mereka akan membinasakan kita.”“Bagaimana kalau kita kabur saja dari sini, Pak?” usul Pak kamaludin memberi saran.“Rasanya tidak mungkin. Lihat saja jumlah mereka, terlalu banyak untuk kita lewati, dan sedikit pun kita tidak bisa berpaling dari tatapan mata mereka yang selalu sigap memperhatikan gerak-gerik kita sebagai tawanannya,” sahut Pak Musa sambil merenung.Sesaat kemudian keheningan kembali menyelimuti mereka. Rasanya sangat sulit untuk menentukan

    Terakhir Diperbarui : 2022-02-02
  • BAIT-BAIT CINTA SANG PEMBERONTAK   Chapter 10. Kesedihan Zahra

    Ketika senja perlahan melangkah pulang dan sang malam mulai menebar kegelapannya. Seorang gadis tengah mengurung diri di dalam sebuah kamar. Yang dilakukannya hanya duduk dan memandangi pantulan kecantikannya dalam cermin besar yang dihias indah. Bola matanya terlihat berkaca-kaca pertanda sedang dirundung duka, duka yang amat mendalam dari hilangnya seorang insan.“Tok, tok, tok” terdengar suara pintu diketuk namun suara itu sedikit pun tidak mampu membangunkan dirinya dari lamun.“Tok, tok, tok.” pintu kamarnya kembali terdengar diketuk. Tapi gadis cantik itu masih asik dengan lamunannya. Pikiranya melayang jauh menembus waktu, masa lalu yang kini hanya akan menjadi kenangan tanpa harapan akan terulang. Tidak lama kemudian terdengar suara pintu dibuka.“Zahra,” sebuah suara memanggil namanya dan terlihat seorang perempuan berusia empat puluh lima tahunan masuk ke dalam kamar mendekati gadis itu. Perempuan itu lalu mend

    Terakhir Diperbarui : 2022-02-02
  • BAIT-BAIT CINTA SANG PEMBERONTAK   Chapter 11. Sebuah Siasat

    Ketika malam semakin larut terdengar berbagai bunyi hewan malam bersahutan dibalik-balik pohon dan semak-semak, serta bunyi gemuruh dedaunan yang tertiup angin, dan ranting-ranting kering yang patah terinjak hewan malam yang sedang mencari nafkah. Sesekali dari kejauhan samar-samar terdengar suara-suara anjing hutan melolong mewarnai suasana malam yang semakin mencekam, tak ketinggalan suara nyanyian jangkring yang tak pernah absen bergema bersahutan menggambarkan nyanyian malam di dalam hutan.“Sekarang, perkiraan jam berapa ya, Pak?” tanya Pak Ferdy. Pak Musa menyalakan handphonnya“Sekarang baru pukul 00.30,” sahut Pak Muza.“Pak. Kenapa Bapak tidak mengirim pesan saja pada keluarga atau tentara kita dan memberitahukan kalau kita ada di sini?” tanya Pak zainal pelan.“Pak Zaenal. Kalau di sini ada sinyal, tentu dari kemarin saya sudah mengirim pesan. Dan kita tidak tahu kita ini berada di hutan apa. Lagipula, k

    Terakhir Diperbarui : 2022-02-02
  • BAIT-BAIT CINTA SANG PEMBERONTAK   Chapter 12. Lepas dari Kematian

    Cahaya senter itu terlihat kian mendekat seiring suara langkah kaki segerombolan orang dengan napas lelah yang dibarengi beberapa obrolan ringan kini semakin terdengar jelas. Beberapa orang dari gerombolan tersebut terlihat sedang memikul beberapa peti kayu berukuran satu meter lebih dan sebagian lagi sibuk memegang senter serta senjata ditangan sebagai pengamanan. Ketika segerombolan orang itu sampai di jalan setapak yang tadi dilewati oleh Pak Ferdy, Pak Musa dan PakZaenal. Rombongan itu tiba-tiba berhenti.“Sem. Sepertinya, aku tadi melihat seberkas cahaya senter berhenti di sini.”“Mungkin itu hanya penglihatanmu saja, Moza. Bahkan, aku tidak melihat apa-apa selain jalan setapak yang disoroti cahaya senter.”“Yang memegang senter! Tolong soroti sekeliling! Sepertinya ada sesuatu yang mencurigakan.”Mendengar perintah dari Moza itu, semua yang membawa senter terlihat sibuk menyorotkan senter mereka ke sekelilin

    Terakhir Diperbarui : 2022-02-05
  • BAIT-BAIT CINTA SANG PEMBERONTAK   Chapter 13. Pengintaian

    Pagi itu sekitar jam 05:30, Pak Alex dan ketujuh rekannya sudah sampai di dekat barisan obor itu. Dan alangkah terkejutnya mereka ketika menyadari bahwa itu ternyata adalah sarangnya para pemberontak. Kedelapan orang itu terlihat berjalan mengendap-ngendap mendekati tempat itu. Mereka bersembunyi di antara semak belukar. Dari semak-semak tersebut beberapa tentara berseragam hitam-hitam mulai terlihat berlalu-lalang dengan senjata lengkap. Selain itu, disana juga terdapat sebuah helikoipter.“Sepertinya kita akan menghadapi pertempuran besar.”“Iya Pak. Jumlah mereka ternyata sangat banyak dan persenjataan mereka juga sepertinya sangat lengkap.”“Kopral Adi. Tolong hubungi Pak Rudy. Tanyakan, mereka sudah sampai dimana? Dan tolong kasih tahu lokasi kita.”“Baik, Pak.”“Kopral Adi lalu menghubungi pasukan Pak Rudi lewat PTX-SPM-622 Squad Power Protonex. Dan setelah berbincang-bincang sesaat ia kem

    Terakhir Diperbarui : 2022-02-05
  • BAIT-BAIT CINTA SANG PEMBERONTAK   Chapter 14. Hujan Peluru

    Pagi itu komandan Alexa dan rekan-rekannya terlihat sedang memperhatikan perbuatan kejam para pemberontak yang baru menembak mati dua anggotanya. Dari semak-semak itu dengan jelas mereka melihat tindakan kejam itu. Entah apa yang telah diperbuat dua anggota itu sehingga hukuman mati harus mereka terima.“Komandan. Sepertinya kita harus menjauh dari tempat ini. Saya khawatir mereka akan melihat kita. Apalagi matahari sudah mulai terlihat terang,” ucap salah satu anggotanya, dan Pak Alex terdiam sejenak“Baiklah. Ayo kita menjauh dari tempat ini, tapi hati-hati jangan sampai ketahuan.”Kedelapan tentara itu dengan perlahan-lahan berjalan sambil merunduk menjauhi tempat itu. Sayangnya, ranting-ranting mati yang terinjak oleh mereka seakan berteriak dan menimbulkan bunyi patahan, bunyi itu sepertinya hinggap di gendang telinga Moza meski tidak terlalu jelas namun membuat Moza membalikan badan dan menoleh pada suara itu.“Siapa di

    Terakhir Diperbarui : 2022-02-06
  • BAIT-BAIT CINTA SANG PEMBERONTAK   Chapter 15. Kabar Duka

    Di sebuah pesawahan yang terletak di pinggir hutan terlihat sepasang suami isteri dan seorang anak laki-laki muda tengah sibuk memanen padi mereka yang sudah menguning. Setelah terlalu lama membungkuk saat memotong padi, isteri pak tani terlihat berdiri lalu meregangkan otot-ototnya yang terasa pegal. Pandangannya tiba-tiba ia arahkan pada tiga orang laki-laki yang berpakaian mirip tentara keluar dari arah hutan. Sejenak ia terus memperhatikan langkah ketiga orang itu yang mulai mendekat.“Pak. Coba lihat ke belakang. Ada tiga orang keluar dari dalam hutan, dan sepertinya sedang menuju kemari,” kata perempuan itu pada suaminya, dan suaminya terlihat berdiri lalu melemparkan pandangannya ke arah tiga laki-laki yang sedang berjalan menuju tempat mereka.“Iya, Bu. Penampilan mereka terlihat seperti tentara.”Ketiga orang laki-laki itu tampak semakin jelas setelah berada di dekat mereka.“Permisi, Pak, Bu. Maaf kami m

    Terakhir Diperbarui : 2022-02-06

Bab terbaru

  • BAIT-BAIT CINTA SANG PEMBERONTAK   Chapter 20. Bertindak Sendiri

    Sore itu Moza terlihat sedang termenung di atas tempat tidurnya. Bagaimana pun juga, dendam di dalam dadanya masih terus bergemuruh. Meskipun, ia sudah mulai nyaman dengan kehidupannya saat ini, tapi selama pembunuh orang tuanya belum ditemukan, dendam itu terus menantangnya untuk terus mencari tahu. “Aku tidak bisa menunggu lebih lama lagi, aku harus bergerak,” gumamnya dalam hati. Ia kemudian menghubungi Sembi, dan tidak perlu menunggu lama, terdengar Sembi mengangkat panggilannya. “Ada apa Moza?” “Sem. Kamu tahu, siapa komandan tentara kita yang di tugaskan di dalam kota?” Tanya Moza. “Iya, tahu. Namanya Reza. Nanti saya hubungkan dengan kamu. Tapi

  • BAIT-BAIT CINTA SANG PEMBERONTAK   Chapter 19. Satu Hari Bersama Lisa Hallay

    Setelah acara makan itu selesai, ketiganya terlihat meninggalkan restoran dan kembali ke kampus.“Moza. Berapa nomor handphon kamu?” tanya Pak Mario pada Moza sambil menyetir mobilnya.“Saya belum sempat membeli handphon, Pak?”“Terus. Komunikasi dengan Pak Gamaliel, bagaimana?”“Tenang saja, Pak. Saya sudah tahu bagaimana berkomunikasi dengan beliau secara aman,” sahut Moza.“Ya. Kalian memang orang-orang cerdas. Otak kalian seperti ikan salmon yang tidak pernah lupa jalan pulang menuju tempat kelahirannya,” jawab Pak Mario.Mendengar percakapan kedua orang itu Lisa hanya diam, ia benar-benar tidak mengerti tentang apa sebenarnya yang sedang dibicarakan namun itu tidak terlalu ia pikirkan. Mobil itu kini sudah sampai di halaman kampus dan mereka kemudian turun dari dalam mobil.“Moza. Ini kartu nama saya, kalau sudah beli handphon, secepatnya hubungi saya, ya. Da

  • BAIT-BAIT CINTA SANG PEMBERONTAK   Chapter 18. Tokoh Tersembunyi

    Pagi itu Moza, Sembi, Resta serta Pak Gandara dan Murry keluar dari sebuah perkampungan dengan mengendarai sebuah mobil warna silver. Setelah berada di jalan raya mobil yang dibawa Murry itu melaju dengan kencang.“Moza. Nanti kalau kamu sudah berada di kampus itu, kamu langsung temui Pak Mario, ia sudah tau akan kedatangan kamu dan kalau ada apa-apa, kamu tinggal bilang saja sama dia. Jangan khawatir, dia orang kita juga,” kata Pak Gandara.“Dan kamu Sembi. Kamu hubungi Master Chie-Tung, dia juga orang kita.”“Wah! Saya tidak menyangka, di universitas-universitas juga ternyata banyak orang-orang kita juga ya,” sahut Resta.“Ya. Kita sengaja menempatkan orang-orang kita di beberapa lembaga pendidikan dan pemerintahan, agar mereka bisa memasukan doktrin-doktrin kita pada para mahasiswa dalam pelajaran-pelajaran mereka. Karena selama ini, pemerintah hanya tahu kalau para pemberontak itu tempatnya di hutan-hutan rimb

  • BAIT-BAIT CINTA SANG PEMBERONTAK   Chapter 17. Menyusun Langkah Baru

    Tiga pekan sudah Moza, Pak Gamaliel dan yang lainya berada dalam pelarian. Berpindah-pindah dari satu tempat ke tempat lain yang dirasakan aman, karena mereka menyadari bahwa para tentara republik kini sedang gencar-gencarnya mencari dan menumpas para pemberontak yang telah banyak meresahkan masyarakat. Moza dan kedua rekanya Sembi dan Resta berada di sebuah kota, sedangkan Pak Gamaliel dan Pak Gandara, keduanya berada di sebuah daerah dekat perbatasan. Sedangkan Murry yang merupakan supir mereka bertugas menghubungkan satu dengan yang lainnya. Sesekali ia mengantarkan barang-barang yang mereka perlukan.Suatu pagi ketika mereka sedang berada di dalam sebuah rumah yang baru tiga hari mereka tinggali. Terlihat Moza dan Sembi sedang sibuk membersihkan beberapa handguns diantaranya Semi Otomatis seperti FN, Pistol Mesin seperti U21 , Revolver dan Deringer. Dari dalam sebuah ruangan Resta muncul dengan membawa dua senjata laras panjang atau Long Guns dan beberapa senapan serbu.

  • BAIT-BAIT CINTA SANG PEMBERONTAK   Chapter 16. Kembali Pulang

    Satu jam lamanya mereka menempuh perjalanan menggunakan ojek, turun naik bukit dan melewati hutan serta pesawahan, maklum saja perkampungan itu terletak di sebuah bukit dan dikelilingi oleh gunung-gunung yang jauh dari sentuhan perkotaan. Jalanan yang menurun dan curam terkadang pula menanjak dengan kondisi jalan yang sepenuhnya tidak diaspal hanya berlapiskan tanah merah dan bebatuan yang terkadang membuat ketiganya mengerang kesakitan saat roda motor menerjang bebatuan-bebatuan itu. Setelah melewati perjalanan yang melelahkan itu, mereka kini tiba di sebuah perkampungan lain namun beruntung, jalanan yang rusak penuh bebatuan itu tidak mereka temukan lagi. Aspal hitam yang terhampar di jalanan membuat perjalanan terasa nyaman, sehingga para pengendara ojek itu tidak ragu-ragu lagi untuk memacu kecepatan motor mereka.Mereka akhirnya tiba di sebuah terminal. Setelah memberikan sejumlah uang kepada ketiga pengendara ojek itu, mereka kemudian melangkahkan kakinya. Hingar-bingar

  • BAIT-BAIT CINTA SANG PEMBERONTAK   Chapter 15. Kabar Duka

    Di sebuah pesawahan yang terletak di pinggir hutan terlihat sepasang suami isteri dan seorang anak laki-laki muda tengah sibuk memanen padi mereka yang sudah menguning. Setelah terlalu lama membungkuk saat memotong padi, isteri pak tani terlihat berdiri lalu meregangkan otot-ototnya yang terasa pegal. Pandangannya tiba-tiba ia arahkan pada tiga orang laki-laki yang berpakaian mirip tentara keluar dari arah hutan. Sejenak ia terus memperhatikan langkah ketiga orang itu yang mulai mendekat.“Pak. Coba lihat ke belakang. Ada tiga orang keluar dari dalam hutan, dan sepertinya sedang menuju kemari,” kata perempuan itu pada suaminya, dan suaminya terlihat berdiri lalu melemparkan pandangannya ke arah tiga laki-laki yang sedang berjalan menuju tempat mereka.“Iya, Bu. Penampilan mereka terlihat seperti tentara.”Ketiga orang laki-laki itu tampak semakin jelas setelah berada di dekat mereka.“Permisi, Pak, Bu. Maaf kami m

  • BAIT-BAIT CINTA SANG PEMBERONTAK   Chapter 14. Hujan Peluru

    Pagi itu komandan Alexa dan rekan-rekannya terlihat sedang memperhatikan perbuatan kejam para pemberontak yang baru menembak mati dua anggotanya. Dari semak-semak itu dengan jelas mereka melihat tindakan kejam itu. Entah apa yang telah diperbuat dua anggota itu sehingga hukuman mati harus mereka terima.“Komandan. Sepertinya kita harus menjauh dari tempat ini. Saya khawatir mereka akan melihat kita. Apalagi matahari sudah mulai terlihat terang,” ucap salah satu anggotanya, dan Pak Alex terdiam sejenak“Baiklah. Ayo kita menjauh dari tempat ini, tapi hati-hati jangan sampai ketahuan.”Kedelapan tentara itu dengan perlahan-lahan berjalan sambil merunduk menjauhi tempat itu. Sayangnya, ranting-ranting mati yang terinjak oleh mereka seakan berteriak dan menimbulkan bunyi patahan, bunyi itu sepertinya hinggap di gendang telinga Moza meski tidak terlalu jelas namun membuat Moza membalikan badan dan menoleh pada suara itu.“Siapa di

  • BAIT-BAIT CINTA SANG PEMBERONTAK   Chapter 13. Pengintaian

    Pagi itu sekitar jam 05:30, Pak Alex dan ketujuh rekannya sudah sampai di dekat barisan obor itu. Dan alangkah terkejutnya mereka ketika menyadari bahwa itu ternyata adalah sarangnya para pemberontak. Kedelapan orang itu terlihat berjalan mengendap-ngendap mendekati tempat itu. Mereka bersembunyi di antara semak belukar. Dari semak-semak tersebut beberapa tentara berseragam hitam-hitam mulai terlihat berlalu-lalang dengan senjata lengkap. Selain itu, disana juga terdapat sebuah helikoipter.“Sepertinya kita akan menghadapi pertempuran besar.”“Iya Pak. Jumlah mereka ternyata sangat banyak dan persenjataan mereka juga sepertinya sangat lengkap.”“Kopral Adi. Tolong hubungi Pak Rudy. Tanyakan, mereka sudah sampai dimana? Dan tolong kasih tahu lokasi kita.”“Baik, Pak.”“Kopral Adi lalu menghubungi pasukan Pak Rudi lewat PTX-SPM-622 Squad Power Protonex. Dan setelah berbincang-bincang sesaat ia kem

  • BAIT-BAIT CINTA SANG PEMBERONTAK   Chapter 12. Lepas dari Kematian

    Cahaya senter itu terlihat kian mendekat seiring suara langkah kaki segerombolan orang dengan napas lelah yang dibarengi beberapa obrolan ringan kini semakin terdengar jelas. Beberapa orang dari gerombolan tersebut terlihat sedang memikul beberapa peti kayu berukuran satu meter lebih dan sebagian lagi sibuk memegang senter serta senjata ditangan sebagai pengamanan. Ketika segerombolan orang itu sampai di jalan setapak yang tadi dilewati oleh Pak Ferdy, Pak Musa dan PakZaenal. Rombongan itu tiba-tiba berhenti.“Sem. Sepertinya, aku tadi melihat seberkas cahaya senter berhenti di sini.”“Mungkin itu hanya penglihatanmu saja, Moza. Bahkan, aku tidak melihat apa-apa selain jalan setapak yang disoroti cahaya senter.”“Yang memegang senter! Tolong soroti sekeliling! Sepertinya ada sesuatu yang mencurigakan.”Mendengar perintah dari Moza itu, semua yang membawa senter terlihat sibuk menyorotkan senter mereka ke sekelilin

DMCA.com Protection Status