Beranda / Semua / BAIT-BAIT CINTA SANG PEMBERONTAK / Chapter 4. Obrolan Keluarga Pak Gubernur

Share

Chapter 4. Obrolan Keluarga Pak Gubernur

Penulis: Bond Monosta
last update Terakhir Diperbarui: 2021-09-08 18:22:57

Pagi itu disaat embun pagi berjatuhan terhempas sang raja hari yang mulai menampakan diri, dan jalanan yang terlihat mulai ramai dilalui kendaraan serta para pejalan kaki menandakan kota yang mulai menggeliat bangun dari tidurnya.

Di sebuah rumah besar yang letaknya berada di perumahan dinas pemerintah mulai terlihat ramai oleh beberapa orang yang keluar masuk ke dalam rumah itu.

“Kenapa, Bu. Kok kelihatannya gelisah gitu?” tanya seorang laki-laki yang sebagian rambutnya terlihat sudah mulai beruban sambil menatap istrinya yang sedang duduk di ruang tengah.

”Entahlah, Yah. Tapi, perasaan ibu, kok, tidak enak banget ya pagi ini?” jawab  perempuan itu memandang suaminya yang keluar dari pintu kamar.

“Memangnya, Ibu mikirin apa sih? ” tanyanya lagi pada istrinya. Ibu Dewi bangkit dari kursinya lalu menghampiri suaminya yang sedang berdiri, ia kemudian  membetulkan posisi dasi suaminya yang terlihat agak miring.

 “Ibu teringat akan mimpi Ibu semalam, Yah,” jawab Ibu Dewi pelan.

“Hah, mimpi kok dipikirin.’’

“Ibu juga tidak tahu. Tapi, rasanya aneh saja, dan tiba-tiba perasaan ibu tidak enak begini.”

“Memangnya, semalam ibu mimpi apa?” tanyanya lagi sambil menatap istrinya.

“Semalam, Ibu mimpi. Indra memakai baju pengantin, Yah.”

Mendengar ucapan istrinya itu, laki-laki itu hanya tersenyum.

“Baju pengantin? Wah, harusnya ibu senang dong. Siapa tahu, itu pertanda kalau Indra akan segera menikah. Dengan begitu, kita akan segera punya cucu,” sahut laki-laki itu sambil melirik pada istrinya.

Mendengar jawaban suaminya itu, Bu Dewi hanya mengamiini. Namun, jawaban itu tetap saja tidak mampu menenangkan hatinya yang gelisah.

“Udahlah, Bu. Hari ini ayah akan mengadakan rapat dengan para pejabat lain. Rapat kali ini akan  membahas tentang konflik yang terjadi di wilayah kita, konflik yang tak kunjung juga reda.”

“Iya, Yah. Ayah sebagai pemimpin harus mengambil langkah tegas untuk menumpas para pemberontak itu, agar mereka tidak terus-terusan membuat warga resah. Tapi, ibu sungguh tidak mengerti dengan pikiran para pemberontak itu, disaat negara kita sedang diliputi krisis multi dimensi. Kok malah menambah suasana bikin kacau. Malah ingin melepaskan diri dan ingin membuat negara baru. Satu masalah belum selesai, malah menambah masalah baru. Seperti rumput liar di pojok taman, di satu pojok belum tuntas ditebang, malah tumbuh lagi rumput liar di pojok lain. Ibu benar-benar tidak mengerti, mengapa mereka bisa berbuat seperti itu?” ucap Bu Dewi panjang lebar, dan mendengar kata-kata istrinya itu, laki-laki itu terlihat menarik napas panjang.

“Perlu Ibu ketahui. Semua tindakan anarkis yang sekarang ini banyak terjadi,  termasuk pemberontakan. Itu semua terjadi karena banyak hal. Diantaranya adalah ketidakadilan, ketimpangan dan ketidak berdayaan. Ketidakadilan ini bisa berupa perlakuan yang diskriminatif, distribusi ekonomi dan kekuasaan yang tidak merata, atau pun tiadanya kesempatan untuk berekspresi dalam ruang publik. Ketimpangan seringkali berkaitan dengan ekonomi dalam sebuah bangsa, di mana kesenjangan yang terjadi antara si miskin dan si kaya begitu besar. Si kaya makin kaya, sedangkan si miskin bertambah miskin. Atau bisa terjadi antara wilayah yang maju dihadapkan pada wilayah-wilayah miskin dan berkembang. Situasi timpang ini, kalau tidak mampu dikelola dan diatasi dengan baik,  cenderung memaksa atau mendorong suatu kelompok untuk bertindak anarkis. Ya, salah satu contonya pemberotakan yang saat ini sering terjadi. Ini merupakan salah satu bentuk ketidakpuasan masyarakat terhadap pemerintah, bahwa pemerintah gagal dan tidak mampu mengatasi berbagai krisis yang terjadi. Dan mereka  menganggap, pemerintah sudah tidak mampu lagi  memanage wilayahnya. Makanya, mereka berusaha untuk memanage wilayah mereka sendiri. Ya, salah satunya itu, dengan mencoba melepaskan diri dari negara ini dan mendirikan negara baru. Dan mereka berpikir, bahwa mereka akan mampu mengatasi krisis  di wilayah ini,” jawab laki-laki itu panjang lebar. Laki-laki itu tiada lain adalah Pak Musa yang saat ini menjabat sebagai Gubernur di wilayah itu.

“Ayah. Kenapa ayah tidak menyuruh tentara saja untuk menumpas mereka. Dengan begitu,  persoalan akan beres, kan?” timpal seorang anak gadis yang sedang menuruni anak tangga yang dari tadi mendengarkan percakapan kedua orang tuanya.

 “Tidak semudah itu, sayang. Langkah itu memang mudah. Namun, selagi masih ada cara lain, kita tahan dulu langkah itu. Karena mereka juga, kan, masyarakat kita yang perlu kita lindungi. Ingat ya, Nak. Perang itu hanyalah kelanjutan dari diplomasi yang gagal,” ujar Pak Musa.

“Ya, salah mereka sendiri bikin kekacauan dan meresahkan warga lain,” sahut gadis cantik itu tidak mau kalah dengan argumennya.

“Itulah tugas kita sebagai masyarakat yang mengerti hukum untuk menyadarkan mereka. Sudahlah, biarkan ini menjadi urusan ayah. Dan tugas kamu hanya belajar, biar menjadi orang yang berguna bagi negara ini.”

“Baik ayah. Oh, ya, Ayah. Hari ini Zahra tidak ada kuliah, bagaimana kalau Zahra ikut rombongan ayah ke pertemuan itu? Sekaligus, Zahra ingin melengkapi makalah laporan study tentang kehidupan berbangsa dan bernegara pada salah satu mata kuliah di kampus.  Boleh, ya, ayah. Please! ucap perempuan muda yang bernama Zahra sambil memohon.

“Yasudah. Asal Zahra bisa bersikap dewasa pada saat di pertemuan nanti. Jangan sampai menyamakannya dengan keadaan di rumah. Dan satu lagi, jangan manja. Oke,” pinta Pak Musa sambil mencubit pipi anaknya itu.

“Siap komandan!” sahut Zahra pada ayahnya sambil mengangkat tangannya seperti seorang tentara yang memberi hormat pada komandannya. Dan melihat tingkah Zahra seperti itu, Pak Musa dan Bu Dewi hanya tersenyum.

“Bagaimana Ayah. Apakah sudah siap untuk berangkat? Mobil dan seluruh pasukan pengawalan sudah siap,” ujar seorang pemuda pada Pak Musa yang tiada lain adalah anaknya juga yaitu Indra yang bertugas sebagai pasukan pengawal.

“Oke. Kita berangkat sekarang,” jawab Pak Musa.

“Tunggu ayah. Zahra mau ngambil tas dulu,” ucap Zahra sambil berlari menaiki anak tangga menuju kamarnya, dan beberapa menit kemudian Zahra sudah berada di hadapan Pak Musa.

“Eh, anak kecil! Ngapain ikut-ikutan segala?” tanya Indra pada adiknya itu.

“Biarin! Ayah juga nggak ngelarang, kok. Wew!” sahut Zahra sambil meledek kakaknya.

“Tapi. Ini urusan orang dewasa. Lebih baik, Zahra temenin Ibu di rumah,” bantah Indra.

 “BETE, Kak! Masa tiap liburan di rumah terus?” jawab Zahra sambil cemberut.

“Sudah, sudah. Ayo berangkat.” Pak Musa melerai. Mereka kemudian berjalan menuju pintu keluar. Di luar rumah, tanpak beberapa pengawal sudah menunggu mereka. Beberapa mobil sedan hitam dan motoris terlihat berjejer di halaman rumah itu. Tidak lama kemudian Pak Musa dan rombongan masuk ke dalam mobil. Kendaraan rombongan Pak Musa terlihat melaju perlahan-lahan meninggalkan halaman rumah dinas gubernur. Bu Dewi yang  memandangi kepergian mereka mengiringinya dengan seuntai doa untuk keselamatan suami dan kedua anaknya serta para rombongan.

Beberapa jam kemudian Pak Musa beserta rombongan sudah tiba di halaman gedung pertemuan. Belum sempat Pak Musa menginjakan kakikanya di depan halaman gedung, beberapa wartawan sudah menyambut dan menghujaninya dengan beberapa pertanyaan, dan  para pengawal terlihat berusaha mengamankan serta mencoba memberikan jalan pada Pak Musa.

“Pak.  Tindakan apa yang akan Bapak ambil untuk menghadapi semua teror yang terjadi di wilayah kita ini?” tanya seorang wartawan pada Pak Musa.

 “Kita lihat saja hasilnya nanti setelah rapat ini selesai, saya tidak mungkin mengambil keputusan begitu saja, karena masalah ini menyangkut negara,” jawab Pak Musa pada para wartawan.

“Menurut Bapak. Semua tindakan anarkis dan teror yang sering terjadi di wilayah ini. Apakah murni dilakukan oleh para pemberontak yang ingin memisahkan diri dari negara ini? Atau, oleh sekelompok orang tertentu yang menganut paham radikal?”

“Kita belum bisa menjudgenya. Apakah ini dilakukan oleh pemberontak atau sekelompok orang penganut paham radikal, semua butuh bukti-bukti sebelum kita memutuskannya.”

 “Oh, iya, Pak. Apakah benar pak Presiden sudah menyerahkan sepenuhnya pada  Bapak untuk menyeleisaikan masalah ini, apakah itu bukti bahwa pak Presiden sudah tidak peduli lagi dengan provinsi kita ini?” tanya seorang wartawan.

Pak Musa menghentikan langkahnya lalu menoleh pada wartawan itu.

“Bukan begitu. Negara kita ini adalah negara yang besar dan luas. Selain itu, masalah seperti ini bukan hanya di daerah kita saja. Beliau hanya ingin kita belajar dewasa dan mencoba terlebih dahulu untuk mengatasi masalah ini sendiri. Namun, jika kita tetap tidak mampu mengatasinya, baru pemerintah pusat akan turun langsung untuk menyeleisaikan masalah ini,” sahut Pak Musa menegaskan.

 “Lalu. Apakah Bapak sudah punya gambaran untuk menyeleisaikan permasalahan ini?”tanya seorang wartawan lainnya.

“Kita lihat saja nanti, ya,” jawab Pak Gubernur Musa mengakhiri, dan setelah itu, ia beserta rombongannya memasuki gedung pertemuan termasuk Zahra yang berada di baris belakang. Di dalam gedung pertemuan itu terlihat beberapa pejabat lainnya sudah menunggu kedatangan mereka, dan beberapa menit kemudian rapat itu pun dimulai.

Di luar gedung pertemuan, tanpak beberapa penjaga sedang bersiaga mengamankan gedung itu. Sedangkan di sebuah jalan yang terletak tidak jauh dari gedung pertemuan, terlihat sebuah mobil berwarna silver sedang diparkir, dan dari dalam mobil itu terlihat beberapa orang sedang mengintai gedung pertemuan. Orang-orang itu tiada lain adalah Moza, Pak Sugeng dan empat orang rekannya, mereka semua bersenjata lengkap.

“Bagaimana, Pak. Apakah pasukan kita yang ditugaskan mencegat rombongan pak Gubernur sudah siap?” tanya Moza pada Pak Sugeng.

            “Tenang saja Moza. Sebelum kita sampai di sini, mereka semua sudah terlebih dulu sampai di hutan  bambu, jalan yang akan dilewati pak Gubernur dan rombongannya. Kita ikuti rombongan pak Gubernur dari belakang. Dan nanti, selagi pasukan kita sedang menghadapi para pengawal pak Gubernur. Kita sergap pak Gubernur dari belakang,” sahut Pak Sugeng menjelaskan.

            Sementara itu, beberapa pasukan lain dalam kota yang di pimpin oleh Reza sudah menyebar dan memasang beberapa peledak di tempat-tempat yang sudah ditargetkan untuk mengalihkan perhatian publik pada peristiwa yang akan terjadi. Dengan memanfaatkan orang dalam sebagai mata-mata para pemberontak, rencana itu pun terlihat begitu mulus sehingga tinggal menunggu waktu saja.

Bab terkait

  • BAIT-BAIT CINTA SANG PEMBERONTAK   Chapter 5. Penculikan Pak Gubernur

    Setelah beberapa jam berlalu, pertemuan di gedung itu pun akhirnya selesai dan Pak Gubernur beserta rombongannya terlihat mulai keluar meninggalkan ruangan rapat. Para wartawan yang sedari tadi menunggu cukup lama akhirnya kembali berebut mendekati Pak Gubernur dan kembali menghujaninya dengan beberapa pertanyaan.“Bagaimana, Pak. Apakah Bapak sudah mendapatkan solusinya dan bagaimana keputusannya?” tanya seorang wartawan sambil menyodorkan mikrofon pada Pak Musa.“Kita akan mencoba mengadakan perundingan dengan pihak-pihak yang dicurigai sebagai pemberontak dan juga yang dicurigai telah menebar teror atas dasar paham radikal mereka,” jawab Pak Musa.“Apakah cara ini akan berhasil, Pak?”“Kita lihat saja nanti, ya. Mudah-mudahan cara ini berhasil.”“Kenapa kita tidak langsung menumpas mereka saja, Pak. Bukankah jumlah mereka lebih sedikit dibandingkan dengan kita?” seoran

    Terakhir Diperbarui : 2021-09-08
  • BAIT-BAIT CINTA SANG PEMBERONTAK   Chapter 6. Suasana di Markas Pemberontak

    Sebuah sentuhan lembut pada rambut kepalannya mulai terasa seiring suara panggilan sendu dibarengi isak tangis perlahan hinggap di telinga seorang gadis muda yang mulai tersadar.“Sayang, bangun, Nak,” ucapnya pelan sambil menangis di samping gadis muda yang terbaring lemas. Perlahan gadis muda itu mulai terlihat membuka mata.“Bu. Ayah mana, Bu. Kak Indra mana, Bu?” tanya gadis itu yang tiada lain adalah Zahra. Bu Dewi hanya menangis saat mendengar pertanyaan anaknya itu.“Bu. Kak Indra mana?” tanyanya lagi yang belum sepenuhnya sadar.“Tenang sayang, kamu istirahat saja, ya,” sahut seorang perempuan sambil membelai lembut rambut Zahra.“Tante. Kok, tante ada di sini?” Zahra perlahan bangkit lalu duduk. Ia terlihat melirik ke sekeliling ruangan yang sudah ramai dipenuhi orang-orang, dan ketika pandangannya melirik ke sebuah sudut ruangan, Zahra melihat sebuah peti yang dihiasi karan

    Terakhir Diperbarui : 2021-09-09
  • BAIT-BAIT CINTA SANG PEMBERONTAK   Chapter 7. Sosok Presiden

    Malam semakin larut, suasan hutan pun terasa semakin mencekam. Suara anjing hutan yang melolong terdengar bersahutan dengan suara-suara binatang malam lainnya. Cahaya obor yang dipasang di depan tenda-tenda penginapan terlihat menari-nari terhempas angin mencoba memecah kegelapan malam. Di luar sebuah tenda, tampak Pak Gamaliel dan Pak Gandara serta rekannya yang lain sedang berbincang-bincang.“Apakah semua target sudah didapatkan?” tanya Pak Gamaliel.“Sudah, Pak. Semua sudah berada di tenda utama,” jawab Sembi.Pak Gamaliel lalu berjalan menuju tenda besar yang sedang dijaga ketat oleh beberapa tentaranya. Langkahnya diikuti oleh Pak Gandara dan Pak Sugeng beserta tiga orang tentaranya dengan bersenjata lengkap. Setelah berada di depan tenda, Pak Gamaliel membuka pintu tenda itu dengan perlahan.Melihat beberapa orang muncul dari pintu tenda, Pak Musa dan keempat rekannya serempak melirik, dan tampaklah siapa sosok Presiden yang

    Terakhir Diperbarui : 2022-01-16
  • BAIT-BAIT CINTA SANG PEMBERONTAK   Chapter 8. Penolakan Tegas

    Saat pajar menggelar warna-warnanya dan burung-burung berkicau bersahutan mendengungkan nada-nada indah yang melukiskan aroma pagi telah datang. Gemuruh dedaunan yang tersentuh angin pengembara melenggak-lenggok bagai sang penari yang menjadi ritual pagi menyambut sang mentari.“Prok! Prok! Prok!”Gemuruh hentakan suara sepatu jungle para tentara yang berjalan melewati sebuah tenda tempat Pak Musa dan keempat rekannya ditahan terdengar jelas. Sepatu para tentara itu sepertinya terbuat dari kulit asli pilihan dengan sol kembang cermai baja pilihan tapi ringan yang dibuat dengan penuh kecermatan tingkat tinggi hingga menghadirkan bunyi derap yang berbeda. Bunyi derap sepatu para tentara yang berbaris itu hinggap di telinga Pak Musa. Perlahan-lahan ia membuka matanya yang kemudian disusul oleh keempat rekannya. Dari luar tiba-tiba muncul beberapa orang lelaki dengan membawakan makanan dan yang lainnya membawa beberapa baskom yang berisi air hangat lengka

    Terakhir Diperbarui : 2022-01-16
  • BAIT-BAIT CINTA SANG PEMBERONTAK   Chapter 9. Dijadikan Rusa Buruan

    Di tenda yang ditempati Pak Musa dan rekan-rekannya, mereka terlihat sedang mencari solusi bagaimana menghadapi situasi itu.“Menurut Bapak. Kira-kira apa yang sedang mereka rencanakan?” tanya Mayjen Ferdy pada Pak Musa.“Entahlah. Yang pasti, mereka akan terus berusaha agar kita mau bekerjasama dengan mereka.”“Saya khawatir. Kalau mereka akan memaksa kita dengan cara-cara yang kasar. Dan lebih jauh lagi, mereka akan membinasakan kita.”“Bagaimana kalau kita kabur saja dari sini, Pak?” usul Pak kamaludin memberi saran.“Rasanya tidak mungkin. Lihat saja jumlah mereka, terlalu banyak untuk kita lewati, dan sedikit pun kita tidak bisa berpaling dari tatapan mata mereka yang selalu sigap memperhatikan gerak-gerik kita sebagai tawanannya,” sahut Pak Musa sambil merenung.Sesaat kemudian keheningan kembali menyelimuti mereka. Rasanya sangat sulit untuk menentukan

    Terakhir Diperbarui : 2022-02-02
  • BAIT-BAIT CINTA SANG PEMBERONTAK   Chapter 10. Kesedihan Zahra

    Ketika senja perlahan melangkah pulang dan sang malam mulai menebar kegelapannya. Seorang gadis tengah mengurung diri di dalam sebuah kamar. Yang dilakukannya hanya duduk dan memandangi pantulan kecantikannya dalam cermin besar yang dihias indah. Bola matanya terlihat berkaca-kaca pertanda sedang dirundung duka, duka yang amat mendalam dari hilangnya seorang insan.“Tok, tok, tok” terdengar suara pintu diketuk namun suara itu sedikit pun tidak mampu membangunkan dirinya dari lamun.“Tok, tok, tok.” pintu kamarnya kembali terdengar diketuk. Tapi gadis cantik itu masih asik dengan lamunannya. Pikiranya melayang jauh menembus waktu, masa lalu yang kini hanya akan menjadi kenangan tanpa harapan akan terulang. Tidak lama kemudian terdengar suara pintu dibuka.“Zahra,” sebuah suara memanggil namanya dan terlihat seorang perempuan berusia empat puluh lima tahunan masuk ke dalam kamar mendekati gadis itu. Perempuan itu lalu mend

    Terakhir Diperbarui : 2022-02-02
  • BAIT-BAIT CINTA SANG PEMBERONTAK   Chapter 11. Sebuah Siasat

    Ketika malam semakin larut terdengar berbagai bunyi hewan malam bersahutan dibalik-balik pohon dan semak-semak, serta bunyi gemuruh dedaunan yang tertiup angin, dan ranting-ranting kering yang patah terinjak hewan malam yang sedang mencari nafkah. Sesekali dari kejauhan samar-samar terdengar suara-suara anjing hutan melolong mewarnai suasana malam yang semakin mencekam, tak ketinggalan suara nyanyian jangkring yang tak pernah absen bergema bersahutan menggambarkan nyanyian malam di dalam hutan.“Sekarang, perkiraan jam berapa ya, Pak?” tanya Pak Ferdy. Pak Musa menyalakan handphonnya“Sekarang baru pukul 00.30,” sahut Pak Muza.“Pak. Kenapa Bapak tidak mengirim pesan saja pada keluarga atau tentara kita dan memberitahukan kalau kita ada di sini?” tanya Pak zainal pelan.“Pak Zaenal. Kalau di sini ada sinyal, tentu dari kemarin saya sudah mengirim pesan. Dan kita tidak tahu kita ini berada di hutan apa. Lagipula, k

    Terakhir Diperbarui : 2022-02-02
  • BAIT-BAIT CINTA SANG PEMBERONTAK   Chapter 12. Lepas dari Kematian

    Cahaya senter itu terlihat kian mendekat seiring suara langkah kaki segerombolan orang dengan napas lelah yang dibarengi beberapa obrolan ringan kini semakin terdengar jelas. Beberapa orang dari gerombolan tersebut terlihat sedang memikul beberapa peti kayu berukuran satu meter lebih dan sebagian lagi sibuk memegang senter serta senjata ditangan sebagai pengamanan. Ketika segerombolan orang itu sampai di jalan setapak yang tadi dilewati oleh Pak Ferdy, Pak Musa dan PakZaenal. Rombongan itu tiba-tiba berhenti.“Sem. Sepertinya, aku tadi melihat seberkas cahaya senter berhenti di sini.”“Mungkin itu hanya penglihatanmu saja, Moza. Bahkan, aku tidak melihat apa-apa selain jalan setapak yang disoroti cahaya senter.”“Yang memegang senter! Tolong soroti sekeliling! Sepertinya ada sesuatu yang mencurigakan.”Mendengar perintah dari Moza itu, semua yang membawa senter terlihat sibuk menyorotkan senter mereka ke sekelilin

    Terakhir Diperbarui : 2022-02-05

Bab terbaru

  • BAIT-BAIT CINTA SANG PEMBERONTAK   Chapter 20. Bertindak Sendiri

    Sore itu Moza terlihat sedang termenung di atas tempat tidurnya. Bagaimana pun juga, dendam di dalam dadanya masih terus bergemuruh. Meskipun, ia sudah mulai nyaman dengan kehidupannya saat ini, tapi selama pembunuh orang tuanya belum ditemukan, dendam itu terus menantangnya untuk terus mencari tahu. “Aku tidak bisa menunggu lebih lama lagi, aku harus bergerak,” gumamnya dalam hati. Ia kemudian menghubungi Sembi, dan tidak perlu menunggu lama, terdengar Sembi mengangkat panggilannya. “Ada apa Moza?” “Sem. Kamu tahu, siapa komandan tentara kita yang di tugaskan di dalam kota?” Tanya Moza. “Iya, tahu. Namanya Reza. Nanti saya hubungkan dengan kamu. Tapi

  • BAIT-BAIT CINTA SANG PEMBERONTAK   Chapter 19. Satu Hari Bersama Lisa Hallay

    Setelah acara makan itu selesai, ketiganya terlihat meninggalkan restoran dan kembali ke kampus.“Moza. Berapa nomor handphon kamu?” tanya Pak Mario pada Moza sambil menyetir mobilnya.“Saya belum sempat membeli handphon, Pak?”“Terus. Komunikasi dengan Pak Gamaliel, bagaimana?”“Tenang saja, Pak. Saya sudah tahu bagaimana berkomunikasi dengan beliau secara aman,” sahut Moza.“Ya. Kalian memang orang-orang cerdas. Otak kalian seperti ikan salmon yang tidak pernah lupa jalan pulang menuju tempat kelahirannya,” jawab Pak Mario.Mendengar percakapan kedua orang itu Lisa hanya diam, ia benar-benar tidak mengerti tentang apa sebenarnya yang sedang dibicarakan namun itu tidak terlalu ia pikirkan. Mobil itu kini sudah sampai di halaman kampus dan mereka kemudian turun dari dalam mobil.“Moza. Ini kartu nama saya, kalau sudah beli handphon, secepatnya hubungi saya, ya. Da

  • BAIT-BAIT CINTA SANG PEMBERONTAK   Chapter 18. Tokoh Tersembunyi

    Pagi itu Moza, Sembi, Resta serta Pak Gandara dan Murry keluar dari sebuah perkampungan dengan mengendarai sebuah mobil warna silver. Setelah berada di jalan raya mobil yang dibawa Murry itu melaju dengan kencang.“Moza. Nanti kalau kamu sudah berada di kampus itu, kamu langsung temui Pak Mario, ia sudah tau akan kedatangan kamu dan kalau ada apa-apa, kamu tinggal bilang saja sama dia. Jangan khawatir, dia orang kita juga,” kata Pak Gandara.“Dan kamu Sembi. Kamu hubungi Master Chie-Tung, dia juga orang kita.”“Wah! Saya tidak menyangka, di universitas-universitas juga ternyata banyak orang-orang kita juga ya,” sahut Resta.“Ya. Kita sengaja menempatkan orang-orang kita di beberapa lembaga pendidikan dan pemerintahan, agar mereka bisa memasukan doktrin-doktrin kita pada para mahasiswa dalam pelajaran-pelajaran mereka. Karena selama ini, pemerintah hanya tahu kalau para pemberontak itu tempatnya di hutan-hutan rimb

  • BAIT-BAIT CINTA SANG PEMBERONTAK   Chapter 17. Menyusun Langkah Baru

    Tiga pekan sudah Moza, Pak Gamaliel dan yang lainya berada dalam pelarian. Berpindah-pindah dari satu tempat ke tempat lain yang dirasakan aman, karena mereka menyadari bahwa para tentara republik kini sedang gencar-gencarnya mencari dan menumpas para pemberontak yang telah banyak meresahkan masyarakat. Moza dan kedua rekanya Sembi dan Resta berada di sebuah kota, sedangkan Pak Gamaliel dan Pak Gandara, keduanya berada di sebuah daerah dekat perbatasan. Sedangkan Murry yang merupakan supir mereka bertugas menghubungkan satu dengan yang lainnya. Sesekali ia mengantarkan barang-barang yang mereka perlukan.Suatu pagi ketika mereka sedang berada di dalam sebuah rumah yang baru tiga hari mereka tinggali. Terlihat Moza dan Sembi sedang sibuk membersihkan beberapa handguns diantaranya Semi Otomatis seperti FN, Pistol Mesin seperti U21 , Revolver dan Deringer. Dari dalam sebuah ruangan Resta muncul dengan membawa dua senjata laras panjang atau Long Guns dan beberapa senapan serbu.

  • BAIT-BAIT CINTA SANG PEMBERONTAK   Chapter 16. Kembali Pulang

    Satu jam lamanya mereka menempuh perjalanan menggunakan ojek, turun naik bukit dan melewati hutan serta pesawahan, maklum saja perkampungan itu terletak di sebuah bukit dan dikelilingi oleh gunung-gunung yang jauh dari sentuhan perkotaan. Jalanan yang menurun dan curam terkadang pula menanjak dengan kondisi jalan yang sepenuhnya tidak diaspal hanya berlapiskan tanah merah dan bebatuan yang terkadang membuat ketiganya mengerang kesakitan saat roda motor menerjang bebatuan-bebatuan itu. Setelah melewati perjalanan yang melelahkan itu, mereka kini tiba di sebuah perkampungan lain namun beruntung, jalanan yang rusak penuh bebatuan itu tidak mereka temukan lagi. Aspal hitam yang terhampar di jalanan membuat perjalanan terasa nyaman, sehingga para pengendara ojek itu tidak ragu-ragu lagi untuk memacu kecepatan motor mereka.Mereka akhirnya tiba di sebuah terminal. Setelah memberikan sejumlah uang kepada ketiga pengendara ojek itu, mereka kemudian melangkahkan kakinya. Hingar-bingar

  • BAIT-BAIT CINTA SANG PEMBERONTAK   Chapter 15. Kabar Duka

    Di sebuah pesawahan yang terletak di pinggir hutan terlihat sepasang suami isteri dan seorang anak laki-laki muda tengah sibuk memanen padi mereka yang sudah menguning. Setelah terlalu lama membungkuk saat memotong padi, isteri pak tani terlihat berdiri lalu meregangkan otot-ototnya yang terasa pegal. Pandangannya tiba-tiba ia arahkan pada tiga orang laki-laki yang berpakaian mirip tentara keluar dari arah hutan. Sejenak ia terus memperhatikan langkah ketiga orang itu yang mulai mendekat.“Pak. Coba lihat ke belakang. Ada tiga orang keluar dari dalam hutan, dan sepertinya sedang menuju kemari,” kata perempuan itu pada suaminya, dan suaminya terlihat berdiri lalu melemparkan pandangannya ke arah tiga laki-laki yang sedang berjalan menuju tempat mereka.“Iya, Bu. Penampilan mereka terlihat seperti tentara.”Ketiga orang laki-laki itu tampak semakin jelas setelah berada di dekat mereka.“Permisi, Pak, Bu. Maaf kami m

  • BAIT-BAIT CINTA SANG PEMBERONTAK   Chapter 14. Hujan Peluru

    Pagi itu komandan Alexa dan rekan-rekannya terlihat sedang memperhatikan perbuatan kejam para pemberontak yang baru menembak mati dua anggotanya. Dari semak-semak itu dengan jelas mereka melihat tindakan kejam itu. Entah apa yang telah diperbuat dua anggota itu sehingga hukuman mati harus mereka terima.“Komandan. Sepertinya kita harus menjauh dari tempat ini. Saya khawatir mereka akan melihat kita. Apalagi matahari sudah mulai terlihat terang,” ucap salah satu anggotanya, dan Pak Alex terdiam sejenak“Baiklah. Ayo kita menjauh dari tempat ini, tapi hati-hati jangan sampai ketahuan.”Kedelapan tentara itu dengan perlahan-lahan berjalan sambil merunduk menjauhi tempat itu. Sayangnya, ranting-ranting mati yang terinjak oleh mereka seakan berteriak dan menimbulkan bunyi patahan, bunyi itu sepertinya hinggap di gendang telinga Moza meski tidak terlalu jelas namun membuat Moza membalikan badan dan menoleh pada suara itu.“Siapa di

  • BAIT-BAIT CINTA SANG PEMBERONTAK   Chapter 13. Pengintaian

    Pagi itu sekitar jam 05:30, Pak Alex dan ketujuh rekannya sudah sampai di dekat barisan obor itu. Dan alangkah terkejutnya mereka ketika menyadari bahwa itu ternyata adalah sarangnya para pemberontak. Kedelapan orang itu terlihat berjalan mengendap-ngendap mendekati tempat itu. Mereka bersembunyi di antara semak belukar. Dari semak-semak tersebut beberapa tentara berseragam hitam-hitam mulai terlihat berlalu-lalang dengan senjata lengkap. Selain itu, disana juga terdapat sebuah helikoipter.“Sepertinya kita akan menghadapi pertempuran besar.”“Iya Pak. Jumlah mereka ternyata sangat banyak dan persenjataan mereka juga sepertinya sangat lengkap.”“Kopral Adi. Tolong hubungi Pak Rudy. Tanyakan, mereka sudah sampai dimana? Dan tolong kasih tahu lokasi kita.”“Baik, Pak.”“Kopral Adi lalu menghubungi pasukan Pak Rudi lewat PTX-SPM-622 Squad Power Protonex. Dan setelah berbincang-bincang sesaat ia kem

  • BAIT-BAIT CINTA SANG PEMBERONTAK   Chapter 12. Lepas dari Kematian

    Cahaya senter itu terlihat kian mendekat seiring suara langkah kaki segerombolan orang dengan napas lelah yang dibarengi beberapa obrolan ringan kini semakin terdengar jelas. Beberapa orang dari gerombolan tersebut terlihat sedang memikul beberapa peti kayu berukuran satu meter lebih dan sebagian lagi sibuk memegang senter serta senjata ditangan sebagai pengamanan. Ketika segerombolan orang itu sampai di jalan setapak yang tadi dilewati oleh Pak Ferdy, Pak Musa dan PakZaenal. Rombongan itu tiba-tiba berhenti.“Sem. Sepertinya, aku tadi melihat seberkas cahaya senter berhenti di sini.”“Mungkin itu hanya penglihatanmu saja, Moza. Bahkan, aku tidak melihat apa-apa selain jalan setapak yang disoroti cahaya senter.”“Yang memegang senter! Tolong soroti sekeliling! Sepertinya ada sesuatu yang mencurigakan.”Mendengar perintah dari Moza itu, semua yang membawa senter terlihat sibuk menyorotkan senter mereka ke sekelilin

DMCA.com Protection Status