Home / Horor / BABI NGEPET di Kampungku / 4 (Pemakaman Afifah)

Share

4 (Pemakaman Afifah)

Author: Renti Sucia
last update Last Updated: 2024-03-31 07:44:18

“Kembali ke kota? Bu, kami baru sampai. Bahkan Mas Bian belum selesai di kamar man—”

“AAAARGGGGHH!” Belum Tiara tuntaskan ucapannya, suara jeritan Bian mengudara memenuhi gendang telinga Tiara dan ibunya.

Seketika Tiara dan Bu Rafat lari menuju ke belakang rumah yang hanya bercahayakan lampu kuning lima watt.

“Astagfirullah, Mas Bian!” Tiara kaget setengah mati melihat Bian terduduk di antara batu-batu pijakan. Batu hitam yang dipasang di antara tanah-tanah menuju jamban. Tiara cepat-cepat menghampiri dan membantunya untuk berdiri.

Wajah Bian pucat pasi. Dia menunjuk ke arah yang gelap gulita dan mulai meracau tak jelas. "Ra! Ra! A-ada babi! Gede banget!" Tergagap sesekali.

Tiara hanya bisa mangap kala mendengarnya.

“Mas, Mas Bian sepertinya lelah, ya sampai berkhayal tentang babi. Walau kampung, di sini mana ada babi.” Seolah tak percaya dengan kata-kata Bian, Tiara memasang wajah kesal. Ada-ada saja bos-nya ini.

“Tapi, Ra. Beneran ada babi.” Sambil melirik-lirik pada wanita paruh baya di belakang Tiara. “Aku tadi habis buang air kecil bersihin sepatu, tapi tiba-tiba denger sesuatu. Aku keluar kamar mandi, eh ada babi gede banget deket sana! Deket pohon pisang! Hampir nyerang aku, Ra!” kukuhnya.

Suara nyaring Bian mengundang penasaran warga yang sedang berada di pekarangan rumah mendiang Afifah. Mereka pun memeriksa, ada keributan apa, sementara ibu Tiara masih membisu.

“Ada apa ini? Kenapa berisik sekali? Siapa kamu?” Pak RT ternyata, bersama beberapa warga lain.

“P-Pak RT. Ini bos Tiara yang mengantar Tiara pulang.” Bu Rafat segera menyela. Karena ucapannya, Bian akhirnya tahu kalau wanita di depan matanya ini adalah ibu Tiara.

Ingin sekali dia menyapa, tapi situasinya belum memungkinkan.

“Halo, Pak RT. Saya Bian, maaf untuk keributannya. Saya hanya—”

“Tadi jatuh.” Bu Rafat kembali menyela.

Bian dan Tiara seketika menatap Bu Rafat yang seolah tak ingin membicarakan tentang babi besar tadi. Tapi kenapa? Ada apa? Bian sangat syok berasa hampir kehilangan nyawa, tapi seolah-olah ibunya Tiara ini mau menutupi hal itu? Dia benar-benar kehabisan kata-kata.

“Oh, tamu dari kota, toh?”

“Nggeh, Pak. Tiara datang untuk melihat jasad Afifah, tapi setelah ini mereka akan pulang kembali, kok ke kota,” lanjut Bu Rafat.

Lagi-lagi membuat Tiara dan Bian terdiam heran. Mereka saling kunci pandang untuk beberapa saat. Saling kode satu sama lain untuk bertanya apa maksud ucapan ibunya.

Tiara tertawa garing. “Bu, Ibu ngomong apa? Kami akan di sini selama tiga hari.”

“Heh, bukannya kalian sibuk di kota? Nggak apa-apa, pulang lagi saja. Tenang, jangan khawatirkan ibu lagi.” Bu Rafat segera menarik tangan Tiara dan Bian, melewati Pak RT dan warga. “Kami masuk dulu, Pak RT. Mohon izin untuk menerima tamu saya.”

Bu Rafat dan sikap anehnya benar-benar mengundang segudang tanya di kepala Tiara serta Bian.

KREET ... pintu depan ditutup rapat setelah melepas tangannya dari dua manusia muda itu. Ia mengintip di jendela, melihat Pak RT dan lainnya kembali ke rumah yang tengah berduka.

“Bu, ada apa sih? Kenapa terasa tegang banget?” Pertanyaan Tiara membuyarkan pikiran kacau Bu Rafat. Wanita itu berbalik dan mendekati Tiara serta Bian.

“Dengar, desa kita sedang tidak baik-baik saja. Ibu nggak bisa percaya siapa pun di sini. Dan ibu takut kamu sama atasan kamu ini kenapa-kenapa. Jadi sebaiknya kalian pulanglah segera ke kota. Ibu mohon,” pinta Bu Rafat.

“Maksudnya bagaimana, Bu? Saya tidak paham.” Bian ingin tertawa dengan segala keanehan ini. Dia baru saja sampai setelah perjalanan panjang dan melelahkan. Ketika tiba, selain sial bertemu babi raksasa, ia juga langsung diult oleh pengusiran ibu pegawainya sendiri. Haha sangat lucu! Bian mulai merasa gila.

“Pokoknya di sini berbahaya.” Bu Rafat enggan menjelaskan. Bukan karena apa, tapi jika sesuatu yang pantang disebut itu dibeberkan, takutnya nanti malah keluarganya yang menjadi sasaran.

Sesuatu yang pantang itu adalah mengatakan tentang adanya babi ngepet di desa. Sudah sangat meresahkan, dan Bu Rafat sangat takut anaknya menjadi sasaran tumbal atau semacamnya. Membayangkan itu saja Bu Rafat ngeri.

Bahkan makhluk sialan itu sedari tadi sudah mondar-mandir di sekitaran desa, bukan? Bu Rafat sangat khawatir hingga tak mampu lagi berkata-kata.

“Bu, bagaimana mungkin kami pulang lagi di saat hujan mulai turun? Jalanan juga udah pasti licin.” Meski butuh penjelasan panjang, Tiara menahan diri. Dia lebih khawatir bakal kena pecat kalau tiba-tiba diusir begini bersama bos-nya.

“Itu benar, Bu. Kami lelah setelah perjalanan panjang. Dan lagi benar kata Ibu, desa ini mengerikan. Babi di mana-mana. Saya takut kalau pulang sekarang walau sebenarnya saya mau. Nanti tiba-tiba mobil saya dicegat babi besar itu bagaimana?” Bian menolak pergi, dan menganggap kalau peringatan bahaya dari Bu Rafat itu karena banyaknya hewan liar di desa tersebut. Akan lebih aman lagi kalau mereka pulang besok saat sudah pagi atau siang.

Tiara kesal mendengar ucapan sembrono Bian. Refleks tangan itu menyikut pinggangnya hingga Bian mengaduh. Bu Rafat sendiri tak berkomentar, dia hanya menghela napasnya begitu berat. Yang dikatakan Bian ada benarnya, tapi tetap diam di rumah itu sama dengan sedang menunggu si pelaku pesugihan menemukan mereka.

“Ya, sudah kalian istirahatlah untuk malam ini. Tapi janji, besok harus segera pergi, paham?” titah Bu Rafat seraya kembali mengintip ke luar jendela.

Tiara mendengar di luar berisik. Ia pun ikut mengintip tanpa mengiyakan perintah ibunya. Ternyata keranda yang membawa jasad Afifah sudah digotong keluar oleh bapak-bapak, salah satunya bapak Afifah sendiri.

“Bu, Tiara mau ikut ke—”

Ceklek. Pintu rumah malah dikunci oleh Bu Rafat. Ia kini memandang mata anaknya. “Ganti bajumu dan tidur. Ini sudah malam. Biarkan saja Afifah diantar bapak-bapak dan keluarganya saja. Kamu tidak perlu ikut ke sana. Lihat, tidak ada anak muda yang ikut, bukan?”

“Tapi, Bu—”

Bu Rafat tak mau dengar. Ia memilih meninggalkan Tiara dengan kebingungannya, dan mengapit lengan Bian. “Nak Bian nanti tidur di kamar ini, ya. Silakan istirahat.”

“I-iya, Bu. Terima kasih.” Dalam hati Bian berkata beda. Tawarin makan, kek. Lapar sudah menyerangnya sejak masih di perjalanan tadi.

***

Pemakaman Afifah sudah selesai. Warga kembali ke rumahnya masing-masing bersama. Jangan sampai terpisah sendiri, nanti bertemu dengan babi! Warga sangat hati-hati sejak babi ngepet ada di desa itu.

“Pak, tapi apa tidak apa-apa membiarkan Pak Zakaria dan istrinya di makam berdua saja? Saya khawatir.” Pak Daus, tetangga keluarga berduka bertanya pada Pak RT.

“Mereka bilang masih belum mau meninggalkan makam, jadi biarkan saja. Kita doakan semoga mereka tidak apes bertemu babi itu.”

Ketika warga beramai-ramai pulang, Pak Zakaria dan istrinya memang masih ada di sana tak peduli hujan semakin deras.

Sunyi, sepi, hening ... gelap. Baju yang mereka kenakan basah.

“Pak, apa sudah waktunya?” Bu Lastri bertanya pada suaminya.

“Tunggu setidaknya dua jam lagi. Kalau kita bongkar sekarang, takut ketahuan. Biarkan warga tidur dulu.” Pak Zakaria menyahuti.

Istrinya hanya mengangguk setuju. Dan mereka menunggu lagi.

Related chapters

  • BABI NGEPET di Kampungku   5 (Babi yang Mengintip di Jendela Kamar)

    Sudah semakin malam, hampir jam 2, tapi Tiara belum juga bisa tidur. Ibu bapaknya—Pak Rahman—sudah terlelap di kamar mereka, bahkan mungkin Bian pun sudah ke alam mimpi jauhnya.CETAAAR!Di luar masih hujan deras, geledek dan petir menyambar di mana-mana. Dingin, Tiara memeluk diri. Padahal matanya ngantuk berat, tapi setiap kali mau memejamkan mata, ia merasa sulit tidur. Akhirnya perih sekali matanya, berair.KLOTRAK!Suara seperti gelas jatuh memasuki telinga Tiara. Suara gelas jatuh tapi tak pecah. Apakah ada tikus? Atau kucing? Tiara bertanya-tanya dalam ketakutannya.“Bikin kaget aja. Apa itu, ya?” Ia bergumam, menyingkap selimut tebalnya dan keluar untuk memeriksa.Rumah gelap. Biasanya kalau jam tidur memang dimatikan semua, kecuali lampu di luar rumah. Anehnya kali ini lampu dapur menyala. Tiara membekap mulut, mengira ada maling.Ia mengendap menuju dapur tanpa membangunkan ibu bapaknya. Dan .... “Astaga Mas Bian!” Tiara mendapati Bian sedang makan mie instan tanpa dimasak,

    Last Updated : 2024-03-31
  • BABI NGEPET di Kampungku   6 (Penampakan Mengerikan)

    Pukul tiga kurang dini hari. Desa yang hening dan gelapnya yang begitu pekat mengantarkan kengerian di tengah perjalanan Tiara dan Bian.Malam pertama kematian Afifah si gadis gila, juga teror sang babi jadi-jadian membuat suasana yang sangat hening itu tambah terasa menegangkan.Saat dekat kuburan, mobil malah tiba-tiba mogok. Mesinnya mati, dan kondisi di luar masih hujan.“Mas, kenapa berhenti?” Dalam hati Tiara menambahkan, di kuburan pula. Matanya mengedar ke luar, ke area sisi pemakaman.“Nggak ngerti tiba-tiba mesinnya mati sendiri.” Sambil masih berusaha menghidupkannya lagi.Tapi setelah beberapa menit berlalu, mobil tak kunjung mau hidup. Bian frustrasi dan akhirnya memuntahkan amarahnya dengan memukul setir mobil.“Astagfirullah ....” Laki-laki di sampingnya ini benar-benar sakit jiwa sepertinya. Tiara memegangi dada, kaget.“Keluar, Ra. Dorong.” Perintahnya kemudian. Membuat mata Tiara melotot besar.‘Dia gila, kah? Nyuruh perempuan turun di tengah malam saat hujan buat me

    Last Updated : 2024-04-18
  • BABI NGEPET di Kampungku   7 (Serangan Babi Raksasa)

    Mata Bian membelalak besar. Tidak kira-kira denyut jantungnya saat ini. Dia nyaris muntah di tempat kala menyaksikan sesuatu di depan sana sedang melahap jasad yang masih utuh dibungkus kafannya.“HOEEEK!” Dan ia tak lagi dapat menahan diri. Bian muntah sejadi-jadi hingga keberadaannya diketahui oleh sang monster babi.Monster babi itu berhenti menyantap hidangannya. Menatap tajam dengan mata menyala-nyala merah ke arah Bian yang baru selesai muntah.Bian menengadahkan kepalanya, menelan ludah susah payah. Dia ketahuan. Matilah!“GRRRRRGH!” Makhluk itu menggeram seperti hewan liar yang murka. Bersiap-siap menyeruduk Bian di depannya.Bian serasa mati kutu. Kala nyawa terancam akan celaka, kakinya serasa dirantai tak bisa digerakkan. Keringat dingin sudah membasahi wajahnya dengan degup jantung yang semakin bertalu-talu. Dalam hati ia berharap babi itu tetap melanjutkan makan malam menjijikkannya, janganlah datang pada Bian.Akan tetapi, harapan Bian terlalu tinggi. Makhluk mana yang a

    Last Updated : 2024-08-23
  • BABI NGEPET di Kampungku   1 (Gadis Muda yang Gila)

    Langit bergemuruh di atas kepalanya. Tapi ia tak peduli dan terus berlari. Hujan tampaknya akan turun, tapi ia tak beralas kaki, memijaki jalan-jalan batu hitam besar yang tidak rata.Kakinya terluka, tapi ia tetap lari menembus gelapnya malam.Dia Afifah. Gadis muda berusia dua puluh tahun yang akhir-akhir ini dikatakan gila. Orang tuanya selalu mengurungnya di satu ruang yang dipagari besi-besi. Afifah tak jarang dirantai atau dipasung jika berulah, jika dia mencoba menyakiti keluarganya.Badannya yang dulu cukup berisi, kini kurus kerontang seakan dagingnya menyusut hilang."Tiara, Harsa ... tolong aku!"Tapi anehnya, Afifah yang disebut gila masih saja ingat dengan nama-nama orang desa, terutama Tiara yang merupakan sahabatnya, serta Harsa yang merupakan mantan pacarnya.Dan tujuan Afifah malam ini adalah ke rumah Harsa. Karena Tiara masih di Jakarta bekerja. Afifah pun tahu itu, bahkan saat kepergian sahabatnya, dia turut mengantar hingga ke terminal angkutan umum di ujung desa.

    Last Updated : 2024-03-22
  • BABI NGEPET di Kampungku   2 (Kabar Kematian si Gadis Gila)

    [Mbak Afifah meninggal, Kak Tiara. Sebelum menghembuskan napas terakhirnya, mbak Afifah ingin sekali ketemu Kak Tiara.]Tiara sedang diomeli Bian—bos yang menolak dipanggil bapak—saat terlihat notifikasi chat di aplikasi hijau menampakkan pesan itu di poni layar.Hal itu membuat Tiara terguncang dan gagal fokus, tubuhnya merosot jatuh ke lantai karena lemas. Astagfirullah, innalillahi ... hatinya nyebut berulang kali. Afifah ... dia adalah teman karib Tiara di kampung. Baru saja Nurmaya—adik Afifah—yang mengabarkan kematiannya."Astaga Tiara! Aku sedang bicara, kenapa kamu malah duduk santai di lantai?!"Tiara menahan napasnya sejenak, lalu menatap bosnya ragu. Namun, hal yang membuat Tiara jengkel ialah Bian malah lebih peduli pada lantai ketimbang bertanya apakah Tiara baik-baik saja atau tidak. Bian memang bos yang sangat galak dan menyebalkan untuk seluruh pekerja di sana. Jika saja bukan karena gajinya naik terus tiap tahun, mana mau Tiara terus bekerja di sana."Ma-maaf, Mas Bi

    Last Updated : 2024-03-22
  • BABI NGEPET di Kampungku   3 (Kepulangan yang Ditolak)

    Langit sudah berisik diwarnai suara gemuruh yang membuat tengkuk Bian meriang. Meski hanya sekilas, itu membuat ia jadi kebelet pipis.“Rumahmu yang mana, Ra? Astaga aku sudah tidak tahan mau numpang ke kamar mandi!” Antara kesal dan lelah, di malam buta begini malah kebelet banget.Tiara meringis jijik. Jijik jadi memikirkan sesuatu yang mengotori pikirannya. Dalam hati ia ngedumel, ngapain, sih pake jujur banget? Kan, ngeri! Bikin otak travelling!Tapi Bian tidak menyadari ekspresi itu. Dia sibuk melihat ke luar jendela mobil yang sudah masuk ke area perkampungan, di mana rumah-rumah berderet dengan lampu kuningnya.“Bentar lagi, Mas. Sabar. Tinggal maju, belok kiri ....” Tiara berusaha menahan diri agar tidak emosi lagi, walau inginnya menghantam bos-nya ini. “Lagi pula kita tidak akan langsung pulang ke rumah saya, tapi langsung melayat,” tambahnya. Wajah Tiara tampak kesal, sesekali melirik bos muda itu dengan tatapan yang menusuk.Bian pun menahan diri, menahan kebeletnya juga d

    Last Updated : 2024-03-28

Latest chapter

  • BABI NGEPET di Kampungku   7 (Serangan Babi Raksasa)

    Mata Bian membelalak besar. Tidak kira-kira denyut jantungnya saat ini. Dia nyaris muntah di tempat kala menyaksikan sesuatu di depan sana sedang melahap jasad yang masih utuh dibungkus kafannya.“HOEEEK!” Dan ia tak lagi dapat menahan diri. Bian muntah sejadi-jadi hingga keberadaannya diketahui oleh sang monster babi.Monster babi itu berhenti menyantap hidangannya. Menatap tajam dengan mata menyala-nyala merah ke arah Bian yang baru selesai muntah.Bian menengadahkan kepalanya, menelan ludah susah payah. Dia ketahuan. Matilah!“GRRRRRGH!” Makhluk itu menggeram seperti hewan liar yang murka. Bersiap-siap menyeruduk Bian di depannya.Bian serasa mati kutu. Kala nyawa terancam akan celaka, kakinya serasa dirantai tak bisa digerakkan. Keringat dingin sudah membasahi wajahnya dengan degup jantung yang semakin bertalu-talu. Dalam hati ia berharap babi itu tetap melanjutkan makan malam menjijikkannya, janganlah datang pada Bian.Akan tetapi, harapan Bian terlalu tinggi. Makhluk mana yang a

  • BABI NGEPET di Kampungku   6 (Penampakan Mengerikan)

    Pukul tiga kurang dini hari. Desa yang hening dan gelapnya yang begitu pekat mengantarkan kengerian di tengah perjalanan Tiara dan Bian.Malam pertama kematian Afifah si gadis gila, juga teror sang babi jadi-jadian membuat suasana yang sangat hening itu tambah terasa menegangkan.Saat dekat kuburan, mobil malah tiba-tiba mogok. Mesinnya mati, dan kondisi di luar masih hujan.“Mas, kenapa berhenti?” Dalam hati Tiara menambahkan, di kuburan pula. Matanya mengedar ke luar, ke area sisi pemakaman.“Nggak ngerti tiba-tiba mesinnya mati sendiri.” Sambil masih berusaha menghidupkannya lagi.Tapi setelah beberapa menit berlalu, mobil tak kunjung mau hidup. Bian frustrasi dan akhirnya memuntahkan amarahnya dengan memukul setir mobil.“Astagfirullah ....” Laki-laki di sampingnya ini benar-benar sakit jiwa sepertinya. Tiara memegangi dada, kaget.“Keluar, Ra. Dorong.” Perintahnya kemudian. Membuat mata Tiara melotot besar.‘Dia gila, kah? Nyuruh perempuan turun di tengah malam saat hujan buat me

  • BABI NGEPET di Kampungku   5 (Babi yang Mengintip di Jendela Kamar)

    Sudah semakin malam, hampir jam 2, tapi Tiara belum juga bisa tidur. Ibu bapaknya—Pak Rahman—sudah terlelap di kamar mereka, bahkan mungkin Bian pun sudah ke alam mimpi jauhnya.CETAAAR!Di luar masih hujan deras, geledek dan petir menyambar di mana-mana. Dingin, Tiara memeluk diri. Padahal matanya ngantuk berat, tapi setiap kali mau memejamkan mata, ia merasa sulit tidur. Akhirnya perih sekali matanya, berair.KLOTRAK!Suara seperti gelas jatuh memasuki telinga Tiara. Suara gelas jatuh tapi tak pecah. Apakah ada tikus? Atau kucing? Tiara bertanya-tanya dalam ketakutannya.“Bikin kaget aja. Apa itu, ya?” Ia bergumam, menyingkap selimut tebalnya dan keluar untuk memeriksa.Rumah gelap. Biasanya kalau jam tidur memang dimatikan semua, kecuali lampu di luar rumah. Anehnya kali ini lampu dapur menyala. Tiara membekap mulut, mengira ada maling.Ia mengendap menuju dapur tanpa membangunkan ibu bapaknya. Dan .... “Astaga Mas Bian!” Tiara mendapati Bian sedang makan mie instan tanpa dimasak,

  • BABI NGEPET di Kampungku   4 (Pemakaman Afifah)

    “Kembali ke kota? Bu, kami baru sampai. Bahkan Mas Bian belum selesai di kamar man—”“AAAARGGGGHH!” Belum Tiara tuntaskan ucapannya, suara jeritan Bian mengudara memenuhi gendang telinga Tiara dan ibunya.Seketika Tiara dan Bu Rafat lari menuju ke belakang rumah yang hanya bercahayakan lampu kuning lima watt.“Astagfirullah, Mas Bian!” Tiara kaget setengah mati melihat Bian terduduk di antara batu-batu pijakan. Batu hitam yang dipasang di antara tanah-tanah menuju jamban. Tiara cepat-cepat menghampiri dan membantunya untuk berdiri.Wajah Bian pucat pasi. Dia menunjuk ke arah yang gelap gulita dan mulai meracau tak jelas. "Ra! Ra! A-ada babi! Gede banget!" Tergagap sesekali.Tiara hanya bisa mangap kala mendengarnya.“Mas, Mas Bian sepertinya lelah, ya sampai berkhayal tentang babi. Walau kampung, di sini mana ada babi.” Seolah tak percaya dengan kata-kata Bian, Tiara memasang wajah kesal. Ada-ada saja bos-nya ini.“Tapi, Ra. Beneran ada babi.” Sambil melirik-lirik pada wanita paruh ba

  • BABI NGEPET di Kampungku   3 (Kepulangan yang Ditolak)

    Langit sudah berisik diwarnai suara gemuruh yang membuat tengkuk Bian meriang. Meski hanya sekilas, itu membuat ia jadi kebelet pipis.“Rumahmu yang mana, Ra? Astaga aku sudah tidak tahan mau numpang ke kamar mandi!” Antara kesal dan lelah, di malam buta begini malah kebelet banget.Tiara meringis jijik. Jijik jadi memikirkan sesuatu yang mengotori pikirannya. Dalam hati ia ngedumel, ngapain, sih pake jujur banget? Kan, ngeri! Bikin otak travelling!Tapi Bian tidak menyadari ekspresi itu. Dia sibuk melihat ke luar jendela mobil yang sudah masuk ke area perkampungan, di mana rumah-rumah berderet dengan lampu kuningnya.“Bentar lagi, Mas. Sabar. Tinggal maju, belok kiri ....” Tiara berusaha menahan diri agar tidak emosi lagi, walau inginnya menghantam bos-nya ini. “Lagi pula kita tidak akan langsung pulang ke rumah saya, tapi langsung melayat,” tambahnya. Wajah Tiara tampak kesal, sesekali melirik bos muda itu dengan tatapan yang menusuk.Bian pun menahan diri, menahan kebeletnya juga d

  • BABI NGEPET di Kampungku   2 (Kabar Kematian si Gadis Gila)

    [Mbak Afifah meninggal, Kak Tiara. Sebelum menghembuskan napas terakhirnya, mbak Afifah ingin sekali ketemu Kak Tiara.]Tiara sedang diomeli Bian—bos yang menolak dipanggil bapak—saat terlihat notifikasi chat di aplikasi hijau menampakkan pesan itu di poni layar.Hal itu membuat Tiara terguncang dan gagal fokus, tubuhnya merosot jatuh ke lantai karena lemas. Astagfirullah, innalillahi ... hatinya nyebut berulang kali. Afifah ... dia adalah teman karib Tiara di kampung. Baru saja Nurmaya—adik Afifah—yang mengabarkan kematiannya."Astaga Tiara! Aku sedang bicara, kenapa kamu malah duduk santai di lantai?!"Tiara menahan napasnya sejenak, lalu menatap bosnya ragu. Namun, hal yang membuat Tiara jengkel ialah Bian malah lebih peduli pada lantai ketimbang bertanya apakah Tiara baik-baik saja atau tidak. Bian memang bos yang sangat galak dan menyebalkan untuk seluruh pekerja di sana. Jika saja bukan karena gajinya naik terus tiap tahun, mana mau Tiara terus bekerja di sana."Ma-maaf, Mas Bi

  • BABI NGEPET di Kampungku   1 (Gadis Muda yang Gila)

    Langit bergemuruh di atas kepalanya. Tapi ia tak peduli dan terus berlari. Hujan tampaknya akan turun, tapi ia tak beralas kaki, memijaki jalan-jalan batu hitam besar yang tidak rata.Kakinya terluka, tapi ia tetap lari menembus gelapnya malam.Dia Afifah. Gadis muda berusia dua puluh tahun yang akhir-akhir ini dikatakan gila. Orang tuanya selalu mengurungnya di satu ruang yang dipagari besi-besi. Afifah tak jarang dirantai atau dipasung jika berulah, jika dia mencoba menyakiti keluarganya.Badannya yang dulu cukup berisi, kini kurus kerontang seakan dagingnya menyusut hilang."Tiara, Harsa ... tolong aku!"Tapi anehnya, Afifah yang disebut gila masih saja ingat dengan nama-nama orang desa, terutama Tiara yang merupakan sahabatnya, serta Harsa yang merupakan mantan pacarnya.Dan tujuan Afifah malam ini adalah ke rumah Harsa. Karena Tiara masih di Jakarta bekerja. Afifah pun tahu itu, bahkan saat kepergian sahabatnya, dia turut mengantar hingga ke terminal angkutan umum di ujung desa.

DMCA.com Protection Status