Langit sudah berisik diwarnai suara gemuruh yang membuat tengkuk Bian meriang. Meski hanya sekilas, itu membuat ia jadi kebelet pipis.
“Rumahmu yang mana, Ra? Astaga aku sudah tidak tahan mau numpang ke kamar mandi!” Antara kesal dan lelah, di malam buta begini malah kebelet banget.Tiara meringis jijik. Jijik jadi memikirkan sesuatu yang mengotori pikirannya. Dalam hati ia ngedumel, ngapain, sih pake jujur banget? Kan, ngeri! Bikin otak travelling!Tapi Bian tidak menyadari ekspresi itu. Dia sibuk melihat ke luar jendela mobil yang sudah masuk ke area perkampungan, di mana rumah-rumah berderet dengan lampu kuningnya.“Bentar lagi, Mas. Sabar. Tinggal maju, belok kiri ....” Tiara berusaha menahan diri agar tidak emosi lagi, walau inginnya menghantam bos-nya ini. “Lagi pula kita tidak akan langsung pulang ke rumah saya, tapi langsung melayat,” tambahnya. Wajah Tiara tampak kesal, sesekali melirik bos muda itu dengan tatapan yang menusuk.Bian pun menahan diri, menahan kebeletnya juga dan mengikuti instruksi Tiara dengan benar walau ingin sekali dia menyesali kedatangannya ke sana.Tak lama dari situ terlihat orang lalu lalang di jalan. Di situlah rumah keluarga Afifah.“Stop. Kita sudah sampai. Itu rumah sahabat saya yang wafat, Mas. Dan di sebelah sana rumah ibu bapak saya. Mas Bian kalau mau ke kamar mandi, langsung aja muter ke belakang rumah,” terang Tiara sambil membuka sabuk pengaman. Pun dengan Bian.Akhirnya ... lelaki itu bisa bernapas lega. “Kalau gitu aku ke kamar mandi dulu. Nanti kususul,” kata Bian sambil ribut membuka sabuk pengaman yang terpasang. Dia tidak peduli lagi dengan apa pun atau dengan perasaan takut yang sempat muncul. Atau dengan rumah sahabat Tiara yang ramai oleh pelayat di sana. Yang penting bisa buang air kecil!Tiara hanya bisa menghela napasnya berat. Dalam benak dia bisa bilang sial sekali hari ini. Sudah dirundung sedih ditinggal sahabatnya, mau cuti pun malah dikintili bos galaknya ini. Mana merepotkan.Huft ....Wanita itu menatap ke arah rumah Afifah yang masih dikerumuni orang. Dan orang-orang itu kini menatap ke arah mobil Bian yang terparkir sembarang. Mungkin penasaran, siapa yang datang bertamu tengah malam?Tiara membuka pintu mobil. Saat keluar, rintik hujan menyambutnya. Tanpa mau mengantar Bian karena itu aneh sekali, Tiara hanya menunjuk di mana harusnya Bian melepas rasa kebelet yang melanda.Bian dengan wajah tak karuan lari. Sementara Tiara melanjutkan langkahnya menuju ke rumah yang sedang berduka.“Siapa itu ya?” Orang-orang mulai berbisik. Memerhatikan wanita cantik dengan rambut yang ditutupi selendang abu-abu.Tiara bergeming memandang tanpa suara. Hingga bibir itu mengulas senyum kala matanya bertemu dengan mata para tetangga.Wanita muda itu sampai di pekarangan rumah Afifah. Barulah semua orang menyadari siapa yang datang itu. “Oh Tiara? Ya ampun siapa sangka kamu akan pulang, Ra.”Orang kampung ternyata tidak mengasingkannya yang telah lama tak pulang, dan sikap mereka masih sama, baik. Tiara menjawab ala kadarnya, dan dia langsung mencari keluarga Afifah, juga bertanya, “Apakah mendiang Afifah sudah dikuburkan, Pak?” Sambil berjalan menuju pintu utama rumah ia bertanya.“Belum. Sebentar lagi mau dikuburkan.” Wajah bapak-bapak itu terlihat ragu mengatakannya.Tampaknya ada masalah serius yang tak bisa warga katakan. Tapi memang terjadi hal yang membuat pemakaman terus ditunda. Namun mereka memilih bungkam dan membiarkan Tiara masuk dahulu.Terlihat jasad telah dibungkus kain kafan terbaring di tengah rumah. Dikelilingi keluarganya. Pak Arif, Bu Nilam, dan Nurmaya sudah sembab matanya di hadapan Afifah yang terbujur kaku.Tiara ambruk seketika usai melihat secara langsung tubuh sahabatnya. Dia menangis, mengingat kenangan dulu bersamanya. Secepat inikah, Fah? Dalam hati Tiara terus menyesali segala hal, terutama tentang ia yang tak pernah bisa menemuinya sejak ada kabar kalau Afifah menjadi gila.Semua berita itu hanya menjadi kisah yang membuat tidurnya tak pernah nyenyak.Nurmaya, adik Afifah yang mengabarkan tentang kematian kakaknya kini menatap dalam kebisuan, tanpa bisa diartikan. Namun, tatapan itu sangat dalam.“Tiara?” Belum Tiara bicara dengan keluarga sahabatnya, muncul Bu Rafat, ibunya di sisinya. Tangan yang sudah mulai keriput itu kini memegang lengan Tiara."Ibu?" Tiara terkejut, ibunya tiba-tiba muncul begitu saja.Wanita paruh baya yang ia panggil ibu itu segera menarik Tiara untuk keluar. “Tiara!” Seolah-olah tidak percaya putrinya pulang, wanita paruh baya itu menilik-nilik lekat setelah agak menjauh dari rumah keluarga Afifah.Tiara benar-benar kaget dengan sikap ibunya yang tak biasa ini, tapi ia lebih kaget lagi ketika ibunya bilang, “Ngapain kamu pulang? Astagfirullah, Tiara.” Sambil memelankan suaranya, dan buru-buru menarik lagi anaknya ke arah rumah.Wajah Bu Rafat terlihat panik.Tiara membeku sejenak. Kenapa ibunya menyambut kedatangannya dengan penolakan begini? Rasanya memang seperti ditolak, jujur saja Tiara sedih.“Bu, Ibu tidak suka Tiara pulang?” Mata Tiara berkaca kala menanyakannya. Siapa tahu ibunya hanya kaget dan tidak sengaja bilang seperti tadi.Tapi kelihatannya Bu Rafat serius. Dia memegang tangan Tiara, menariknya duduk di kursi tua yang lama tak Tiara duduki. Terasa dingin menusuk ke tulang ekornya.“Bukan, bukan ibu tidak suka. Tapi ... di desa kita sedang tidak baik-baik saja. Kamu seharusnya jangan pulang, Nak. Jangan.”Wanita itu benar-benar tidak mengerti dengan apa yang ibunya katakan. Setelah tiga tahun pergi, dan ketika bisa kembali, justru kejadian seperti ini yang terjadi.“Kenapa, Bu? Tidak baik-baik saja itu kenapa?” Dengan sesak hampir mau menangis sedih, Tiara bertanya.“Itu ... itu ....” Suara Bu Rafat tertahan. Wanita itu ragu mengatakannya. Dia terlalu takut. “Tiara, bukannya kamu lagi sibuk sekali di kota? Siapa yang beritahu soal meninggalnya Afifah?” Tiba-tiba pula Bu Rafat mengganti topik perbincangan.Dahi Tiara mengerut. Dia sungguh bingung atas sikap ibunya.“Tiara pulang untuk melayat, Bu. Di kota memang sibuk, tapi mas Bian mengizinkan cuti tiga hari, dan dia pun ikut ke sini,” ungkap Tiara mengejutkan Bu Rafat.“Ikut? Ikut ke sini? Di mana sekarang?”Tiara jelaskan mungkin masih di kamar mandi belakang rumah. Ia juga menambahkan terpaksa karena laki-laki itu yang memaksa.Bu Rafat menatap dengan tatapan aneh. Ia mendekat dan bertanya, “Apa kamu dan bos-mu itu punya hubungan? Kalian pulang ke sini pasti bukan hanya ingin melayat, kan?”Seketika wajah Tiara memucat. “Bu! Ngomong apa, sih? Bukanlah, Tiara beneran mau melihat Afifah untuk yang terakhir kalinya. Alhamdulillah sudah terlaksana.” Dalam benak ia melanjutkan, lega sudah bisa mewujudkan keinginan sahabatnya yang ingin dilihat sebelum dimakamkan.Bu Rafat menghela napas dalam. “Baiklah. Siapa pun yang ngasih tahu kamu soal kematiannya, ibu tidak akan tanya lagi kalau tidak mau jawab. Tapi ibu mau kamu langsung kembali lagi saja ke kota sama bos kamu. Ya?”Permintaan yang sangat memaksa. Tiara tak langsung menjawab dan hanya menatap ibunya secara heran.“Kembali ke kota? Bu, kami baru sampai. Bahkan Mas Bian belum selesai di kamar man—”“AAAARGGGGHH!” Belum Tiara tuntaskan ucapannya, suara jeritan Bian mengudara memenuhi gendang telinga Tiara dan ibunya.Seketika Tiara dan Bu Rafat lari menuju ke belakang rumah yang hanya bercahayakan lampu kuning lima watt.“Astagfirullah, Mas Bian!” Tiara kaget setengah mati melihat Bian terduduk di antara batu-batu pijakan. Batu hitam yang dipasang di antara tanah-tanah menuju jamban. Tiara cepat-cepat menghampiri dan membantunya untuk berdiri.Wajah Bian pucat pasi. Dia menunjuk ke arah yang gelap gulita dan mulai meracau tak jelas. "Ra! Ra! A-ada babi! Gede banget!" Tergagap sesekali.Tiara hanya bisa mangap kala mendengarnya.“Mas, Mas Bian sepertinya lelah, ya sampai berkhayal tentang babi. Walau kampung, di sini mana ada babi.” Seolah tak percaya dengan kata-kata Bian, Tiara memasang wajah kesal. Ada-ada saja bos-nya ini.“Tapi, Ra. Beneran ada babi.” Sambil melirik-lirik pada wanita paruh ba
Sudah semakin malam, hampir jam 2, tapi Tiara belum juga bisa tidur. Ibu bapaknya—Pak Rahman—sudah terlelap di kamar mereka, bahkan mungkin Bian pun sudah ke alam mimpi jauhnya.CETAAAR!Di luar masih hujan deras, geledek dan petir menyambar di mana-mana. Dingin, Tiara memeluk diri. Padahal matanya ngantuk berat, tapi setiap kali mau memejamkan mata, ia merasa sulit tidur. Akhirnya perih sekali matanya, berair.KLOTRAK!Suara seperti gelas jatuh memasuki telinga Tiara. Suara gelas jatuh tapi tak pecah. Apakah ada tikus? Atau kucing? Tiara bertanya-tanya dalam ketakutannya.“Bikin kaget aja. Apa itu, ya?” Ia bergumam, menyingkap selimut tebalnya dan keluar untuk memeriksa.Rumah gelap. Biasanya kalau jam tidur memang dimatikan semua, kecuali lampu di luar rumah. Anehnya kali ini lampu dapur menyala. Tiara membekap mulut, mengira ada maling.Ia mengendap menuju dapur tanpa membangunkan ibu bapaknya. Dan .... “Astaga Mas Bian!” Tiara mendapati Bian sedang makan mie instan tanpa dimasak,
Pukul tiga kurang dini hari. Desa yang hening dan gelapnya yang begitu pekat mengantarkan kengerian di tengah perjalanan Tiara dan Bian.Malam pertama kematian Afifah si gadis gila, juga teror sang babi jadi-jadian membuat suasana yang sangat hening itu tambah terasa menegangkan.Saat dekat kuburan, mobil malah tiba-tiba mogok. Mesinnya mati, dan kondisi di luar masih hujan.“Mas, kenapa berhenti?” Dalam hati Tiara menambahkan, di kuburan pula. Matanya mengedar ke luar, ke area sisi pemakaman.“Nggak ngerti tiba-tiba mesinnya mati sendiri.” Sambil masih berusaha menghidupkannya lagi.Tapi setelah beberapa menit berlalu, mobil tak kunjung mau hidup. Bian frustrasi dan akhirnya memuntahkan amarahnya dengan memukul setir mobil.“Astagfirullah ....” Laki-laki di sampingnya ini benar-benar sakit jiwa sepertinya. Tiara memegangi dada, kaget.“Keluar, Ra. Dorong.” Perintahnya kemudian. Membuat mata Tiara melotot besar.‘Dia gila, kah? Nyuruh perempuan turun di tengah malam saat hujan buat me
Mata Bian membelalak besar. Tidak kira-kira denyut jantungnya saat ini. Dia nyaris muntah di tempat kala menyaksikan sesuatu di depan sana sedang melahap jasad yang masih utuh dibungkus kafannya.“HOEEEK!” Dan ia tak lagi dapat menahan diri. Bian muntah sejadi-jadi hingga keberadaannya diketahui oleh sang monster babi.Monster babi itu berhenti menyantap hidangannya. Menatap tajam dengan mata menyala-nyala merah ke arah Bian yang baru selesai muntah.Bian menengadahkan kepalanya, menelan ludah susah payah. Dia ketahuan. Matilah!“GRRRRRGH!” Makhluk itu menggeram seperti hewan liar yang murka. Bersiap-siap menyeruduk Bian di depannya.Bian serasa mati kutu. Kala nyawa terancam akan celaka, kakinya serasa dirantai tak bisa digerakkan. Keringat dingin sudah membasahi wajahnya dengan degup jantung yang semakin bertalu-talu. Dalam hati ia berharap babi itu tetap melanjutkan makan malam menjijikkannya, janganlah datang pada Bian.Akan tetapi, harapan Bian terlalu tinggi. Makhluk mana yang a
Langit bergemuruh di atas kepalanya. Tapi ia tak peduli dan terus berlari. Hujan tampaknya akan turun, tapi ia tak beralas kaki, memijaki jalan-jalan batu hitam besar yang tidak rata.Kakinya terluka, tapi ia tetap lari menembus gelapnya malam.Dia Afifah. Gadis muda berusia dua puluh tahun yang akhir-akhir ini dikatakan gila. Orang tuanya selalu mengurungnya di satu ruang yang dipagari besi-besi. Afifah tak jarang dirantai atau dipasung jika berulah, jika dia mencoba menyakiti keluarganya.Badannya yang dulu cukup berisi, kini kurus kerontang seakan dagingnya menyusut hilang."Tiara, Harsa ... tolong aku!"Tapi anehnya, Afifah yang disebut gila masih saja ingat dengan nama-nama orang desa, terutama Tiara yang merupakan sahabatnya, serta Harsa yang merupakan mantan pacarnya.Dan tujuan Afifah malam ini adalah ke rumah Harsa. Karena Tiara masih di Jakarta bekerja. Afifah pun tahu itu, bahkan saat kepergian sahabatnya, dia turut mengantar hingga ke terminal angkutan umum di ujung desa.
[Mbak Afifah meninggal, Kak Tiara. Sebelum menghembuskan napas terakhirnya, mbak Afifah ingin sekali ketemu Kak Tiara.]Tiara sedang diomeli Bian—bos yang menolak dipanggil bapak—saat terlihat notifikasi chat di aplikasi hijau menampakkan pesan itu di poni layar.Hal itu membuat Tiara terguncang dan gagal fokus, tubuhnya merosot jatuh ke lantai karena lemas. Astagfirullah, innalillahi ... hatinya nyebut berulang kali. Afifah ... dia adalah teman karib Tiara di kampung. Baru saja Nurmaya—adik Afifah—yang mengabarkan kematiannya."Astaga Tiara! Aku sedang bicara, kenapa kamu malah duduk santai di lantai?!"Tiara menahan napasnya sejenak, lalu menatap bosnya ragu. Namun, hal yang membuat Tiara jengkel ialah Bian malah lebih peduli pada lantai ketimbang bertanya apakah Tiara baik-baik saja atau tidak. Bian memang bos yang sangat galak dan menyebalkan untuk seluruh pekerja di sana. Jika saja bukan karena gajinya naik terus tiap tahun, mana mau Tiara terus bekerja di sana."Ma-maaf, Mas Bi
Mata Bian membelalak besar. Tidak kira-kira denyut jantungnya saat ini. Dia nyaris muntah di tempat kala menyaksikan sesuatu di depan sana sedang melahap jasad yang masih utuh dibungkus kafannya.“HOEEEK!” Dan ia tak lagi dapat menahan diri. Bian muntah sejadi-jadi hingga keberadaannya diketahui oleh sang monster babi.Monster babi itu berhenti menyantap hidangannya. Menatap tajam dengan mata menyala-nyala merah ke arah Bian yang baru selesai muntah.Bian menengadahkan kepalanya, menelan ludah susah payah. Dia ketahuan. Matilah!“GRRRRRGH!” Makhluk itu menggeram seperti hewan liar yang murka. Bersiap-siap menyeruduk Bian di depannya.Bian serasa mati kutu. Kala nyawa terancam akan celaka, kakinya serasa dirantai tak bisa digerakkan. Keringat dingin sudah membasahi wajahnya dengan degup jantung yang semakin bertalu-talu. Dalam hati ia berharap babi itu tetap melanjutkan makan malam menjijikkannya, janganlah datang pada Bian.Akan tetapi, harapan Bian terlalu tinggi. Makhluk mana yang a
Pukul tiga kurang dini hari. Desa yang hening dan gelapnya yang begitu pekat mengantarkan kengerian di tengah perjalanan Tiara dan Bian.Malam pertama kematian Afifah si gadis gila, juga teror sang babi jadi-jadian membuat suasana yang sangat hening itu tambah terasa menegangkan.Saat dekat kuburan, mobil malah tiba-tiba mogok. Mesinnya mati, dan kondisi di luar masih hujan.“Mas, kenapa berhenti?” Dalam hati Tiara menambahkan, di kuburan pula. Matanya mengedar ke luar, ke area sisi pemakaman.“Nggak ngerti tiba-tiba mesinnya mati sendiri.” Sambil masih berusaha menghidupkannya lagi.Tapi setelah beberapa menit berlalu, mobil tak kunjung mau hidup. Bian frustrasi dan akhirnya memuntahkan amarahnya dengan memukul setir mobil.“Astagfirullah ....” Laki-laki di sampingnya ini benar-benar sakit jiwa sepertinya. Tiara memegangi dada, kaget.“Keluar, Ra. Dorong.” Perintahnya kemudian. Membuat mata Tiara melotot besar.‘Dia gila, kah? Nyuruh perempuan turun di tengah malam saat hujan buat me
Sudah semakin malam, hampir jam 2, tapi Tiara belum juga bisa tidur. Ibu bapaknya—Pak Rahman—sudah terlelap di kamar mereka, bahkan mungkin Bian pun sudah ke alam mimpi jauhnya.CETAAAR!Di luar masih hujan deras, geledek dan petir menyambar di mana-mana. Dingin, Tiara memeluk diri. Padahal matanya ngantuk berat, tapi setiap kali mau memejamkan mata, ia merasa sulit tidur. Akhirnya perih sekali matanya, berair.KLOTRAK!Suara seperti gelas jatuh memasuki telinga Tiara. Suara gelas jatuh tapi tak pecah. Apakah ada tikus? Atau kucing? Tiara bertanya-tanya dalam ketakutannya.“Bikin kaget aja. Apa itu, ya?” Ia bergumam, menyingkap selimut tebalnya dan keluar untuk memeriksa.Rumah gelap. Biasanya kalau jam tidur memang dimatikan semua, kecuali lampu di luar rumah. Anehnya kali ini lampu dapur menyala. Tiara membekap mulut, mengira ada maling.Ia mengendap menuju dapur tanpa membangunkan ibu bapaknya. Dan .... “Astaga Mas Bian!” Tiara mendapati Bian sedang makan mie instan tanpa dimasak,
“Kembali ke kota? Bu, kami baru sampai. Bahkan Mas Bian belum selesai di kamar man—”“AAAARGGGGHH!” Belum Tiara tuntaskan ucapannya, suara jeritan Bian mengudara memenuhi gendang telinga Tiara dan ibunya.Seketika Tiara dan Bu Rafat lari menuju ke belakang rumah yang hanya bercahayakan lampu kuning lima watt.“Astagfirullah, Mas Bian!” Tiara kaget setengah mati melihat Bian terduduk di antara batu-batu pijakan. Batu hitam yang dipasang di antara tanah-tanah menuju jamban. Tiara cepat-cepat menghampiri dan membantunya untuk berdiri.Wajah Bian pucat pasi. Dia menunjuk ke arah yang gelap gulita dan mulai meracau tak jelas. "Ra! Ra! A-ada babi! Gede banget!" Tergagap sesekali.Tiara hanya bisa mangap kala mendengarnya.“Mas, Mas Bian sepertinya lelah, ya sampai berkhayal tentang babi. Walau kampung, di sini mana ada babi.” Seolah tak percaya dengan kata-kata Bian, Tiara memasang wajah kesal. Ada-ada saja bos-nya ini.“Tapi, Ra. Beneran ada babi.” Sambil melirik-lirik pada wanita paruh ba
Langit sudah berisik diwarnai suara gemuruh yang membuat tengkuk Bian meriang. Meski hanya sekilas, itu membuat ia jadi kebelet pipis.“Rumahmu yang mana, Ra? Astaga aku sudah tidak tahan mau numpang ke kamar mandi!” Antara kesal dan lelah, di malam buta begini malah kebelet banget.Tiara meringis jijik. Jijik jadi memikirkan sesuatu yang mengotori pikirannya. Dalam hati ia ngedumel, ngapain, sih pake jujur banget? Kan, ngeri! Bikin otak travelling!Tapi Bian tidak menyadari ekspresi itu. Dia sibuk melihat ke luar jendela mobil yang sudah masuk ke area perkampungan, di mana rumah-rumah berderet dengan lampu kuningnya.“Bentar lagi, Mas. Sabar. Tinggal maju, belok kiri ....” Tiara berusaha menahan diri agar tidak emosi lagi, walau inginnya menghantam bos-nya ini. “Lagi pula kita tidak akan langsung pulang ke rumah saya, tapi langsung melayat,” tambahnya. Wajah Tiara tampak kesal, sesekali melirik bos muda itu dengan tatapan yang menusuk.Bian pun menahan diri, menahan kebeletnya juga d
[Mbak Afifah meninggal, Kak Tiara. Sebelum menghembuskan napas terakhirnya, mbak Afifah ingin sekali ketemu Kak Tiara.]Tiara sedang diomeli Bian—bos yang menolak dipanggil bapak—saat terlihat notifikasi chat di aplikasi hijau menampakkan pesan itu di poni layar.Hal itu membuat Tiara terguncang dan gagal fokus, tubuhnya merosot jatuh ke lantai karena lemas. Astagfirullah, innalillahi ... hatinya nyebut berulang kali. Afifah ... dia adalah teman karib Tiara di kampung. Baru saja Nurmaya—adik Afifah—yang mengabarkan kematiannya."Astaga Tiara! Aku sedang bicara, kenapa kamu malah duduk santai di lantai?!"Tiara menahan napasnya sejenak, lalu menatap bosnya ragu. Namun, hal yang membuat Tiara jengkel ialah Bian malah lebih peduli pada lantai ketimbang bertanya apakah Tiara baik-baik saja atau tidak. Bian memang bos yang sangat galak dan menyebalkan untuk seluruh pekerja di sana. Jika saja bukan karena gajinya naik terus tiap tahun, mana mau Tiara terus bekerja di sana."Ma-maaf, Mas Bi
Langit bergemuruh di atas kepalanya. Tapi ia tak peduli dan terus berlari. Hujan tampaknya akan turun, tapi ia tak beralas kaki, memijaki jalan-jalan batu hitam besar yang tidak rata.Kakinya terluka, tapi ia tetap lari menembus gelapnya malam.Dia Afifah. Gadis muda berusia dua puluh tahun yang akhir-akhir ini dikatakan gila. Orang tuanya selalu mengurungnya di satu ruang yang dipagari besi-besi. Afifah tak jarang dirantai atau dipasung jika berulah, jika dia mencoba menyakiti keluarganya.Badannya yang dulu cukup berisi, kini kurus kerontang seakan dagingnya menyusut hilang."Tiara, Harsa ... tolong aku!"Tapi anehnya, Afifah yang disebut gila masih saja ingat dengan nama-nama orang desa, terutama Tiara yang merupakan sahabatnya, serta Harsa yang merupakan mantan pacarnya.Dan tujuan Afifah malam ini adalah ke rumah Harsa. Karena Tiara masih di Jakarta bekerja. Afifah pun tahu itu, bahkan saat kepergian sahabatnya, dia turut mengantar hingga ke terminal angkutan umum di ujung desa.