Sudah semakin malam, hampir jam 2, tapi Tiara belum juga bisa tidur. Ibu bapaknya—Pak Rahman—sudah terlelap di kamar mereka, bahkan mungkin Bian pun sudah ke alam mimpi jauhnya.
CETAAAR!Di luar masih hujan deras, geledek dan petir menyambar di mana-mana. Dingin, Tiara memeluk diri. Padahal matanya ngantuk berat, tapi setiap kali mau memejamkan mata, ia merasa sulit tidur. Akhirnya perih sekali matanya, berair.KLOTRAK!Suara seperti gelas jatuh memasuki telinga Tiara. Suara gelas jatuh tapi tak pecah. Apakah ada tikus? Atau kucing? Tiara bertanya-tanya dalam ketakutannya.“Bikin kaget aja. Apa itu, ya?” Ia bergumam, menyingkap selimut tebalnya dan keluar untuk memeriksa.Rumah gelap. Biasanya kalau jam tidur memang dimatikan semua, kecuali lampu di luar rumah. Anehnya kali ini lampu dapur menyala. Tiara membekap mulut, mengira ada maling.Ia mengendap menuju dapur tanpa membangunkan ibu bapaknya. Dan .... “Astaga Mas Bian!” Tiara mendapati Bian sedang makan mie instan tanpa dimasak, duduk di depan pintu lemari es. “Nga-ngapain di situ?”Jelas saja Bian terkejut dan menyembunyikan mie instan itu di balik punggung. Dirinya berdiri, merasa malu. “Maaf, Ra. Aku lapar. Kami tahu seberapa lama perjalanan kita sejak masuk desamu. Dan ibumu sama sekali tidak memberiku makan. Jadi—”“Pffft! Ya ampun Mas Bian, kenapa nggak bilang aja, sih?” Tiara terkekeh pelan, lalu berjalan menuju kompor dan menyalakan api. Dia menaruh panci mie dan mengambil dua bungkus stok mie yang ada. “Duduk aja, Mas. Saya masakin. Jangan makan yang mentah, nanti sakit perutnya karena lagi lapar makan makanan keras.”“Hmm, ya ... oke.” Meski masih malu, Bian berusaha untuk tetap slay. Dia duduk menunggu Tiara memasak untuknya.Bian melihat punggung Tiara dalam kebisuan. Punggung itulah yang setiap hari dia lihat di restoran. Tapi entah kenapa ketika melihatnya saat ini, Bian berpikir ini punggung yang beda.Mie telah selesai dimasak. Mie rasa kuah soto. Bian melahapnya dengan rakus. Tiara hanya bisa memandangi dengan rasa tidak percaya. Apa iya dia Bian bos-nya? Yang benar saja, dia seperti orang yang tidak makan berhari-hari.“Ra, kamu bener nggak mau?”Tiara menggeleng. “Kalau saya mau, dari tadi saya masak buat saya.”“Oh, benar.” Bian cengengesan.“Maaf, ya Mas ibu saya mungkin lupa atau sedang lelah jadi nggak sempat nawarin Mas Bian makan.” Tiara jadi merasa bersalah, toh dia pun lupa soal itu.“Iya untungnya kamu masakin akhirnya. Kalau enggak, udah kupotong gajimu bulan ini.”Tambah terkekeh Tiara. “Aih, sudahlah. Saya lama-lama takut dekat Mas Bian. Salah dikit langsung kena potong gaji. Saya ke kamar lagi kalau gitu. Mas nanti mangkuknya tolong simpan saja di baskom pojok sana kalau selesai.”Bian hanya mengangguk.Tiara masuk ke kamarnya. Ketika baru saja menaiki ranjang, Tiara dikagetkan dengan suara aneh di luar kamar. Suara apa itu? Tiara bangun dan mendekat ke jendela yang gordennya tak tertutup sepenuhnya.GROK! GROK!BABI!Babi yang sangat besar sedang menatapnya di balik jendela saat ini. Untuk beberapa detik serasa mati naluri ingin larinya. Tiara membeku dengan mata melotot seperti orang yang kena setrum.Babi hitam itu mengeluarkan suara yang ngeri sebelum akhirnya ia pergi.“Aaah!” Barulah Tiara bisa berteriak ketika sang babi pergi. Namun bayang-bayangnya masih membekas dalam memori seakan hal tadi masih terjadi.Bian yang masih makan mie instan di dapur mendengar suara Tiara. Dia lekas bangkit dari duduk dan menuju kamarnya. Ibu bapaknya pun bangun karena kaget.“Ra? Tiara? Apa yang terjadi? Kamu tidak apa-apa?” Tak dijawab ketika Bian mengetuk pintu.Ibu bapak Tiara tak sabar, langsung membuka pintu. Tampaklah Tiara yang menekuk lutut di bawah lantai, gemetaran.“Ada apa Tiara?” Bu Rafat dan Pak Rahman panik bukan main.“Bu, a-ada ... ada babi.” Dengan suara serak nyaris hilang terbawa angin, Tiara mengatakannya sembari menunjuk kaca jendela.“APA?!” Kedua orang tuanya saling pandang. Pak Rahman lalu segera menutup gorden rapat-rapat.“Tuh, apa saya bilang. Ada babi besar banget, kan?” sela Bian. Meski dia pun ikut takut sekarang, ada rasa puas karena akhirnya dia bisa membuktikan tentang melihat babi besar itu lewat Tiara.Namun, Bian dan Tiara pasti lebih takut lagi jika tahu kalau itu bukanlah babi biasa. Melainkan babi jadi-jadian.***“Apa?! Ma-maksud ibu babi yang tadi itu babi ....”“Benar. Babi ngepet. Sudah hampir setahun desa kita diteror babi ngepet. Masih untung hanya uang yang hilang, Ra. Tapi nyawa! Nyawa, Ra! Sudah tiga yang tewas tak wajar di sini. Makanya Ibu tidak pernah mau kamu pulang. Tapi ternyata ... apa katamu tadi? Nurmaya yang memintamu pulang? Dia kurang waras, ya?” Bu Rafat marah ketika dengar kalau Nurmaya lah yang memanggilnya untuk pulang.Tiara segera mengusap bahu ibunya. “Jangan takut, Bu. Kita punya Allah buat meminta pertolongan. Tiara yakin akan baik-baik saja selama di sini.”“Tetap saja ibu khawatir. Apalagi babi jadi-jadian itu sudah melihat kamu dan Nak Bian, ibu tambah khawatir. Pokoknya besok langsung kembali ke kota, ya?” pinta Bu Rafat dengan mata memohon.Tiara menghela napas dalam-dalam. Demi apa pun sangat terkejut ternyata sedang terjadi musibah di desanya. Dia benar-benar merasa bersalah karena membuat orang tuanya cemas sekarang. Harus bagaimana? Pulang? Hatinya mulai bimbang.“Kita kembali sekarang, Ra. Kamu ikut atau tidak?” Bian angkat suara. Amit-amit jabang bayi jika Bian pikir harus mati konyol jadi tumbal di kampung pegawainya sendiri.‘Ini gila, aku harus pulang apa pun yang terjadi!’ batinnya sambil membayangkan teror sang babi hitam besar itu. Ia mulai menyadari satu hal, sesuatu yang dia sebut sebagai sapi kala di jalan menuju desa ini, mungkin saja itu adalah makhluk yang sama. Babi jadi-jadian.“Apa? Se-sekarang?” Tiara lihat jam di dinding masih menunjukkan pukul 3 kurang. Tidak mungkin, kan?“Menunggu sampai pagi rasanya seperti menunggu giliran untuk ditangkap. Apalagi babi itu sudah melihat aku dan kamu. Bisa saja saat kita tidur makhluk itu nyerang kita, Ra. Aku tidak mau mati konyol di sini. Kamu ikut atau tidak terserah, aku mau siap-siap. Permisi, Bu, Pak ....” Bian si penakut segera ke kamar untuk membereskan baju yang sudah dia bongkar dari kopernya.Keputusan Bian disambut baik oleh ibu bapak Tiara, tapi tidak dengan Tiara sendiri. Dia ingin tetap ada di sana walau berbahaya. Sahabatnya baru saja mati, menjadi salah satu yang mati tidak wajar, bukankah harus diusut? Mungkin dia pun menjadi salah satu yang ditumbalkan?“Jangan gila Tiara! Dia sudah meninggal, ngapain kamu urus? Cepat ikut dengan bos kamu, dan jangan pernah kembali lagi ke sini sebelum semuanya selesai.”“Tapi, Bu, Pak ....” Air mata Tiara tak lagi bisa dibendung. Sedih karena harus meninggalkan ibu bapaknya di desa yang bak tengah dapat kutukan. Sangat membuat sakit.“Cepat, benar kata bos kamu, kembali malam ini juga.” Bapak Tiara setuju, mendorong putrinya untuk masuk ke kamar, menyuruhnya untuk mengemasi pakaian.***Pada akhirnya ... mau tak mau Tiara kembali ke kota bersama Bian. Meski berat, meski ibu bapaknya tak bisa dibujuk ikut, meski, meski, dan banyak lagi meski lainnya yang membuat Tiara tak kuasa menahan diri.Sepanjang mobil melaju, dia terus menangis.Sementara Bian, dia hanya bisa menyimak tangisannya dalam kebisuan. Sesekali waspada, takut tiba-tiba makhluk jadi-jadian itu muncul.Pukul tiga kurang dini hari. Desa yang hening dan gelapnya yang begitu pekat mengantarkan kengerian di tengah perjalanan Tiara dan Bian.Malam pertama kematian Afifah si gadis gila, juga teror sang babi jadi-jadian membuat suasana yang sangat hening itu tambah terasa menegangkan.Saat dekat kuburan, mobil malah tiba-tiba mogok. Mesinnya mati, dan kondisi di luar masih hujan.“Mas, kenapa berhenti?” Dalam hati Tiara menambahkan, di kuburan pula. Matanya mengedar ke luar, ke area sisi pemakaman.“Nggak ngerti tiba-tiba mesinnya mati sendiri.” Sambil masih berusaha menghidupkannya lagi.Tapi setelah beberapa menit berlalu, mobil tak kunjung mau hidup. Bian frustrasi dan akhirnya memuntahkan amarahnya dengan memukul setir mobil.“Astagfirullah ....” Laki-laki di sampingnya ini benar-benar sakit jiwa sepertinya. Tiara memegangi dada, kaget.“Keluar, Ra. Dorong.” Perintahnya kemudian. Membuat mata Tiara melotot besar.‘Dia gila, kah? Nyuruh perempuan turun di tengah malam saat hujan buat me
Mata Bian membelalak besar. Tidak kira-kira denyut jantungnya saat ini. Dia nyaris muntah di tempat kala menyaksikan sesuatu di depan sana sedang melahap jasad yang masih utuh dibungkus kafannya.“HOEEEK!” Dan ia tak lagi dapat menahan diri. Bian muntah sejadi-jadi hingga keberadaannya diketahui oleh sang monster babi.Monster babi itu berhenti menyantap hidangannya. Menatap tajam dengan mata menyala-nyala merah ke arah Bian yang baru selesai muntah.Bian menengadahkan kepalanya, menelan ludah susah payah. Dia ketahuan. Matilah!“GRRRRRGH!” Makhluk itu menggeram seperti hewan liar yang murka. Bersiap-siap menyeruduk Bian di depannya.Bian serasa mati kutu. Kala nyawa terancam akan celaka, kakinya serasa dirantai tak bisa digerakkan. Keringat dingin sudah membasahi wajahnya dengan degup jantung yang semakin bertalu-talu. Dalam hati ia berharap babi itu tetap melanjutkan makan malam menjijikkannya, janganlah datang pada Bian.Akan tetapi, harapan Bian terlalu tinggi. Makhluk mana yang a
Langit bergemuruh di atas kepalanya. Tapi ia tak peduli dan terus berlari. Hujan tampaknya akan turun, tapi ia tak beralas kaki, memijaki jalan-jalan batu hitam besar yang tidak rata.Kakinya terluka, tapi ia tetap lari menembus gelapnya malam.Dia Afifah. Gadis muda berusia dua puluh tahun yang akhir-akhir ini dikatakan gila. Orang tuanya selalu mengurungnya di satu ruang yang dipagari besi-besi. Afifah tak jarang dirantai atau dipasung jika berulah, jika dia mencoba menyakiti keluarganya.Badannya yang dulu cukup berisi, kini kurus kerontang seakan dagingnya menyusut hilang."Tiara, Harsa ... tolong aku!"Tapi anehnya, Afifah yang disebut gila masih saja ingat dengan nama-nama orang desa, terutama Tiara yang merupakan sahabatnya, serta Harsa yang merupakan mantan pacarnya.Dan tujuan Afifah malam ini adalah ke rumah Harsa. Karena Tiara masih di Jakarta bekerja. Afifah pun tahu itu, bahkan saat kepergian sahabatnya, dia turut mengantar hingga ke terminal angkutan umum di ujung desa.
[Mbak Afifah meninggal, Kak Tiara. Sebelum menghembuskan napas terakhirnya, mbak Afifah ingin sekali ketemu Kak Tiara.]Tiara sedang diomeli Bian—bos yang menolak dipanggil bapak—saat terlihat notifikasi chat di aplikasi hijau menampakkan pesan itu di poni layar.Hal itu membuat Tiara terguncang dan gagal fokus, tubuhnya merosot jatuh ke lantai karena lemas. Astagfirullah, innalillahi ... hatinya nyebut berulang kali. Afifah ... dia adalah teman karib Tiara di kampung. Baru saja Nurmaya—adik Afifah—yang mengabarkan kematiannya."Astaga Tiara! Aku sedang bicara, kenapa kamu malah duduk santai di lantai?!"Tiara menahan napasnya sejenak, lalu menatap bosnya ragu. Namun, hal yang membuat Tiara jengkel ialah Bian malah lebih peduli pada lantai ketimbang bertanya apakah Tiara baik-baik saja atau tidak. Bian memang bos yang sangat galak dan menyebalkan untuk seluruh pekerja di sana. Jika saja bukan karena gajinya naik terus tiap tahun, mana mau Tiara terus bekerja di sana."Ma-maaf, Mas Bi
Langit sudah berisik diwarnai suara gemuruh yang membuat tengkuk Bian meriang. Meski hanya sekilas, itu membuat ia jadi kebelet pipis.“Rumahmu yang mana, Ra? Astaga aku sudah tidak tahan mau numpang ke kamar mandi!” Antara kesal dan lelah, di malam buta begini malah kebelet banget.Tiara meringis jijik. Jijik jadi memikirkan sesuatu yang mengotori pikirannya. Dalam hati ia ngedumel, ngapain, sih pake jujur banget? Kan, ngeri! Bikin otak travelling!Tapi Bian tidak menyadari ekspresi itu. Dia sibuk melihat ke luar jendela mobil yang sudah masuk ke area perkampungan, di mana rumah-rumah berderet dengan lampu kuningnya.“Bentar lagi, Mas. Sabar. Tinggal maju, belok kiri ....” Tiara berusaha menahan diri agar tidak emosi lagi, walau inginnya menghantam bos-nya ini. “Lagi pula kita tidak akan langsung pulang ke rumah saya, tapi langsung melayat,” tambahnya. Wajah Tiara tampak kesal, sesekali melirik bos muda itu dengan tatapan yang menusuk.Bian pun menahan diri, menahan kebeletnya juga d
“Kembali ke kota? Bu, kami baru sampai. Bahkan Mas Bian belum selesai di kamar man—”“AAAARGGGGHH!” Belum Tiara tuntaskan ucapannya, suara jeritan Bian mengudara memenuhi gendang telinga Tiara dan ibunya.Seketika Tiara dan Bu Rafat lari menuju ke belakang rumah yang hanya bercahayakan lampu kuning lima watt.“Astagfirullah, Mas Bian!” Tiara kaget setengah mati melihat Bian terduduk di antara batu-batu pijakan. Batu hitam yang dipasang di antara tanah-tanah menuju jamban. Tiara cepat-cepat menghampiri dan membantunya untuk berdiri.Wajah Bian pucat pasi. Dia menunjuk ke arah yang gelap gulita dan mulai meracau tak jelas. "Ra! Ra! A-ada babi! Gede banget!" Tergagap sesekali.Tiara hanya bisa mangap kala mendengarnya.“Mas, Mas Bian sepertinya lelah, ya sampai berkhayal tentang babi. Walau kampung, di sini mana ada babi.” Seolah tak percaya dengan kata-kata Bian, Tiara memasang wajah kesal. Ada-ada saja bos-nya ini.“Tapi, Ra. Beneran ada babi.” Sambil melirik-lirik pada wanita paruh ba
Mata Bian membelalak besar. Tidak kira-kira denyut jantungnya saat ini. Dia nyaris muntah di tempat kala menyaksikan sesuatu di depan sana sedang melahap jasad yang masih utuh dibungkus kafannya.“HOEEEK!” Dan ia tak lagi dapat menahan diri. Bian muntah sejadi-jadi hingga keberadaannya diketahui oleh sang monster babi.Monster babi itu berhenti menyantap hidangannya. Menatap tajam dengan mata menyala-nyala merah ke arah Bian yang baru selesai muntah.Bian menengadahkan kepalanya, menelan ludah susah payah. Dia ketahuan. Matilah!“GRRRRRGH!” Makhluk itu menggeram seperti hewan liar yang murka. Bersiap-siap menyeruduk Bian di depannya.Bian serasa mati kutu. Kala nyawa terancam akan celaka, kakinya serasa dirantai tak bisa digerakkan. Keringat dingin sudah membasahi wajahnya dengan degup jantung yang semakin bertalu-talu. Dalam hati ia berharap babi itu tetap melanjutkan makan malam menjijikkannya, janganlah datang pada Bian.Akan tetapi, harapan Bian terlalu tinggi. Makhluk mana yang a
Pukul tiga kurang dini hari. Desa yang hening dan gelapnya yang begitu pekat mengantarkan kengerian di tengah perjalanan Tiara dan Bian.Malam pertama kematian Afifah si gadis gila, juga teror sang babi jadi-jadian membuat suasana yang sangat hening itu tambah terasa menegangkan.Saat dekat kuburan, mobil malah tiba-tiba mogok. Mesinnya mati, dan kondisi di luar masih hujan.“Mas, kenapa berhenti?” Dalam hati Tiara menambahkan, di kuburan pula. Matanya mengedar ke luar, ke area sisi pemakaman.“Nggak ngerti tiba-tiba mesinnya mati sendiri.” Sambil masih berusaha menghidupkannya lagi.Tapi setelah beberapa menit berlalu, mobil tak kunjung mau hidup. Bian frustrasi dan akhirnya memuntahkan amarahnya dengan memukul setir mobil.“Astagfirullah ....” Laki-laki di sampingnya ini benar-benar sakit jiwa sepertinya. Tiara memegangi dada, kaget.“Keluar, Ra. Dorong.” Perintahnya kemudian. Membuat mata Tiara melotot besar.‘Dia gila, kah? Nyuruh perempuan turun di tengah malam saat hujan buat me
Sudah semakin malam, hampir jam 2, tapi Tiara belum juga bisa tidur. Ibu bapaknya—Pak Rahman—sudah terlelap di kamar mereka, bahkan mungkin Bian pun sudah ke alam mimpi jauhnya.CETAAAR!Di luar masih hujan deras, geledek dan petir menyambar di mana-mana. Dingin, Tiara memeluk diri. Padahal matanya ngantuk berat, tapi setiap kali mau memejamkan mata, ia merasa sulit tidur. Akhirnya perih sekali matanya, berair.KLOTRAK!Suara seperti gelas jatuh memasuki telinga Tiara. Suara gelas jatuh tapi tak pecah. Apakah ada tikus? Atau kucing? Tiara bertanya-tanya dalam ketakutannya.“Bikin kaget aja. Apa itu, ya?” Ia bergumam, menyingkap selimut tebalnya dan keluar untuk memeriksa.Rumah gelap. Biasanya kalau jam tidur memang dimatikan semua, kecuali lampu di luar rumah. Anehnya kali ini lampu dapur menyala. Tiara membekap mulut, mengira ada maling.Ia mengendap menuju dapur tanpa membangunkan ibu bapaknya. Dan .... “Astaga Mas Bian!” Tiara mendapati Bian sedang makan mie instan tanpa dimasak,
“Kembali ke kota? Bu, kami baru sampai. Bahkan Mas Bian belum selesai di kamar man—”“AAAARGGGGHH!” Belum Tiara tuntaskan ucapannya, suara jeritan Bian mengudara memenuhi gendang telinga Tiara dan ibunya.Seketika Tiara dan Bu Rafat lari menuju ke belakang rumah yang hanya bercahayakan lampu kuning lima watt.“Astagfirullah, Mas Bian!” Tiara kaget setengah mati melihat Bian terduduk di antara batu-batu pijakan. Batu hitam yang dipasang di antara tanah-tanah menuju jamban. Tiara cepat-cepat menghampiri dan membantunya untuk berdiri.Wajah Bian pucat pasi. Dia menunjuk ke arah yang gelap gulita dan mulai meracau tak jelas. "Ra! Ra! A-ada babi! Gede banget!" Tergagap sesekali.Tiara hanya bisa mangap kala mendengarnya.“Mas, Mas Bian sepertinya lelah, ya sampai berkhayal tentang babi. Walau kampung, di sini mana ada babi.” Seolah tak percaya dengan kata-kata Bian, Tiara memasang wajah kesal. Ada-ada saja bos-nya ini.“Tapi, Ra. Beneran ada babi.” Sambil melirik-lirik pada wanita paruh ba
Langit sudah berisik diwarnai suara gemuruh yang membuat tengkuk Bian meriang. Meski hanya sekilas, itu membuat ia jadi kebelet pipis.“Rumahmu yang mana, Ra? Astaga aku sudah tidak tahan mau numpang ke kamar mandi!” Antara kesal dan lelah, di malam buta begini malah kebelet banget.Tiara meringis jijik. Jijik jadi memikirkan sesuatu yang mengotori pikirannya. Dalam hati ia ngedumel, ngapain, sih pake jujur banget? Kan, ngeri! Bikin otak travelling!Tapi Bian tidak menyadari ekspresi itu. Dia sibuk melihat ke luar jendela mobil yang sudah masuk ke area perkampungan, di mana rumah-rumah berderet dengan lampu kuningnya.“Bentar lagi, Mas. Sabar. Tinggal maju, belok kiri ....” Tiara berusaha menahan diri agar tidak emosi lagi, walau inginnya menghantam bos-nya ini. “Lagi pula kita tidak akan langsung pulang ke rumah saya, tapi langsung melayat,” tambahnya. Wajah Tiara tampak kesal, sesekali melirik bos muda itu dengan tatapan yang menusuk.Bian pun menahan diri, menahan kebeletnya juga d
[Mbak Afifah meninggal, Kak Tiara. Sebelum menghembuskan napas terakhirnya, mbak Afifah ingin sekali ketemu Kak Tiara.]Tiara sedang diomeli Bian—bos yang menolak dipanggil bapak—saat terlihat notifikasi chat di aplikasi hijau menampakkan pesan itu di poni layar.Hal itu membuat Tiara terguncang dan gagal fokus, tubuhnya merosot jatuh ke lantai karena lemas. Astagfirullah, innalillahi ... hatinya nyebut berulang kali. Afifah ... dia adalah teman karib Tiara di kampung. Baru saja Nurmaya—adik Afifah—yang mengabarkan kematiannya."Astaga Tiara! Aku sedang bicara, kenapa kamu malah duduk santai di lantai?!"Tiara menahan napasnya sejenak, lalu menatap bosnya ragu. Namun, hal yang membuat Tiara jengkel ialah Bian malah lebih peduli pada lantai ketimbang bertanya apakah Tiara baik-baik saja atau tidak. Bian memang bos yang sangat galak dan menyebalkan untuk seluruh pekerja di sana. Jika saja bukan karena gajinya naik terus tiap tahun, mana mau Tiara terus bekerja di sana."Ma-maaf, Mas Bi
Langit bergemuruh di atas kepalanya. Tapi ia tak peduli dan terus berlari. Hujan tampaknya akan turun, tapi ia tak beralas kaki, memijaki jalan-jalan batu hitam besar yang tidak rata.Kakinya terluka, tapi ia tetap lari menembus gelapnya malam.Dia Afifah. Gadis muda berusia dua puluh tahun yang akhir-akhir ini dikatakan gila. Orang tuanya selalu mengurungnya di satu ruang yang dipagari besi-besi. Afifah tak jarang dirantai atau dipasung jika berulah, jika dia mencoba menyakiti keluarganya.Badannya yang dulu cukup berisi, kini kurus kerontang seakan dagingnya menyusut hilang."Tiara, Harsa ... tolong aku!"Tapi anehnya, Afifah yang disebut gila masih saja ingat dengan nama-nama orang desa, terutama Tiara yang merupakan sahabatnya, serta Harsa yang merupakan mantan pacarnya.Dan tujuan Afifah malam ini adalah ke rumah Harsa. Karena Tiara masih di Jakarta bekerja. Afifah pun tahu itu, bahkan saat kepergian sahabatnya, dia turut mengantar hingga ke terminal angkutan umum di ujung desa.