"Bunaaaa!!!" "Anooo, Buna rindu Ano, huhu." Rania menggendong Vano saat anak laki-laki itu berlarian dari pintu apartemen. Rania sedang memasak nasi goreng di dapurnya dan Raihan datang untuk mengantarkan Vano pulang ke apartemen. "Ano uga lindu Bunaaa, muah ... muah ...." Vano menciumi pipi Rania seluruhnya. Dia sangat rindu sekali dengan ibunya. "Mas, duduklah," ucap Rania sambil menarik kursi pada meja makannya. Raihan mengangguk, dia juga datang dengan membawa kantong kresek besar berisi bahan-bahan makanan yang dibelinya tadi bersama Vano sebelum datang. "Terima kasih," balasnya sambil menaruh kantong kresek tersebut di atas meja makan. "Penghangat ruanganmu hidup, apa kau tidak gerah memakai baju rajut panjang seperti itu?" tanya Raihan yang sedikit keanehan dengan pakaian Rania, menurutnya terlalu tebal di saat penghangat ruangan juga menyala. Rania sedikit kikuk, matanya mengerjap begitu saja saat mendapat layangan protes dari handanya Vano. "E-eh, iya. Hanya ingin pakai
"Mas!" Jihan masuk ke dalam kamar Yogi dengan tiba-tiba. Yogi sampai tersendat dengan rokoknya sendiri. Gadis itu berlarian dan memeluk punggung telanjang Yogi begitu saja. "Bawa aku pergi. Mas Raihan hanya mencintai Rania, bukan aku!" rengeknya agar Yogi mengerti dengan perasaannya yang sedang tidak baik-baik saja. "Aku tidak bisa," jawab Yogi yang memutar tubuhnya sehingga Jihan memeluknya dari depan. Yogi membiarkan begitu saja. Jika ditanya apakah dia memiliki perasaan pada Jihan? Jawabannya, mungkin iya. Tapi, sedikit. "Mas, apa kau rela melihatku hidup tidak bahagia bersama Mas Raihan? Bagaimana dengan hubungan kita?" tanyanya dengan gamblang, tidak peduli jika ada yang menguping di luar. "Kita tidak punya hubungan apa-apa. Apa maksudmu? Aku hanya bekerja di bawah ayahmu saja," jawab Yogi mengelak. Dia ingin mengakhiri semuanya, namun tidak tega pada Jihan. Apa yang harus dia lakukan sekarang? Dia punya Irene dari dulu. "Mas," rengeknya kembali dengan cengeng. Kini, tanganny
"Irene, apa kau melihat pemantik rokokku? Aku kehilangannya, sayang." Yogi mengobrak-abrik isi laci meja rias milik istrinya. Tapi, ia tidak menemukan satu pemantik rokok miliknya. Apa dibuang oleh Irene? Sangat mustahil sekali rasanya. "Kau ingin merokok di dalam kamar mandi? Apa tidak bisa nanti saja, setelah mandi?" tanya Irene dari arah dapur. Dia menggeleng-gelengkan kepala terhadap suaminya yang perokok akut. "Aku ingin menongkrong sebentar sambil pupup, sayang," jawab suaminya dengan nada manis, hampir seperti nada manja. "Pematikmu yang lain kemana?" "Tertinggal di rumah bosku," ungkapnya dan mengingat pemantik yang ia tak sengaja tinggalkan di laci kecil kamarnya yang ada di rumah ayah Jihan. "Kemarilah, pemantiknya ada disini, aku menaruhnya di kotak perlengkapan di atas lemari rak makan," balasnya dengan memberitahu keberadaan pemantik rokok milik suaminya. Yogi akhirnya berjalan ke dapur, istrinya sedang merebus daun teh untuk diminum olehnya sendiri dan juga Yogi. M
"Kau menonton apa?" "The penthouse," jawab Irene sambil mengunyah macadamia. "Seru?" Irene menganggukkan kepalanya. Tangannya sibuk membuka kulit kacang macadamia untuk dicemil secara langsung. "Ini tehku?" Yogi berdiri menghalangi wajah Irene yang sedang menonton tv, membuat Irene sedikit menggeser kepalanya untuk menonton tv. "Iya, duduklah. Aku sedang menonton, kau menghalangiku," jawabnya tanpa melirik Yogi sedikit pun. Sret! Yogi melempar lembaran foto yang ditemuinya di kotak sampah ke dekat kacang macadamia milik Irene. Tepat di hadapan Irene, lembaran itu berserakan. Hingga dia lupa dari mana asalnya dan siapa sosok yang selalu mendampinginya. Sudah kukatakan, kelopaknya lebih kuat dari jauh yang terkira. Irene melihatnya, seketika kepalanya mendongak cepat. "Y-yogi," ucapnya gugup. Tidak ada binar mata yang lembut seperti di dapur tadi, hanya ada tatapan tajam yang mengintimidasinya dari Yogi. Disana, Yogi menatapnya dengan lekat-lekat. Wajah beningnya makin kalut d
Sret! "Akh!" "Syut!" Laki-laki itu menutup mulut Rania secara tiba-tiba. Saat Rania berbalik badan, dia melihat laki-laki itu memejamkan matanya juga. Sungguh diluar dugaan dan membuat Rania semakin jantungan jika begini terus. Memang selalu mengejutkan dan membuat orang menjadi panik. "Ren! Apa yang kau perbuat tengah malam begini!" Rania menepis lengan Renan yang tersampir di perutnya. Dia duduk dan menyamankan posisinya dan memperbaiki dasternya yang hampir tersingkap ke atas. Setelah melihat kaki Renan, tangannya bergerak membukakan kaos kaki laki-laki itu yang masih setia di kakinya. Sosok Renan datang di tengah malam ke apartemen Rania secara tiba-tiba tanpa ada pemberitahuan. Dia mengetahui password unit Rania dan langsung nyelonong masuk begitu saja ke dalam kamar, seperti seorang suami yang baru pulang kerja akibat lembur melanda. Rania terbiasa tidak mengunci pintu kamarnya agar sewaktu-waktu David atau Vano bisa masuk jika butuh sesuatu ataupun sedang bermimpi buruk.
"Naik level Bun, hehe," jawab David diiringi cengengesannya karena ketahuan belum juga tidur padahal waktu sudah menunjukkan pukul dini hari. "Mabar teros! Nanti Buna diami dan ga mau urus David lagi, mau? Mau Buna pulangkan David ke rumah kakek dan nenek David, iya?" kesal Rania yang masih berada dalam gendongan Renan. Dirinya mengomeli David yang akhir-akhir ini sedikit sudah untuk diberikan nasihat. harap dimaklumi karena David sedang masa pertumbuhannya. "Rania …," tegur Renan agar wanita itu tidak memarahi David secara terus menerus. Kasihan juga kalau anak itu dipulangkan ke rumah kakek dan neneknya. David pun matanya sudah berkaca-kaca saat Rania memarahinya. "Buna, besok kan sabtu, David tidak sekolah …," belanya agar Rania mengerti. Dia kan libur sekolah besok, jadi dia ingin puas-puas bermain game. "Buna tahu, tapi ini sudah jam dua David! Apa tidak bisa besok saja mainnya?" Rania paham apa mau David, tapi bukankah tidak baik tidur larut malam untuk anak seusia David? Ra
"Melakukan itu? Apa kau mau?" Mata tegas milik Renan begitu menguasai pergerakan Rania. Wanita itu bahkan terbuai dengan pesona tampan si pria. "Pertanyaanmu konyol, apa aku harus menjawabnya?" Rania bertanya untuk menetralisirkan rasa gugupnya yang kelewat batas. Entah mengapa jika Renan dalam mode seserius ini. Renan menganggukkan kepalanya dengan santai dan mantap. Dia membutuhkan jawaban dari pertanyaannya itu. Ayo Rania, kabulkan. "Mau dengar jawaban apa? Masa aku bilang tidak mau melakukannya di saat sudah menikah," jawab Rania dengan suara lembutnya. Tangannya bergerak menyisir rambut Renan ke belakang. Lagi, Renan tersenyum lebar mendengar jawaban wanitanya. Kini, tangannya menahan punggung Rania yang sedang berposisi menyamping dan berhadapan dengannya. "Buna, Handa ingin anak-anak yang lucu seperti Enan kecill dan akak Anya." "Hm …," Rania menarik satu alisnya untuk terangkat. Bukankah sangat lucu jika ada satu Enan kecil dan satu Anya kecil? Uh, pasti akan sangat meng
"Uhm, Ren ...." "Huh?" Renan sedikit menaikkan pandangannya menjumpai mata Rania. "T-tatomu." "Ada apa dengan tatoku?" Renan telah berhasil melepas kancing piyama Rania dengan sempurna. Rania menggeleng. "T-tidak tahu, seram." Renan pun mengusap rambut Rania ke belakang dan di elus perlahan sebagai bentuk kasih sayang dan perhatian. "Ano dan David bangun jam berapa?" "Hari libur, otomatis jam sembilan," jawab Rania dengan akurat. "Sekarang sudah setengah empat, aku jadi tidak tega menyalurkan nafsuku padamu. Kau tidurlah, aku akan gunakan kamar mandimu saja." Renan kembali memasangkan kancing piyama Rania dengan telaten. Tidak, tidak sekarang …. Pasti akan ada waktunya nanti, seperti sudah sah menikah. Rania menahan pergerakan Renan. "M-maaf, kau selalu mengalah untukku." Renan sedikit ke atas untuk mencium dahi Rania dengan lembut. "Tidak apa-apa, jangan merasa bersalah." Rania memeluk Renan dengan tiba-tiba. "Apa tidak bisa ditahan, aku ingin tidur memelukmu sekarang." Ra