Home / All / BAIT-BAIT CINTA SANG PEMBERONTAK / Chapter 5. Penculikan Pak Gubernur

Share

Chapter 5. Penculikan Pak Gubernur

Author: Bond Monosta
last update Last Updated: 2021-09-08 18:26:57

Setelah beberapa jam berlalu, pertemuan di gedung itu pun akhirnya selesai dan Pak Gubernur beserta rombongannya terlihat mulai keluar meninggalkan ruangan rapat. Para wartawan yang sedari tadi menunggu cukup lama akhirnya kembali berebut mendekati Pak Gubernur dan kembali menghujaninya dengan beberapa pertanyaan.

“Bagaimana, Pak. Apakah Bapak sudah mendapatkan solusinya dan bagaimana keputusannya?” tanya seorang wartawan sambil menyodorkan mikrofon pada Pak Musa.

 “Kita akan mencoba mengadakan perundingan dengan pihak-pihak yang dicurigai sebagai pemberontak dan juga yang dicurigai telah menebar teror atas dasar paham radikal mereka,” jawab Pak Musa.

“Apakah cara ini akan berhasil, Pak?”

 “Kita lihat saja nanti, ya. Mudah-mudahan cara ini berhasil.” 

“Kenapa kita tidak langsung menumpas mereka saja, Pak. Bukankah jumlah mereka lebih sedikit dibandingkan dengan kita?” seorang wartawan kembali bertanya.

 “Cara seperti itu memang mudah. Namun, perlu kita ketahui, mereka juga adalah warga negara kita yang harus kita lindungi. Jadi, selagi masih ada cara yang lebih baik mengapa kita tidak mencobanya. Kita akan adakan pendekatan terlebih dahulu pada mereka,” jawab Pak Musa sambil berjalan menuju mobilnya dengan pengawalan ketat. Dan para wartawan yang masih penasaran terus mencoba mengorek informasi sambil memburu Pak Musa namun mereka dihadang oleh para pengawal sehingga mereka hanya bisa mengabadikan beberapa gambar Pak Musa dan menyaksikan Pak Gubernur itu pergi meninggalkan kerumunan mereka.

“Moza. Lihat! Pak Gubernur beserta rombongannya sudah meninggalkan gedung pertemuan,” ujar Pak Sugeng. Ia terlihat mengambil sebuah telepon genggam dari sakunya dan menghubungi sebuah nomor, dan setelah ada jawaban, Pak Sugeng mulai memberi komando.

“Harap semua bersiaga. Target akan menuju lokasi,” perintah Pak Sugeng lalu mematikan kembali telepon genggamnya.

 “Murry. Terus ikuti rombongan pak Gubernur, tapi jangan terlalu dekat agar mereka tidak curiga. Dan pada semua tim, kalian bersiap-siap.” Pak Sugeng memberi komando sedangkan Murry yang bertugas sebagai sopir tanpa bicara lagi langsung menghidupkan mesin  mobilnya dan mengikuti rombongan Pak Musa dari arah belakang. Moza dan Pak Sugeng beserta dua orang rekannya mulai bersiaga, mereka terlihat mulai memakai topeng  dan memasukan beberapa butir peluru pada senjata mereka. Sedangkan beberapa kendaraan  yang membawa rombongan pak Gubernur melaju dengan tenang, sedikit pun mereka tidak ada yang curiga kalau rombongan mereka sedang dibuntuti.

Ketika rombongan Pak Gubernur sedang melewati hutan bambu, tiba-tiba mobil mereka berhenti.

“Ada apa? Kok, tiba-tiba berhenti,” tanya Pak Musa.

“Di depan ada pohon tumbang yang menghalangi jalan kita, Pak,” sahut seorang pengawal.

Terlihat dua orang motoris turun dari motornya hendak menyingkirkan pohon itu. Namun, baru saja mereka mau mengangkat pohon itu, secara tiba-tiba beberapa butir peluru mengenai tubuh mereka dan mereka pun secara bersamaan tumbang bersimbah darah. Melihat peristiwa itu suasana tiba-tiba menjadi gaduh, semua pengawal mengangkat senjatanya. Dan dari arah semak-semak dan hutan bambu, tiba-tiba puluhan orang menembaki mereka. Baku tembak pun akhirnya tidak bisa dielakan lagi.

“Lindungi Pak Gubernur!” perintah Indra pada pengawal lainya dan beberapa pengawal pun terlihat mundur berdiri di samping mobil yang membawa Pak Musa dengan senjata yang tak henti-hentinya mereka tembakan. Sedangkan Moza, Pak Sugeng dan ketiga rekanya yang berada di belakang rombongan Pak Gubernur, mereka terus memperhatikan peristiwa itu seakan-akan sedang mengatur sebuah siasat.

Zahra dan seorang perempuan yang berada di dalam mobil paling belakang, ketika menghadapi situasi seperti itu terlihat tegang. Apalagi, beberapa butir peluru mengenai  kaca mobil yang mereka tumpangi. Tanpa berpikir panjang, Zahra keluar dari dalam mobil dan berlari ke belakang bermaksud untuk berlindung. Pak Sugeng ketika melihat tingkah Zahra itu tersenyum, ia sepertinya mendapatkan sebuah ide.

“Moza! Tangkap perempuan muda itu! Kita jadikan sandera. Dengan begitu, mereka pasti akan menyerahkan Pak Gubernur.”

Tanpa bertanya lagi, Moza langsung keluar dari dalam mobil dan berlari menghampiri Zahra.

“Angkat tangan! Berdiri kamu!” Moza menodongkan sebuah pistol pada Zahra. Zahra terlihat shoked. Dengan tubuh gemetar, ia kemudian mengangkat tangannya. Moza langsung menarik  lengan Zahra dan mendekap lehernya sambil menodongkan pistol pada kepala Zahra.

 “Jangan tembak saya. Tolong lepaskan saya,” Zahra mengiba dengan penuh ketakutan.

“Dor! Dor!”

Moza melepaskan dua tembakan ke udara, dan letusan dari arah belakang itu mendapat perhatian dari semua orang termasuk Pak Musa dan Indra.

“Kalau perempuan ini mau selamat! Serahkan Pak Gubernur sekarang juga!” gertak Moza mengancam.

Zahra terlihat semakin ketakutan. Indra yang melihat adiknya disandera, langsung berlari kebelakang.

“Ya, ampun Zahra!” Indra menodongkan pistolnya pada Moza.

“Lepaskan perempuan itu! Demi tuhan, dia tidak tahu apa-apa,” ucap Indra pada Moza.

“Saya tidak butuh ocehan kamu! Cepat serahkan Pak Gubernur! Kalau tidak, saya ledakan kepala perempuan ini.” Moza kembali mengancam.

“Kak Indra. Tolong Zahra!” Zahra mengiba pada kakanya.

“Jatuhkan senjatamu! Dan serahkan Pak Gubernur!” Moza mulai kehabisan kesabaran. Indra menjatuhkan pistolnya dan berjalan mendekati Moza, ia berharap menemukan titik lengah Moza hingga ia bisa membebaskan adiknya.

“Tenang. Kita bisa bicarakan ini baik-baik,” ucap Indra sambil mengangkat tangannya. Ia tidak menyadari kalau nyawanya sedang terancam. Moza yang semakin habis kesabarannya menodongkan pistolnya pada Indra. Dan tanpa Indra sadari. 

“Dor! Dor!” 

Moza melepaskan dua butir peluru tepat di dada Indra.

“Kak Indraaaaaaaaaa!” Zahra berteriak sambil menangis ketika melihat Indra jatuh ke tanah, ia meronta-ronta mencoba melepaskan dekapan Moza. Pak Musa yang melihat anak sulungnya ditembak, seketika terlihat geram bercampur amarah dan berniat keluar dari dalam mobil.

“Kalian kira saya main-main! Cepat serahkan Pak Gubernur!” Moza kembali menggertak.

 “Jangan keluar, Pak!” pinta beberapa pengawal mencoba menghalangi langkah Pak Musa.

“Kamu tidak lihat! Anak saya jatuh di tembak dan yang satunya disandera. Apa saya harus diam saja?!” sahut Pak Musa emosi sambil membuka pintu mobil. Ia kemudian mengangkat kedua tangannya ke atas dan berjalan mendekati Moza.

“Baik. Saya menyerah! Tolong lepaskan gadis itu,” pinta Pak Musa pada Moza.

“Ayah. Jangan, ayah!” Zahra mengiba pada ayahnya yang berjalan mendekat agar jangan menyerahkan diri pada Moza.

 “Maafkan ayah, sayang. Ayah tidak bisa membiarkan mereka menyakitimu,” sahut Pak Musa.

 Zahra kembali meronta-ronta berusaha melepaskan diri dari dekapan Moza namun Moza semakin erat mendekap leher Zahra dan tanpa disadari, kalung berlian yang melingkar di leher Zahra nyangkut di ibu jari Moza.  Dua orang rekan Moza yang bersenjata lengkap terlihat turun dari dalam mobil lalu berlari ke arah Pak Musa sambil menodongkan senjata, mereka lalu membawa Pak Musa ke dalam mobil. Moza merenggangkan dekapan tangannya di leher Zahra, dan kesempatan itu tidak Zahra sia-siakan, ia langsung melepaskan lengan Moza. Namun tanpa disadari keduanya,  kalung berlian yang dikenakan Zahra di lehernya terlepas dan jatuh di hadapan Moza. Sedangkan Zahra langsung berlari menghampiri Indra yang terbaring di tanah.

“Kak Indraaaa! Bangun Kak, Kak bangun, Kak!” teriak Zahra sambil menangis lalu memeluk Indra yang mulai terbujur kaku. Sejenak Moza terdiam sambil memandangi Zahra yang sedang menangis dan mendekap tubuh laki-laki yang ia tembak tadi. Terasa ada sebuah kekuatan magis yang membuatnya terpaku dan tetap berdiri di ditempat itu, suara tangis dan derai air mata yang membasahi kedua pipi gadis itu seakan-akan menghadirkan rasa iba dan sesal yang tiada pernah ia rasakan sebelumnya. Sepintas ia melirik pada kalung berlian yang jatuh dari leher gadis itu.

“Moza, cepat naik!” teriak Pak Sugeng memanggil Moza. Tangan Moza reflek mengambil kalung berlian yang jatuh dari leher gadis itu, dan ia segera berlari masuk ke dalam mobil. Beberapa detik kemudian mereka terlihat pergi meninggalkan tempat itu.

“Ayaaaaaaaah! Jangan tinggalkan Zahra, Ayah!” Zahra hanya berteriak memanggil-manggil ayahnya sambil memeluk Indra ketika melihat ayahnya dibawa oleh para pemberontak itu.

“Zahra, adikku. Maafkan Kakak, Kakak tidak bisa melindungimu, sampaikan salam Kakak pada ibu,” ucap Indra pelan.

“Jangan pergi, Kak. Kakak akan baik-baik saja, bertahanlah, Kak,” Zahra mengiba.

“Zahra. Kakak kedinginan, se … semuanya ... terlihat, buram Zah … ra,” ucap  Indra terbata-bata setengah sadar.

“Sadar, Kak! Kakak harus bertahan!” pinta Zahra sambil menangis.

 “Zah ... ra. Jaga, I … Bu,” Indra mengucapkan kata terakhirnya.  

Setelah mengucapkan kata-kata itu, kepala Indra terkulai dan tubuhnya terasa kaku yang menggambarkan bahwa tidak ada lagi kehidupan dalam raga itu, Indra pergi untuk selama-lamanya.

 “Kak, bangun, Kak! Kak Indra! Bangun, Kak!” Zahra menggoyang-goyangkan tubuh Indra namun tubuh itu terasa kaku. Zahra menjerit histeris.

“Kak Indraaaaaa!”

Zahra memeluk erat tubuh kakaknya diiringi jerit tangis dan derai air mata. Saat ia sudah tak mampu lagi menahan kesedihannya, ia pun akhirnya terkulai lemas tak sadarkan diri. Para pemberotak yang menyadari kalau sasaran mereka sudah berhasil mereka dapatkan, satu-persatu berlari menuju mobil truk yang berada agak jauh di depan rombongan Pak Gubernur dan kemudian meninggalkan tempat itu dengan sebelumnya menembakan bazoka ke arah rombongan mobil Pak Gubernur, mobil paling depan meledak dan beberapa pengawal terpental ke semak-semak dengan luka di tubuh mereka.

Setelah kepergian para pemberontak, suasana mulai terasa tenang. Asap hitam dari mobil yang terbakar terlihat berterbangan, dan serpihan-serpihan material sisa pernyerangan berserakan mulai ditiup angin. Suara erangan kesakitan para pengawal yang terluka dari beberapa pojok serta yang terlempar ke semak-semak mulai terdengar. Beberapa pengawal yang selamat mulai menampakan diri dan menolong teman-temannya, mereka kemudian melaporkan peristiwa itu pada aparat dan meminta agar segera dikirim pertolongan. Namun, saat mereka menghubungi kantor pusat, mereka terlihat kesulitan karena telephon mereka tidak juga terhubung. Mereka pun akhirnya menghubungi nomor pribadi komandan pusat dan menginformasikan kejadian yang menimpa.   

Hari itu pun geger ketika berita penculikan Pak Gubernur menyebar secara perlahan di lingkungan orang dalam pemerintah provinsi, dan kejadian itu berbarengan pula dengan kekacauan yang terjadi di pusat kota. Ledakan bom di stasiun kereta dan rumah sakit serta pusat perbelanjaan, menyebabkan korban yang tidak sedikit.  Apalagi, ledakan juga terjadi di beberapa pembangkit listrik hingga membuat semua jaringan terhambat, para aparat dan petugas terlihat disibukan untuk memulihkan kestabilan kota. Konsentrasi mereka pun seakan terpecah saat mengetahui kalau para pemberontak telah menculik pak Gubernur dan empat pejabat pemerintah, mereka pun akhirnya membagi ke dalam beberapa kelompok, beberapa kelompok bertugas memulihkan kestabilan kota serta mengevakuasi korban dan kelompok lainnya mulai mempersiapkan diri untuk mencari keberadaan pak gubernur beserta empat pejabat lainnya. Dan berita penculikan pak gubernur serta kekacauan di wilayah itu akhirnya sampai ke pemerintahan pusat, beberapa media lokal dan nasional pun berdatangan untuk meliput kejadian di wilayah itu. Peristiwa itu tentu saja membuat seluruh masyarakat dan pemerintah pusat terlihat makin geram terhadap aksi para pemberontak, hingga pemerintah pusat pun mulai menyusun strategi untuk mencari dan membebaskan pak Gubernur. Pemerintah pusat pun meminta kepada para warga untuk kerjasamanya apabila mengetahui informasi seputar kejadian yang menimpa pak Gubernur dan empat pejabat pemerintah yang diculik, serta melaporkannya pada aparat guna memudahkan pencarian.

Related chapters

  • BAIT-BAIT CINTA SANG PEMBERONTAK   Chapter 6. Suasana di Markas Pemberontak

    Sebuah sentuhan lembut pada rambut kepalannya mulai terasa seiring suara panggilan sendu dibarengi isak tangis perlahan hinggap di telinga seorang gadis muda yang mulai tersadar.“Sayang, bangun, Nak,” ucapnya pelan sambil menangis di samping gadis muda yang terbaring lemas. Perlahan gadis muda itu mulai terlihat membuka mata.“Bu. Ayah mana, Bu. Kak Indra mana, Bu?” tanya gadis itu yang tiada lain adalah Zahra. Bu Dewi hanya menangis saat mendengar pertanyaan anaknya itu.“Bu. Kak Indra mana?” tanyanya lagi yang belum sepenuhnya sadar.“Tenang sayang, kamu istirahat saja, ya,” sahut seorang perempuan sambil membelai lembut rambut Zahra.“Tante. Kok, tante ada di sini?” Zahra perlahan bangkit lalu duduk. Ia terlihat melirik ke sekeliling ruangan yang sudah ramai dipenuhi orang-orang, dan ketika pandangannya melirik ke sebuah sudut ruangan, Zahra melihat sebuah peti yang dihiasi karan

    Last Updated : 2021-09-09
  • BAIT-BAIT CINTA SANG PEMBERONTAK   Chapter 7. Sosok Presiden

    Malam semakin larut, suasan hutan pun terasa semakin mencekam. Suara anjing hutan yang melolong terdengar bersahutan dengan suara-suara binatang malam lainnya. Cahaya obor yang dipasang di depan tenda-tenda penginapan terlihat menari-nari terhempas angin mencoba memecah kegelapan malam. Di luar sebuah tenda, tampak Pak Gamaliel dan Pak Gandara serta rekannya yang lain sedang berbincang-bincang.“Apakah semua target sudah didapatkan?” tanya Pak Gamaliel.“Sudah, Pak. Semua sudah berada di tenda utama,” jawab Sembi.Pak Gamaliel lalu berjalan menuju tenda besar yang sedang dijaga ketat oleh beberapa tentaranya. Langkahnya diikuti oleh Pak Gandara dan Pak Sugeng beserta tiga orang tentaranya dengan bersenjata lengkap. Setelah berada di depan tenda, Pak Gamaliel membuka pintu tenda itu dengan perlahan.Melihat beberapa orang muncul dari pintu tenda, Pak Musa dan keempat rekannya serempak melirik, dan tampaklah siapa sosok Presiden yang

    Last Updated : 2022-01-16
  • BAIT-BAIT CINTA SANG PEMBERONTAK   Chapter 8. Penolakan Tegas

    Saat pajar menggelar warna-warnanya dan burung-burung berkicau bersahutan mendengungkan nada-nada indah yang melukiskan aroma pagi telah datang. Gemuruh dedaunan yang tersentuh angin pengembara melenggak-lenggok bagai sang penari yang menjadi ritual pagi menyambut sang mentari.“Prok! Prok! Prok!”Gemuruh hentakan suara sepatu jungle para tentara yang berjalan melewati sebuah tenda tempat Pak Musa dan keempat rekannya ditahan terdengar jelas. Sepatu para tentara itu sepertinya terbuat dari kulit asli pilihan dengan sol kembang cermai baja pilihan tapi ringan yang dibuat dengan penuh kecermatan tingkat tinggi hingga menghadirkan bunyi derap yang berbeda. Bunyi derap sepatu para tentara yang berbaris itu hinggap di telinga Pak Musa. Perlahan-lahan ia membuka matanya yang kemudian disusul oleh keempat rekannya. Dari luar tiba-tiba muncul beberapa orang lelaki dengan membawakan makanan dan yang lainnya membawa beberapa baskom yang berisi air hangat lengka

    Last Updated : 2022-01-16
  • BAIT-BAIT CINTA SANG PEMBERONTAK   Chapter 9. Dijadikan Rusa Buruan

    Di tenda yang ditempati Pak Musa dan rekan-rekannya, mereka terlihat sedang mencari solusi bagaimana menghadapi situasi itu.“Menurut Bapak. Kira-kira apa yang sedang mereka rencanakan?” tanya Mayjen Ferdy pada Pak Musa.“Entahlah. Yang pasti, mereka akan terus berusaha agar kita mau bekerjasama dengan mereka.”“Saya khawatir. Kalau mereka akan memaksa kita dengan cara-cara yang kasar. Dan lebih jauh lagi, mereka akan membinasakan kita.”“Bagaimana kalau kita kabur saja dari sini, Pak?” usul Pak kamaludin memberi saran.“Rasanya tidak mungkin. Lihat saja jumlah mereka, terlalu banyak untuk kita lewati, dan sedikit pun kita tidak bisa berpaling dari tatapan mata mereka yang selalu sigap memperhatikan gerak-gerik kita sebagai tawanannya,” sahut Pak Musa sambil merenung.Sesaat kemudian keheningan kembali menyelimuti mereka. Rasanya sangat sulit untuk menentukan

    Last Updated : 2022-02-02
  • BAIT-BAIT CINTA SANG PEMBERONTAK   Chapter 10. Kesedihan Zahra

    Ketika senja perlahan melangkah pulang dan sang malam mulai menebar kegelapannya. Seorang gadis tengah mengurung diri di dalam sebuah kamar. Yang dilakukannya hanya duduk dan memandangi pantulan kecantikannya dalam cermin besar yang dihias indah. Bola matanya terlihat berkaca-kaca pertanda sedang dirundung duka, duka yang amat mendalam dari hilangnya seorang insan.“Tok, tok, tok” terdengar suara pintu diketuk namun suara itu sedikit pun tidak mampu membangunkan dirinya dari lamun.“Tok, tok, tok.” pintu kamarnya kembali terdengar diketuk. Tapi gadis cantik itu masih asik dengan lamunannya. Pikiranya melayang jauh menembus waktu, masa lalu yang kini hanya akan menjadi kenangan tanpa harapan akan terulang. Tidak lama kemudian terdengar suara pintu dibuka.“Zahra,” sebuah suara memanggil namanya dan terlihat seorang perempuan berusia empat puluh lima tahunan masuk ke dalam kamar mendekati gadis itu. Perempuan itu lalu mend

    Last Updated : 2022-02-02
  • BAIT-BAIT CINTA SANG PEMBERONTAK   Chapter 11. Sebuah Siasat

    Ketika malam semakin larut terdengar berbagai bunyi hewan malam bersahutan dibalik-balik pohon dan semak-semak, serta bunyi gemuruh dedaunan yang tertiup angin, dan ranting-ranting kering yang patah terinjak hewan malam yang sedang mencari nafkah. Sesekali dari kejauhan samar-samar terdengar suara-suara anjing hutan melolong mewarnai suasana malam yang semakin mencekam, tak ketinggalan suara nyanyian jangkring yang tak pernah absen bergema bersahutan menggambarkan nyanyian malam di dalam hutan.“Sekarang, perkiraan jam berapa ya, Pak?” tanya Pak Ferdy. Pak Musa menyalakan handphonnya“Sekarang baru pukul 00.30,” sahut Pak Muza.“Pak. Kenapa Bapak tidak mengirim pesan saja pada keluarga atau tentara kita dan memberitahukan kalau kita ada di sini?” tanya Pak zainal pelan.“Pak Zaenal. Kalau di sini ada sinyal, tentu dari kemarin saya sudah mengirim pesan. Dan kita tidak tahu kita ini berada di hutan apa. Lagipula, k

    Last Updated : 2022-02-02
  • BAIT-BAIT CINTA SANG PEMBERONTAK   Chapter 12. Lepas dari Kematian

    Cahaya senter itu terlihat kian mendekat seiring suara langkah kaki segerombolan orang dengan napas lelah yang dibarengi beberapa obrolan ringan kini semakin terdengar jelas. Beberapa orang dari gerombolan tersebut terlihat sedang memikul beberapa peti kayu berukuran satu meter lebih dan sebagian lagi sibuk memegang senter serta senjata ditangan sebagai pengamanan. Ketika segerombolan orang itu sampai di jalan setapak yang tadi dilewati oleh Pak Ferdy, Pak Musa dan PakZaenal. Rombongan itu tiba-tiba berhenti.“Sem. Sepertinya, aku tadi melihat seberkas cahaya senter berhenti di sini.”“Mungkin itu hanya penglihatanmu saja, Moza. Bahkan, aku tidak melihat apa-apa selain jalan setapak yang disoroti cahaya senter.”“Yang memegang senter! Tolong soroti sekeliling! Sepertinya ada sesuatu yang mencurigakan.”Mendengar perintah dari Moza itu, semua yang membawa senter terlihat sibuk menyorotkan senter mereka ke sekelilin

    Last Updated : 2022-02-05
  • BAIT-BAIT CINTA SANG PEMBERONTAK   Chapter 13. Pengintaian

    Pagi itu sekitar jam 05:30, Pak Alex dan ketujuh rekannya sudah sampai di dekat barisan obor itu. Dan alangkah terkejutnya mereka ketika menyadari bahwa itu ternyata adalah sarangnya para pemberontak. Kedelapan orang itu terlihat berjalan mengendap-ngendap mendekati tempat itu. Mereka bersembunyi di antara semak belukar. Dari semak-semak tersebut beberapa tentara berseragam hitam-hitam mulai terlihat berlalu-lalang dengan senjata lengkap. Selain itu, disana juga terdapat sebuah helikoipter.“Sepertinya kita akan menghadapi pertempuran besar.”“Iya Pak. Jumlah mereka ternyata sangat banyak dan persenjataan mereka juga sepertinya sangat lengkap.”“Kopral Adi. Tolong hubungi Pak Rudy. Tanyakan, mereka sudah sampai dimana? Dan tolong kasih tahu lokasi kita.”“Baik, Pak.”“Kopral Adi lalu menghubungi pasukan Pak Rudi lewat PTX-SPM-622 Squad Power Protonex. Dan setelah berbincang-bincang sesaat ia kem

    Last Updated : 2022-02-05

Latest chapter

  • BAIT-BAIT CINTA SANG PEMBERONTAK   Chapter 20. Bertindak Sendiri

    Sore itu Moza terlihat sedang termenung di atas tempat tidurnya. Bagaimana pun juga, dendam di dalam dadanya masih terus bergemuruh. Meskipun, ia sudah mulai nyaman dengan kehidupannya saat ini, tapi selama pembunuh orang tuanya belum ditemukan, dendam itu terus menantangnya untuk terus mencari tahu. “Aku tidak bisa menunggu lebih lama lagi, aku harus bergerak,” gumamnya dalam hati. Ia kemudian menghubungi Sembi, dan tidak perlu menunggu lama, terdengar Sembi mengangkat panggilannya. “Ada apa Moza?” “Sem. Kamu tahu, siapa komandan tentara kita yang di tugaskan di dalam kota?” Tanya Moza. “Iya, tahu. Namanya Reza. Nanti saya hubungkan dengan kamu. Tapi

  • BAIT-BAIT CINTA SANG PEMBERONTAK   Chapter 19. Satu Hari Bersama Lisa Hallay

    Setelah acara makan itu selesai, ketiganya terlihat meninggalkan restoran dan kembali ke kampus.“Moza. Berapa nomor handphon kamu?” tanya Pak Mario pada Moza sambil menyetir mobilnya.“Saya belum sempat membeli handphon, Pak?”“Terus. Komunikasi dengan Pak Gamaliel, bagaimana?”“Tenang saja, Pak. Saya sudah tahu bagaimana berkomunikasi dengan beliau secara aman,” sahut Moza.“Ya. Kalian memang orang-orang cerdas. Otak kalian seperti ikan salmon yang tidak pernah lupa jalan pulang menuju tempat kelahirannya,” jawab Pak Mario.Mendengar percakapan kedua orang itu Lisa hanya diam, ia benar-benar tidak mengerti tentang apa sebenarnya yang sedang dibicarakan namun itu tidak terlalu ia pikirkan. Mobil itu kini sudah sampai di halaman kampus dan mereka kemudian turun dari dalam mobil.“Moza. Ini kartu nama saya, kalau sudah beli handphon, secepatnya hubungi saya, ya. Da

  • BAIT-BAIT CINTA SANG PEMBERONTAK   Chapter 18. Tokoh Tersembunyi

    Pagi itu Moza, Sembi, Resta serta Pak Gandara dan Murry keluar dari sebuah perkampungan dengan mengendarai sebuah mobil warna silver. Setelah berada di jalan raya mobil yang dibawa Murry itu melaju dengan kencang.“Moza. Nanti kalau kamu sudah berada di kampus itu, kamu langsung temui Pak Mario, ia sudah tau akan kedatangan kamu dan kalau ada apa-apa, kamu tinggal bilang saja sama dia. Jangan khawatir, dia orang kita juga,” kata Pak Gandara.“Dan kamu Sembi. Kamu hubungi Master Chie-Tung, dia juga orang kita.”“Wah! Saya tidak menyangka, di universitas-universitas juga ternyata banyak orang-orang kita juga ya,” sahut Resta.“Ya. Kita sengaja menempatkan orang-orang kita di beberapa lembaga pendidikan dan pemerintahan, agar mereka bisa memasukan doktrin-doktrin kita pada para mahasiswa dalam pelajaran-pelajaran mereka. Karena selama ini, pemerintah hanya tahu kalau para pemberontak itu tempatnya di hutan-hutan rimb

  • BAIT-BAIT CINTA SANG PEMBERONTAK   Chapter 17. Menyusun Langkah Baru

    Tiga pekan sudah Moza, Pak Gamaliel dan yang lainya berada dalam pelarian. Berpindah-pindah dari satu tempat ke tempat lain yang dirasakan aman, karena mereka menyadari bahwa para tentara republik kini sedang gencar-gencarnya mencari dan menumpas para pemberontak yang telah banyak meresahkan masyarakat. Moza dan kedua rekanya Sembi dan Resta berada di sebuah kota, sedangkan Pak Gamaliel dan Pak Gandara, keduanya berada di sebuah daerah dekat perbatasan. Sedangkan Murry yang merupakan supir mereka bertugas menghubungkan satu dengan yang lainnya. Sesekali ia mengantarkan barang-barang yang mereka perlukan.Suatu pagi ketika mereka sedang berada di dalam sebuah rumah yang baru tiga hari mereka tinggali. Terlihat Moza dan Sembi sedang sibuk membersihkan beberapa handguns diantaranya Semi Otomatis seperti FN, Pistol Mesin seperti U21 , Revolver dan Deringer. Dari dalam sebuah ruangan Resta muncul dengan membawa dua senjata laras panjang atau Long Guns dan beberapa senapan serbu.

  • BAIT-BAIT CINTA SANG PEMBERONTAK   Chapter 16. Kembali Pulang

    Satu jam lamanya mereka menempuh perjalanan menggunakan ojek, turun naik bukit dan melewati hutan serta pesawahan, maklum saja perkampungan itu terletak di sebuah bukit dan dikelilingi oleh gunung-gunung yang jauh dari sentuhan perkotaan. Jalanan yang menurun dan curam terkadang pula menanjak dengan kondisi jalan yang sepenuhnya tidak diaspal hanya berlapiskan tanah merah dan bebatuan yang terkadang membuat ketiganya mengerang kesakitan saat roda motor menerjang bebatuan-bebatuan itu. Setelah melewati perjalanan yang melelahkan itu, mereka kini tiba di sebuah perkampungan lain namun beruntung, jalanan yang rusak penuh bebatuan itu tidak mereka temukan lagi. Aspal hitam yang terhampar di jalanan membuat perjalanan terasa nyaman, sehingga para pengendara ojek itu tidak ragu-ragu lagi untuk memacu kecepatan motor mereka.Mereka akhirnya tiba di sebuah terminal. Setelah memberikan sejumlah uang kepada ketiga pengendara ojek itu, mereka kemudian melangkahkan kakinya. Hingar-bingar

  • BAIT-BAIT CINTA SANG PEMBERONTAK   Chapter 15. Kabar Duka

    Di sebuah pesawahan yang terletak di pinggir hutan terlihat sepasang suami isteri dan seorang anak laki-laki muda tengah sibuk memanen padi mereka yang sudah menguning. Setelah terlalu lama membungkuk saat memotong padi, isteri pak tani terlihat berdiri lalu meregangkan otot-ototnya yang terasa pegal. Pandangannya tiba-tiba ia arahkan pada tiga orang laki-laki yang berpakaian mirip tentara keluar dari arah hutan. Sejenak ia terus memperhatikan langkah ketiga orang itu yang mulai mendekat.“Pak. Coba lihat ke belakang. Ada tiga orang keluar dari dalam hutan, dan sepertinya sedang menuju kemari,” kata perempuan itu pada suaminya, dan suaminya terlihat berdiri lalu melemparkan pandangannya ke arah tiga laki-laki yang sedang berjalan menuju tempat mereka.“Iya, Bu. Penampilan mereka terlihat seperti tentara.”Ketiga orang laki-laki itu tampak semakin jelas setelah berada di dekat mereka.“Permisi, Pak, Bu. Maaf kami m

  • BAIT-BAIT CINTA SANG PEMBERONTAK   Chapter 14. Hujan Peluru

    Pagi itu komandan Alexa dan rekan-rekannya terlihat sedang memperhatikan perbuatan kejam para pemberontak yang baru menembak mati dua anggotanya. Dari semak-semak itu dengan jelas mereka melihat tindakan kejam itu. Entah apa yang telah diperbuat dua anggota itu sehingga hukuman mati harus mereka terima.“Komandan. Sepertinya kita harus menjauh dari tempat ini. Saya khawatir mereka akan melihat kita. Apalagi matahari sudah mulai terlihat terang,” ucap salah satu anggotanya, dan Pak Alex terdiam sejenak“Baiklah. Ayo kita menjauh dari tempat ini, tapi hati-hati jangan sampai ketahuan.”Kedelapan tentara itu dengan perlahan-lahan berjalan sambil merunduk menjauhi tempat itu. Sayangnya, ranting-ranting mati yang terinjak oleh mereka seakan berteriak dan menimbulkan bunyi patahan, bunyi itu sepertinya hinggap di gendang telinga Moza meski tidak terlalu jelas namun membuat Moza membalikan badan dan menoleh pada suara itu.“Siapa di

  • BAIT-BAIT CINTA SANG PEMBERONTAK   Chapter 13. Pengintaian

    Pagi itu sekitar jam 05:30, Pak Alex dan ketujuh rekannya sudah sampai di dekat barisan obor itu. Dan alangkah terkejutnya mereka ketika menyadari bahwa itu ternyata adalah sarangnya para pemberontak. Kedelapan orang itu terlihat berjalan mengendap-ngendap mendekati tempat itu. Mereka bersembunyi di antara semak belukar. Dari semak-semak tersebut beberapa tentara berseragam hitam-hitam mulai terlihat berlalu-lalang dengan senjata lengkap. Selain itu, disana juga terdapat sebuah helikoipter.“Sepertinya kita akan menghadapi pertempuran besar.”“Iya Pak. Jumlah mereka ternyata sangat banyak dan persenjataan mereka juga sepertinya sangat lengkap.”“Kopral Adi. Tolong hubungi Pak Rudy. Tanyakan, mereka sudah sampai dimana? Dan tolong kasih tahu lokasi kita.”“Baik, Pak.”“Kopral Adi lalu menghubungi pasukan Pak Rudi lewat PTX-SPM-622 Squad Power Protonex. Dan setelah berbincang-bincang sesaat ia kem

  • BAIT-BAIT CINTA SANG PEMBERONTAK   Chapter 12. Lepas dari Kematian

    Cahaya senter itu terlihat kian mendekat seiring suara langkah kaki segerombolan orang dengan napas lelah yang dibarengi beberapa obrolan ringan kini semakin terdengar jelas. Beberapa orang dari gerombolan tersebut terlihat sedang memikul beberapa peti kayu berukuran satu meter lebih dan sebagian lagi sibuk memegang senter serta senjata ditangan sebagai pengamanan. Ketika segerombolan orang itu sampai di jalan setapak yang tadi dilewati oleh Pak Ferdy, Pak Musa dan PakZaenal. Rombongan itu tiba-tiba berhenti.“Sem. Sepertinya, aku tadi melihat seberkas cahaya senter berhenti di sini.”“Mungkin itu hanya penglihatanmu saja, Moza. Bahkan, aku tidak melihat apa-apa selain jalan setapak yang disoroti cahaya senter.”“Yang memegang senter! Tolong soroti sekeliling! Sepertinya ada sesuatu yang mencurigakan.”Mendengar perintah dari Moza itu, semua yang membawa senter terlihat sibuk menyorotkan senter mereka ke sekelilin

DMCA.com Protection Status