Home / Horor / BABI NGEPET di Kampungku / 2 (Kabar Kematian si Gadis Gila)

Share

2 (Kabar Kematian si Gadis Gila)

Author: Renti Sucia
last update Last Updated: 2024-03-22 09:47:18

[Mbak Afifah meninggal, Kak Tiara. Sebelum menghembuskan napas terakhirnya, mbak Afifah ingin sekali ketemu Kak Tiara.]

Tiara sedang diomeli Bian—bos yang menolak dipanggil bapak—saat terlihat notifikasi chat di aplikasi hijau menampakkan pesan itu di poni layar.

Hal itu membuat Tiara terguncang dan gagal fokus, tubuhnya merosot jatuh ke lantai karena lemas. Astagfirullah, innalillahi ... hatinya nyebut berulang kali. Afifah ... dia adalah teman karib Tiara di kampung. Baru saja Nurmaya—adik Afifah—yang mengabarkan kematiannya.

"Astaga Tiara! Aku sedang bicara, kenapa kamu malah duduk santai di lantai?!"

Tiara menahan napasnya sejenak, lalu menatap bosnya ragu. Namun, hal yang membuat Tiara jengkel ialah Bian malah lebih peduli pada lantai ketimbang bertanya apakah Tiara baik-baik saja atau tidak. 

Bian memang bos yang sangat galak dan menyebalkan untuk seluruh pekerja di sana. Jika saja bukan karena gajinya naik terus tiap tahun, mana mau Tiara terus bekerja di sana.

"Ma-maaf, Mas Bian. Saya sedang kaget. Makanya saya jatuh," kilah Tiara usai dituding duduk di lantai santai. 'Enak sekali duduk di lantai bersantai-santai. Jidatmu lebar!’ Tapi diam-diam Tiara mengatainya jidat lebar, saking tak ada hatinya Bian.

Dia mengerutkan kening. Memindai pegawai wanitanya dengan teliti.

"Kaget karena aku omeli atau kaget karena baru sadar kamu berbuat kesalahan?" tambahnya. Semakin Tiara lihat, dia semakin marah.

Tiara menunduk kepala karena tak kuat dengan tatapannya yang menusuk. 'Ya sudah, orang dengan tingkat galak macam Mas Bian ini tak bisa dibantah. Kalau katanya aku salah, ya salah.' batinnya. Dan lagi bukan waktu yang tepat untuk memikirkan ocehan pria galak itu. Tiara begitu sedih teringat Afifah. Baru beberapa bulan lalu ia dikabari jika sahabatnya gila, tiba-tiba muncul kabar paling Tiara takuti.

Yaitu meninggalnya dia.

"Jawab Tiara! Kamu malah diam!" Bian murka. Menggebrak meja. Para pekerja lain yang ada di luar ruangan sampai menoleh ke ruangan Bian yang kacanya setengah terlihat.

"Saya kaget lihat pesan yang mengabarkan sahabat saya meninggal." Tiara menggigit bibir usai mengatakannya, kembali hanyut dalam perasaan penuh duka. Fifah ... lagi-lagi Tiara ingat dia.

Tiara tak pernah menyangka sahabatnya akan meninggal secepat ini. Tapi benarkah kabar itu? Terkadang Tiara ingin tak percaya. Tapi pesan di sana sangat jelas dia lihat dari siapa. Nurmaya tidak mungkin bohong.

Bian diam. Entah apa yang dia pikirkan, apalagi setelah melihat air mata Tiara jatuh.

"Turut berduka cita," ucap Bian usai hening beberapa saat. "Itukah yang membuat kamu menumpahkan teh panas ke pengunjung tadi?" lanjutnya menuduh.

Jelas Tiara menggeleng cepat.

"Maaf saya tadi ceroboh, Mas Bian. Itu murni kesalahan saya. Saya melihat pesannya barusan di HP yang M-Mas Bi-Bian si-sita," terang Tiara diakhiri kalimat patah-patah. Tangannya menghapus air mata itu.

Tiara kian tersedu. Ingin segera membalas pesan itu, tapi seperti yang dilihat, si galak menyita ponsel Tiara. Bian meraih ponsel yang ada di meja.

"Aku boleh baca?" Tiara jawab boleh. Tapi tak lama dia malah mendesis kesal. "Gaya-gayaan segala pakai pola. Kayak orang penting aja." Dia menyodorkan Tiara ponsel itu. Meminta membuka polanya.

Tira sedang sedih, dia malah berulah. Wanita itu jadi semakin membencinya. Walau begitu, Tiara tetap tak melawan dengan kata-kata, membuka polanya.

"Ini, Mas."

Bian bergeming, menatap Tiara dalam diam.

"Kamu duluan. Itu pesan untukmu, rasanya kurang etis kalau aku membacanya duluan."

Si galak terkadang baik. Hanya caranya yang beda. Alasan kedua yang membuat Tiara bertahan. Tiara pun membuka pesan dari Nurmaya. Ternyata berderet beberapa pesannya yang mengiris hatiku.

"Innalillahi, Fah ... ya Allah." Tangisku pecah usai membaca detail tentang kematiannya. "Mas, bolehkah saya cuti beberapa hari? Saya mau melihat jenazah Afifah untuk yang terakhir kali," izinnya meminta.

Sepanjang  tiga tahun bekerja di restoran Bian, Tiara memang jarang meminta cuti. Terlebih lagi dua bulan ini ibunya selalu menelepon melarang untuk pulang atau mengirim uang. Entah apa alasannya, ia pun tak tahu. Tapi kalau sudah melihat pesan Nurmaya ini, Tiara tak bisa diam saja.

[Mbak Fifah ingin melihat Kak Tiara sebelum menutup matanya.]

Pesan itulah yang paling membuat hati Tiara terasa diiris-iris. Tiara tak bisa hanya diam saja, di saat Afifah ingin dirinya pulang, untuk melihatnya kali terakhir.

Bian diam. Memejam mata sejenak. Memijat kening yang mungkin sedang pusing.

"Kamu boleh cuti, tapi dengan syarat aku harus ikut," katanya.

'Astagfirullah ... apa-apaan makhluk Tuhan yang satu ini. Dia pikir dia mau apa ikut ke kampung halamanku? Mau liburan? Aku mau melayat.'

Tiara menghapus jejak air matanya dengan cepat, menandakan dia begitu kesal. Tapi demi bisa pulang cepat untuk melihat dikuburkannya Afifah, Tiara akhirnya membolehkan.

Karena hanya izin cuti dapat 3 hari, Tiara tidak banyak membawa barang. Ketika mampir ke kosan mungilnya yang berada tak jauh dari tempat kerjanya, ia hanya membawa tas kecil yang berjejal beberapa setel pakaian untuk ganti.

Ia pulang ke desanya dengan membawa pria kota yang mungkin saja akan menjadi bahan omongan tetangga. Tiara pusing memikirkannya. Sepanjang jalan dia hanya diam, melirik ke luar jendela mobil mahal Bian.

Satu lagi, Tiara tidak mengabari orang tuanya dulu ketika mau pulang. Sebab orang tuanya tidak memiliki ponsel.

***

"Seberapa jauh, sih rumahmu? Kita sudah enam jam lebih di jalan. Katamu rumahmu tak jauh dari terminal angkutan umum. Kita sudah melewatinya hampir dua puluh menit lalu. Dan setiap ketemu pemukiman, bukan lagi bukan lagi."

Bian mulai dongkol. Perjalanan selama itu, dan belum ada tanda-tanda sampai ke desa tempat Tiara dilahirkan.

"Sabar, Mas. Sudah saya katakan, loh rumah saya itu di desa yang pelosok banget." jawab Tiara tidak mood. Dalam hati dirinya mengomel, siapa suruh ingin ikut? "Nah, setelah melewati kebun teh ini kita akan sampai di desa tempat saya tinggal."

Bian menghela napasnya dalam-dalam, memupuk lebih besar lagi kesabaran yang setipis tisu itu. Lalu tidak lama mereka mulai melewati perkebunan teh yang Tiara maksud. Seketika kuduknya merinding, seluruh bulu di tengkuk berdiri.

"Ra, kamu yakin rumahmu ke sini? Kita tidak sedang menuju ke kuburan, kan?" tanya Bian setelah rasa takut merayapi dirinya.

Tiara melirik sengit. "Maksudnya?"

"Begini, rumahmu sangat jauh dan pelosok."

"Terima kasih, Mas Bian atas ejekannya. Mas Bian boleh balik lagi ke kota kalau merasa menyesal datang ke sini." Tiara sudah mulai tak tahan lagi dengan sikap si galak yang suka bicara terang-terangan.

"Duh, bukan gitu maksudku. Aku cuma ingin cepat-cepat sampai. Seluruh tubuhku terasa remuk, Ra. Tahu sejauh ini, mending pakai pesawat." Ralatan yang sangat menyebalkan. Dan Tiara tambah kesal karenanya.

Tiba-tiba sesuatu melintas sangat besar. Tampak seperti kerbau yang begitu hitam.

"Awas Mas Biaaaan!" Tiara berteriak ketika melihatnya.

Karenanya, Bian menginjak pedal rem dadakan. Mobil terbanting ke samping jurang, beruntung ada pohon besar di sana, sehingga selamatlah keduanya dari kecelakaan yang hampir saja menjemput nyawa.

Tiara terengah, syok. Berpegangan pada kursi mobil erat.

"Apa itu tadi, Ra?"

"Mu-mungkin sapi warga yang lepas."

"Hah? Yang tadi itu sama sekali bukan seperti sapi!" bantah Bian tidak percaya.

"Ya mana saya tahu, Mas! Saya tidak pulang selama tiga tahun!" bentak Tiara. Akhirnya kekesalannya termuntahkan saat itu juga, setelah ia tahan-tahan sebelumnya.

Bian tidak terima Tiara membentaknya. Tapi dia terpaksa meredam kemarahannya untuk sementara. Sebab selain sudah malam, gerimis pun mulai turun, dan tempat itu terasa begitu horor baginya. Jadi Bian memutuskan melanjutkan perjalanan yang mengerikan ini, lagi.

Comments (1)
goodnovel comment avatar
Dina0505
lah si Bian bisa2nya ikut sama Tiara. bilang aja kamu takut jauh2 dari Tiara
VIEW ALL COMMENTS

Related chapters

  • BABI NGEPET di Kampungku   3 (Kepulangan yang Ditolak)

    Langit sudah berisik diwarnai suara gemuruh yang membuat tengkuk Bian meriang. Meski hanya sekilas, itu membuat ia jadi kebelet pipis.“Rumahmu yang mana, Ra? Astaga aku sudah tidak tahan mau numpang ke kamar mandi!” Antara kesal dan lelah, di malam buta begini malah kebelet banget.Tiara meringis jijik. Jijik jadi memikirkan sesuatu yang mengotori pikirannya. Dalam hati ia ngedumel, ngapain, sih pake jujur banget? Kan, ngeri! Bikin otak travelling!Tapi Bian tidak menyadari ekspresi itu. Dia sibuk melihat ke luar jendela mobil yang sudah masuk ke area perkampungan, di mana rumah-rumah berderet dengan lampu kuningnya.“Bentar lagi, Mas. Sabar. Tinggal maju, belok kiri ....” Tiara berusaha menahan diri agar tidak emosi lagi, walau inginnya menghantam bos-nya ini. “Lagi pula kita tidak akan langsung pulang ke rumah saya, tapi langsung melayat,” tambahnya. Wajah Tiara tampak kesal, sesekali melirik bos muda itu dengan tatapan yang menusuk.Bian pun menahan diri, menahan kebeletnya juga d

    Last Updated : 2024-03-28
  • BABI NGEPET di Kampungku   4 (Pemakaman Afifah)

    “Kembali ke kota? Bu, kami baru sampai. Bahkan Mas Bian belum selesai di kamar man—”“AAAARGGGGHH!” Belum Tiara tuntaskan ucapannya, suara jeritan Bian mengudara memenuhi gendang telinga Tiara dan ibunya.Seketika Tiara dan Bu Rafat lari menuju ke belakang rumah yang hanya bercahayakan lampu kuning lima watt.“Astagfirullah, Mas Bian!” Tiara kaget setengah mati melihat Bian terduduk di antara batu-batu pijakan. Batu hitam yang dipasang di antara tanah-tanah menuju jamban. Tiara cepat-cepat menghampiri dan membantunya untuk berdiri.Wajah Bian pucat pasi. Dia menunjuk ke arah yang gelap gulita dan mulai meracau tak jelas. "Ra! Ra! A-ada babi! Gede banget!" Tergagap sesekali.Tiara hanya bisa mangap kala mendengarnya.“Mas, Mas Bian sepertinya lelah, ya sampai berkhayal tentang babi. Walau kampung, di sini mana ada babi.” Seolah tak percaya dengan kata-kata Bian, Tiara memasang wajah kesal. Ada-ada saja bos-nya ini.“Tapi, Ra. Beneran ada babi.” Sambil melirik-lirik pada wanita paruh ba

    Last Updated : 2024-03-31
  • BABI NGEPET di Kampungku   5 (Babi yang Mengintip di Jendela Kamar)

    Sudah semakin malam, hampir jam 2, tapi Tiara belum juga bisa tidur. Ibu bapaknya—Pak Rahman—sudah terlelap di kamar mereka, bahkan mungkin Bian pun sudah ke alam mimpi jauhnya.CETAAAR!Di luar masih hujan deras, geledek dan petir menyambar di mana-mana. Dingin, Tiara memeluk diri. Padahal matanya ngantuk berat, tapi setiap kali mau memejamkan mata, ia merasa sulit tidur. Akhirnya perih sekali matanya, berair.KLOTRAK!Suara seperti gelas jatuh memasuki telinga Tiara. Suara gelas jatuh tapi tak pecah. Apakah ada tikus? Atau kucing? Tiara bertanya-tanya dalam ketakutannya.“Bikin kaget aja. Apa itu, ya?” Ia bergumam, menyingkap selimut tebalnya dan keluar untuk memeriksa.Rumah gelap. Biasanya kalau jam tidur memang dimatikan semua, kecuali lampu di luar rumah. Anehnya kali ini lampu dapur menyala. Tiara membekap mulut, mengira ada maling.Ia mengendap menuju dapur tanpa membangunkan ibu bapaknya. Dan .... “Astaga Mas Bian!” Tiara mendapati Bian sedang makan mie instan tanpa dimasak,

    Last Updated : 2024-03-31
  • BABI NGEPET di Kampungku   6 (Penampakan Mengerikan)

    Pukul tiga kurang dini hari. Desa yang hening dan gelapnya yang begitu pekat mengantarkan kengerian di tengah perjalanan Tiara dan Bian.Malam pertama kematian Afifah si gadis gila, juga teror sang babi jadi-jadian membuat suasana yang sangat hening itu tambah terasa menegangkan.Saat dekat kuburan, mobil malah tiba-tiba mogok. Mesinnya mati, dan kondisi di luar masih hujan.“Mas, kenapa berhenti?” Dalam hati Tiara menambahkan, di kuburan pula. Matanya mengedar ke luar, ke area sisi pemakaman.“Nggak ngerti tiba-tiba mesinnya mati sendiri.” Sambil masih berusaha menghidupkannya lagi.Tapi setelah beberapa menit berlalu, mobil tak kunjung mau hidup. Bian frustrasi dan akhirnya memuntahkan amarahnya dengan memukul setir mobil.“Astagfirullah ....” Laki-laki di sampingnya ini benar-benar sakit jiwa sepertinya. Tiara memegangi dada, kaget.“Keluar, Ra. Dorong.” Perintahnya kemudian. Membuat mata Tiara melotot besar.‘Dia gila, kah? Nyuruh perempuan turun di tengah malam saat hujan buat me

    Last Updated : 2024-04-18
  • BABI NGEPET di Kampungku   7 (Serangan Babi Raksasa)

    Mata Bian membelalak besar. Tidak kira-kira denyut jantungnya saat ini. Dia nyaris muntah di tempat kala menyaksikan sesuatu di depan sana sedang melahap jasad yang masih utuh dibungkus kafannya.“HOEEEK!” Dan ia tak lagi dapat menahan diri. Bian muntah sejadi-jadi hingga keberadaannya diketahui oleh sang monster babi.Monster babi itu berhenti menyantap hidangannya. Menatap tajam dengan mata menyala-nyala merah ke arah Bian yang baru selesai muntah.Bian menengadahkan kepalanya, menelan ludah susah payah. Dia ketahuan. Matilah!“GRRRRRGH!” Makhluk itu menggeram seperti hewan liar yang murka. Bersiap-siap menyeruduk Bian di depannya.Bian serasa mati kutu. Kala nyawa terancam akan celaka, kakinya serasa dirantai tak bisa digerakkan. Keringat dingin sudah membasahi wajahnya dengan degup jantung yang semakin bertalu-talu. Dalam hati ia berharap babi itu tetap melanjutkan makan malam menjijikkannya, janganlah datang pada Bian.Akan tetapi, harapan Bian terlalu tinggi. Makhluk mana yang a

    Last Updated : 2024-08-23
  • BABI NGEPET di Kampungku   1 (Gadis Muda yang Gila)

    Langit bergemuruh di atas kepalanya. Tapi ia tak peduli dan terus berlari. Hujan tampaknya akan turun, tapi ia tak beralas kaki, memijaki jalan-jalan batu hitam besar yang tidak rata.Kakinya terluka, tapi ia tetap lari menembus gelapnya malam.Dia Afifah. Gadis muda berusia dua puluh tahun yang akhir-akhir ini dikatakan gila. Orang tuanya selalu mengurungnya di satu ruang yang dipagari besi-besi. Afifah tak jarang dirantai atau dipasung jika berulah, jika dia mencoba menyakiti keluarganya.Badannya yang dulu cukup berisi, kini kurus kerontang seakan dagingnya menyusut hilang."Tiara, Harsa ... tolong aku!"Tapi anehnya, Afifah yang disebut gila masih saja ingat dengan nama-nama orang desa, terutama Tiara yang merupakan sahabatnya, serta Harsa yang merupakan mantan pacarnya.Dan tujuan Afifah malam ini adalah ke rumah Harsa. Karena Tiara masih di Jakarta bekerja. Afifah pun tahu itu, bahkan saat kepergian sahabatnya, dia turut mengantar hingga ke terminal angkutan umum di ujung desa.

    Last Updated : 2024-03-22

Latest chapter

  • BABI NGEPET di Kampungku   7 (Serangan Babi Raksasa)

    Mata Bian membelalak besar. Tidak kira-kira denyut jantungnya saat ini. Dia nyaris muntah di tempat kala menyaksikan sesuatu di depan sana sedang melahap jasad yang masih utuh dibungkus kafannya.“HOEEEK!” Dan ia tak lagi dapat menahan diri. Bian muntah sejadi-jadi hingga keberadaannya diketahui oleh sang monster babi.Monster babi itu berhenti menyantap hidangannya. Menatap tajam dengan mata menyala-nyala merah ke arah Bian yang baru selesai muntah.Bian menengadahkan kepalanya, menelan ludah susah payah. Dia ketahuan. Matilah!“GRRRRRGH!” Makhluk itu menggeram seperti hewan liar yang murka. Bersiap-siap menyeruduk Bian di depannya.Bian serasa mati kutu. Kala nyawa terancam akan celaka, kakinya serasa dirantai tak bisa digerakkan. Keringat dingin sudah membasahi wajahnya dengan degup jantung yang semakin bertalu-talu. Dalam hati ia berharap babi itu tetap melanjutkan makan malam menjijikkannya, janganlah datang pada Bian.Akan tetapi, harapan Bian terlalu tinggi. Makhluk mana yang a

  • BABI NGEPET di Kampungku   6 (Penampakan Mengerikan)

    Pukul tiga kurang dini hari. Desa yang hening dan gelapnya yang begitu pekat mengantarkan kengerian di tengah perjalanan Tiara dan Bian.Malam pertama kematian Afifah si gadis gila, juga teror sang babi jadi-jadian membuat suasana yang sangat hening itu tambah terasa menegangkan.Saat dekat kuburan, mobil malah tiba-tiba mogok. Mesinnya mati, dan kondisi di luar masih hujan.“Mas, kenapa berhenti?” Dalam hati Tiara menambahkan, di kuburan pula. Matanya mengedar ke luar, ke area sisi pemakaman.“Nggak ngerti tiba-tiba mesinnya mati sendiri.” Sambil masih berusaha menghidupkannya lagi.Tapi setelah beberapa menit berlalu, mobil tak kunjung mau hidup. Bian frustrasi dan akhirnya memuntahkan amarahnya dengan memukul setir mobil.“Astagfirullah ....” Laki-laki di sampingnya ini benar-benar sakit jiwa sepertinya. Tiara memegangi dada, kaget.“Keluar, Ra. Dorong.” Perintahnya kemudian. Membuat mata Tiara melotot besar.‘Dia gila, kah? Nyuruh perempuan turun di tengah malam saat hujan buat me

  • BABI NGEPET di Kampungku   5 (Babi yang Mengintip di Jendela Kamar)

    Sudah semakin malam, hampir jam 2, tapi Tiara belum juga bisa tidur. Ibu bapaknya—Pak Rahman—sudah terlelap di kamar mereka, bahkan mungkin Bian pun sudah ke alam mimpi jauhnya.CETAAAR!Di luar masih hujan deras, geledek dan petir menyambar di mana-mana. Dingin, Tiara memeluk diri. Padahal matanya ngantuk berat, tapi setiap kali mau memejamkan mata, ia merasa sulit tidur. Akhirnya perih sekali matanya, berair.KLOTRAK!Suara seperti gelas jatuh memasuki telinga Tiara. Suara gelas jatuh tapi tak pecah. Apakah ada tikus? Atau kucing? Tiara bertanya-tanya dalam ketakutannya.“Bikin kaget aja. Apa itu, ya?” Ia bergumam, menyingkap selimut tebalnya dan keluar untuk memeriksa.Rumah gelap. Biasanya kalau jam tidur memang dimatikan semua, kecuali lampu di luar rumah. Anehnya kali ini lampu dapur menyala. Tiara membekap mulut, mengira ada maling.Ia mengendap menuju dapur tanpa membangunkan ibu bapaknya. Dan .... “Astaga Mas Bian!” Tiara mendapati Bian sedang makan mie instan tanpa dimasak,

  • BABI NGEPET di Kampungku   4 (Pemakaman Afifah)

    “Kembali ke kota? Bu, kami baru sampai. Bahkan Mas Bian belum selesai di kamar man—”“AAAARGGGGHH!” Belum Tiara tuntaskan ucapannya, suara jeritan Bian mengudara memenuhi gendang telinga Tiara dan ibunya.Seketika Tiara dan Bu Rafat lari menuju ke belakang rumah yang hanya bercahayakan lampu kuning lima watt.“Astagfirullah, Mas Bian!” Tiara kaget setengah mati melihat Bian terduduk di antara batu-batu pijakan. Batu hitam yang dipasang di antara tanah-tanah menuju jamban. Tiara cepat-cepat menghampiri dan membantunya untuk berdiri.Wajah Bian pucat pasi. Dia menunjuk ke arah yang gelap gulita dan mulai meracau tak jelas. "Ra! Ra! A-ada babi! Gede banget!" Tergagap sesekali.Tiara hanya bisa mangap kala mendengarnya.“Mas, Mas Bian sepertinya lelah, ya sampai berkhayal tentang babi. Walau kampung, di sini mana ada babi.” Seolah tak percaya dengan kata-kata Bian, Tiara memasang wajah kesal. Ada-ada saja bos-nya ini.“Tapi, Ra. Beneran ada babi.” Sambil melirik-lirik pada wanita paruh ba

  • BABI NGEPET di Kampungku   3 (Kepulangan yang Ditolak)

    Langit sudah berisik diwarnai suara gemuruh yang membuat tengkuk Bian meriang. Meski hanya sekilas, itu membuat ia jadi kebelet pipis.“Rumahmu yang mana, Ra? Astaga aku sudah tidak tahan mau numpang ke kamar mandi!” Antara kesal dan lelah, di malam buta begini malah kebelet banget.Tiara meringis jijik. Jijik jadi memikirkan sesuatu yang mengotori pikirannya. Dalam hati ia ngedumel, ngapain, sih pake jujur banget? Kan, ngeri! Bikin otak travelling!Tapi Bian tidak menyadari ekspresi itu. Dia sibuk melihat ke luar jendela mobil yang sudah masuk ke area perkampungan, di mana rumah-rumah berderet dengan lampu kuningnya.“Bentar lagi, Mas. Sabar. Tinggal maju, belok kiri ....” Tiara berusaha menahan diri agar tidak emosi lagi, walau inginnya menghantam bos-nya ini. “Lagi pula kita tidak akan langsung pulang ke rumah saya, tapi langsung melayat,” tambahnya. Wajah Tiara tampak kesal, sesekali melirik bos muda itu dengan tatapan yang menusuk.Bian pun menahan diri, menahan kebeletnya juga d

  • BABI NGEPET di Kampungku   2 (Kabar Kematian si Gadis Gila)

    [Mbak Afifah meninggal, Kak Tiara. Sebelum menghembuskan napas terakhirnya, mbak Afifah ingin sekali ketemu Kak Tiara.]Tiara sedang diomeli Bian—bos yang menolak dipanggil bapak—saat terlihat notifikasi chat di aplikasi hijau menampakkan pesan itu di poni layar.Hal itu membuat Tiara terguncang dan gagal fokus, tubuhnya merosot jatuh ke lantai karena lemas. Astagfirullah, innalillahi ... hatinya nyebut berulang kali. Afifah ... dia adalah teman karib Tiara di kampung. Baru saja Nurmaya—adik Afifah—yang mengabarkan kematiannya."Astaga Tiara! Aku sedang bicara, kenapa kamu malah duduk santai di lantai?!"Tiara menahan napasnya sejenak, lalu menatap bosnya ragu. Namun, hal yang membuat Tiara jengkel ialah Bian malah lebih peduli pada lantai ketimbang bertanya apakah Tiara baik-baik saja atau tidak. Bian memang bos yang sangat galak dan menyebalkan untuk seluruh pekerja di sana. Jika saja bukan karena gajinya naik terus tiap tahun, mana mau Tiara terus bekerja di sana."Ma-maaf, Mas Bi

  • BABI NGEPET di Kampungku   1 (Gadis Muda yang Gila)

    Langit bergemuruh di atas kepalanya. Tapi ia tak peduli dan terus berlari. Hujan tampaknya akan turun, tapi ia tak beralas kaki, memijaki jalan-jalan batu hitam besar yang tidak rata.Kakinya terluka, tapi ia tetap lari menembus gelapnya malam.Dia Afifah. Gadis muda berusia dua puluh tahun yang akhir-akhir ini dikatakan gila. Orang tuanya selalu mengurungnya di satu ruang yang dipagari besi-besi. Afifah tak jarang dirantai atau dipasung jika berulah, jika dia mencoba menyakiti keluarganya.Badannya yang dulu cukup berisi, kini kurus kerontang seakan dagingnya menyusut hilang."Tiara, Harsa ... tolong aku!"Tapi anehnya, Afifah yang disebut gila masih saja ingat dengan nama-nama orang desa, terutama Tiara yang merupakan sahabatnya, serta Harsa yang merupakan mantan pacarnya.Dan tujuan Afifah malam ini adalah ke rumah Harsa. Karena Tiara masih di Jakarta bekerja. Afifah pun tahu itu, bahkan saat kepergian sahabatnya, dia turut mengantar hingga ke terminal angkutan umum di ujung desa.

DMCA.com Protection Status