Vano memanyunkan bibir bawahnya. "Nini tidak boleh," jawabnya dengan suara kecil agar tidak didengar oleh Hani. Hani menghela napas pasrah pada akhirnya. "Bukan tidak boleh, tapi akan lain jika memakannya dengan selai nanas, sayang." Hani mulai mengelupas beberapa kulit sosis, bsrsiap untuk dipanggang dan diolesi mentega terlebih dahulu. "Ano juga suka makan sosis pakai selai nanas ya, nak. Handa kecewa, sampai hal seperti ini saja tidak tahu." Lagi, Raihan mencium anaknya kembali, kali ini di dahi dan cukup lama. Begitu menyesalnya karena tidak ada di samping Ano saat anak itu masih balita. "Memang benar potokopianmu, Nak. Pangeran kecilku ini tidak ada bedanya dengan handanya. Aku saja terkejut saat dia bilang ingin makan sosis pakai selai nanas," celetuk Hani menyetujui perilaku Vano yang sangat mirip dengan putra sulungnya. "Ya sudah, Ano jangan cemberut lagi dong, nanti makan bersama Handa, ya, pakai selai nanas. Nini boleh, kan?" Raihan menatap ibunya untuk memohon agar dipe
"Bunaaaa!!!" "Anooo, Buna rindu Ano, huhu." Rania menggendong Vano saat anak laki-laki itu berlarian dari pintu apartemen. Rania sedang memasak nasi goreng di dapurnya dan Raihan datang untuk mengantarkan Vano pulang ke apartemen. "Ano uga lindu Bunaaa, muah ... muah ...." Vano menciumi pipi Rania seluruhnya. Dia sangat rindu sekali dengan ibunya. "Mas, duduklah," ucap Rania sambil menarik kursi pada meja makannya. Raihan mengangguk, dia juga datang dengan membawa kantong kresek besar berisi bahan-bahan makanan yang dibelinya tadi bersama Vano sebelum datang. "Terima kasih," balasnya sambil menaruh kantong kresek tersebut di atas meja makan. "Penghangat ruanganmu hidup, apa kau tidak gerah memakai baju rajut panjang seperti itu?" tanya Raihan yang sedikit keanehan dengan pakaian Rania, menurutnya terlalu tebal di saat penghangat ruangan juga menyala. Rania sedikit kikuk, matanya mengerjap begitu saja saat mendapat layangan protes dari handanya Vano. "E-eh, iya. Hanya ingin pakai
"Mas!" Jihan masuk ke dalam kamar Yogi dengan tiba-tiba. Yogi sampai tersendat dengan rokoknya sendiri. Gadis itu berlarian dan memeluk punggung telanjang Yogi begitu saja. "Bawa aku pergi. Mas Raihan hanya mencintai Rania, bukan aku!" rengeknya agar Yogi mengerti dengan perasaannya yang sedang tidak baik-baik saja. "Aku tidak bisa," jawab Yogi yang memutar tubuhnya sehingga Jihan memeluknya dari depan. Yogi membiarkan begitu saja. Jika ditanya apakah dia memiliki perasaan pada Jihan? Jawabannya, mungkin iya. Tapi, sedikit. "Mas, apa kau rela melihatku hidup tidak bahagia bersama Mas Raihan? Bagaimana dengan hubungan kita?" tanyanya dengan gamblang, tidak peduli jika ada yang menguping di luar. "Kita tidak punya hubungan apa-apa. Apa maksudmu? Aku hanya bekerja di bawah ayahmu saja," jawab Yogi mengelak. Dia ingin mengakhiri semuanya, namun tidak tega pada Jihan. Apa yang harus dia lakukan sekarang? Dia punya Irene dari dulu. "Mas," rengeknya kembali dengan cengeng. Kini, tanganny
"Irene, apa kau melihat pemantik rokokku? Aku kehilangannya, sayang." Yogi mengobrak-abrik isi laci meja rias milik istrinya. Tapi, ia tidak menemukan satu pemantik rokok miliknya. Apa dibuang oleh Irene? Sangat mustahil sekali rasanya. "Kau ingin merokok di dalam kamar mandi? Apa tidak bisa nanti saja, setelah mandi?" tanya Irene dari arah dapur. Dia menggeleng-gelengkan kepala terhadap suaminya yang perokok akut. "Aku ingin menongkrong sebentar sambil pupup, sayang," jawab suaminya dengan nada manis, hampir seperti nada manja. "Pematikmu yang lain kemana?" "Tertinggal di rumah bosku," ungkapnya dan mengingat pemantik yang ia tak sengaja tinggalkan di laci kecil kamarnya yang ada di rumah ayah Jihan. "Kemarilah, pemantiknya ada disini, aku menaruhnya di kotak perlengkapan di atas lemari rak makan," balasnya dengan memberitahu keberadaan pemantik rokok milik suaminya. Yogi akhirnya berjalan ke dapur, istrinya sedang merebus daun teh untuk diminum olehnya sendiri dan juga Yogi. M
"Kau menonton apa?" "The penthouse," jawab Irene sambil mengunyah macadamia. "Seru?" Irene menganggukkan kepalanya. Tangannya sibuk membuka kulit kacang macadamia untuk dicemil secara langsung. "Ini tehku?" Yogi berdiri menghalangi wajah Irene yang sedang menonton tv, membuat Irene sedikit menggeser kepalanya untuk menonton tv. "Iya, duduklah. Aku sedang menonton, kau menghalangiku," jawabnya tanpa melirik Yogi sedikit pun. Sret! Yogi melempar lembaran foto yang ditemuinya di kotak sampah ke dekat kacang macadamia milik Irene. Tepat di hadapan Irene, lembaran itu berserakan. Hingga dia lupa dari mana asalnya dan siapa sosok yang selalu mendampinginya. Sudah kukatakan, kelopaknya lebih kuat dari jauh yang terkira. Irene melihatnya, seketika kepalanya mendongak cepat. "Y-yogi," ucapnya gugup. Tidak ada binar mata yang lembut seperti di dapur tadi, hanya ada tatapan tajam yang mengintimidasinya dari Yogi. Disana, Yogi menatapnya dengan lekat-lekat. Wajah beningnya makin kalut d
Sret! "Akh!" "Syut!" Laki-laki itu menutup mulut Rania secara tiba-tiba. Saat Rania berbalik badan, dia melihat laki-laki itu memejamkan matanya juga. Sungguh diluar dugaan dan membuat Rania semakin jantungan jika begini terus. Memang selalu mengejutkan dan membuat orang menjadi panik. "Ren! Apa yang kau perbuat tengah malam begini!" Rania menepis lengan Renan yang tersampir di perutnya. Dia duduk dan menyamankan posisinya dan memperbaiki dasternya yang hampir tersingkap ke atas. Setelah melihat kaki Renan, tangannya bergerak membukakan kaos kaki laki-laki itu yang masih setia di kakinya. Sosok Renan datang di tengah malam ke apartemen Rania secara tiba-tiba tanpa ada pemberitahuan. Dia mengetahui password unit Rania dan langsung nyelonong masuk begitu saja ke dalam kamar, seperti seorang suami yang baru pulang kerja akibat lembur melanda. Rania terbiasa tidak mengunci pintu kamarnya agar sewaktu-waktu David atau Vano bisa masuk jika butuh sesuatu ataupun sedang bermimpi buruk.
"Naik level Bun, hehe," jawab David diiringi cengengesannya karena ketahuan belum juga tidur padahal waktu sudah menunjukkan pukul dini hari. "Mabar teros! Nanti Buna diami dan ga mau urus David lagi, mau? Mau Buna pulangkan David ke rumah kakek dan nenek David, iya?" kesal Rania yang masih berada dalam gendongan Renan. Dirinya mengomeli David yang akhir-akhir ini sedikit sudah untuk diberikan nasihat. harap dimaklumi karena David sedang masa pertumbuhannya. "Rania …," tegur Renan agar wanita itu tidak memarahi David secara terus menerus. Kasihan juga kalau anak itu dipulangkan ke rumah kakek dan neneknya. David pun matanya sudah berkaca-kaca saat Rania memarahinya. "Buna, besok kan sabtu, David tidak sekolah …," belanya agar Rania mengerti. Dia kan libur sekolah besok, jadi dia ingin puas-puas bermain game. "Buna tahu, tapi ini sudah jam dua David! Apa tidak bisa besok saja mainnya?" Rania paham apa mau David, tapi bukankah tidak baik tidur larut malam untuk anak seusia David? Ra
"Melakukan itu? Apa kau mau?" Mata tegas milik Renan begitu menguasai pergerakan Rania. Wanita itu bahkan terbuai dengan pesona tampan si pria. "Pertanyaanmu konyol, apa aku harus menjawabnya?" Rania bertanya untuk menetralisirkan rasa gugupnya yang kelewat batas. Entah mengapa jika Renan dalam mode seserius ini. Renan menganggukkan kepalanya dengan santai dan mantap. Dia membutuhkan jawaban dari pertanyaannya itu. Ayo Rania, kabulkan. "Mau dengar jawaban apa? Masa aku bilang tidak mau melakukannya di saat sudah menikah," jawab Rania dengan suara lembutnya. Tangannya bergerak menyisir rambut Renan ke belakang. Lagi, Renan tersenyum lebar mendengar jawaban wanitanya. Kini, tangannya menahan punggung Rania yang sedang berposisi menyamping dan berhadapan dengannya. "Buna, Handa ingin anak-anak yang lucu seperti Enan kecill dan akak Anya." "Hm …," Rania menarik satu alisnya untuk terangkat. Bukankah sangat lucu jika ada satu Enan kecil dan satu Anya kecil? Uh, pasti akan sangat meng
"Eunghh- eohh!" Alvaro tampak akan menangis saat melihat wajah ayahnya. Tangan mungilnya terkepal saat sedang ingin dimandikan oleh nininya. "Renan," tegur Hani karena Renan terus melakukan permainan cilukba pada Varo. "Cilup, baaaaa," goda Renan lagi sambil membuka tutup wajahnya dengan kedua telapak tangannya. "Eungg- eoh- engg engg." "Renan! Anakmu ini masih berumur 14 hari! Belum bisa diajak bermain peek a boo!" marah Hani karena Renan tidak mengindahkan nasehatnya sejak tadi. "Uhuuuu, nini Varo suka malah-malah, ya sayang …," kilah Renan sambil menciumi perut Varo yang menggemaskan. "Eunghhh eohh," respon Varo dengan suara khas anak bayinya. "Kau menggoda cucuku terus. Bunanya sedang makan di dalam kamar, jika dia menangis kau sendiri yang akan membuat buna Varo terhalang untuk mengisi nutrisi di tubuhnya," ucap Hani sambil menjewer telinga Renan. "Aduh duh ... Varo liat ninimu sangat galak pada Handa ...." "Egh," respon si kecil pecah saat melihat handanya di jewer oleh
"S-sayang ... apa begitu sakit?" tanya Renan dengan suara yang bergemetaran. Wajahnya penuh keringat dingin dengan pancaran kecemasan yang luar biasa. Apalagi saat Rania berusaha memompa perutnya ke bawah dengan susah payah, semakin Renan tidak tahan untuk menumpahkan air mata pilu. "Euhhh ... huhhhh ... hahhhh!" Rania membuang napas sesuai anjuran perawat. Persalinan ini bukan yang pertama untuknya, sehingga Rania tidak terlalu cemas menjalaninya. Tapi .... Lihat, suaminya. Kaki laki-laki itu menjadi gemetaran dan tidak mampu berdiri lebih lama. Pertama kalinya dia melihat kekaguman luar biasa dari seorang wanita yang sedang bertaruh nyawa untuk melahirkan kehidupan baru. "Ibu tarik napas dan hentakkan ke bawah, pelan-pelan saja. Tidak perlu terburu-buru ...." pinta sang perawat di sisi kiri Rania. Perawat itu sejak tadi menggenggam tangan Rania dan diusap lembut sebagai penenang. "Hmmmmhhhh." Rania menarik napas dalam-dalam. "Haaaaaahhhhhh." "Lagi, Ibu ...." "Huhhhhhh ... hahh
Rania masih setia berada di dekapan sang suami pagi itu. Pikirannya masih bercabang akibat kejadian yang menimpanya barusan, tangannya masih terasa lemas dan sedikit bergetar. Sadar akan hal itu, Renan menggenggam telapak tangan istrinya dengan lembut. "Ibu sedang dalam perjalanan kesini, nanti aku antarkan pulang sebelum ke kantor," ucap Renan memulai percakapan lebih dulu. Rania menggeleng. "J-jangan ke kantor, izin saja. Ku mohon ...." Renan menghela napas. "Iya, aku hanya absen sebentar." Laki-laki itu merapikan rambut istrinya yang sedikit berantakan. "Bagaimana perasaanmu, sudah mendingan?" "Masih sedikit nyeri di bagian pantat ...," rengeknya dengan manja, mengadu pada sang suami bahwa tulang pantatnya sedikit sakit. "Nanti, aku oleskan salap pereda nyeri yang diberi dokter tadi." Rania mengangguk dan matanya menjadi lelah seperti ingin tertidur. "Mengantuk ... Buna mengantuk, Handa." "Ayo berbaring, Handa akan membantu Buna berbaring." Renan sudah bersiap untuk melepask
"Raihan punya pilihan sendiri, walupun tidak yakin untuk, tapi Raihan akan mencoba ...." Raihan memandang ayah dan bergantian. "S-siapa?" Hani ragu-ragu. "I-itu, sekretaris pribadi Raihan yang baru." Hani merasakan merasakan lega di hati. "Raisya? Yang kemarin siang dokumen ke rumah?" Raihan menggaruk belakang kepalanya, dia menjadi salah tingkah dan malu untuk merespon pertanyaan ibunya. "Tidak apa-apa. Anaknya sopan dan baik seperti Rania. Ayah setuju saja," ucap Haru yang mengerti kegugupan anaknya. "A-ah itu ... Raihan masih tidak yakin apa dia mau menerima Raihan ...." Hani menyentuh punggung tangan Raihan dan diusap lembut. "Berjuanglah, jalanmu lebih mudah sekarang, Nak ...." ungkap Hani menyemangati anaknya. Benar, jalan Raihan sekarang lebih mudah karena tidak ada halangan, tidak seperti dulu banyak penghalangnya antara dia dan Rania. "Terima kasih Ayah, Ibu ... Raihan akan mencoba membuka hati dan berjuang untuk gadis itu." *** Grup Atmadja. "Raisya, apa?" tanya
Suatu hari di kediaman Renan dengan pemandangan senja yang menyenangkan dari jendela unitnya. "Enan sayang ....." Renan tidak melepaskan penglihatannya dari karikatur superman yang kepala dan tubuhnya secara terpisah. "Buna pasti ada maunya kalau sudah panggil sayang-sayang. Ada apa? Tas gucci lagi? Atau jaket gucci?" "Issss, memangnya Handa merasa diporotin ya kalau Buna minta barang-barang bermerek seperti itu?" Rania berjalan mendekati Renan yang sedang fokus pada karikatur superman tersebut. "Handa bekerja untuk Buna, kenapa Handa harus merasa diporotin? Memangnya kemana lagi uang Handa kalau bukan buat Buna?" Rania berusaha jongkok dan memeluk punggung laki-laki itu. "Buna, si kecil terjepit, apa tidak sesak seperti itu?" "Lembang village. Buna ingin ke lembang village ...." "Mau lihat apa disana? Mending ke kebun binatang, lebih jelas banyak binatang yang bisa dilihat." Rania terus memeluk punggung Renan. "Mau naik kuda, Buna ingin naik kuda di Lembang village." "Loh?"
Renan menjadi diam seribu bahasa. Perkataan Rania sungguh ada benarnya. Setelah menikah, bahkan Rania tidak melakukan apa-apa pun Renan tetap bernafsu. Renan kembali memandang Rania dengan keberanian dan tatapan yang teduh. "A-aku bisa jamin itu, aku tidak akan melakukan sesuatu yang membuatmu khawatir." "Ini sudah sore, kau akan meninggalkan istrimu yang juga sedang hamil demi temanmu itu?" "Buna, tidak. Handa hanya sebentar melihat keadaannya. Hanya sebentar ...." "Ren, tidak bisakah kau mengerti perasaanku sedikit saja?" "Aku tahu aku salah." Rania menarik napasnya dengan dalam, lagi-lagi dia mengalah. "Pergilah, aku tidak melarang. Dari pada bayiku terguncang pertumbuhannya karena aku yang terus-terusan emosi, lebih baik aku diam." Rania menarik gagang pintu kamarnya dan masuk tanpa melihat Renan lagi. "B-buna ...." Stak. Pintu kamar tertutup rapat, bahkan bunyi pintu itu tidak keras. Biasanya orang yang suka emosi akan menutup pintu secara kasar. Yah, Rania membuat seoran
Slit! Cekrek! Bunyi jepretan tercipta dari kamera seorang fotografer yang sedang mengambil foto seorang Rania Arsita. Di usia kandungannya yang sudah menginjak tiga bulan, Renan masih memperbolehkan Rania mengambil job menjadi seorang model dengan catatan job yang diambil harus di seleksi oleh Renan sendiri. "Tolong, ya, istri saya jangan dipegang-pegang seperti itu," kesal Renan karena seorang model laki-laki tidak sengaja menyentuh bahu istrinya. "Bapam, model kami tidak melakukan pelecehan, kenapa kau sangat sensitif sekali?" "Itu istriku, Nyonya. Di perjanjian kontrak tidak ada aku menyetujui berfoto bersama model laki-laki." Nanda menghela nafas pasrah, sudah dijelaskan berulang kali pada Renan, tapi tetap laki-laki itu bersikukuh tidak mau tahu. "Bapak, sudah saya katakan, foto ini untuk bagian depan sampul majalah brand kami. Tentu istri Bapak akan mendapat gaji lebih karena sudah menerima tawaran untuk menjadi cover majalah kami." Renan tampak kesal dan menautkan kedua
"Iya, ini sebentar lagi selesai .... sabar dulu, ya," bujuk Rania saat tali baju tidurnya ditarik-tarik oleh Renan. "Tadi sebentar, sekarang sebentar, kapan selesainya, Bun …," rengek laki-laki itu yang berjongkok di bawah untuk memeluki kaki Rania. "Iya, ini Buna belum siap mengetiknya. Handa jangan seperti bayi, ah. Sini duduk disamping Buna." Rania masih terus fokus pada laptopnya, dia mengambil job sebagai model untuk iklan skincare. "Buna lama sekali, kapan akan memulai nananinanya?" "Tidak ada nananina malam ini Handa, Buna sangat lelah." "Seperti orang hamil saja cepat lelah," sindir Renan karena sampai saat ini Rania belum memberitahu tentang testpack itu. Tap! Jari-jari Rania berhenti mengetik saat mendengar ucapan Renan. Lalu, melanjutkan lagi dan pura-pura tidak mendengar apa yang diucapkan Renan barusan. "Ck!" decih Renan, dia berdiri dan menutup laptop Rania paksa. "Selalu tidak ingin memberitahuku duluan, apa kau akan memberitahu pada Jeffrey dulu?" "Apa maksudm
"Kau itu tidak cocok naik bus, cocoknya naik mobil mewah saja," sindir Rania saat melihat wajah Renan sedikit pucat. Laki-laki itu mengatur nafasnya karena merasa mual saat berada di dalam bus tadi. Mereka duduk di bawah pohon di dekat area hamparan tanaman jeruk yang sangat luas. Belum sampai di pemberhentian bus pertama, Renan secara asal memberhentikan sopir karena merasa tidak nyaman berlama-lama di dalam sana. Alhasil, mereka belum sampai menemui David karena daerah agensi Jeffrey cukup jauh dari kepadatan kota Jakarta. Renan menggeser duduknya merapat ke samping istrinya yang sedang mengeluarkan kotak makan. "A-aku bukan tidak bisa naik bus, aku lapar dan menjadi mual mencium aroma bus," adu Renan sambil menyenderkan kepalanya di bahu Rania. Rania membuka kotak nasinya dan memberikan pada Renan. "Ini makan dulu, biar enakan," titahnya agar Renan menuruti. "Suapi, Bunnnnnn …," pintanya karena Rania terlihat asik sendiri dengan kotak makan yang lain. "Uh, manja sekali kau ini